Selasa, 30 Oktober 2012

Tiang Keramat Penangkap Sinyal




Selama saya melakukan tugas kerja, di antaranya mengunjungi desa-desa yang terletak di pedalaman, seperti di Kalimantan Barat, Jambi sampai Lombok, sering saya menemukan hal-hal unik yang belum bisa dijelaskan secara tepat mengenai gejala ini, sehubungan dengan sinyal HP.

Contohnya di Desa Durian Rambun ini. Terletak di dalam hutan di Jambi, desa kecil imut (karena cuma 80 KK) ini sinyal HP sangat sulit didapat. Sehubung sinyal sulit dicari maka apabila ada spot dimana HP dapat sinyal maka berbondong-bondonglah HP dijejerkan di spot tersebut (seperti pada pertemuan yang kami ikuti), atau biasanya orang rela untuk jalan keluar rumah minimal untuk sampai ke spot tersebut.

Nah bicara mengenai spot istimewa tersebut, salah satunya adalah tiang di balai adat. Tiang kayu setinggi kira-kira 3 meter tersebut kami percaya ampuh dalam menarik sinyal HP. Kalau kita letakkan HP tersebut selama kira-kira 30 detik maka kemudian munculah garis sinyal. Walau cuma 1 strip tapi cukup untuk kirim dan terima pesan.

Kadang memang penunggu batang kayu tersebut pergi jadi pesan harus menunggu sampai si penunggu kembali ke batang, dan masuklah pesan sms ke HP kami.

Kalau di Desa Laman Satong, di Kalimantan Barat lain lagi ceritanya. Sinyal HP bisa kami dapatkan di rumah Bang Dogol, di bawah pohon cemara satu-satunya di halamannya. Di lain tempat sulit sekali.

Jadi bagaimana kalau diulas dari teori gelombang elektromagnetik?
- Apakah kebetulan posisi-posisi tersebut adalah saat seperti point yang tersentuh oleh turun naiknya gelombang elektromagnetik pada frekuensi tertentu?
- Atau karena beberapa benda memang memiliki energi tertentu yang menguatkan sinyal elektromagnetik lain?

Nah, PR deh buat yang mau ambil S1 elektronik, karena bisa jadi nantinya daripada bangun tower, maka saya usulkan agar perusahaan telekomunikasi tinggal menanam pohon-pohon jenis tertentu di kampung saja sebagai penguat sinyal. Sementara ini, biarlah kami berbekal selotip saja , untuk menempelkan HP kami di tiang keramat.

Hari Minggu di Desa Tanjung Dalam



 Hari Minggu ini diawali dengan bunyi mesin generator listrik, maklum saya di Desa Tanjung Dalam, Jambi dan di sini kalau siang sengaja listrik dimatikan untuk berhemat karena desa ini menggunakan tenaga listrik dari aliran sungai – mesin mikro hidro, untuk menerangi rumah (agak penting), mengisi batere handphone (penting) sampai menonton televisi (ini penting juga).

Anak-anak sedang berlibur, seperti saya bilang karena ini hari Minggu. Sayalah yang mesti mengulang-ulang kalau ini hari Minggu sebab sehubung sedang bekerja dan sudah hampir sebulan mondar-mandir ke daerah maka orientasi waktu saya menjadi kacau, tidak terbatas oleh kerja Senin- Jumat, dan saya rasa nikmat juga bekerja seperti ini sebab keteraturan kadang mengkhawatirkan juga.

Kalau ini sehabis pulang sekolah, sayang foto yg hari Minggu saya ga punya
Anak-anak berpakaian necis, main-main di depan pintu sebab tidak boleh masuk oleh ibu-bapaknya. Memang kami sedang mengadakan pelatihan di balai desa jadi no anak2 di dalam agar tidak berisik.

Yang unik dari anak-anak ini adalah di hari Minggu seperti ini semua berpakaian bagus. Ada yg model gulung-gulung roknya, model baju putri, celana jeans berikut topi, lengkap dengan bedak tebal. Kalau hari biasa, biasanya cukup memakai singlet, serta celana pendek yang sudah cemong dengan tanah. Saya agak senang juga menemukan fakta ini sebab berarti ada sesuatu yang bisa dianalisis (hehehe)...

Ini cukup unik bagi saya sebab disini jauh dari mall dan pasar. Untuk menuju kota Bangko, kota kabupaten dibutuhkan waktu sekitar 3 jam.  menembus hutan serta bukit (dengan jalanan berbatu yang terjalnya minta ampun, kalau tidak biasa bisa nangis darah (beneran) sebab mata kecolok kayu setelah ngegeleser jatuh dari tanjakan).

Artinya anak-anak ini (atau orang tuanya) bergembira dan menikmati hari libur di desanya dengan cara berpakaian bagus dan berdandan, santai gembira dan show sepanjang jalan desa, Yang remaja-remaji rambutnya wangi setelah shampoan di sungai, cantik dan rupawan. Ngumpul bareng sesamanya sambil ngobrol ngalor ngidul. Cukup di ruang tamu, bukan di pinggir jalan atau cafe.

Yah begitulah, semua orang punya cara untuk menghibur dirinya masing-masing... mengkompensasi dirinya setelah hari-hari lelah belajar atau bekerja. Sifat alami manusia yang dipadu dengan tanggalan Romawi. Sunday, hari yang bersinar-sinar, memanjakan diri di bawah sinar matahari (lah kok jadi keinget sama bule yang ngejemur di pantai yah saya sekarang?)

22 Juni 2012



Dear friend... mungkin suatu saat tulisan ini bisa mengingatkanmu kembali bahwa pernah ada suatu masa, suatu saat dimana kamu agak desperate... tidak punya uang, ingin sekolah S2 tapi tidak mampu bayar test IELTS untuk prasyarat, punya pacar cantik yang tidak mampu kamu traktir makan mewah, serta punya motor yang tidak mampu kamu servis rutin sebab masalahnya sama – agakj ga punya duiiittt!

(Sori, pengen nulis benar-benar desperate – cuma akan melemahkan arti kata “benar-benar” – so mari kita pergunakan kata “agak” saja ya kali ini – walau bisa juga digolongkan bahwa agak ini cenderung ke arah cukup terasa desperatenya sampai ke bau keringat).

Kamu harus ingat, pernah bersama-sama pacarmu yang cantik itu naik bis ke Jakarta, pergi ke konsultan pendidikan di daerah Slipi untuk bertanya-tanya bagaimana mengorbankan diri agar bisa menyelundup ke New Zealand dengan dalih kuliah – agar bisa jadi koki setelah lulus. Itupun tidak mampu karena kamu tidak punya uang 56 juta, plus biaya hidup satu tahun  untuk jaminan.

(Sebab walaupun ada tabungan sekitar 50 juta, namun tidak berani bunuh diri di NZ, karena baca komen kaskuser kelompok Indonesia di NZ yang menyatakan hati-hati kena deportasi – serta laporan orang Indonesia nekat di Auckland yang duitnya tinggal buat 1 minggu lagi setelah nekat masuk cari kerja lewat visa turis, dan terakhir nasehat dari yayang kalau masuk dengan modal segini sama artinya dengan bodoh dan tidak peduli dia dan keluarganya).

Atau pernah juga kamu pergi sendirian dengan ragu ke kedutaan-kedutaan asing, demi mendapatkan secercah harapan akan informasi beasiswa. Sepanjang jalan peluh bercucuran karena menghemat uang ojek dan taksi di Kuningan, dan berteduh di counter ATM BCA sekedar memeriksa uang dan mendinginkan muka – mengharapkan baju agak kering agar tidak malu saat disapa gadis Finlandia yang kau jawab hanya yes – thank you, saat ia memberikan penjelasan mengenai sekolah di rumahnya. 

(Gadis Finland nya cukup cantik dan ramah serta masih muda, sayang tidak bisa memberikan informasi beasiswa – tapi cukup memberikan semangat bahwa masih ada yang care sama makhluk aneh dan norak ini).

Pameran-pameran pendidikan kamu hadiri, bertekad kalau saja ada secercah harapan untuk pemuda miskin seperti kamu yang tidak berprestasi secara IP. Pulpen-pulpen gratis kamu ambil dari meja panitia, menghibur diri kalau minimal inilah hasil real yang bisa dibawa pulang – bahwa akhirnya di kantor tidak akan kehabisan pulpen lagi sementara waktu. (Sedih kalau IP cuma 2,70 karena tidak mengulang mata kuliah yang dapat D karena idealisme kerja yang bilang “kalau kerja yang dilihat adalah semangat dan hasilnya, bukan IP” yang menyebabkan saya banyak gagal melamar pekerjaan di 2 tahun pertama karena kalah saing dengan pemilik IP besar).

Yah, suatu saat saat kamu sukses, ingatlah bahwa ini pernah terjadi. Dan kamu terpaksa membungkus telur rebus sarapan pagi di hotel agar bisa dimakan malam hari demi penghematan uang tak seberapa. Ya, mungkin nanti suatu waktu kamu akan tertawa, tapi tidak sekarang.

Tentang Awah (lagi)

Tulisan ini saya buat setelah Lebaran 2012 lalu.


Ini tentang kisah tentang si Awah (lagi). Masih ingatkah kamu tentang pembantuku ini yang agak malang namun baik hati dan tidak sombong ini? Please read my previous story

Kisah ini adalah kisah kebahagiaan si Awah yang bercampur dengan duka, di liburan Lebaran 2012 ini. Rasanya si Awah rada seneng nerima bingkisan dari kami yang super gede plus THR nya (kurang gede). Di dalam bingkisan itu kami masukkan: minyak goreng 2 lt, gula 2 kg, biskuit 1 kaleng besar, permen-permen, 1 botol sirup, teh 1 dus kecil, dll dll. Mungkin saya rasa cukup menghibur ya dan rasanya sih masih kurang kalau dibanding ma jasanya membantu keluarga kami, dari membersihkan rumah sampai menyetrika baju-baju kami sampai rapih.

THR nya saya bilang kurang gede – yah soalnya gimana ya, keluarga kami memang terbatas dalam memberikan gaji, dan akibat keterbatasan itu maka si Awah bekerja ½ kali part time saja. Masuk jam 7 pulang jam 10 atau 11 kira-kira. Berdasarkan asas etika maka saya tidak bisa menyebutkan gaji si Awah di tulisan ini; tapi saya rasa cukup fair lah.

Nah kisah ini terjadi, cerita si Awah saat ia bersama keluarganya hendak bermain-main ke Jakarta. Biasa, mumpung Lebaran so si Awah yang orang Bogor ini rupanya hendak bertamasya ke Jakarta. Saya tidak tahu kenapa tidak pergi ke mertua atau saudara-saudaranya ya... mungkin sudah dilakukan pada liburan beberapa hari sebelumnya karena sama-sama orang Bogor, dan kesempatan ini doi mengajak keponakan-keponakannya untuk melancong ke Jakarta.

Bagi sebagian orang mungkin sama sekali tidak istimewa untuk pergi ke Jakarta. Tapi bagi Awah, pergi ke Jakarta adalah sesuatu yang spesial, ia mengatakan itu kepada saya. Terakhir beliau pergi ke Jakarta adalah bertahun-tahun lalu (ia tidak menyebutkan secara pasti tahunnya tapi saya asumsikan antara 5 sampai belasan tahun lalu).

Memang rumah si Awah tidak jauh dari rumah saya di Bogor Baru, masih wilayah kota. Tapi percayalah, banyak orang yang jarang sekali pergi ke ibukota walaupun sebenarnya cukup membayar Rp 2500 untuk naik kereta listrik, karena begitu sibuknya mereka bekerja, mengurus keluarga, mengurus hidup masing-masing sehingga tidak ada waktu untuk bersantai dan berekreasi. Lebaran biasanya menjadi momen berbahagia bagi mereka karena kesempatan ini adalah waktu berkumpul, membanggakan dan meninggikan diri dengan memberi angpau kepada keponakan dan menjamu tamu dengan kue kering, bersilaturahmi dengan sanak saudara yang datang dari jauh... intinya membahagiakan diri sendiri dan keluarga. Sebuah kisah yang membahagiakan.

Untuk membagi kebahagiaan ini, Awah pergi naik kereta bersama keponakan-keponakannya. Saya rasa keponakan-keponakannya pun sama dengan si Awah yang naik jarang naik kereta sebab dari cerita selanjutnya saya tahu kalau semuanya bingung kalau naik kereta.

Dari Bogor, mereka memilih kereta ekonomi, dengan tiket seharga Rp 2500. Murah meriah dan full AC (Angin Cepoi-Cepoi). Nah sedihnya, ternyata mereka salah memilih kereta. Yang dipilih adalah kereta Commuter dengan AC beneran yang harga tiketnya adalah Rp 8.000 per orang. Mungkin Anda tidak percaya kalau ada orang yang tidak engeh kalau salah naik kereta – wong jelas berbeda naik AC dengan yang ekonomi – cuma kejadian ini terjadi dengan si Awah. Mungkin karena terlena dengan sejuknya pendingin udara dan angin dari kipas angin, maka kelompok ini tetap lanjut, dan berhenti di terminal Manggarai... lalu ditangkap oleh petugas kereta api saat pemerikasaan.

Dasar orang lugu ya? Kalau saya yang ditangkap jalan keluarnya mudah. Ya tambah aja duitnya supaya sama dengan tiket AC, atau diturunkan di stasiun berikutnya – sambil ngotot ga mau bayar denda. Kalau kita ngotot ga punya duit daripada berantem petugas pasti milih alternatif kedua, kalau yang kesatu engga mempan.

Orang lugu yang memang bersalah ini tidak terbiasa dengan sikap preman yang kadang berhasil. Setelah diancam, si Awah dan rombongannya menyerah tanpa perlawanan. Yah tau sendiri, gampang banget membuat orang lugu menyerah – dengan sedikit ancaman, dan dengan menginformasikan undang-undang perkeretapian, digiringlah si Awah dengan rombongannya ke pos petugas KA.

Si Awah lalu menangis, sebab tentu saja merasa takut dan sedih liburannya yang disusun terancam gagal. Si Awah juga menangis sebab tambah takut di pos petugas KA didiamkan selama beberapa saat. Pressure by time dan main karakter kata saya seh nih petugas...

“Saya bayar deh Pak, berapa aja... yang penting saya jangan ditangkep.” Begitu kata si Awah memelas (kayanya) kepada petugas KA di pos.

Saya rasa petugas di pos senang sebab mangsanya yang lugu ini memang terlihat belum berpengalaman soal dunia premanisme, dan lenyaplah Rp 50.000 dari saku si Awah untuk menebus kesalahannya ngambil kereta yang salah.

Saya ga tau cerita selanjutnya. Mungkin si Awah dan rombongannya main ke mall, ke pasar, atau ke Monas ngeliat cobek ala Ir Sukarno soalnya ngedenger ia cerita sambil rada tidur-tiduran pagi.

Yang saya denger lagi adalah peristiwa saat ia mau pulang. Nah loh kok bisa, kena denda lagi di Stasiun Bogor dan hilang Rp 50.000 lagi? Denger deh kata dia – soalnya saya pikir kalau naek yang AC sama aja – AC nya juga ga ada – cuma pake kipas angin, bener ga Neng? Jadi saya pilih yang ekonomi aja Rp 2500.

Lalu kenapa dia naek yang AC lagi ya dari Cawang ke Bogor? Yang ini saya ga habis pikir dan dengan upaya mandiri, belum berhasil menemukan jawabannya. Mungkin saya perlu bertanya lagi secara lebih detail kepada si Awah... kenapa sih udah kena denda kok bisa-bisanya mengulang kesalahan lain dan kena denda lagi... sebab secara logika saya tidak menemukan jawabannya.

Bisa jadi saya akan menemukan jawaban yang sederhana dan jauh dari kerumitan pemikiran saya.

Intinya kadang hidup bisa meleset dari logika yang kita pikirkan matang-matang.

Jadi, sekarang saya sedang menunggu cerita besok pagi, minta penjelasan dari si Awah kenapa dia bisa kena denda sampai 2x Rp 50.000. Bisa jadi malam ini saya tidur kurang nyenyak sebab belum ketemu jawaban sederhana dari kelakuan si Awah ini.

Senin, 13 Agustus 2012

Hard Choice

Pernah nga, merasa di persimpangan jalan... tanpa tahu apakah harus mengambil jalan berikutnya ke kiri atau ke kanan karena so little clue?

Ini yang terjadi dengan hidup saya beberapa hari ini. Would I stay atau would I leave? Dan dua-duanya sama-sama tough question.

Apakah saya harus meninggalkan tempat dimana saya merasakan suka dan duka bersama-sama setelah lebih dari 5 tahun, atau pergi berlayar ke tempat asing untuk menemukan harapan-harapan di tanah baru?

Rabu, 08 Agustus 2012

In the Morning

In The Morning
Songwriters: GIBB, STEVE


In the morning when the moon is at it's rest,
You will find me at the time I love the best
Watching rainbows play on sunlight;
Pools of water iced from cold night, in the morning.
Tis the morning of my life.

In the daytime I will meet you as before.
You will find me waiting by the ocean floor,
Building castles in the shifting sands
In a world that no one understands,
In the morning.
Tis the morning of my life,

In the morning of my life the
Minutes take so long to drift away
Please be patient with your life
It's only morning and you're still to live your day

In the evning I will fly you to the moon
To the top right hand corner of
The ceiling in my room
Where wll stay until the sun shines
Another day to swing on clothes lines
May I be yawning
It is the morning of my life
It is the morning of my life
In the morning
In the morning
In the morning


Well, begitu indahnya lagu ini buat saya. Didengarkan oleh saya dari dulu lewat speaker besar Om Oweh, dengan tape jaman dulu yang tebal dan penuh kenop-kenop yang tidak saya mengerti fungsinya, lagu ini selalu terngiang-ngiang di kepala saya.

Katanya... In the morning of my life the minutes take so long to drift away. Please be patient with your life. It's only morning and you're still to live your day.

I need that.

Rabu, 01 Agustus 2012

Kemping Pertama (Minimalis Mode: On)


Yah – yah – yah... setelah saya mengudek-udek isi laci saya yang banyak isi fotonya, untuk mencari foto-foto di Shamadi Shalom Cipanas yang saya dapati malah beberapa buah foto dalam 1 album kecil, yang berisi tamasya kami ke Perkebunan Ciliwung bulan Februari tahun 1996.

Boleh saya katakan ini kemping perdana kami, waktu itu saya masih kelas 1 SMA di Regina Pacis Bogor. Dan sehubung ini kemping perdana kami boleh dong kalo kami melaksanakannya dengan sederhana dan sedikit ga berkualitas?

Yah, ini bisa disebut kemping pemberontakan (saya merasanya begitu) untuk keluar dari pakem kalau yang bisa kemping waktu itu adalah kalau hanya di bawah naungan kelompok pecinta alam saja (waktu itu saya hanya junior saja, jadi berstatus tunggu ajakan senior-senior yang incapable untuk melakukan kemping; dan jadinya ga pernah kemana-mana). Dengan modal survei yang sama sekali engga memadai kami saya dan Crisa memutuskan kalau tempat ini bisa dipakai untuk kemping.

Resa, Henry, Citra dan Crisa
Jadi kemudian bersiap-siaplah kami, dengan ransel berangkat menuju Perkebunan Ciliwung di Puncak yang letaknya di sebelah kiri jalan dari perkebunan teh Gunung Mas. Waktu sudah sore waktu kami tiba di tempat itu. Ijin kami dapatkan dari penjaga kebun, dan setelah jalan-jalan sedikit kami menemukan bahwa tempat yang kami tuju tidak tepat untuk diinapi. Kami lalu meneruskan perjalanan kami, agak menanjak di perkebunan teh, melewati sungai kecil dan  hutan kecil yang tidak terlalu rapat sambil foto-foto sekedarnya mengabadikan penjelajahan kami sambil membayangkan film Indiana Jones.

Tengah asyik-asyiknya mencoba menerobos rimba, tiba-tiba mentoklah kami berhadapan dengan pagar kawat ayam bolong.

“Terobos ga neh?" Tanya saya kepada Crisa, Resa dan Henry – semuanya teman saya di SMA.

Resa dan Citra yang saya ingat tidak suka pikir panjang tentu saja mengiyakan. Kalau Crisa dan Henry saya lupa jawabannya, tapi sepertinya tidak jauh dari persetujuan yang menggebu-gebu juga.

Dan lewatlah kami, menerobos masuk pagar kawat ayam itu. Tak sampai beberapa detik kemudian terperangalah kami, sebab yang kami lewati tiba-tiba berubah jadi sebuah resort, vila yang indah permai di dalam hutan tersebut. Jalan diaspal, rumah-rumah kayu putih, beberapa mobil serta water heater di atas atap. Walah salah jalan ini mah saya pikir... cuma karena sudah kepalang kami lanjutkan saja lenggang kangkung di perumahan mewah tersebut.

Sialnya, perjalanan kami tidak bisa diteruskan. Tergopoh-gopoh seorang satpam berbaju biru berjalan dan langsung menemui kami. Singkat kata, kami harus balik arah sebab katanya resort itu milik jendral. Halah emang ini jaman orde baru so kalo ingat-ingat masa itu kalau sebuah lokasi di claim milik jendral enyahlah cepat-cepat atau benjutlah kami digaplokin tanpa bisa lapor polisi. Ini jaman representatif Bung.

Dah mirip ma yg di cover kaset belom ya?
Dengan murung kami turun kembali ke bawah, kembali melewati sungai kecil sementara hari sudah semakin sore.

Sebagai kepala rombongan dan inisiator penjelajahan ini, saya mengarahkan agar kali ini perjalanan diarahkan tetap pada wilayah Perkebunan Ciliwung, namun ke arah yang lain. Saya tidak memilih Perkebunan Gunung Mas - tinggal nyebrang jalan raya saja sebenarnya - karena saya tahu persis di dalamnya adalah sudah menjadi kawasan wisata yang perlu membayar tiket masuk, termasuk lokasi kemahnya yang walaupun jelek tetap saja berbayar. Ga worthedlah waktu itu fasilitasnya, lagian dimana seni menjelajahnya saya pikir?

Langit mulai kuning memerah saat kami mulai menanjak di kebun teh. Matahari mulai tenggelam perlahan-lahan dan rona merah yang menjadi penanda saat sang surya tenggelam menghibur kami, anak-anak SMA yang berjiwa luhur.

Sehubung waktu itu malamnya adalah malam takbiran, dan puasa sudah selesai – cepat-cepatlah kami sebelum hari benar-benar gelap memilih lokasi untuk menginap. Setelah pusing mencari sana-sani tempat terlindung sesuai buku pedoman Survival Navy Seal berbahasa Inggris, kami memutuskan kalau tempat terbaik hanyalah sebidang tanah kosong, mungkin bekas tempat menimbun teh bagi para pemetik teh. Tidak apropriate namun diputuskan bahwa tempat itu adalah yang paling OK sehubung hari sudah mulai gelap dan rasanya di kebun teh agak susah mencari pepohonan besar sebagai naungan terkecuali kami berjalan sampai batas hutan di luar perkebunan.

Tidak ada yang kami persiapkan selain menggelar ponco, itupun hanya 2 ponco saja: saya dan Crisa. Citra yang pengendara motor tidak bawa (rasanya sih sengaja karena malas – dicirikan dengan bawaannya di ransel yang minim seminim-minimnya). Kalo Resa dan Henry memang tidak punya, walau Resa anggota pencinta alam juga.

Yah lalu bisa dibilang kami menghabiskan bekal, mondar-mandir di sekitar lokasi dan agak malam saya menyalakan senter rechargeable saya (keren banget waktu itu saya pikir karena jarang-jarang yang punya senter rechargeable ukuran kecil yang bisa jadi lampu penerangan juga :) .

A Time To Kill (1996)
Kami main kartu, bolak-balik tiduran, makan snack, bikin indomie, ngobrol ngalur-ngidul ngejelek-jelekin guru, berpikir bebas seperti seakan-akan tidak akan pernah bekerja dan hidup susah di kemudian hari.

Beberapa gelombang orang yang merayakan takbiran melewati kami sambil diiringi tetabuhan. Saya menebak, jangan-jangan ada perkampungan di atau Masjid di depan kami, setelah hamparan kebun teh ini.

Ga lama jam 9 an dah pada mau bobo, en memandang bintang di kejauhan. Ngobrol ngalor ngidulnya tetap jalan en sehubung gak ada HP waktu itu maka masing-masing ga sibuk sendiri melainkan cukup merubah topik. Kalo topik mengenai gigi si Resa udah ga seru maka bisa ngobrolin penindasan yang dilakukan oleh Citra sebagai senior kepada anggota-anggota beladiri THS bawahannya.

Wah ada yang salah rasanya mengenai memandang bintang di kejauhan dan mulai tersadari saat jam menunjukkan kira-kira tengah malam. Badan mulai menggigil karena hembusan angin dingin, dan walaupun badan diposisikan dalam bentuk melengkung seperti kucing, hawa dingin tetap menusuk menembus jaket. Kebetulan tidak ada sleeping bag yang kami bawa karena jaman itu jaman susah – jadi cukup lapis-lapis saja.

Saat jam 3 dingin tidak tertahankan lagi dan semua dari kami terbangun karena kedinginan. Bisa dibuktikan bahwa dalam perbedaan genetik dan budaya, kami tetap terbangun oleh hawa dingin yang sama. Citra dan Crisa penguasa ilmu bela diri, Resa si kuda, Henry yang jago gambar dan saya bertekuk lutut di bawah kekuatan alam: badan menggigil, gigi gemeretak, ujung-ujung jari dan telinga serasa membeku. Kami mengeluarkan segala perlengkapan namun semua hanya sedikit menolong.

Sampai matahari mulai muncul tidak ada yang bisa tidur, dan penderitaan kami sulit dijelaskan selain mengingat bahwa di lain kesempatan tidak mungkin kami akan mengulangi cara-cara bodoh ini lagi, tidur terbuka di pegunungan tanpa bekal apa-apa.

Pagi-pagi, dengan kebas-kebas di kaki dan sakit di punggung kami beres-beres. Sehubung tidak ada yang punya pengalaman jalan-jalan dan juga tidak ada yang kaya dan mampu mentraktir sesamanya (misalnya nerusin jalan-jalan ke Cibodas, makan-makan di resto Riung Gunung) maka kami memutuskan untuk mencuci muka kami di parit kecil yang dialiri air jernih di Perkebunan Teh Gunung Mas saja. Ya, setelah masak indomie, kami main-main sebentar ke perkebunan teh tetanggaan itu, lewat jalan pemetik teh guna menghindari pungutan tiket masuk si penjaga.

Ya, itulah pengalaman (tidak) menakjubkan kami yang menjadi pembuka petualangan-petualangan fantastik kami selanjutnya :)  . Perkebunan Ciliwung cuma stepping stone kan? 

And then go west guyz to a peaceful land !!! - kata geng hombreng "Village People." Ya, mungkin setelahnya kami berpencar, pergi ke tujuan kami masing-masing, tapi pernah ada suatu waktu dimana kami berkumpul di sini, di sebuah tempat bernama Perkebunan Ciliwung.

Selasa, 31 Juli 2012

Nulis in English about This Morning


Nulis in English ah...

Today is just a cold-cold day like it used to be. It is in the middle of a dry season in Indonesia and it almost 1 month without rain. Do you know that the lowest temperature in one year usually come in the dry season when there is no clouds in the sky? No clouds mean that only little heat being trap in the sky so when the night is come, there are only small amount of heat being release slowly from the cloud.

It’s different when we are in wet season, because usually there are many clouds that keep and release the heat slowly in the night.

After send some books to the school in the morning (Charma forgot to bring some of her stuffs yesterday) I went to Juanda street and took a look the wet market that almost close in the street of Suryakencana. The Pasar Bogor (or Bogor wet market) open from 10 pm to 7 am. You can find many things here – from vegetables, meats, coconut sugars, rices, fruits to traditional cookies.

I think to buy something in the market but I canceled it soon because I hardly find space for my motorcycle.

Well, that is all... just want to practice my English and hope someday I can use it to have my Master abroad. Wish me luck friends...

Guru yang Payah


Guru yang perlu dikasihani Ibu R ini. Betul, beliau ini perlu dikasihani bukan dalam rangka sakit-sakitan, atau gajinya kecil dan mengajar di tempat terpencil, namun karena sudah sampai setua ini namun tidak juga menjadi bijak dan tetap di bawah rata-rata seperti keadaan 17 tahun yang lalu.

Ibu Rb ini adalah guru fisika SMP saya, yang punya peran signifikan dalam membuat saya menyerah kepada rumus-rumus fisika yang sebenarnya saya cintai terutama dalam bentuk ilmu astronomi. Beliau atau saya sebut saja dia karena saya kurang hormat dengan guru ini adalah seorang guru yang senang mengajar dengan muka cemberut (mungkin juga karena mukanya jelek) dan pilih kasih, kalau ke murid yang sudah pintar dari sananya maka ia akan baik hati, tapi kalau ke murid yang cuma setengah-setengah seperti saya maka judesnya minta ampun.

Saya ingat suatu waktu pernah dalam ulangan umum nilai fisika saya adalah 10 alias sempurna (satu-satunya pencapaian terbesar saya di SMP, dan tidak pernah terulang lagi seumur hidup) – namun di raport saya tengok nilai saya malangnya cuma 7. Padahal ulangan harian saya pun ga jelek-jelek amat di atas nilai 7. Malas belajarlah saya sejak itu karena hasil kerja keras saya dan metode kalkulasi kemungkinan benar saya di bagian silanglah kurang dihargai oleh guru. Saya rasa ia menuduh saya sebagai pencontek sehingga tidak patutlah nilai saya menjadi lebih baik.

Yang mau saya bahas bukanlah karena cara mengajarnya yang buruk, dengan muka cemberut tidak happy karena berat jodoh mungkin waktu itu, atau judesnya yang tidak memberikan pencerahan pengetahuan bagi para murid SMP saya di Bogor waktu itu – namun karena hari ini saya bertemu dengan guru ini, sama-sama beli mie ayam di depan eks SMA saya karena mungkin kalo beli di tempat lain susah karena lagi jaman puasa.

Ini adalah intisari kumpulan percakapan yang saya susun dalam bentuk point, sebab saya sedang ga mood menuliskan bentuk percakapan:
  • Angkatan berapa ya? (tidak tahu nama saya dan tanpa mau bertanya nama sampai percakapan berakhir 10 menit kemudian – apa susahnya sih ya nanya nama kalau tidak tahu?)
  • Kalo kerjanya di LSM gajinya berapa? (ihhh comel amat mau tau urusan gaji orang laen – kenal dekat aja kaga – jengah ga sih sama orang yang baru ketemu lalu nanya gaji kamu berapa?)
  • Itu gimana caranya supaya yang buang sampah ke selokan bisa ga buang sampah ke situ lagi – bikin selebaran kamu kan bisa? (lah ngegampangin amat seh kerjaan saya di LSM, apa ga sering baca koran kerjaan LSM2 lingkungan itu banyak juga ga cuma mungutin sampah atau belum dapat pencerahan selama 17 tahun mengajar bahwa persoalan tidak dipecahkan hanya bikin selebaran?)
  • Bang, mie ayam dua Bang... (ini kalimat paling normal dari dia)
Jadi ga minat dan ilfil emang ma guru model gini, yang sekarang ngajar di SMP xxx di Bogor sejak 2006.

Yang namanya guru, sok atuh belajar:
  1. Ramah dan bersemangat mengenal siswa. Minimal kalo engga kenal berusaha bersahabat, dan bukankah guru yang baik adalah guru yang juga bisa bersahabat dengan murid-muridnya?
  2. Tau mana yang sensitif dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi – juga kalau mengajar tidak sekedar mengajar menyampaikan pelajaran secepat-cepatnya.
  3. Sering belajar, membaca buku dan melihat suatu persoalan dari berbagai sudut pandang, tidak bloon seperti belajar di SD – ini Ibu Budi dan ini si Amir. Mau berkembang.
  4. Makan mie ayam boleh berarti merakyat tapi perilaku ga boleh kampungan dan norak. 
Ini model guru kok sama dengan Y dari SMA sejenis yang picik dan norak minta main kongkalikong buat ngurus wisata para pelajar (saya ceritakan kalo saya punya waktu nulis). Atau dulu ada Pak Dsms di SD saya Bogor tahun 90an awal yang suka ngegetok dan nyubit anak-anak SD tanpa kesalahan yang berarti. Saya sering mengalami keram di perut kalau mau masuk pelajarannya. Jahat banget ni guru.Pada diseleksi ga seh buat jadi guru-guru di sekolah ini? Kok kelakuan pada banyak negatifnya ya?

Walah kok guru tak patut digugu dan ditiru sih?

Jumat, 27 Juli 2012

Bola, Bentuk yang Sempurna


Saya selalu menyukai bentuk bola, lebih dari menyukai bentuk kotak, segitiga, kubus, prisma dan lain-lain.

Bola bagi saya adalah lambang bangun 3 dimensi yang mendekati kesempurnaan bentuk, kemisteriusan, sederhana sekaligus sangat rumit. Indah luar biasa.

22/7, atau phi atau 3,14 sekian sekian yang tidak pernah bisa diurai komputer manapun sampai hari ini – bentuk kesempurnaan sejati dari tiada batas. Cobalah membagi 22 dengan 7, dan saya yakin sampai hari kita dipanggil kembali oleh yang di atas dengan menggunakan kertas, dengan superkomputer atau apapun hasil pasti pembagian itu tidak akan pernah kita temukan (well, at least until now gada komputer yang berhasil ngitung phi ini).

Kalau temanku pembaca adalah orang yang baik, bolehlah menjelaskan kepada saya bagaimana mendapatkan pecahan 22/7 untuk konstanta lingkaran, bentuk 2 dimensi dari bola – karena saya sampai saat ini belum mendapatkan informasi yang mudah saya pahami mengenai 22/7 ini. Please kalau pembaca menemukan informasinya, send me an email ! I will be very grateful  !

Bola adalah bentuk kesempurnaan. Planet-planet berbentuk mendekati bola, tetesan air embun saat jatuh berusaha membentuk bola.
 
Kemudian saya menemukan pula untuk diri saya sendiri bahwa grafik terbaik adalah berbentuk bola pula.

Pola saat ini, grafik dengan koordinat x, y, z tidak mampu untuk memuaskan dahaga saya akan pengklasifikasian berdasarkan 3 faktor penentu. Saya selalu merasakan 3 faktor penentu adalah terlalu sedikit, sehingga grafik yang baik adalah sebagai berikut:

 
 
Kalau saya teruskan faktor-faktornya secara tak terhingga maka kemudian akan mengisi, sampai berbentuk seperti bola...

 Well, gambarnya kurang memuaskan seh... cuma maksud saya adalah dengan ketakterhinggaan faktor penentu, maka bolalah bentuk yang paling memuaskan. Bola memang sempurna.



Rabu, 25 Juli 2012

Teori Alam Semesta (1)

Teori alam semesta menurut saya...

Pertama, alam semesta milik kita saat ini merupakan bagian dari alam semesta lain yang lebih besar (seperti sebuah atom pada sebuah materi), dan demikian juga alam semesta kita merupakan induk dari tak terhitung jumlahnya alam semesta lain yang lebih kecil. Saya sih bayanginnya gini aja... kalo atom yang disangka paling kecil dapat dipecahkan lagi, en dibuat mikroskop dengan pembesaran tak terhingga maka maybe kita bisa melihat makhluk-makhluk aneh di dalamnya (dgn berasumsi bahwa waktupun bisa diperlambat sehingga semuanya dapat dilihat dengan lambat sekali).

Kedua, awal kehidupan adalah tidak ada. Saya mikir neh, kalo-kalo aja di semesta kita ini banyak lubang-lubang lain menuju semesta lain, sehingga pararel. Benih kehidupan bolak-balik berjalan-jalan antara dunia pararel itu sehingga kepunahan dan kehancuran pada suatu semesta tanpa kehidupan adalah sementara. Artinya pada saat satu semesta hancur dan tanpa kehidupan, tinggal menunggu waktu saja sampai suatu lubang tercipta dan benih kehidupan dapat kembali kesana lagi. Walau saya rasa waktu yang dibutuhkan saangggaaattt lama, tapi ini tetap akan terjadi.

Bayangkanlah seperti  sebuah gedung dengan banyak kamar di dalamnya dimana kadang-kadang kamar itu kosong, lalu diisi lagi oleh sesorang / dua orang / 3 orang yang selalu berpindah-pindah kamar di dalam gedung itu.

Ketiga, kalau sebuah benda, melewati kecepatan cahaya, maka benda itu akan menuju ketidakterhinggan dalam alam semesta, kemudian menembus dunia-dunia pararel atau menembus dunia yang lebih besar di atas kita (karena semesta kita adalah bagian kecil dari semesta lain). Nah masalahnya gimana memperlambat laju sehingga kurang dari kecepatan cahaya lalu berhenti pada satu alam semesta tertentu?

Udah dulu ah, nanti disambung lagi...

My Dream :)

Impian saya:
- Pergi ke Tibet / Nepal, hidup n gembalain yak disana
- Jalan kaki dari Bogor ke Bandung
- Pergi ke Paris n kunjungin museum-museum di sana
- Main ke Dufan sama-sama, dari pagi sampai malam lalu diulang lagi besok
- Pergi ke Papua, hidup bersama masyarakat 3 bulan di sana
- Mengunjungi Kalimantan, hidup bersama masyarakat Dayak - sudah, dengan masyarakat Melayu, n sedikit Dayak
- Ngambil S2 di New Zealand atau Canada
- Tinggal di New Zealand dan Canada, masing-masing 2 tahun
- Berpenghasilan cukup besar, minimal 20 juta menurut kurs hari ini (standard Indonesia)
- Backpacking ke Indocina bersama Lizbeth: Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Myanmar, lalu Bhutan, Nepal dan India
- Makan Gaya Tunggal 2 piring
- Nginep bersama Lizbeth di rumah kayu yang sepi di hutan - seminggu
- Jalan-jalan sama keluarga ke luar negeri
- Belajar main biola
- Berendam kaki pake air hangat di Kebun Teh di Puncak
- Main ski di pegunungan bersalju
- Menaklukan Gunung Kinabalu
- Menjelajah Afrika dengan mobil jip
- Membuat desa yang mandiri, mengundang orang2 untuk bertani dan hidup sejahtera
- Makan bihun si akong (boleh berkali-kali)
- Pergi ke luar angkasa, melihatr bumi dari kejauhan
- Menikah dengan Lizbeth
- Punya resor di bawah laut
- Pergi dengan Lizbeth ke Bangkok, Chiang Mai

Siapakah tuhan-Tuhanmu?


Mau agama apa: Katolik, Kristen, Islam, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, terserah. Kita bisa jadi sama, namun juga tidak sama dalam ber-Tuhan.

Agama dan Tuhan tidak sama dan tidak berhubungan secara linear.

Menurut saya, pertama kita harus mengenal dua buah kata, yaitu divergen dan konvergen. Saya ingin menjelaskan dari kata-kata sendiri: yang satu, divergen menjelaskan bahwa sesuatu bisa jadi sama pada awalnya, dan kemudian memencar menjadi tidak sama. Seperti lensa cekung yang menghamburkan cahaya. Sedangkan konvergen menjelaskan bahwa sesuatu bisa jadi tidak sama pada awalnya, dan kemudian berkumpul menjadi sama. Seperti lensa cembung yang mengumpulkan cahaya.

Agama dan Tuhan saya anggap seperti itu.Tidak serta merta sesama agama adalah memuja Tuhan yang sama, dan tidak serta merta yang berbeda agama memuja Tuhan yang berlainan.

Saya punya teman, agama Kristen yang percaya kalau keselematan adalah hanya untuk penganut agamanya sendiri. Saya juga punya teman Islam yang berpendapat bahwa selain agama Islam adalah kafir dan sudah haknya mendapatkan tempat di Neraka yang terdalam.

Kedua-duanya memuja tuhan yang berkualitas sama bukan?

Saya juga punya teman, beragama Budha yang lembut dan penuh kasih. Menyakiti semut saja tidak mau, memindahkan sang semut ke tempat yang lebih aman saat akan menaruh piring makannya. Saya punya teman beragama Islam yang tidak mau pergi naik Haji katanya, sebelum di sekelilingnya yang kelaparan kenyang dan semua yang miskin bisa berbahagia. Saya pikir bisa tidak Naik Haji sampai tua dia.

Bukankah mereka berdua punya Tuhan yang sama, yang penuh belas kasih dab rela berkorban?

Mungkin kamu tahu dengan baik pepatah “buah tak jatuh jauh dari pohonnya.” Ya, saya mengibaratkan hal yang sama tentang Tuhan... Tuhan adalah buah pemikiran, dan siapa Tuhan kita dinyatakan lewat tindakan-tindakan kita.

Jadi saya menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan kasihnya dengan perbuatan dan amal-amal baik adalah orang-orang yang mempunyai Tuhan yang sama, apapun agama yang dianutnya. Orang yang menyatakan kasihnya dengan mengancam orang lain, berbuat jahat, mempunyai tuhan yang sama, apapun agama yang dianutnya.

Di sela-sela, di atas dan di bawahnya juga terdapat orang yang memiliki level tuhan-Tuhannya masing-masing.

Saya percaya bahwa Tuhan adalah evolusi pikiran yang terus berkembang tingkatannya, dari bawah berupa tingkat dasar (atau setan) sampai ke-Tuhanan itu sendiri, dan tidak berhubungan dengan agama atau kepercayaan apapun.

Seberapa mulia dan agung Tuhan di dalam pikiranmu, ditunjukkan dengan tindakanmu padaku.

Rabu, 11 Juli 2012

Jaman SMA


Lagi ngeliatin foto anak-anak SMA Recis di laptop, pas mereka kemaren acara di hutan, hati ini bercampur antara haru, agak sedih dan pasrah. Lebai banget ya – kenal juga engga padahal?

Tapi melihat mereka saya teringat kalau saya pernah menginjakkan kaki dan belajar juga di SMA Recis selama 3 tahun, dan melihat mereka kenang-kenangan masa itu muncul kembali, yang tidak akan terulang walau saya melihat foto-foto itu berulang kali. Masa SMA - masa yang indah walau tidak enak.

Dilihat dari gaya, setidaknya gaya mereka sama. Nampang, berangkulan, tertawa senang, pakai pakaian yang trendi, dan sudah pasti tidak cocok dengan keadaan di hutan Bodogol. Yang perempuan manis dan cantik. Yang laki-laki keren dan gagah. Inilah masa-masa berpacaran, saat hormon memuncak dan bodi belum rusak karena kurang olahraga. Yap, betul – ini adalah masa-masa dimana serangan jantung, stroke belum muncul dan tidak perlu berpikir stres memikirkan kehidupan. Di masa ini stres adalah jika kamu naksir cewek tapi ga pernah berani nyatain cinta, lalu dia direbut orang.

Yah mikirin yang terakhir itu saya jadi ga mau kalau disuruh kembali ke masa SMA. Yang terakhir itu membuat saya sengasara sekali karena saya adalah tokoh loser di dunia cinta SMA. Menyedihkan pokoknya. Menyedihkannya saya cuma bisa dikalahkan oleh tokoh2 nerds karena saya golongannya adalah setengah nerds setengah petualang, lebih high level dikit.

Jaman itu tatapan cewek taksiran serupa laser yang membutakan mata. Saya selalu membuang muka kalau ditatap oleh cewek taksiran saya. Menunduk, semoga tidak ketahuan kalau sebelumnya menatap. Hati deg-degan kaya mau copot kalau cewek taksiran mendekat, padahal boro-boro dia kenal saya.

Yah, tapi tau nga - masa-masa kekalahan ini akhirnya lewat juga, and what u know? Cewek yang saya taksir 17 tahun yang lalu, yang bahkan saya tidak berani tatap matanya 2 tahun yang lalu menjadi pacar saya, dan tahun depan kami akan menikah. 

Ga tau apa yang terjadi seandainya dulu saya sempat punya keberanian dan nembak dia? Apakah ceritanya akan sama?

Jadi, menjadi makhluk malang juga ada untungnya.


Senin, 09 Juli 2012

Jangan Jadi Miskin


Jangan jadi miskin, miskin dekat dengan kejahatan – begitulah.

Ya, bayangkan betapa rumit pergumulan hati saya sampai hari ini- apabila dalam keadaan kemiskinan sekarang, lalu ditawari pekerjaan lain dengan ongkang-ongkang kaki lalu dapat gaji kira-kira 7x lipat gaji sekarang.

Sudah sebulan pekerjaan tersebut saya coba tampik dan pending keputusan untuk menerimanya, semata-mata karena pekerjaan tersebut cukup berat dari sisi nurani saya- karena saya tahu akibat pekerjaan saya tersebut berdampak bagi hidup orang lain nantinya.

Sekitar sebulan yang lalu, saya sudah bertemu pemilik perusahaan- Komisaris Direktur dan Marketing Managernya sekaligus di sebuah cafe Starbucks, di sebuah jalan yang saya sudah lupa- namun di daerah Kuningan, sebab saya memang tidak familiar dengan Kota Jakarta.

Seperti biasa saya selalu kikuk dengan minum kopi di gerai Starbucks sebab harga 1 cup nya cukup mahal menurut ukuran saya, Rp 50.000,- seharga umumnya 5x makan pagi saya, nasi bungkus campur ayam goreng, tumis kangkung, kentang pedas dan mie goreng. Kepikiran juga saya, itu artinya saya bisa beli makan pagi buat si mami, si Bonum, si Charma, Lizbeth dan saya sendiri. Kalau salah satunya tidak ada bisa saya belikan buat si Awah-pembantu saya yang jarang saya traktir. Pasti semuanya hepi.

Pekerjaan yang ditawarkan hanyalah sebagai perantara pembelian tanah, sebagai komunikator dan pemegang kas Perusahaan, di Sintang - Kalimantan Barat. Sebuah pekerjaan tidak tertulis yang tidak pernah ada diiklankan di koran karena pemilihannya adalah berdasarkan kepercayaan semata, dan tidak akan pada struktru perusahaan. Jenis perusahaannya adalah perkebunan, walau saya tidak tahu bisnis besarnya karena biasanya perusahaan besar seperti ini mempunyai beberapa bisnis sekaligus.

Menyesal atau tidak-sampai saat ini saya belum tahu. Terbuka saja, kalau saya saat ini sedang mengalami pemotongan gaji dari Yayasan saya bernaung. Kira-kira terpotong 1 jura sebab Yayasan dalam keadaan tidak punya uang, agak bangkrut dan beginilah komitmen kami untuk tetap menjaga agar Yayasan tetap berjalan.

Jangan pikir bisa seenaknya pergi ke mall, nonton bioskop, makan mewah atau apapun lah. Bulan lalu saya sudah menggadaikan Logam Mulia yang saya tabung untuk keadaan darurat di Pegadaian- untuk kebutuhan sehari-hari, dari uang tahunan masuk sekolah, memberangkatkan mami n papi ke Bali (sudah dipesan tiketnya 1 tahun lalu so sekarang perlu dibekelin sangu), sampai hal-hal kecil seperti bayar ini bayar itu.

Sedih juga, sebenarnya pekerjaan yang sudah di depan mata tersebut tidak mengharuskan saya hidup susah. Berkecukupan banget malah.

Fasilitas yang disebut membuat saya ngiler: tiket pesawat PP yang bisa diatur, kontrakan rumah dengan AC dan Indovision, mobil 4 WD,  asuransi, bonus tahunan, dan lain-lain. Boro-boro masang Indovision di rumah, betulin pipa ledeng yang bocor saja susahnya bukan main karena keterbatasan dana.
.
Tapi nurani bicara, pembelian tanah berarti memindahkan kekuatan hidup seseorang, masyarakat kepada kita- menyedot energi hidupnya perlahan-lahan dan walaupun adalah sebuah kebebasan bagi sesorang untuk menjual tanahnya masing-masing, namun pengalaman saya beberapa bulan di bumi khatulistiwa memperlihatkan bahwa kehancuran sudah pasti pada sebuah desa yang menjual dirinya kepada perusahaan.

Banjir, hilangnya pekerjaan, terusir dari desa tidak memandang apakah tanah dijual kepada Perusahaan atau Taman Nasional. Sama saja- dua-duanya menyebabkan hilangnya nyawa sesorang secara perlahan.

Balik lagi, kemiskinan memang sucks!

Sementara yang coba berbuat benar terseok-seok dan saling menyenggol kakinya keplitek, yang kaya menjentikan jarinya dan berhektar-hektar tanah berpindah jadi kebun sawit. Beginilah dunia.


Rabu, 13 Juni 2012

Berbagi Cerita dari Dunia Legoland (Shanghai)

(Sayang ah dibuang tulisannya hehe... sori ngulang cerita-cerita sebelumnya, ini tulisan singkat buat publikasi terbatas - sori bahasanya agak formal)

Saya pikir sebagian dari kita pernah tahu sebuah permainan balok-balok plastik kecil berbagai ukuran dan bentuk yang bisa dipasang-pasangkan, dilepas kembali dan dinamakan Lego. Atau barangkali bagi yang belum pernah memainkan Lego mendapati ada permainan sejenis – yang memainkannya seperti Lego – baik dengan menggunakan balok kayu ataupun plastik, karena saya menemukannya juga (buatan Cina), dijual oleh si mamang di depan SD Sempur di Bogor.

Lego adalah permainan menarik, terutama bila biji-biji baloknya banyak (kalau sedikit mainnya tidak asyik). Kita dapat menyusun balok-balok tersebut jadi rumah, mobil, pesawat, gedung, jembatan dan berbagai hal lainnya, dan bila sudah selesai kita dapat memilih apakah meletakkan ciptaan kita di dalam etalase; atau kemudian membongkarnya kembali untuk dijadikan ciptaan kita yang lain lagi nantinya. Itulah kekhasan permainan Lego, dengan balok yang sama kita dapat menciptakan banyak hal berbeda. Dapat dicabut dan dipasang kembali. Jadi buat anak-anak yang pembosan, Lego adalah sebuah permainan yang menantang.

Yang dibutuhkan hanyalah imajinasi.

Maket downtown di Shangai Urban Planning Exhibition Center, maket seluas 1 lantai
Dan Shanghai adalah kota dengan imajinasi. Shanghai adalah sebuah Legoland besar yang disusun dengan perencanaan sangat matang, konsistensi luar biasa dan kerja keras dari pemerintah Cina bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan swasta dengan memperhatikan prinsip kebersinambungan (sustainable development).
Di saat kota lain seperti Jakarta susah payah membereskan persoalan angkutan metromini (yang mengepulkan asap kehitaman di belakangnya), banjir yang merendam Perumahan Kelapa Gading dan Kawasan Bisnis Sudirman, lahan hijau yang dijadikan SPBU dan tiang-tiang pancang Monorel yang menganggur sudah hampir 2 periode gubernuran maka Shanghai adalah sebuah dream come true.

Bagaimana tidak, setelah berjibaku selama 20 tahun – menurut sang Profesor, melalui training APLP (Asia Pasific Leadership Programme) di Shanghai, 4-8 Juni 2012 kemarin – maka sampailah Shanghai pada tahapan seperti saat ini.

Sepeda, efisiensi biaya dan energi di pinggir jalan
Dengan jumlah penduduk 16 juta jiwa (terbesar di Cina) bisa dibayangkan apa dayanya kota ini bila tidak dilakukan penataan yang serius. Sebagai perbandingan, Jakarta hanya dihuni oleh 10 juta jiwa saja.

Tidak saya temukan kemacetan yang serius, kecuali sedikit terhambat saat berkendaraan di sekitar kawasan pertokoan. Manusia berlalu lalang dengan menggunakan sepeda atau motor listrik, selebihnya menggunakan kereta subway yang selalu tepat waktu dan berbiaya murah, setiap 3-5 menit dan dengan jaringan yang amat kompleks menjangkau hampir seluruh kawasan Shanghai. Mau turun dari pesawat, lalu melanjutkan naik subway sampai ke hotel pun sudah tersedia jalurnya. Tinggal jalan 5 menit sampailah saya ke hotel, ga perlu diserempet metromini dan dipalak ma pengamen jalanan.

Pembicaraan mengenai green economy sebenarnya tidak terlalu menarik minat saya. Isu sustainable development seringkali dilihat oleh saya dari kacamata lingkungan, advokasi serta pendidikan lingkungan. Isu renewable energy sebelumnya saya lihat dari kemampuan masyarakat untuk memproduksi briket dari gabah atau serbuk kayu, dan saya sering menghindari pembicaraan mengenai penggunaan listrik, energi angin atau penggunaan lampu LED. Sorry, saya bukan orang teknik sebab dulu kapok diberi nilai 6 saja oleh guru elektronik dan fisika saya di SMA, yang ngajarnya semena-mena dan tidak peduli perasaan murid saat mengajar.

Mau tidak mau saya jadi tertarik persoalan green economy dan renewable energy ini, setelah mengikuti pelatihan. Saya mulai tertarik berpikir ke arah desain dan arsitektur juga, sebab saya melihat rumah-rumah dengan dinding vertikal yang diisi oleh tanaman bukan rambat di sisi-sisinya, gedung dengan lorong yang diterangi oleh lampu LED yang hemat energi, sampai penghematan lahan perkotaan dengan kebijakan pembangunan gedung vertikal.

Sedangkan pada sisi transportasi, Shanghai berada pada perkembangan yang baik dilihat dari penggunaan sepeda dan motor listrik dimana-mana, transportasi masal yang ramah lingkungan dan mengurangi kemacetan sampai titik maksimal.

Really sophisticated banget pokoknya jika dilihat dari sisi keinginan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan.

Saya kemudian mencoba mencari penduduk dengan tingkat kemiskinan tinggi, sebab saya pikir pasti pembangunan seperti ini memakan korban masyarakat miskin, tergusur atau terlantarkan. Namun alhasil saya agak kecewa sebab hanya menumkan 1-3 pengemis yang sedang duduk dan tidur di dekat gedung dan pertokoan yang mewah. Sampai kepulangan saya, saya belum berhasil menemukan kawasan slum area dan membuat saya menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan para penduduk miskin sudah ditempatkan secara baik pada gedung-gedung apartemen, atau bertempat tinggal di desa di luar kota Shanghai. Ga sempat tahu....

Keseriusan pemerintah Cina, juga ditunjukkan bukan hanya dengan pembangunan saja – khas Legoland, maka pemerintah juga berani membongkar pasang bangunan. Percaya atau tidak, jalan layang dengan panjang kilometer juga dibongkar untuk dijadikan kawasan yang lebih tertata dan hijau. Kalau sempat jalan di Jakarta, di Jalan Gatot Subroto – bayangkan saja kalau pemerintah DKI berani membongkar jalan layang di atasnya dan membuat pemukiman hijau. Ngimpi kali ye, apalagi ma Bang Foke, anaknya Bang Yos yang jadi Gubernur... Mikirin manjangin kumis terus seh dia...

Yah beruntunglah saya, sudah dipilih mewakili Indonesia di pelatihan ini dan dibiayai oleh Hanns Seidel Foundation... Secara presentasi materi, memang profesor-profesor di Univeristas Tongji ini mendapatkan keluhan mengenai isi dan metode mengajarnya. Too much data, should be presented more efficient, low interaction dll – tapi di lain sisi, apa yang dijelaskan bila diperhatikan lebih lanjut dapat dihubungkan dengan jaring-jaring kecil, seperti yang seharusnya sudah didapat lewat pelatihan ini – with Compas perspective begitu kata Robert Steele, mentor ESD (Education for Sustainable Development) saya disini.

Kudu ada NSEW (Nature, Social, Economy, Well Being) ceunah, kata Robert. Nah, maybe kalau dijelaskan metodenya  semua mengerti, namun pahamkah juga kalau di kehidupan sehari-hari bahkan kita harus jeli melihat bahwa jaring-jaring tipis ini juga sebenarnya ada di hal-hal yang bahkan kita tidak sukai? Dari pelatihan di Dunia Legoland, Indra melaporkan.

Senin, 11 Juni 2012

Jendral Mao (Shanghai 5)


Rasanya Mr Mao Zedong masih hidup dan memimpin Cina.

Itu kesimpulan saya selama di Shanghai, sebab memang pengaruhnya masih sangat kuat dan seakan-akan beliau masih hidup karena pengkultusan yang dilakukan orang Cina terhadap tokoh yang satu ini. Sebenarnya pengkultusan inilah penyebab rohnya tetap mendiami tanah Cina. Kaga terbang-terbang ke langit.

Mr. Mao
Mao Zedong atau Mao Ce Tung kata si papi adalah peletak dasar negara Cina komunis. Ciang Kai Sek, Jenderal lainnya adalah peletak dasar negara Cina republik (kalah, lalu menyeberang ke Pulau Formosa atau Taiwan dan selalu diklaim sebagai propinsi pemberontak sampai sekarang).

Kalau sempat jalan-jalan ke pasar, bisa kita temukan buku merah Mao dijual kepada turis-turis, baik yang berbahasa Cina maupun Inggris atau Perancis. Poster-poster lama meghiasi toko dan rumah makan di pinggir jalan, dan dalam training nampak bahwa paham-paham yang ditanamkan oleh sang pemimpin masih mendominasi kehidupan sehari-hari.

Saya berbicara dengan Robert Steele, mentor training saya... apakah ia satisfied dengan seminar yang ia adakan di Shanghai ini (mengenai sustainable development)?

Dan ia menjawab “I am not satisfied with this training.” Ia menjawab bahwa ketidakpuasannya juga bisa dilihat dari bagaimana peserta menghargai training ini, dari keterlambatan peserta, para pengajar yang tidak setiap saat ada di tempat sehingga tidak bisa memancing diskusi - tanya jawab, pengaturan waktu serta penggunaan metode satu arah yang “Chinnese typical.”

Saya mengusulkan kepada Robert jika saja bisa bahwa para pengajar “dibriefing” dulu lain kali sebelum memberikan presentasi sehingga lebih baik, namun Robert menjawab bahwa itu sudah ia lakukan dan mereka kembali ke kebiasaan awal, selalu.

Chinnese typical, artinya bisa saya simpulkan adalah keras kepala dan propaganda – menunjukkan yang terbaik dan kurang mengakui kekurangan Lebih bersifat satu arah. Chen Pu peserta Cina selalu menggunakan kata propaganda dibanding kata kampanye saat melakukan sosialisasi kepada masyarakat, begitu lapor Asyira peserta Malaysia kepada saya saat kami membicarakan bahwa saya mendapati bahwa nampak masyarakat / negara yang bangga terhadap dirinya ini sangat bersatu di berbagai hal - membahas penggunaan kata propaganda.

Saya juga terkagum-kagum saat mendengar dari training bahwa kota ini mampu merontokkan berkilometer jalan layang, menghancurkannya demi menata kota sehingga mendapatkan kembali daerah yang tenang dan indah - demi penataan kota yang baik. Jauh berbeda dengan negara saya, Indonesia yang tidak mungkin menata ulang apa yang sudah dikerjakan. Jembatan layang berseliweran, rel kereta yang tidak pernah bertambah, jalur monorel yang batu-batunya menganggur bertahun-tahun terbengkalai, galian kabel yang tidak ditutup sampai dipepet metromini sudah saya anggap makanan sehat bagi orang Jakarta. 

Jangankan menata kota, dengan menghancurkan yang sudah jadi.... membangun tonggak monorel saja tidak jadi-jadi.

Begitu mudahnya pemerintah komunis ini mengorganisasi masyarakat karena disini tanah tidak dimiliki secara pribadi melainkan menyewa kepada pemerintah. Suatu sisi komunisme yang menguntungkan, walau dilain pihak saya tidak tahu bagaimana menemukan win-win solution bagi masyarakat Cina yang tergusur. Apakah didiamkan, dibungkam atau diberi kompensasi yang setimpal?

Sepulang dari Shanghai saya mendengar bahwa puluhan orang yang berdemo damai memperingati tragedi Lapangan Tianamen dipukuli habis-habisan oleh polisi. Rupanya sisi komunisme ini memperlihatkan wajah buruknya juga. Setahu saya, kata-kata “lilin – tragedi – memperingati – Tianamen – dll” sudah diblock oleh pemerintah Cina... sulit ditemukan di mesin pencari, sama seperti saya yang heran tidak bisa mengakses facebook, twitter dan blogger via internet di Shanghai. Saya kira tadinya jaringan internetnya yang lagi down. Ternyata tidak.

Dua sisi warisan Jendral Mao yang melegenda. Kekuatan dan kelemahannya sekaligus.

Minggu, 10 Juni 2012

Jangan Salah Menilai Karakter, Walaupun Boleh (Shanghai 4)


Not at all... Ya, and not all..

Di ketinggian awan ini saya merenungi kembali saudara sedarah saya, yang sangat identik DNA nya dengan saya, ras Mongoloid yang tinggal di daratan Cina, terutama Shanghai.

Diceritakan oleh ayah saya, kalau sebenarnya kakek saya (engkong) masih berasal dari Cina daratan, tepatnya sebuah kota yang kalau sering ia sebutkan dilafalkan Moyang, sebuah kota atau kampung saya tidak tahu- tapi katanya itu berada di Propinsi Yunan. Saya tanyakan kepada si Chen Pu, participant dari Cina Beijing dimanakah lokasi nenek moyang saya tersebut. Sayang ia tak dapat menjelaskan dimana letak kampung itu... mungkin karena masalah pronounce – atau karena beda dialek atau karena sebenarnya ayah saya memang tidak tahu pasti letak kampungnya itu... maklum orang tuanya itu sudah meninggal sejak ia kecil. Tak banyak yang bisa diceritakan diwariskan kepada anaknya.

Dalam kepala saya, karena keseringan nonton film kungfu Jet Lee- orang dari Cina daratan itu saya sering identikkan dengan mata sipit, gigi tonggos, rambut berdiri, atau gendut kaya engko-engko dengan pipi yang tembem. Lalu diberitahu juga dari media kalau mereka suka meludah sembarangan, norak dan kalau tawar-menawar bisa sambil marah-marah. Terlebih karena saya suka mendengar bahasa Cina di tempat saya yang kasar, persis seperti kaleng diketok digesek-gesek bunyinya.

Sungguh saya mengasihani diri saya sendiri yang cukup egois dan suka men-judge orang lain dengan pengalaman yang sedikit ini.

Zhingwu Road, dekat Univ Tongji
Berjalan-jalan di Zhingwu Road dekat Universitas Tongji, sambil menghirup udara yang agak kelabu, saya melihat laki-laki perempuan, tua muda serta anjing-anjing kecil diajak berjalan-jalan santai di kota yang indah ini. Sepeda-sepeda dan motor listrik berseliweran, tertib (walau kadang nakal juga), serta elok dipandang – dikendarai mahasiswa-mahasiswi yang berwajah bersih. Dialek bahasa Mandarinnya enak juga kok, agak berlagu.

Jadi bingung benernya saya mendengar dialek mana yang bunyinya kaya kaleng ditakol digesek-gesek? Atau memang saya salah dengarkah di sini?

Sesekali saya melihat orang meludah. Tapi dari hasil berjalan selama 5 hari, saya terus terang – terang terus hanya mendapatkan satu kali orang meludah – saat jalan-jalan malam sendirian di Old China – dekat Yuyuan Garden. Bau minyak babi yang manis, serta diterangi temaram lampu jalan membawa saya untuk membayangkan kehidupan saudara CIna saya di sini.

Old Chinnese Town, deket Yuyuan Garden
Apa salah saudara-saudari saya ini sampai saya mencap jelek orang Cina daratan ini ya? Mungkin karena cerita kanan kiri, atau bawaan turis mancanegara yang bertemu mereka di Singapura – namun tidak cukup sahih untuk mensejajarkan saudara Cina saya ini menjadi level masyarakat rendah yang kurang terdidik dan jadul.

Mereka berpakaian rapih, bersih, tertib – serta menunjukkan pemikiran yang maju. Boleh juga diadu soal tampang dengan sembarang daerah di negara lain – tidak kalah cantik perempuannya, serta tampan laki-lakinya, dengan bentuk tubuh yang proporsional.

Mau melihat dari segi budaya dan kemodernan – bisa bikin Jakarta sempoyongan dan berpeluh ketakutan karena tidak imbang jadinya. Boleh juga diadu dengan Kuala Lumpur dan Bangkok, masih kalah juga dua kota ini. Kalau diadu dengan Bremen atau Den Haag mana saya tau – soalnya mang belom pernah datang kedua kota yang disebut.

Jalanan rapih, dengan penataan yang sedemikian superiornya ditata dengan taman-taman kota berbunga, jalur  pedestrian yang lebar. Semua sudut kota, bahkan sampai daerah yang bolehlah dikatakan agak slum untuk ukuran Shanghai, masih lebih bagus dibanding kelas menengah bawah bahkan menengah di daerah Jakarta.

Entah dimana mereka menyembunyikan daerah-daerah jorok lainnya. Atau mungkinkah daerah tersebut sudah menghilang karena penataan kota yang sedemikian baiknya?

Kembali lagi ke persoalan manusia yang membuat saya menyesal karena sebelumnya mengambil keputusan bahwa “tidak baik berteman dengan saudara Cina ini”, manusia di sini secara kualitas ok lah – kalau tidak bisa dibilang lebih berbudaya dibanding kita di negara Indonesia ini – ambilah contoh kota dengan kulaitas manusia paling bisa diandalkan di Indonesia – Jakarta.

Pendidikan yang baik, sopan santun, kebersihan, serta usaha –usaha memperbaiki lingkungan menunjukkan kalau seorang manusia bisa memiliki tingkat peradaban yang berbeda walau dibariskan dalam suatu ruangan. Sikap sesorang menunjukkan seberapa tinggi peradaban sesorang.

Yah bolehlah kali ini kita yang berasal dari luar Shanghai: Ulan Bator, Jakarta, Bangkok, Sydney,  Calcuta, New Delhi, de el el belajar dari sikap seorang manusia Shanghai walau juga tidak semuanya sebenarnya beperilaku baik (pastinya tak ada gading yang tak retak).

Seperti kata pepatah di budaya Indonesia: ilmu padi, makin berisi makin merunduk... maka terlihatlah kualitas seseorang dari sikap yang ditunjukkannya selama ia diberi wewenang. Semoga bukan karakter bangsa yang mereka tunjukkan saat itu karena semua orang menyaksikan dan boleh membuat kesimpulan sendiri-sendiri.