Rabu, 04 Desember 2013

Merubah Agama Sesorang


Agamaku adalah Agamaku, Agamamu adalah Agamamu.

Kalimat ini sering saya dengar diucapkan oleh banyak jenis orang, dari tokoh agama besar, aktifis LSM, sampai teman sendiri. Kebanyakan dari mereka adalah aliran tengah, bukan aliran kiri yang memang sudah keras kena formalin (kalau aliran kiri jenis ini pepatahnya lebih sangar lagi: masuk neraka, kafir). Nah kalau yang aliran tengah ini sepertinya terlihat netral… silahkan saja urus agama masing-masing, jangan saling meribetkan. Mungkin saya tambahkan lagi… kami akan bantu yang lain, asalkan tidak yang menyangkut masalah agama. Kalau yang itu kami tidak ingin tahu.

Masalah golong-golongan ini makin terlihat kerasnya kalau ke masalah yang paling sensitif... boleh ga sih kita pindah agama (walau kalau menurut UUD 1945 pasal 29 itu dijamin kebebasannya oleh negara)? Nah kalau yang garis kiri jelas-jelaslah kalau pindah agama ini dosa. Kalau garis tengah kayanya cenderung ngomong kalau itu agak dosa (netral ga sih yg ini?). Kalau garis kanan bilang itu kebebasan... malah mungkin mempertanyakan juga dosa itu apa sih?

Kalau di Indonesia seh yang paling santer tentang masalah converting agama seperti ini adalah agama Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik). Kalau yang lain maybe karena jumlahnya sedikit maka terjadi secara sporadis saja (misalnya Hindu, Budha, Kepercayaan) – walau sebenarnya secara bukan hanya dua agama ini yang mengeluh saling converting satu sama lain. Antar semua agama juga sebenarnya saling mengeluh, misalnya umat Budha yang misalnya mengeluh umatnya banyak yang dikristenisasi, atau Kepercayaan (Kong Hu Cu misalnya) yang diconvert jadi Katolik.

Lalu apakah memang sebaiknya agama sesorang itu tetap saja seumur hidupnya? Jadi misal kalau orangtua beragama Islam, lalu sebaiknya anak sampai cucu-cucunya tetap beragama Islam? Atau kalau orangtua beragama Kristen Protestan lalu keturunannya tetap Kristen Protestan juga sampai sepuluh abad setelahnya?  

Kalau menurut saya terjadinya proses komunikasi antar dua belah pihak adalah wajar. Begitu pula upaya mempengaruhi pihak lain agar menerima kebenaran, menyetujui pandangan yang lainnya adalah wajar. Bukankah inti komunikasi adalah upaya agar pihak yang lain percaya mengenai informasi / pandangan kita? So upaya saling meng-convert agama sebenarnya adalah contoh upaya tujuan komunikasi, agar pihak lain menerima / percaya akan kebenaran dari pihak lain.
Lalu bagaimana dengan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi akibat upaya convert mengconvert itu?

Perlu dipahami bahwa agama adalah suatu entitas. Suatu kelompok bergabung membentuk suatu kelompok agama dimana di dalamnya mereka percaya bahwa dengan bersatu mereka mampu melakukan suatu pekerjaan dengan lebih baik (misalnya, bertahan terhadap serangan kelompok lain). Pada saat suatu kelompok kehilangan anggota-anggotanya, dapat dibilang bahwa kekuatan mereka akan melemah. Hal ini berlaku sebenarnya untuk setiap kelompok.

Kalau dilihat pola ini adalah diturunkan dari intuisi makhluk hidup itu sendiri yang menyukai cara berkelompok selama makanan di sekitarnya tercukupi untuk kelompok sebab dengan bergabung mereka akan lebih aman (jadi inget kalau di laut ikan-ikan sejenis suka bergerombol dalam jumlah yang sangat besar, misal untuk membingungkan predatornya sehingga kemungkinan survivenya lebih tinggi untuk setiap individu di dalamnya).

Pada saat satu kelompok “tercemari”, misalnya saat anggota kelompoknya mendapatkan ide yang berbeda – akibat berkomunikasi dengan kelompok lain dengan paham yang berbeda, maka keberadaannya dapat mengancam kelompok besarnya, karena ide tersebut dapat menular. Maka seringkali kita mendapatkan suatu kelompok sangat “intoleran” terhadap ide atau gagasan baru. Ini merupakan suatu mekanisme pertahanan, terutama apabila kelompok tersebut merupakan kelompok konservatif, dimana di dalamnya tidak ada mekanisme cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya.

Kembali lagi terhadap hal perubahan agama. Maka apabila misalnya suatu keluarga khawatir karena anaknya pacaran dengan pria / wanita agama lain, hal itu bisa jadi karena ketakutan keluarga (kelompok kecil) tersebut terhadap tekanan kelompok yang lebih besar (notabene kelompok agamanya). Bisa jadi keluarga (kelompok kecil) tersebut misal berpendapat bahwa hal tersebut dilarang oleh Tuhan, dilarang oleh agama, dan lain-lain. Namun menurut saya, yang lebih mudah dilihat adalah bahwa kelompok kecil tersebut khawatir akan pandangan dan tindakan dari kelompok besarnya terhadap kelompok kecil tersebut.

Lainnya adalah bahwa seringkali perpindahan agama dilihat bukan menguntungkan secara ke individuan (misal, pendapat alangkah bahagianya bahwa sesorang bisa menemukan tujuan hidupnya dengan lebih baik) , namun kemudian dihubungkan dengan sisi politis, bahwa dengan berpindah menunjukkan bahwa agama barunya lebih baik dibandingkan dengan agama lamanya.
 Sisi politis ini bila dilihat dengan baik juga dapat dihubungkan dengan penambahan jumlah kelompok, dimana penambahan kuantitas berarti penambahan kekuatan bagi kelompok baru.

Lalu mana penerapan “Kebebasana memilih agama sesuai keyakinan dan kepercayaannya” yang dijamin oleh UUD 1945 itu ya? Heran saya. Ini kayanya retorika aja deh.

Di Indonesia ini, gara2 pindah agama sesorang bisa diadilin oleh keluarganya. Untung-untung FPI ga datengin rumahnya sambil bawa bambo. Yah tapi masih untunglah ga kaya di Negara-negara timur tengah yang bisa mancung kepala untuk soal beginian.

Semestinya, ini menurut saya ya… agama itu dipilih sesorang sebab dengan memilih agama tersebut ia bisa lebih baik dan mudah menemukan tujuan hidupnya ya? Berkelakuan lebih baik, positif, dan lain-lain. Dan kalau kita dimita mengesampikan agama, tentu kita akan mendukung misalnya ada sesorang di keluarga kita yang bertujuan seperti itu. Tapi sehubung agama bukanlah milik pribadi maka jadi komplekslah masalahnya.

Kalau saya tetap berprinsip agama itu seperti baju saja… kepribadian saya tetap sama walau baju saya berbeda. Ganti baju kalau memang harus ya lakukan saja. Saya masih percaya pasal di UUD 1945 tentang kebebasan beragama (untung saya tidak hidup di komunitas agama fanatik. Kalau ya bisa habis saya).

Minggu, 01 Desember 2013

Pendampingan Masyarakat: Masyarakat Yang Mana?



Selama saya melakukan pendampingan masyarakat, sering kita menjumpai konflik yang terjadi di masyarakat. Contohnya, misalnya antara perusahaan swasta yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dengan masyarakat. Bisa juga terjadi antara misalnya pemerintah (diwakili oleh Taman Nasional) dengan masyarakat.

Contoh pertama misalnya. Perusahaan  swasta ingin memanfaatkan lahan HGU untuk mendapatkan profit (misalnya dengan menanami lahan dengan tanaman seperti jati, jenjeng, atau sayuran). Nah ini legal dan sah, karena pemerintah memberikan hak HGU tadi kepada perusahaan. Yang biasanya agak bermasalah adalah apabila misalnya, lahan yang diberikan HGU nya kepada swasta ternyata adalah lahan yang diklaim milik masyarakat. Kalau kasus ini bisa terjadi misalnya kalau yang di HGU kan misalnya adalah hutan adat, dan lain-lain. Ini bisa terjadi karena misalnya pemerintah masih merasa kalau yang di peta Indonesia ini bisa diberi saja semaunya ke perusahaan yang bisa bayar pajak ke pemerintah. Padahal bisa jadi masyarakat. yang sudah ada sebelum pemerintah RI berdiri sudah merasa memiliki, memanfaatkan dan memanage hutan tersebut.

Sebagai catatan, tahun 2012 MK (Mahkamah Konstitusi) Indonesia sudah memisahkan Hutan Adat dari Hutan Negara. Artinya Pemerintah sekarang sudah tidak bisa seenaknya saja memberikan hak kelola Hutan Adat kepada Swasta. Itu punya masyarakat adat coy. Satu langkah yang baik menurut saya.

Lainnya, seperti di daerah pendampingan saya, desa Pasir Buncir dan Wates Jaya. Yang ini perusahaann yang punya HGU pintar sekali. Ada syarat kalau ditelantarkan, lahan HGU bisa tidak diperpanjang ijin pemanfaatannya. Kalau saya tidak salah kalau ditelantarkan 4 tahun masyarakat bisa mengajukan kepada pemerintah agar tidak memberikan perpanjangan HGU ini, dan bisa mengolahnya kemudian dengan asas kolektif (ngajuin bersama agar nanti hak kelola adalah memakai nama sama-sama). Ini kalau saya tidak salah ya sebab saya bukan ahli hukum pertanahan.

Di  desa ini perusahaan pandai. Mereka tidak mengolah lahan sendiri, namun menyewakannya kepada petani, agar diolah dan kemudian mereka akan mendapatkan kira-kira setengah dari hasil panen.  Jadi ga keluar modal.

Yang jadi masalah adalah nah kok elo ga ngelola sendiri, nyewain ke orang lain lalu elo claim kalo perusahaan elo sudah memanfaatkan HGU nya dengan baik? Atuh mending pemerintah langsung aja kasih HGU nya ke masyarakat?

Di sini perusahaan jadi bertindak seperti calo sewa tanah, dan ini dilarang. Kalo gw jadi pemerintah seh ga bakal ijin HGU nya gw kasih ke perusahaan macam begini. Kaya lintah gw bilang sih.

Nah masalah lain juga, ini sering luput dari kita-kita yang katanya pro ngebela masyarakat dibanding perusahaan besar.

Yang dibela ini masyarakat yang mana seh? Sering misal... kalo HGU perusahaan lepas lalu diberikan ke masyarakat, ternyata yang dinamakan masyarakat itu adalah makelar tanah. Bisa juga jatuh ke petani kaya, entah dari desa mana; atau pengusaha tambang ilegal (Haji sesuatu yang kayanya ujubile dari hasil nambang ilegal). Ini semua masyarakat Bung. Jadi mana masyarakat yang elo maksud?

Yang kasus pengusaha tambang ilegal ini kasus nyata di daerah pendampingan kami di desa sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Doi itu udah siap-siap katanya kalau HGU perusahaan ga diteruskan, dah siap-siap caplok HGU nya buat nambang kaolin. Dah siap tuh buldozer ma truk-truk besarnya buat ngerokin tanah.

Lalu dimana seh masyarakat petani, miskin, penggarap, yang kudunya emang dapet hak kelola lahannya? Sori coy... jadi elo para pendamping pikirin bae-bae karena reformasi agraria bisa jadi gila hasilnya. Dari mulut buaya jatuh ke mulut harimau.

Saya sih cuman pengen bilang. Yang namanya masyarakat itu bukan suatu entitas tunggal. Isinya adalah ibu-ibu, tukang sayur, petani, mamang baso, anak perempuan, balita, manula, makelar tanah, preman pasar, Haji yang udah 3x naek Haji, Pak RT, mahasiswa yang lagi PKL yang lagi pacaran ma petugas di Puskesmas. Isinya orang baik dan orang jahat dan yang abu-abu. Silahkan pilih dulu.

Jadi bae-bae deh pendampingannya. Mohon dicek dulu siapa ada dimana. Itu namanya assesment. Kaga bisa assesment? Siap-siap deh kecewa lahir batin setelah pendampingan.

Wasalam.

Senin, 17 Juni 2013

Perbandingan Kesialan saat Backpackeran



Kesialan yang perbandingannya 1 berbanding 11.315 (itungan saya) bisa saja terjadi saat kita sedang travelling. Entah mengapa, tapi kok hal ini bisa terjadi ya?

Contohnya adalah saat saya naik bis di tahun 2010, mencoba merasakan perjalanan darat dari Phuket ke Kuala Lumpur (untuk perjalanan ini rasanya males ngulang lagi karena selain lama, juga bosan melihat kebun sawit disepanjang perjalanan). Nah yang terjadi adalah kira-kira selepas Kuching, tiba-tiba bis saya ditabrak dari arah samping oleh sebuah mobil kotak kecil.

Akibat kejadian itu mobil si penanbrak ringsek. Dari mobil ukuran kecil, ukurannya semakin kecil lagi sebab menciut ringsek (dasar mobil kaleng). Saya yang duduk di bagian belakang bersyukur sebab selamat baik-baik saja walau kaget. Begitu juga seluruh penumpang lain selamat, seperti layaknya si penabrak yang malang sebab ban mobilnya meletus tiba-tiba.

Mobil yang nabrak di perjalanan Phuket - KL
Nambah deh waktu perjalanan sebab jadi nunggu bis lain lewat buat numpang. Saya ingat, dari Phuket saya jalan 10 an pagi. Sampai KL kira-kira jam 6 sore hari berikutnya. Pantat dan badan sakit semua.

Heran saya. Saya sudah 31 tahun hidup waktu itu. Ini seumur-umur liat mobil nabrak dan mobil saya ditabrak. Kok malah kejadian di negeri orang yang kalau saya hitung paling waktu perjalanan totalnya ngabisin waktu cuma semingguan aja? Tabrakan ini perbandingannya adalah 1 hari sial berbanding total hari hidup saya yang sudah terlampaui 365 x 31 = 11.315 hari. Artinya 1 berbanding 11.315. Kenapa ga terjadi di Indonesia saja (Bogor) dibanding di negeri orang lain?

Kesialan dengan perbandingan lebih rendah, misal kira-kira 1: 500 orang atau perjalanan (kira-kira saja) tentu saja lebih mudah terjadi. Misalnya hilangnya / tertinggal paspor saat bepergian. Teman saya, Fahmi mengalaminya saat jalan-jalan di Chiang Mai.  Untung ketemu lagi ketinggalannya di restoran walau pasti sudah pasrah ga ketemu.

Tapi ini ada penjelasannya. Kalau menurut saya, semakin penting sebuah benda (seperti paspor, tiket pesawat) maka semakin hati-hati kita mengingat-ingatnya. Parahnya adalah sepertinya semakin besar juga usaha otak kita untuk membuang beban berat ini dengan cara melupakannya.

Buktinya yang lain adalah, walau kita sudah siapkan tiket pesawat di saku baju tetap saja kita bisa mengobrak-abrik koper untuk mendapatkannya.

Sial yang lain juga bisa berakibat rentetan sial berikutnya. Hukum tarik menarik bagaikan magnet kali ya? Buktinya sebelum bis saya ditabrak mobil saya sempat ditelantarkan di Hat Yai, kota perhentian sementara. Di drop di terminal bis jam 3 pagi, tidur-tiduran di bangku tunggu berbahan besi, atau yang berbentuk seperti bangku kuburan cina (dari semen atau granit) dan walhasil badan mererentek sebab dinginnya menembus jaket.

Saya rasa lalu ada tiga dari antara kami bertiga (berangkat 3an) lalu mengumpat-umpat dalam hati sehingga kemudian “memanggil” kekuatan negatif. Walhasil bis kami ditabrak mobil. 

Mari kalau begitu kalau kita sedang mau jalan-jalan, perbanyak berdoa sebelum dan saat berangkat hehehe. Mungkin itu obat mujarab untuk menjauhkan hal-hal kesialan selama perjalanan. Atau bisa juga dengan memberi persembahan kepada dewa-dewi setempat selama disana.


Jam Tangan yang Berharga



Mengapa saya jadi pakai jam tangan kalau sedang bepergian sekarang? Itu ada alasannya. Beginilah kira-kira.

Dulu saya menganggap bawa HP saja cukup saat jalan-jalan, karena ada jamnya toh? Nah pernah suatu saat saya sedang jalan-jalan di Ca Dai Temple di sekitar Saigon (Ho Chi Minh) anggapan saya terbukti salah.

Di dalam kuil Cao Dai
Jalan-jalan ke Cao Dai Temple (unik, sebab ada beberapa agama besar di situ yang dibungkus jadi satu kepercayaan baru) saya mengikuti tur seharga 7 USD (plus tur ke Cu Chi tunnel markas gerilyawan Viet Cong dulu – exclude tiket masuk). Mudah, murah juga (apalagi kalau setelah sampai Cu Chi tunnel tidak jadi masuk dan cuma nongkrong di dekat loket karcis).

Anyway, pemandu wisata yang bekas guru bahasa Inggris menerangkan tentang keunikan agama Cao Dai tersebut, termasuk berapa lama waktu berkunjungnya.

Setelah sampai dan lama berputar-putar, serta melihat upacara dan permainan musik di dalam kuil, saya cek waktu melalui HP saya. Eh ternyata HP itu tertinggal di hostel (terbawa kebiasaan meninggalkan barang tersebut di ransel pakaian sebab sering tidak diaktifkan kalau pergi keluar negeri, takut kena rooming).

Saya lalu berpanduan kepada jam tangan yang dipakai oleh turis bule sekitar. Sebentar-sebentar saya lihat dan karena upacara keagamaannya belum selesai dan masih banyak kelompok turis berkeliaran saya tenang-tenang saja.

Beberapa selang kemudian sekitar 15 menit dari akhir bertemu, dengan muka masam dan marah munculah teman saya. Ternyata saya sudah mau ditinggal bis tur dan ia menyusul saya balik di kuil dengan tergesa-gesa. Untunglah ia tak lama marah kepada saya karena memang orangnya baik kok.

Saya balik ke bis dan dipelototin si pemandu dan para turis lain yang kesal menunggu saya.

Jadi selanjutnya, dalam perjalanan saya selalu pakai jam tangan. Dari jam tangan karet anak-anak, digital, sampai yang termutakhir Swiss Watch – semua jadi kewajiban kalau sedang berjalan sebab saya tetap memilih mematikan HP saat berjalan (kecuali di tahun-tahun akhir setelah lebih sering membeli kartu SIM lokal untuk melakukan SMS ke rumah, dan dimana provider mobile phone lebih ramah karena meniadakan rooming).

Dan jangan lupa, jam tangan yang dipakai tetangga belum tentu benar penunjukkan waktunya. Mungkin saja dimajukan 15 menit supaya bisa bangun lebih pagi. Time is important in a scheduled tour.


Tentang Booking Hostel Kalau Bacpackeran


Hostel yang mendapatkan peringkat yang baik belum tentu aman dan memuaskan pelayanannya. Pengalaman ini adalah berdasarkan pengalaman saya mengunjungi hostel di Ho Chi Minh City (HCMC).

Hostel, Bar dan Makanan di sekitar Jalan Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh
Hotel bernama My My Arthouse ini terletak di Pham Ngu Lao street, jalan no 219 (di dalam jalan no 219 ini banyak terkumpul hostel-hostel lainnya). Saya melakukan booking di hostelworld seminggu sebelumnya dan semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Malah balasan email yang saya terima sangat infomatif walau bukan jawaban secara pribadi karena nampaknya hasil copy paste untuk turis lain. Tapi untuk upaya ini, saya menganggap rating pelayanan yang diberikan via hostelworld tidak salah.

Saya datang malam hari sekitar jam 10 dengan memberikan kabar sebelumnya dan pemilik hostel menjawab kesediaannya untuk tetap membuka pintu hostelnya (ternyata hostel di daerah ini buka 24 jam walau memberikan info hanya buka sampai jam tertentu – nampaknya berkaitan dengan persaingan bisnis yang ketat dengan hostel lain).

Yang saya prihatinkan adalah apa yang terjadi kepada turis lain dari Malaysia. Mereka datang lebih malam daripada saya, dan malangnya kamar mereka masih terisi oleh orang lain. Pemilik hotel mencarikan kamar lain, dan rupanya karena sudah lelah si turis Malaysia angkat barang saja dan setelah naik 3 lantai membawa carrier berat, keempat-empatnya turun lagi. Sambil marah-marah mereka protes karena kamar yang diberikan dibawah standard. Mungkin terlalu kecil dan tidak ber AC.

Salah satu hotel yang saya tempati, nyaman dan bersih
Si ibu yang tidak bahasa Inggris disemprot. Memang benar, yang selama ini berkomunikasi dengan email berbahasa Inggris dengan si turis adalah anaknya, si Hanh. Kasihan juga melihat ibu tua ini disemprot, dan kasihan juga melihat para turis Malaysia ini terlantar malam-malam. Si anak pemilik hostel (Hanh) ditelpon, dan sialnya tidak ada jawaban karena setelah dicari, HPnya ditemukan tertinggal di dekat meja resepsionis.

Yes... shit happened sometimes (buat si Hanh, ibunya dan para turis yang sudah kecapean itu).

Saya ingin menerangkan, kalau sistem pemesanan hostel kebanyakan adalah sistem tradisional. Jadi jika kita sudah melakukan booking, apabila tamu sebelumnya di kamar kita belum keluar maka booking kita pasti dipindahkan ke kamar lain, atau makin malang nasib kita kalau tidak ada kamar kosong sama sekali, bisa terlantar kalau sedang ada di wilayah sepi hostel.


Murah... hostel seharga 6 USD semalam (model dormitory)
Pada hostel tertentu mereka menyediakan kamar khusus untuk kejadian-kejadian seperti ini. Tapi tidak semua hostel punya sistem buffer yang baik.

Jadi saran saya adalah, datanglah (kalau bisa) pada hari yang tidak terlalu malam agar tidak terlalu letih. Kedua, apabila pihak hostel tidak bisa segera memberikan jaminan kamar segeralah cari hostel lain – jangan buang waktu misalnya dengan menunggu, menaruh barang dan jalan-jalan dulu sebab bisa saja saat kita kembali dan lelah ternyata kamar hostel belum juga tersedia. Ketiga, kalau mau menengok kamar lain, letakkan carrier berat di lantai bawah. Kalau sudah yakin, baru bawa carriernya ke atas.

Lain-lainnya, adalah (ini saran umum saja): bawa bukti booking, tanyakan alamat dengan jelas via email. Pilih taksi (kalau tidak ada bis) yang terpercaya saja (cek lewat cerita para turis). Sediakan uang kecil (kebanyakan supir taksi tidak akan mengembalikan uang kembalian yang agak kecil). Cari alamat hostel cadangan yang dekat dengan hostel pilihan pertama (kalau-kalau hostel pertama jorok dan bau).


Angkutan di Pa Tong Beach



Saat saya berada di Phuket, kami pergi mengunjungi pantai-pantainya. Salah satunya adalah Pa Tong Beach.

Sebelum pergi kami sudah mendapatkan informasi bahwa setelah pukul 17.00 maka tidak ada lagi angkutan umum dari pantai menuju kota.

Jam 16.00 kami bersiap-siap pulang, dan 16.15 kami sudah siap di pinggir jalan. Angkutan umum masih ada jadi kami menunggu sampai ada yang siap-siap berangkat untuk segera ditumpangi. Herannya setelah sekitar 10 menit menunggu, tidak ada yang bergerak, dan baru kami tahu setelah bertanya bahwa sejak pukul 16.00 angkutan sudah off.

Lah... kok jadi maju 1 jam ya dari jadwal?  Jadi kami tertipu saat melihat angkutan yang sedang ngetem, yang awalnya kami kira kalau mereka akan segera berangkat; namun ternyata mereka sedang siap-siap mematikan mesin.

Strategi ini cukup aneh, karena sebenarnya mereka masih mau pergi ke kota kalau disewa seluruh mobilnya yang tentunya jauh lebih mahal daripada bayar biasa. Jebakan batman kata orang kampung saya sih.

Setelah 30 menit menunggu, berharap kalau saja ada angkutan yang masih narik penumpang secara normal kami menyerah. Rupanya kesepakatan ini berlaku secara masal untuk seluruh sopir angkutan, dan sepertinya banyak turis yang terjebak seperti kami. Lalu lalang bingung di pinggir jalan.

Yang sama-sama ditinggal ma angkot di Pa Tong
Hasil akhir adalah kami patungan untuk naik angkutan: 2 turis bule, 3 turis sewarna, 1 orang turis Jepang hasil lobi sana-sini. Tentunya dengan ongkos berlipat dari biasa.

Moral dari cerita ini adalah hati-hati terhadap informasi internet yang sering tidak up to date walau baru diposting 2 bulan lalu, dan jadilah orang yang agak kaya agar kejadian seperti ini tidak terlalu menjadi beban bagi Anda. Kasihan kami contohnya yang lalu hanya bisa beli nasi putih saja dan ayam goreng jalanan, di dua tempat terpisah dengan tujuan penghematan dana kolektif sehubungan kejadian ini.

Survei Makanan Terenak



Walau katanya menurut survei di internet kalau rendang adalah masakan terenak di dunia, tapi saya tetap percaya kalau indomielah yang secara tidak direkayasa menjadi makanan terenak di dunia. Para ekspatriatlah atau turis bermodal dengkulah (yang nyasar ketemu saya) buktinya.

Sebab saya percaya hasil survei rendang adalah hasil dari kurang kerjaannya penduduk Indonesia yang jumlahnya buanyak banget; yang sambil main Facebook berkali-kali menshare link internet demi memuluskan goal menjadikan Indonesia mendunia (setelah berhasil memasukkan komodo sebagai 7 wonder of the world).

Cuma saya lebih percaya pengamatan dan pengalaman saya sendiri. Kata orang yang diucapkan dari mulut (promosi) itu lebih real dibanding papan-papan reklame neon di pinggir jalan. Lebih jujur dan kalaupun ada bias paling gara-gara keinginan tamu menyenangkan hati saya.

Yang sudah bilang kalau indomie, sarimie dan supermie itu super enak adalah teman-teman dari Korea, Filipina, Malaysia dan bule backpacker yang numpang di rumah via jaringan couchsurfing (yang bisa numpang gretongan di berbagai negara; asal diterima ma yang punya rumah).

Bahkan teman Filipina saya, yang beberapa tahun dulu tinggal di Makasar selalu nitip indomie rasa ayam bawang terutama kalau ada koleganya yang ke Indonesia. Turis lain bilang... it’s feel good, this noodle...

Saya suruh teman-teman ini membandingkan dengan instant noodle lain yang pernah mereka rasakan di belahan dunia lain. Indomie tetap pemenangnya. Betapa membuat saya merasa bangga akan Indonesia.

Saya juga sudah mencoba beberapa model mie instant di berbagai negara. Rasanya memang banyak yang enak namun tidak seenak mie instant di Indonesia.

Rendang saya yakin tidak akan dipilih oleh sebagian besar bule. Hampir semua bule yang saya jumpai bilang kalau masakan padang, seperti rendang kategorinya too spicy: pedas dan kebanyakan bumbu macam-macam.  Mereka anti benar dengan makanan seperti ini kecuali pengen mencret-mencret sesudahnya. Cuma seorang dosen saya dulu yang Jerman yang suka makan udang balado padang. Kalau temannya, ia sampai kapok dan mukanya merah padam akibat makan nasi padang. Hot... hott... begitu ucapnya sambil bercucuran keringat.

Jadi pengkategorian makanan enak di dunia sepertinya bias. Mungkin juga kalau ada makanan remeh seperti nasi goreng dicicipi orang banyak, maka bisa mendapatkan peringkat atas. Atau nasi lemak di Malaysia misalnya.

Yah tapi siap-siap aja deh... kalau dimasukkan ke internet pollingnya lagi-lagi siapa banyak dia yang dapat. Bias soalnya India, Indonesia, Cina pasti merajai (tapi saya ga yakin kalau Cina menang soalnya koneksian internet ke situs-situs tertentu disana seperti Facebook dilarang).

Tips Lihat si Kecil-Kecil di Pantai



Jalan-jalan ke pulau selalu menarik bagi saya sebab saya menyukai kehidupan laut dan pantai. Saya agak mampu mengidentifikasi sebagian flora dan fauna laut tersebut sehubungan mempelajarinya di kuliahan tahunan yang lalu. Bahkan pernah juga karena saya waktu SMA keranjingan baca buku pengetahuan, saat ujian ikhtiologi di kuliahan, dimana ada pertanyaan mengenai jenis-jenis ikan beserta nama Inggris, lokal dan Indonesianya, nilai saya berubah jadi A dari seharusnya C, karena bagian bonus yang bobotnya amat tinggi tentang pertanyaan jenis-jenis ikan tersebut dapat saya jawab dengan mudahnya (bangga, sebab hobi saya jalan ke pasar dan bergaul dengan tukang ikan hias berbuah manis jadinya).

Namun di pulau seringkali hal-hal menarik terlewatkan karena ketidaktahuan kita. Pantai yang luas sering dipandang hanya sebagai pantai yang kering dan berpasir. Warna pasirnya hitam, coklat atau putih. Itu saja. Padahal tidak begitu.

Paling mudah untuk melihat makhluk laut adalah dengan mengambil sebongkah karang mati, ataupun tanaman laut (rumput laut atau algae) , membiarkannya pada stoples bening berisi air laut dan menunggu beberapa menit sampai para penghuninya menampakkan diri. Percaya atau tidak, tak lama kemudian para penghuninya akan keluar: dari cacing-cacingan, udang, siput, sampai mungkin ikan kecil yang tadinya nyumput di rongga karang.

Kalau lupa bawa stoples bening, kita bisa pakai botol bekas aqua ataupun pinjam gelas belimbing dari warung kopi.

Kehidupan laut juga menarik di waktu yang berbeda: pagi siang sore malam. Contohnya ubur-ubur, akan bertambah banyak di waktu lebih gelap dan mereka akan lebih mendekat ke arah permukaan air untuk mengejar plankton makanannya. Pagi dan malam adalah waktu yang tepat untuk melihatnya berkelap-kelip indah.

Di siang hari, mereka masih dapat dilihat apabila kita jeli, menyelam sambil menggunakan masker dengan memfokuskan pandangan jarak dekat (misal membayangkan ada jari sejauh 50 cm dari mata kita).

Teman-teman saya biasanya suka heran karena saya dapat menjumpai banyak binatang ini, sedangkan mereka mengaku tidak menjumpainya dimana-mana.

Pasir juga dapat kita gali. Di pantai berterumbu karang, pada jarak 1 meter dari batas air pasang bila kita gali pasirnya, kita mungkin menjumpai kerang-kerangan yang mengubur diri di bawah pasir.

Jadi pantai bukan hanya sunset dan sunrise. Mari belajar pantai dari yang aslinya... Kita bisa kok melihat makhluk-makhluk yang ada di National Geographic channel dari mata kita sendiri. 

Kamis, 25 April 2013

Penduduk Vietnam yang Rajin



Boleh miskin, tapi tetap rajin. Begitulah pandangan saya terhadap penduduk Vietnam. Apabila kata miskin kurang cocok dipakai serta perlu diperhalus, bolehlah saya menambahkan kata “agak miskin” disini sebab apabila saya perbandingkan dengan pembangunan di negeri saya, Indonesia maka sarana dan prasarana di negeri saya nampaknya lebih lengkap dan maju.

Saya sudah 2x berkunjung ke Vietnam, pada tahun 2010 dan belum lama ini – April 2013 – semuanya melalui perjalanan ala backpacker. Kalau yang pertama saya hanya travel di kota Saigon (Ho Chi Minh City) saja dan melanjutkan ke Thailand. Yang kedua adalah berkeliling di kota Saigon dengan tambahan pelesir ke kota dataran tinggi Da Lat. Saigon dan Da Lat, dua-duanya mewakili wilayah perkotaan besar dan kecil. Untuk wilayah lain, walau keinginan saya sangat besar untuk bisa stay di wilayah model perkampungan atau pantai namun sampai saat ini belum bisa terwujud karena keterbatasan waktu dan biaya.

Penduduk Vietnam adalah penduduk yang cenderung slim bentuk tubuhnya (jarang yang subur dan berisi, terutama perempuannya). Di mana banyak kaum perempuan berjalan-jalan berpakaian Ao Dai (pakaian perempuan Vietnam) baik di sekolah atau jalan-jalan biasa. Mengenakan caping serta penutup hidung dari kain, serta bersepeda motor atau bersepeda goel. Lainnya yang saya ingat adalah tulisan-tulisan dua sampai tiga kata berisikan kata-kata nguyen, puc, loc, duc, vang, cong thi dan lain-lain yang tidak bisa saya mengerti.

Membuat semacam martabak, di pinggir jalan
Suatu hal yang menonjol, dan apabila saya diminta menggambarkan satu kata tentang masyarakat Vietnam adalah kata rajin. Kalau boleh memilih kata lainnya adalah ulet. Ya, saya harus menggaris bawahi kata rajin dan ulet sebab terpatri dengan kuat di kepala saya.

Mungkin karena bangsa ini baru saja mengalami penderitaan berperang (tahun 1970an), serta kemudian terjadi perpecahan antar bangsa (Vietnam Selatan dan Vietnam Utara), maka bangsa ini sedang dalam keadaan tersadarkan diri untuk membangun negerinya kembali. Saya menegasikannya dengan keadaan penduduk di negeri saya Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945 yang sekarang sedang carut marut dan sibuk saling memakan antar sesama. Mungkin kelamaan merdeka membuat sesorang tidak lagi mampu bersyukur dan bekerja keras ya?

Masalah kerajinan ini dicontohkan oleh berbagai hal, yang dapat kita lihat dengan mata dan kepala sendiri. Sepanjang jalan di Vietnam kita  bisa melihat rumah-rumah memasang etalase untuk  jualan di depan rumahnya, baik apakah itu untuk berjualan minuman, roti banh mi, kedai makan kecil-kecilan, sampai menggelar buah-buahan di trotoar. Bangku-bangku dan meja kecil seadanya digelar di depan rumah, dan nampaknya kebiasaan ini merata minimal di Vietnam Selatan.

Si ibu, sambil nunggu jualan dia kadang merajut juga
Lainnya adalah kemampuan Vietnamese untuk memanfaatkan waktu luang: seperti di Da Lat, mereka merajut dan menyulam sambil berjualan. Dari tukang kue, karyawan cable car, penjual baju... semua memegang jarum dan benang wol, tangannya naik turun merajut sambil menunggu pelanggan.

Di malam hari, saat berjalan-jalan saya melihat juga porsi penjual perempuan berimbang dengan kaum laki-laki. Nampaknya secara tidak sengaja kesetaraan gender tumbuh dengan baik di bangsa ini. Mungkin karena faktor keamanan yang lebih terjamin, budaya penghargaan yang tumbuh pada kaum laki-lakinya, serta pengaruh ajaran spiritual, ditambah dengan desakan ekonomi – semuanya menghasilkan kepercayaan diri bagi kaum perempuan untuk memajukan keluarga serta bangsanya.

Kerajinan lukisan kulit telur, dikerjakan oleh kaujm difable
Bukan saya tidak ingin menceritakan kaum laki-laki, namun dengan melihat sepak terjang kaum perempuan maka rasanya pandangan saya terhadap kaum laki-laki juga sudah ter-cover. Kaum laki-laki memang nampak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tani, buruh dan lain-lain. Tapi begitu juga kaum perempuan.

Di Vietnam yang menarik juga adalah bahwa negara memfasilitasi hak-hak kaum cacat (disable / difable). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pusat pelatihan bagi mereka untuk misalnya, menghasilkan barang-barang kerajinan: lukisan, ukiran, makanan sampai produk-produk berteknologi . Saya sempat mengunjungi satu pusat pelatihan di pinggiran kota Saigon untuk melihat pembuatan kerajinan lukisan dari kulit telur, painting kayu, kerajinan gantungan kunci, dan lain-lain untuk diekspor keluar negeri (mungkin untuk menambah nilai jual, dan nilai tambahnya dapat dipakai untuk membiayai program-program seperti ini).

Mereka ini, kaum difable diberikan kesempatan untuk berkembang – difasilitasi oleh negaranya yang komunis yang membuat kita bertanya-tanya, bukankah seharusnya negara kita yang kapitalis “demokratis” ini lebih baik (lah pejabat kan suka gembar-gembor kalo negara demokratis Pancasilais ini bermartabat, makmur, kesejahteraannya cukup baik ) ?

Ah jadi males deh kalo ngomongin Pancasilais dan  demokrasi dan sebagainya. Jadi inget neh di Indonesia gerombolan FPI merajalela. Ustad pada ngomong sembarangan di mimbar-mimbar, Rhoma Irama mau jadi presiden, korupsi Hambalang, koruptor pada pasang TV kabel di penjara.

Hadeuuuuhh....

Jumat, 19 April 2013

Kagok - Kagokan Jalan Kaki dan Naik Motor di Vietnam



Kagok, begitulah yang dirasakan oleh saya saat berjalan kaki meyeberangi jalan di sekitar Ho Chi Minh City (dulu: Saigon). Bagaimana tidak, sepeda motor berlalu lalang selang-seling, terlebih di jam-jam sibuk dan jumlahnya yang sangat banyak bagaikan kumbang-kumbang yang berseliweran. Jadi heran, karena dengan lalu lintasnya yang jarang berpolisi dan dengan arah yang suka-suka saya belum menemukan para pengendara saling bertabrakan. Muka mereka pun lurus-lurus saja, tidak terlihat marah saat disalib atau misal karena dipapas motor lain dari arah yang berlawanan. Sudah biasa kali ya?

Lalu lintas di Kota Ho Chi Minh (Saigon), didominasi oleh sepeda motor

Biasanya jalan kaki menjadi kebiasaan saya kalau melakukan backpacking. Umumnya saya jalan dari pagi dan baru berhenti malam hari karena biaya menggerakkan kaki yang murah, cukup disogok dengan sedikit makanan, dan bisa dipakai satu hari penuh.

Cuma di Vietnam ini, kebiasaan jalan kaki cukup terganggu terutama saat bertemu persimpangan dimana saya harus menyeberang. Nyebrang jalan, tengok kiri kanan menjadi menu rutin sepanjang penyebrangan. Hati ini tidak tenang kalau belum menginjak trotoar lagi. Tidak seperti di Indonesia, disini tidak ada standar kalau arah motor atau mobil haruslah selalu dari arah yang disepakati undang-undang.

Kekagokan saya bertambah double ataupun triple saat mengendarai sepeda motor, kali ini di Da Lat, sebuah kota di ketinggian 1.500 meter yang indah, dimana bebungaan liar tumbuh sepanjang jalan, dan mawar merah kuning dan orange menghias garis batas di jalan. Kalau di Saigon saya nyerah deh ga ada nyali buat pakai motor (takut emosi dan nabrak), tapi saya pikir Da Lat ini kan kota yang kecil, so mungkin saya bisa adaptasi lebih baik di tempat yang lebih sepi ini. Jadi saya sewa motor bebek buat jalan-jalan.

Jalan utama di Da Lat: ingat berkendaraan di sebelah kanan yaaa...

Sehubung bekas jajahan Perancis, mengemudi di Vietnam adalah di sebelah kanan, dan untuk menyusul dari sebelah kiri. Sebagai orang Indonesia keadaan ini menyulitkan karena berkebalikan dengan keadaan di sini (Polisi sini berpendapat baiknya adalah naik motor di kiri, kalo mau nyusul dari kanan).

Beberapa kali (biasanya sehabis keluar dari suatu tempat) saya langsung ambil ruas kiri ngikutin kebiasaan di Indonesia. Walhasil, baru sadar waktu akan marah liat orang Vietnam nyetir motornya di kanan. Padahal yang salah adalah saya.

Lah kok kita yang salah lalu mau marah sih ? Itulah kelemahan saya: memang saya gampang marah kalau naik motor sebab beradaptasi dengan kerasnya lalu lintas kalau di Bogor tempat saya dilahirkan (walau ternyata keadaannya tak sekeras disini).

Di negeri yang ramah ini, akibat perbuatan saya, saya cuma dilihat oleh Vietnamese ini – dia tidak marah, dan melihatnya pun cuma sekilas. Perkiraan saya dua: mereka bangsa ramah yang toleran kepada saya, atau karena nyetir salah arah adalah biasa, karena juga dilakukan oleh mereka sendiri dengan caranya masing-masing.

Emosi marah ini sempat juga muncul (sebenarnya bukan marah tapi kesal sedikit) karena masalah bensin. Lah iya, saya menyewa motor satu hari seharga 5 USD dari jam 7 pagi sampai 9 malam, lalu pas ngisi bensin (di Da Lat) oleh si ibu ditagih 60.000 VND (dong) alias 3 USD. Padahal ngisinya bentar banget, kurang dari 2 liter rasanya; satu setengah liter paling banyak.

Mahal banget sih bensinnya, Man? Secara disini itu cuma Rp 4.500 / lt. Dengan Rp 30.000 / 3 USD / 60.000 VND saya bisa isi bensin sekitar 7 liter disini.

Danau Xuan Huong, di tengah kota Da Lat
Merasa ditipu, selama nginep di motel (harga 14 USD / malam, dengan 2 tempat tidur: saya dan istri tercinta) saya selalu browsing internet via BB istri. Cuma dapat kabar di halaman pertama google: Masyarakat Vietnam Shock atas Kenaikan Harga BBM – tidak dapat diteruskan browsingnya karena cuma dapat percikan Wifi dari motel, dan menyebabkan loading BB nya lama banget dan bikin putus asa.

Saya teruskan pencarian itu saat mencapai Indonesia kembali. Penasaran karena cuilan berita yang kurang lengkap tersebut. Dengan bantuan Profesor Google, saya dapati bahwa harga bensin di Vietnam adalah berkisar antara Rp 11.000 sampai Rp 12.000. Amin ucap saya, agak puas.  Jadi kalau saya mengorbankan Rp 30.000 untuk bensin saya pikir semoga waktu itu diisi 2 liter lebihlah ma si ibu bensin.

Pikiran ini ditentang lagi oleh logika saya. Hati mau memaafkan, tapi kepala menentang, sebab kalau dilihat tangki bensin motor yang saya tumpangi kecil. Masa iya tangki motor sekecil itu memuat bensin kira-kira 2,3 liter?

Pikiran saya lalu berusaha agak baik lagi sama sang hati yang berusaha memahami. Pikiran lalu berkata pelan-pelan, katanya: mungkin jenis BBM di Vietnam agak banyak, motor kamu diisi ma bensin kualitas pertamax jadi harganya agak mahal.

Iya ajalah, demi keindahan dataran tinggi Da Lat.

Saya sudah diberikan jasa oleh motor yang saya tumpangi ini selama ngalor ngidul cari-cari titik wisata di Da Lat, sudah sepantasnya ia diberi minuman yang setimpal (sekualitas minuman yoghurt dari Da Lat). Kalau ada lebih, anggaplah sumbangsih saya untuk rakyat Vietnam, setelah peperangan bertahun-tahun yang menyengsarakan serta atas kerajinan dan keuletan mereka (Vietnames ini rajin-rajin banget dan akan saya ceritakan di story yang lain ya).  

Salam dari atas motor gaul peminum yoghurt.