Dear
friend... mungkin suatu saat tulisan ini bisa mengingatkanmu kembali bahwa
pernah ada suatu masa, suatu saat dimana kamu agak desperate... tidak punya
uang, ingin sekolah S2 tapi tidak mampu bayar test IELTS untuk prasyarat, punya
pacar cantik yang tidak mampu kamu traktir makan mewah, serta punya motor yang
tidak mampu kamu servis rutin sebab masalahnya sama – agakj ga punya duiiittt!
(Sori,
pengen nulis benar-benar desperate – cuma akan melemahkan arti kata
“benar-benar” – so mari kita pergunakan kata “agak” saja ya kali ini – walau
bisa juga digolongkan bahwa agak ini cenderung ke arah cukup terasa
desperatenya sampai ke bau keringat).
Kamu
harus ingat, pernah bersama-sama pacarmu yang cantik itu naik bis ke Jakarta,
pergi ke konsultan pendidikan di daerah Slipi untuk bertanya-tanya bagaimana
mengorbankan diri agar bisa menyelundup ke New Zealand dengan dalih kuliah –
agar bisa jadi koki setelah lulus. Itupun tidak mampu karena kamu tidak punya
uang 56 juta, plus biaya hidup satu tahun
untuk jaminan.
(Sebab
walaupun ada tabungan sekitar 50 juta, namun tidak berani bunuh diri di NZ,
karena baca komen kaskuser kelompok Indonesia di NZ yang menyatakan hati-hati
kena deportasi – serta laporan orang Indonesia nekat di Auckland yang duitnya
tinggal buat 1 minggu lagi setelah nekat masuk cari kerja lewat visa turis, dan
terakhir nasehat dari yayang kalau masuk dengan modal segini sama artinya
dengan bodoh dan tidak peduli dia dan keluarganya).
Atau
pernah juga kamu pergi sendirian dengan ragu ke kedutaan-kedutaan asing, demi
mendapatkan secercah harapan akan informasi beasiswa. Sepanjang jalan peluh
bercucuran karena menghemat uang ojek dan taksi di Kuningan, dan berteduh di
counter ATM BCA sekedar memeriksa uang dan mendinginkan muka – mengharapkan
baju agak kering agar tidak malu saat disapa gadis Finlandia yang kau jawab
hanya yes – thank you, saat ia memberikan penjelasan mengenai sekolah di
rumahnya.
(Gadis
Finland nya cukup cantik dan ramah serta masih muda, sayang tidak bisa
memberikan informasi beasiswa – tapi cukup memberikan semangat bahwa masih ada
yang care sama makhluk aneh dan norak ini).
Pameran-pameran
pendidikan kamu hadiri, bertekad kalau saja ada secercah harapan untuk pemuda
miskin seperti kamu yang tidak berprestasi secara IP. Pulpen-pulpen gratis kamu
ambil dari meja panitia, menghibur diri kalau minimal inilah hasil real yang
bisa dibawa pulang – bahwa akhirnya di kantor tidak akan kehabisan pulpen lagi
sementara waktu. (Sedih
kalau IP cuma 2,70 karena tidak mengulang mata kuliah yang dapat D karena idealisme
kerja yang bilang “kalau kerja yang dilihat adalah semangat dan hasilnya, bukan
IP” yang menyebabkan saya banyak gagal melamar pekerjaan di 2 tahun pertama
karena kalah saing dengan pemilik IP besar).
Yah,
suatu saat saat kamu sukses, ingatlah bahwa ini pernah terjadi. Dan kamu
terpaksa membungkus telur rebus sarapan pagi di hotel agar bisa dimakan malam
hari demi penghematan uang tak seberapa. Ya, mungkin nanti suatu waktu kamu
akan tertawa, tapi tidak sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar