Jumat, 22 September 2017

Koran sebagai Alat Pembelajaran di Rimba



Mereka adalah Orang Rimba

Sudah 1x saya ke rimba sebelum ini. Beberapa hari saja. Dan sudah beberapa kali saya berjumpa, berdiskusi, kadang memfasilitasi pertemuan yang juga dihadiri oleh para pemuda dari rimba. Pada tulisan ini sebutan rimba jika kawan belum tahu, adalah sebutan saya bagi sebuah lokasi khususnya di dalam Taman Nasional Bukit Dua Belas di Jambi, lebih khusus lagi di bagian Makekal Hulu dimana kawan-kawan saya berkehidupan sebagai Orang Rimba. Jadi karena Orang RIMBA tinggal di RIMBA (hutan yang masih lebat), maka sepantasnyalah tempat tinggal mereka ini saya sebut RIMBA (masa iya sih disebut Meikarta?)

Nama-nama  Orang Rimba mungkin tidak familiar bagi orang terang*. Orang terang tentu tidak mudah menghapal nama-nama kawan kami: Bro Pengendum Tampung , Bro Mijak Tampung, Bro Penangguk Sunting, Bro Jangat Pico, dan lain-lain (maaf untuk yang perempuan, saya tidak kenal satu pun karena ada aturan adat bagi saya – orang terang, yang membatasi saya untuk berkenalan dengan mereka walau kami jumpa (jangan heran ya Orang Rimba menempatkan posisi perempuan sangat tinggi dan terhormat jadi wajarlah kalau ada aturan adat yang melindungi mereka ini dari yang model saya-saya ini).

Nah, para pemuda di rimba ini bergabung menjadi sebuah kelompok. Namanya KMB (Kelompok Makekal Bersatu) yang merupakan kelompok yang awalnya difasilitasi oleh SOKOLA (LSM). Kalau sekarang mereka sudah lebih mandiri, dan SOKOLA tetap fasilitasi mereka agar dapat berjaringan dengan kelompok lain. KMB ini yang sering menamakan dirinya Bramatala (Brani mati takut lapar katanya), fokus di pendidikan bagi Orang Rimba.  Terkadang dalam pertemuan Orang Rimba dengan pemerintah / pihak lain, kader KMB menjadi juru bahasa, negosiator atau perwakilan pada pertemuan tersebut **.

Ruma Pangajoran

Adalah sebuah bangunan di dalam hutan di rimba, masih agak di depan di daerah kebun karet yang disebut ruma pangajaron (rumah pengajaran) tempat kader SOKOLA meneruskan kegiatan literasi mereka. Di sinilah tempat kami biasa nongkrong kalau sedang ada pertemuan.

Rumah ini dekat dengan beberapa rombong Orang Rimba dan mungkin dipilih karena letaknya strategis. Untuk menuju lokasi ini kira-kira butuh 6-7 jam perjalanan naik mobil dari Jambi ke Bangko, lalu dilanjut naik motor/mobil 1,5 jam ke Trans-G (pemukiman transmigran) lalu dilanjut kira-kira 1 jam sampai  rumah itu (kalau habis hujan, maka becek banget, kaya ngebajak motor pake sawah).

Saya sulit menjelaskan akses masuk ke ruma pangajaron, terkecuali bahwa pejalan kaki mungkin bisa lebih beruntung daripada pengguna motor pada waktu-waktu hujan, walau butuh waktu lebih lama untuk berjalan. Waktu itu, seorang kawan saya mengalami kecelakaan terjatuh dari motor saat perjalanan, sehingga harus dipapah untuk berjalan selanjutnya.
  
Koran untuk Pendidikan

Di rumah tempat mengajar inilah saya ingin memulai cerita saya: kemarin saya bawakan barang mulia yang saya dapatkan dari pesawat terbang, sebuah koran yang kiranya akan membawa pengetahuan  bagi Orang Rimba. Tidak main-main jika saya mengatakan bahwa koran yang saya bawa bagus sekali. Ada berita tentang pembangunan daerah, komik spidermannya, harga-harga kebutuhan pokok (ada iklan bergambar dari Lotte yang menarik sekali). Sekiranya barang yang saya bawakan ini tentu akan jadi secercah cahaya bagi kawan-kawan dan adik-adik saya di rimba. Nama koran yang saya bawa begitu terkenal dan ia bervisi menjadi penunjuk arah bagi para pembaca sekalian yang budiman.

Dengan bangga, pada sore hari saya letakkan koran saya untuk dibaca kawan-kawan, dan benar saja semuanya bergembira. Karena koran saya terdiri dari beberapa bagian yang bisa dibaca secara terpisah maka terbentuklah kelompok-kelompok di bale-bale rumah itu. Ada yang asyik membaca iklan produk, ada yang baca tentang berita lingkungan, ada yang lagi membolak-balik koran secara cepat belum menemukan artikel kesukaannya. Bukan hanya anak-anak yang ingin membaca, Kepala Adat Bepa Pengusai pun saya lihat melihat-lihat koran tersebut.

Saya jadi menyesal tidak membawa lebih banyak koran dari pesawat yang banyak ditinggalkan para penumpang pesawat yang kurang bisa menghargai bacaan. Bayangkan jika saja mereka paham bahwa di bagian tempat lain koran seperti ini akan jadi sesuatu yang berharga. Sedih sekaligus geram saya memikirkan ini 😩😩😩

Sampai sore dan malam, koran itu sudah berganti-ganti tangan. Semua yang pergi ke ruma pangajaron minimal memegang atau melihat koran itu. Saya punya buktinya, sahih dan tidak dapat dibantah.

Dan malam itu, anak-anak yang sedang belajar dengan menggunakan lampu headlamp dan lilin bergantian melihat, membolak-balik koran itu. Suasana yang ditimbulkan sungguh khusyu. Saya bisa saja bila mengingat momen itu, di sini, saat ini akan memarahi anak-anak bandel yang kerjanya setiap hari main game, nonton TV, malas belajar dan menyusahkan orang tua.

Dan tidurlah saya malam itu dengan perasaan bersyukur sudah bisa membantu orang banyak.


Paginya, karena suasana yang dingin saya meneruskan tidur saya setelah terbangun sebentar. Biasanya di rumah ini kita terbangun karena suara-suara aktifitas baik binatang maupun manusia. Atau karena asap dari kayu yang terbakar (rumah ini rumah panggung, jadi di bawahnya kawan-kawan sering memanfaatkannya untuk memasak apabila cuaca agak hujan).

Ok, baiklah akhirnya saya bangun karena asapnya makin lama makin menusuk.

Setelah agak pulih, saya melihat sekeliling saya. Anak-anak sedang bermain. Di bawah ada yang sedang memasak, ada juga yang masih tidur.

Saya mau melihat apakah ada yang masih sedang membaca koran.

Saya lihat sekeliling, sepertinya sedang dibaca di sudut sana yang terhalang mata saya.

Anak-anak sedang riuh bermain pesawat-pesawatan.

Ok, saya akan lanjutkan bermalas-malasan dahulu. Indit, teman saya bilang kalau kehidupan di hutan ya begini, bisa bermalas-malasan kalau sedang malas dan bekerja keras kalau sedang mau kerja keras.

Di samping saya ada sebuah pesawat kertas.  Saya singkirkan sedikit. Ada juga yang dekat asbak rokok di depan sana.

Hmm... berwarna. Lalu saya amati lagi, sepertinya saya kenali.

ALAMAK.OH MY GOSH.
Itu kan dari koran yang saya bawa, yang saya pikir bisa digunakan untuk alat pencerahan di sini 😂.

Hati saya bercampur antara rasa penyesalan, sebal dan rasa geli. Rupanya koran mulia saya digunakan untuk main pesawat-pesawatan oleh anak-anak. Sisanya tergeletak berceceran di panggung, dan sisanya lagi mungkin jadi bahan buat menyalakan api di bawah sana. Ludes 70% nya. Sisanya kucel menunggu dibakar sia-sia setelah saya pulang.

Baiklah, saya menghapus kata geli pada paragraf di atas. Ini sebenarnya sudah termasuk tragedi, karena dengan demikian hilanglah kesempatan bocah-bocah lain, bahkan Kepala Adat untuk menikmati luasnya dunia di sana. Sungguh disayangkan kejadian ini terjadi.

Moral


Tidak setiap cerita punya moralnya sendiri-sendiri. Namun cerita saya ini tentu saja punya moral tidak seperti cerita-cerita lain yang murahan. Moral ini tentu saja perlu saya bagikan dengan para pembaca yang budiman.
  • Lain kali bawa koran lebih banyak dari pesawat. Harus menaklukan rasa malu saat mengumpulkan koran dari bangku sebelah dan depan (sambil jalan).
  • Majalah akan lebih baik dibawa karena lebih sulit untuk disobek, tidak mudah terlepas.
  • Atau bisa juga print gambar dan tulisan yang bagus serta dilaminating agar tidak mudah kusut dan bisa dipakai mengajar terus menerus.
Dari perspektif yang lebih dalam  kita dapat merefleksi.
  • Manusia berbuat, tuhan menentukan.
  • Koran yang kamu anggap bermanfaat bisa digunakan sebagai pelita untuk mengusir kegelapan (eh maap saya ketuker sama lagu guru), juga berguna untuk menyalakan api untuk bakar kayu dan memasak.
  • Kapal-kapalan lebih asyik dibanding membaca berita ekonomi dan pendidikan. Belum bisa diperkirakan hasilnya jika dibandingkan dengan yang bagian komik Panji Koming.
  • tuhan sayang Orang Rimba, agar tidak tercemar isu-isu busuk dari koran orang terang (termasuk iklan produk shampo yang wangi) yang bisa mengubah dunia mereka yang tenteram dan baik-baik saja menjadi berbau ***.
  • Belajar sebelum mengajar. Baiklah, ini saya kutip dari ucapan Bapak Dodi Rokhdian yang ngasi materi siangnya. Bukan istilah saya sendiri.Maksudnya kita ini ga boleh sok tahu, ngajarin sesuatu secara ga proporsional dengan asumsi yang kita percayai paling benar di dunia karena bisa membuat orang lain menderita. Belajarlah dulu dengan mendengar, mengamati, menganalisa, mencicip, mengendus,
Dari hasil merefleksi itu, legalah hati saya.

Sebelum meneruskan kegiatan, belajar membuat jerat hewan bersama kawan-kawan Orang Rimba, saya buatkan minuman Chocolatos untuk Kepala Adat Bepa Pengusai, tulus dari hati saya yang paling dalam, agar ia sehat dan bisa memimpin kelompok Orang Rimba dengan bijak dan aman selalu. Untuk koran, biarlah ia berguna secara semestinya di rimba ini.




Catatan kaki: 

* Orang terang adalah sebutan bagi masyarakat yang tinggal di luar hutan, sedangkan Orang Rimba menyebut diri mereka orang gelap – yang tinggal di bawah naungan pohon-pohon besar yang menjadikan suasana lebih gelap).
 ** Tahukah kamu, kalau kader SOKOLA ada yang sampai 15 tahun mendampingi, melihat anak KMB tumbuh dari kecil sampai beranak pinak saat ini? Indit (kader SOKOLA) mengatakannya pada saya saat kami berdiskusi dalam suatu pertemuan anak muda, Suara Muda Nusantara (SMN). Dari tidak mengenal huruf sampai bisa mengadvokasi ke pemerintah, itu SESUATU BANGET menurut saya.
*** Di rimba, sungai dianggap sebagai jalan dewa sehingga dilarang oleh adat untuk menggunakan bahan yang mencemari sungai, seperti misalnya sabun atau shampo. Buang kotoran manusia di sungai juga dilarang.