Jumat, 20 April 2018

Kenapa Mesti Jalan Ke Luar Negeri


Dulu, saya bercita-cita untuk mengelilingi Indonesia, terutama ke daerah Papua yang kalau jamannya saya SD pas presiden Suharto dipanggilnya Irian. Kenapa mau keliling Indonesia, bukan cita-cita ke luar negeri – aneh ya? Tapi saya rasa sebagian dari kamu juga seperti itu.

Jawaban saya (mungkin kamu juga) ya kalo di Indonesia ajah belom ngapain juga ke luar negeri, kan banyak obyek wisata indah di sini... perlu cinta Indonesia, dll dll.

Lalu tibalah suatu kesempatan ke luar negeri tahun 2009. Lembaga tempat saya kerja kebetulan berjaringan dengan yang namanya ILC dan mereka mau buat meeting di Filipina, saya ditawarkan ikut. Saya ga tertarik, karena tadi... cinta Indonesia (atau karena ga pede ya?)

Tapi lalu semua staf menolak. Kenapa...? Karena meetingnya jatuh kena dengan Hari Raya Lebaran. Sebagai satu2nya yang non muslim di kantor, lalu diberikanlah jatah itu ke saya. Padahal isunya tentang agraria yang notabene waktu itu saya ga familiar.

Belajar nyanyi. Karena India, Pakitsan dan Bangladesh tadinya bersatu, maka seringkali mereka dapat menyanyikan lagu yang sama. Kaya Indonesia ma Malaysia kali ya....
Sehabis urus2 paspor (baru), akhirnya saya terbanglah ke Filipina, bertemu dengan peserta lain dari India, Pakistan, Kamboja, Nepal, Bangladesh dan tentunya peserta Indonesia lain. Di pertemuan ini, modal saya cuma ice breaking untuk bantuin panitia sebab bahasa Inggris saya yang ala kadarnya kurang informatif baik dalam presentasi maupun melobi komunitas. Tapi kalau mau bangga, bolehlah saya bilang karena pengetahuan saya banyak tentang negara2 hasil rajin baca Wikipedia dan baca buku dari Killing Field Kamboja, perwayangan, sampai perubahan iklim – maka banyaklah teman saya. Saya juga demen banget denger cerita dari kawan2 ini misal tentang betapa padatnya Bangladesh, atau Kasta Dalit yang didiskriminasi di India... jadi mungkin mereka senang karena saya mendengarkan ya, jadi banyak teman.

Kepiting dan sayur yang difermentasi. Nah loh... :)
Ini adalah titik balik di hidup saya. Dunia yang tadinya saya kenal cuma Bogor Jakarta Jawa, pecahlah telurnya. Bertemu dengan orang asing, dan betapa tidak tahunya saya akan informasi di luar... dari apa yang biasa mereka makan, nama kota yang begitu asing, bertemu dan berdiskusi dengan anak sekolah, sampai belajar nyanyian asing membuat saya menjadi gila.

Sebab jika ke luar negeri, dari permen, bentuk tiang listrik itu beda. Semua berbeda dan buat otak saya yang menyukai petualangan, kemasukan informasi baru ini seperti ekstasi yang buat ketagihan. Belum lagi excitement-nya bahwa kita tidak tahu apa yang kita lihat kemudian selewat pertigaan, bila kita berjalan kaki.

Masihkah saya senang jalan2 juga di dalam negeri? Iya juga lah. Yaelah... senang jalan di luar negeri bukan berarti jalan2 di dalam negeri ga demen. CUMAN aja seringnya biayanya malah mahalan jalan2 di dalam negeri. Buktinya apa? Coba aja itung ke Lombok... kemaren baru ngebookingin temen, tiket pesawat 700 ribuan paling murah. Dengan biaya yang sama, tiket AirAsia 600 ribuan dah sampe ke Bangkok atau Saigon. Saya akan pilih ke luar negeri karena tingkat kejutan dan kebaruannya jauh lebih tinggi. 

Makan di Tobelo (Halmahera) tukang pecel lelenya dari Jawa, supermi nya rasanya juga sama walau desain alam dan budanyanya agak beda. Di Bangkok, saya bisa liat demo jaket merah (pendukung Thaksin waktu itu), ikutan festival air Songkran yang sama sekali gak ada di Indonesia. 

Tahukah kamu, semua kelompok2 minoritas di Burma takut kepada pemerintahan militer. Karen, Shan, Rohingya, Mon, Kayah, Chin, Kachin, dll. Negara2 bagian punya pasukan militernya sendiri2 dan pemberontakan selalu terjadi setiap waktunya. Cuma yang masuk koran sedikit aja karena ga semuanya seksi buat diberitakan.

Ada lagi point yang lainnya yang sangat berharga buat saya. Banyak perjalanan2 di luar negeri yang saya lakukan bukan hanya dalam rangka backpackeran, melainkan untuk bekerja, dan pekerjaan saya erat hubungannya dengan isu2 seputar hutan, tanah, masyarakat, hak asasi, dan lain-lain. Begitu banyaknya infomasi tentang masyarakat yang hidup di sana lewat pertemuan2 singkat ini dan melengkapi kekayaan pandangan saya akan manusia.

Saya bisa belajar mengenai konflik Suku Karen di Burma, saya berkunjung ke sebuah desa di Mindanao dan belajar mengenai mengorganisir long march petani. Saya belajar mengenai smog yang membuat penduduk Shanghai sakit. Yang semuanya berbeda dengan yang ada di Indonesia.

Demikianlah, perjalanan saya ke luar negeri membuat saya tidak sempit dalam berpikir, punya alternatif jawaban dalam memandang pemecahan suatu persoalan lokal.