Senin, 16 November 2015

Jaman Mapala vs Fahutan



Lanjut ya ke semasa saya kuliah (cerita ini sambungan beberapa cerita dengan label yang sama). Di masa kuliah saya memilih aktif di perkumpulan mahasiswa pencinta alam IPB: Lawalata IPB. Saking aktifnya, waktu lulus IPK saya 2,70 – sesuatu yang agak saya sesali karena kemudian saya sulit mencari beasiswa bahkan untuk melamar kerja sekalipun. 

Nilai saya banyak yang D seperti di kimia dasar 1 dan 2, statistika dasar, metode statistika dll. Tidak saya ulang karena saya kurang suka pelajarannya. Walau begitu saya bolehlah berbangga karena beberapa nilai penting juga A, sebagai penyeimbang agar IP tetap balance.

Di Lawalata, panggilan Ahong masih melekat di saya. Begitu populernya iklan Ahong yang dermawan bagi-bagi rejeki, termasuk ke pak haji sehingga dibredel karena keluhan masyarakat akibat dirasakan melecehkan pak haji. Jadi saya ikutan populer seperti si Ahong tersebut. Tapi sehubung semua calon anggota di diskriminasi mendapatkan nama panggilan jadi kali ini no problem: si Mehong, si Udang, si Jembut, si Oge (Omong Gede) dan lain-lain.

Yang boleh saya bangga sedikit adalah saya merubah sistem pendidikan untuk calon anggota di Lawalata ini. Saya memperkenalkan bahwa mengintimidasi, memukul, teriak-teriak bukan satu-satunya cara pendidikan. Saya memasukkan permainan, observasi dan analisis sosial pada malam hari terhadap tunawisma, survival perkotaan (dilepas di kota lain, diminta mengumpulkan uang dan tidak diberi makan), sampai character building.

Sesi keras seperti militer tetap ada tapi karena saya mem-blok orang-orang tidak waras yang gemar memukul akibat stres buat skripsi (akibat dia bodoh) jadi generasi ini agak terhindar dari ketidakwarasan.

Saya tentu saja dikomplain oleh senior2 tua (sekali lagi yang bodoh dan tidak lulus2 atau masih gila kekuasaan). Sehubung saya jadi ketua (kalo ga salah tahun 2000-2001) saya memegang kekuasaan untuk tidak melibatkan dan tidak mendengarkan orang-orang tersebut.

Saya agak bangga juga menjadi Ketua, jadi orang Cina pertama yang jadi ketua Mapala di IPB yang suka mendiskriminasi bolehlah kita merasa bangga walau dalam pemilihan saya beda tipis dengan si jahat yang suka omong doang. Artinya prestasi kalau kamu tidak beruntung, akan kalah dengan kampanye jual bacot.

Di Mapala, peristiwa berbahaya yang nyerempet ke Cina an saya terjadi saat terjadi perselisihan antara anggota dengan mahasiswa lain di fakultas kehutanan. Sehubung kegoblokan fanatisme fakultas amat tinggi waktu itu banyak peristiwa di IPB di mana demi menunjukkan kesetiaan korps maka bisa ada pertempuran antar fakultas kejar-kejaran gara2 provokasi kecil seperti masalah perempuan, liat-liatan dsb.

Ini saya agak salah juga sih, sebab waktu itu ada anggota yang merasa diancam oleh anak fahutan jadi saya datang ke DAR, tempat kumpul anak fahutan berusaha cari tahu dari nama orang yang sudah diinformasikan. Goblok banget pergi ke sarang musuh. Tapi waktu itu saya pikir tidak jadi masalah karena ada sahabat karib saya semasa SD yang jadi anak fahutan.

Ternyata isu sendiri sudah dibesarkan oleh si pelaku dan mereka sudah siap2 akan melakukan serangan ke markas Lawalata (PKM). Tersebarlah isu itu terutama si Cina, tadi ke fahutan... kita arah dia.

Sial banget emang, muka Cina ini gampang banget dideteksi. Saya setelah kejadian ini kalau ke kampus selama setahun tidak pernah lewat fahutan dan seminggu awal membawa pisau belati di tas. Setahun yang mendebarkan buat saya.

2 hari kemudian setelah kunjungan saya ke DAR, beredarlah kabar bahwa penyerangan akan dilakukan. Anak Lawalata berkunjung ke asrama mahasiswa fahutan senior karena junior tunduk ke senior di fahutan dan berusaha didamaikan. Sudah damai, eh ternyata tidak selesai sampai sana. Eh malah ada berita penculikan saat pelaku, yang diancam, perwakilan senior dan Lawalata berunding. Mahasiswa fahutan sudah berkumpul bawa alat, di markas Lawalata juga sudah tersedia balok, golok, klewang dll.

Akhirnya malam itu 5 orang Lawalata termasuk saya dan segerombolan mahasiswa kehutanan bertemu di lokasi pertemuan, disebut GWW. Saya tidak bawa alat sebab bisa memicu situasi jadi makin ancur. Kamu bisa bayangin, kira2 5 lawan 50 an lah tapi tidak ada yang berani memukul duluan, yang terjadi fahutan mengancam mondar-mandir sambil kita menjelaskan.

Karena jumlahnya banyak, mereka semakin berani, berteriak-teriak: pukul aja, ga usah nunggu. Cincang aja... Tapi karena dihadapi begitu tenang, ceileh... mereka ragu ga ada yang berani mukul duluan. Berani juga ya anak Lawalata. Kalau saya sih dalam keadaan begitu juga pasrah, selain siap-siap bentrok pengen tahu hasilnya.

Berantemnya ga jadi walau adrenalin sudah naik ke ubun2. Lalu dilanjutkan dengan pertemuan di Grawida (lokasi lain) kali ini membawa yang diancam kemarin (anak Lawalata). Saya diminta tidak ikut karena informasi dari anak fahutan sendiri (teman) bahwa saya salah satu yang “diarah”.

Dan akhirnya guess what? Anak Lawalatanya (yang diancam) meminta maaf kepada anak fahutan. Kalo menurut saya sih dia sebenarnya di pihak yang benar, hanya ceroboh lalu melibatkan korps (Lawalata) untuk mem-backing dia (alasannya, emblem Lawalata dicoret pake tangan). Saya sih melihat ini strategi mengalah yang walau tidak enak tapi jitu sebab meredakan ketegangan.

Yah anak Lawalatanya (yang diancam) sekarang juga ga jauh-jauh amat sih. Saya dengar dia jadi ekstrimis fanatik agama. Lalu anak fahutan provokatornya saya tidak tahu nasibnya. Pasti ga jauh-jauh amat jadi preman kampung di Tasik, atau jualan kredit baskom.   

Jaman reformasi 98



Sekarang saya mau cerita tentang kejadian pada tahun 1998, seperti yang sudah saya sampaikan singkat pada cerita sebelumnya. Kamu ingat cerita saya tentang ospek fakultas?

Tahun 1998 adalah saat saya baru lulus SMA dan mendaftar ke Universitas Negeri, yaitu IPB. Saya diterima melalui jalur UMPTN di jurusan ilmu dan teknologi kelautan. Itu juga saat terjadi kerusuhan Mei 1998. Saya di Bogor waktu itu dan tahu ada pembakaran-pembakaran, kasus-kasus perkosaan Tionghoa di Jakarta, namun keadaan di Bogor cukup aman waktu itu dan mengenai apa yang benar2 terjadi masih belum diketahui. Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun turun akibat aksi mahasiswa, beberapa mahasiswa Trisakti ditembak mati, rupiah melemah dari 2500an sampai 11 atau 14 ribuan kalau ga salah.

Saya masuk di bulan Juli waktu itu dan reformasi sedang berjalan. Mahasiswa Trisakti kalau tidak salah sudah tertembak. Kakak saya di Universitas Tarumanegara sudah terkena gas air mata saat berdemo di dekat Untar (sebelah Trisakti) dan di dalam mobil sepupu saya yang berkuliah di Trisakti didapat bolongan dan proyektil peluru.

Sebelum masuk perkuliahan, kami mahasiswa baru diospek dulu. 3x, yaitu di IPB, di fakultas dan di jurusan. Kalau ospek IPB yang mengagetkan hanyalah tiba-tiba saat ada performance ada segerombolan orang memakai celana sontok (semata kaki) tiba-tiba masuk kelas (untuk show) sambil membawa bendera hitam bertuliskan huruf arab, meneriakan Alahuakbar, lalu berlari-lari di depan, lalu meneriakkan kita harus memperjuangkan islam, awas kristenisasi dll. Nantinya saya tahu bahwa mereka berasal dari BKIM (Badan Kerohanian Islam Mahasiswa) salah satu yang sering meniupkan kebencian di dalam kampus, termasuk rajinnya mereka mengedarkan kertas formulir berjihad ke Maluku (saat kerusuhan terjadi), masuk dalam kelas dan memisahkan duduk laki-laki dengan perempuan. Bodohnya, karena masuknya bergitu heroik- membawa bendera dan sambil berlari maka saya ikut-ikutan menyemangati mereka sampai sadar saya berhadapan dengan aliran garis keras yang baru pernah saya lihat setelah kurang lebih 1 menit kemudian (sebab saat saya bersekolah di Regina Pacis yang toleransi antar muridnya tinggi). Saat itulah saya tahu ini adalah dunia yang berbeda dengan yang sebelumnya pernah saya alami.

Ok lah, ospek IPB lewat maka saya ikut ospek fakultas perikanan. Kalau satu jurusan kira-kira ada 80 orang maka ada sekitar 500 orang saat itu yang diospek di fakultas perikanan di Dramaga, Bogor.

Di ospek fakultas ini selama seminggu kami disuruh baris, membawa barang aneh-aneh, meminta tandatangan kakak kelas dari berbagai jurusan yang jumlahnya banyak banget, sambil kumpul pagi-pagi jam 5, pulang jam 5. Entah diisi apa ospeknya: kadang dibentak-bentak di auditorium, di selasar, diminta mendengar ceramah di auditorium, diminta jongkok, pushup di selasar, dan diulang-ulang.

Tidak banyak keturunan Tionghoa di jurusan saya. Ada 4 dari sekitar 90 orang. Di jurusan lain juga jumlahnya saya pikir sekitar 1-5 saja jadi amat mudah untuk mengenali kami yang matanya sipit berkulit biasanya putih. Menjadi keturunan Tionghoa di tahun 1998 menjadi urusan serius bagi mahasiswa senior yang merasa kami harus “dididik” lebih. Entah kerasukan roh reformasi yang telat atau lainnya mereka banyak yang memanfaatkan momen ini untuk balas dendam.

Segera pada hari pertama saya langsung disikat. Ditampar waktu itu sangat lumrah. Istilah tampar yang ringan biasanya dilakukan perempuan ke laki-laki atau sesama perempuan. Kalau sesama laki-laki istilahnya adalah gaplok (karena pakai tenaga) dan dari laki-laki ke perempuan istilahnya adalah tampar juga (dilakukan di sini). Ditendang dari belakang juga. Kalau memukul biasanya ke arah dada.

Salah satu sasaran yang sepertinya empuk dan menyenangkan adalah saya. Kalau diteriak-teriaki strateginya adalah kita tinggal menatap ke depan saja, seperti tentara yang ada di film dimarahi oleh komandannya... Tapi mereka segera menemukan cara lain untuk merendahkan saya. Waktu itu iklan Ahong yang memberi bingkisan kepada bapak haji sedang marak (yang lalu dicabut setelah oleh masyarakat waktu itu dianggap merendahkan pak haji).

“Mana si Ahong, mana si Ahong...” kata gerombolan bolak-balik.

Ini dia si Ahong, mereka melihat saya... lalu menarik kerah baju saya, mengerumuni saya. Saya sudah tidak ingat lagi perkata-perkataannya tapi kira-kira, “Lu Cina ya? Dari mana? Ikutan reformasi ga? Dukung reformasi ga? Nama lu si Ahong ya?” sambil tangan mereka gampar muka.

Kalau saya hitung dan sempat (kalau saja) perkiraan saya seharinya saya bisa ditampar 30 kali dari kesalahan tidak melihat ke depan, tidak bawa barang suruhan mereka, tanda tangan kurang, karena pengen aja atau karena menarik perhatian.

Pernah suatu waktu, satu dua orang dari mereka meng-gaplok2 saya, menyeret saya ke tiang pembatas lantai, menjorokkan dada saya sehingga 1/3 badan saya di atas pembatas lantai. “Jangan macem-macem lu ya Ahong, gw dorong jatuh lo! Lu berani lawan gw?”

Selasar perikanan (sekarang jadi kantin) letaknya satu lantai di atas lantai dasar jadi dia mengintimidasi akan menjatuhkan saya dari lantai dua. Saya tidak takut. Aneh memang, dalam keadaan seperti itu seluruh tubuh jadi siap, bukan bertempur tapi mencari cara terbaik menghindar atau terjatuh nanti.

Setelah saya dikembalikan ke barisan seseorang mendekati saya,” Kamu tidak apa2?”

Pertanyaan itulah yang membuat saya langsung sedih, dan saya hampir menangis. Saya jadi berpikir, kok tadi ada orang sejahat itu ya? Dan saya jadi sedih karena masih ada ternyata yang waras di sini.
Orang itu (saya berusaha mengingat mukannya namun tidak bisa teringat karena saya masih shock) berkata lagi.” Kamu jangan mau digituin... kalau ada seperti itu lagi kamu bilang sama aku.”

“Iya Kak.”

Boro-boro mau lapor, saya mengingatnya saja sulit. Apa saya harus teriak nanti cari dia? Dan seberapa banyak orang waras kaya dia dibanding banyaknya gerombolan tidak waras di sini? Kalau orang-orang ini waras tentu tidak akan terjadi ospek semacam ini.

Besoknya lebih gawat lagi walau saya tidak diseret ke tiang pembatas. Stevie, salah satu anak Cina beda jurusan yang banyak juga bergabung dengan saya secara tidak sengaja di barisan penyiksaan melapor kepada orang tuanya tentang perlakuan para mahasiswa/i barbar itu.

“Mana yang namanya Stevie? Kamu ngadu ya ke orang tua, ke dekan kami?”

“Engga kak, saya cuma cerita. Mungkin mereka khawatir jadi lapor ke dekan. Saya tidak meminta.”

Habislah Stevie hari itu. Kayanya dia dapat minimal 2x lipat tabokan hari itu plus jenggutan, seretan kesana-kemari. Untung walau berbadan kecil anaknya cukup tabah. Dia saya yakin sedih dan tertindas habis. Orang tuanya yang pikir dunia ideal dan akan adil dengan melaporkan kejadian tersebut ke dekan pasti tidak menyangka anaknya jadi bulan-bulanan top scorer hari itu.

Setelahnya, saya, Stevie dan Ruban (teman yang lain) kebetulan sulit dapat kos karena bukan muslim jadi ngekos bareng. Kalau jalan di Dramaga mencari kos maka sering ada pertanyaan, apa muslim atau bukan, jadi kami sepakat sewa kamar di Siva selama ospekan. Yang berdua, Stevie dan Ruban melanjutkan tinggal di Siva yang sekarang sudah jadi semacam hotel. 

Dasar orangnya periang, si Stevie ini kayanya cepat sembuh setelah kejadian penggamparan oleh panitia satu fakultas, malah kemudian dia jadi orang penting di jurusan dia pada masanya. 

Cukup panjang jika saya teruskan sampai ospek jurusan yang lamanya 1 bulan plus. Di jurusan, saya dan Adel (keturunan Cina Pontianak) terpilih jadi perwakilan jurusan laki-laki dan perempuan untuk dilantik secara simbolik jadi anggota himpunan mahasiswa jurusan ilmu kelautan. Saya tidak minat menceritakan detail ospek jurusan yang intinya sih mirip ospek fakultas dengan pertemuan yang lebih jarang (2-3 hari sekali).

Apa iya untuk jadi perwakilan laki-laki dan perempuan di jurusan harus saya dan Adel? Apa saya yang dianggap Cina bukan WNI ini lalu jadi dianggap LEBIH WNI dengan disuruh maju di upacara bendera di penutupan ospek jurusan? Nampaknya seperti itu, walau semuanya bilang main-main untuk lucu-lucuan.

Miss my family.

Minggu, 15 November 2015

Tingkat Stres Tiap Orang Berbeda-beda walau Kasusnya Sama

Tingkat stres orang bisa beda2, walau kejadian penyebabnya (kasusnya) adalah sama. Reaksi yang ditimbulkan juga berbeda.

Saya termasuk orang yang sedang-sedang saja tingkat stresnya jika menghadapai suatu masalah. Dibilang reaktif engga, dibilang pasif juga engga... Pada dasarnya dibanding ketiga anak orang tua, sayalah yang paling reaktif. Tapi jika dibanding dengan orang lain, rupanya termasuk yang biasa-biasa saja.

Contohnya begini, kejadiannya baru saja: kamu ngetik tugas, lalu tiba2 saat akan di print, menggunakan komputer lain lalu susunan paragraf, kata dan gambar jadi teracak-acak. Padahal sudah deadline. Nah reaksi tiap orang bisa berbeda:
·        Si A langsung kucel-kucel kertas, nangis lalu ga masuk kuliah/kerja.
·        Si B marah, kalau ada orang di dekatnya pasti jadi kena semprot
·        Si C sedih, tapi tetap bawa tugasnya, diperlihatkan ke yang memerintah siap disemprot
·        Si D pasrah saja, mungkin pas sampai tempat kerja sudah biasa lagi lalu lapor butuh tambahan waktu mengerjakan sambil memperlihatkan hasil kerjanya

Kalo tentang bereaksi, dengan kadar stres yang sama saya pikir cara bereaksinya (yang stres tersebut) adalah dengan mempelajari apa yang biasa dilakukan lingkungan sekitarnya. Kalau dia biasa melihat orang stres ngamuk dia akan ikut ngamuk. Kalau biasanya menangis atau diam saja itulah kecenderungan yang akan ia tiru.

Selain itu cara bertingkah laku juga dipengaruhi faktor genetik.

Tentang genetik, saya kasih tau juga ya kalo tentang produksi hormon yang menyebabkan stres juga diturunkan lho dari generasi ke generasi. Jadi kalau secara garis keluarga tingkah laku stresnya adalah Z maka ada kemungkinan sesorang anak akan memiliki kecenderungan Z yang sama.

Yang bekerja di LSM



Mungkin ini tulisan pertama saya dari yang akan saya tulis nanti di masa mendatang. Saya tahu mengapa saya menulis ini, tapi butuh belasan tahun sampai saya merasa perlu menuliskannya. Saya rasa karena salah satunya adalah saya ingin banyak orang mengetahui perasaan saya.

Saya ingin bercerita dari sudut pandang saya sebagai seorang keturunan Cina, yang lahir di Bogor. Umur saya sekarang 35 tahun lebih dan bekerja di sebuah LSM lingkungan kecil di Bogor. Berbeda dengan tulisan-tulisan saya yang lain, untuk tulisan-tulisan ini  saya ingin bercerita dari sebuah sudut pandang yang titik matanya ada di bagian hati saya di sudut. Sehubung ini bagian pertama, biarlah saya bercerita dari yang baru terjadi kemarin.

Selama saya bekerja di LSM lingkungan di Bogor, saya tidak banyak menjumpai keturunan Cina (saya akan langsung memakai kata Cina di paragraf lainnya) yang jadi aktifis sosial atau lingkungan. Rasanya nama yang familiar dengan saya bisa saya hitung dengan jari di satu tangan, artinya kurang dari lima. Mungkin ada juga yang bekerja di lembaga internasional, namun yang bekerja di lembaga lokal sedikit. Pada saat saya berkata yang saya kenal jumlahnya sedikit, artinya karena saya jarang melihatnya.

Kemarin saya melakukan fasilitasi di acara anak muda di Tobelo, Halmahera dan saya bertemu dengan Engelina, dan ini pertama kalinya saya berpartner dengan keturunan Cina juga. Hati saya diliputi perasaan senang, bangga dan khawatir.

Kamu tahu kenapa khawatir? Sebab dari dulu saya menghindar berkawan dengan sesama Cina. Memelihara diri sendiri saja sudah susah di lingkungan masyarakat yang sering mendiskriminasi saya secara langsung ataupun tidak langsung, apalagi jika berjalan dengan yang lainnya saya pikir. Mengurus diri sendiri saya bisa lebih fleksibel, tapi kalau berjalan berdua? Biarlah berjalan bersama Cina lain cukup di lingkungan yang aman tentram misalnya di Jakarta.

Sedih ya... saya masa sampai berpikir begitu? Karena sudah jamak dulu di masa kecil kalau berjalan saya dipanggil “Cina, Cina..” sambil ditunjuk-tunjuk oleh anak kecil. Atau mereka menirukan cara orang Cina berbicara,” Cing cang cong cing cang cong..”

Bagi saya itu sungguh menghina, dan hinaan ini masih saya terima jika berjalan di kampung sampai sekarang. Sudah dewasa tetap juga dikata-katai seperti itu. Terakhir terjadi 3 bulan lalu saat berjalan melewati sebuah SD di Caringin. Jadi hal ga lucu ini masih terjadi kok sampai sekarang, di jaman 17 tahun setelah tahun 1998.

Mungkin yang meneriakkan merasa lucu, dan tidak bermaksud menghina. Tapi saya yang punya pengalaman-pengalaman buruk dibedakan karena ras tahu ada sebab dibelakang itu semua. Dari pembedaan NEM antara yang Cina dan bukan waktu masuk SMP, permintaan SBKRI, tidak lulus calon PNS walau berkas lengkap tanpa alasan apapun, dan lain-lain. Ini yang tidak langsung. Yang langsung ya dikatain "Pergi lu Cina" oleh tentara, atau diseret-seret pas ospek masuk kuliah IPB: diteriakin Ahong-Ahong, ditanya lu orang Cina ya?

Dari bukit ini, saya dulu pernah diusir oleh tentara penjaga lokasi
Balik lagi ke masalah jalan berdua dengan Engel, saya jadi merasa kalau ia menempuh jalan yang sama dengans saya. Saat pulang ke Kao, bandara kami jadi berbicara, walau tidak lama tapi jadi membuka diri saya yang sangat tertutup. Selama ini saya survive dengan berpikir dan diam. Saya tidak mempunyai penguatan-penguatan dari Gereja, komunitas sesama Cina atau apapun. Bisa dibilang saya bekerja sendiri, dan sering merasa tidak peduli kata orang. Tapi benarkah saya tidak peduli kata orang?

Di Cimande, pernah ada bercandaan dari staf, sesama teman kantor waktu saya awal masuk ke sana:
 “Burung Gereja kalau mati susah masuk surga ya?” Kenapa? “Sebab Burung Gereja sih.”

 Sedih mendengarnya. Sebab saya tidak pernah bekerja membawa agama, dan tidak pernah terucap dari mulut saya tentang agama saya. Saya sampai dibilang Kristen, Cina murtad oleh staf kantor sebab jarang ke Gereja (Minggu saya sering ke lapang tanpa pernah mengeluh kalau itu waktunya untuk pergi ibadah), tidak makan babi, juga jarang terlihat berdoa. Ya, sebab saya tidak pernah menampakkan simbol apapun dalam bekerja.

Tidak berarti saya tidak mempunyai kasih Tuhan di hati, jika saya tidak pernah menampakkannya secara simbolis. Saya masih dan selalu merindukan Hari Natal tiba, yang saya coba rayakan sendiri di hati saya setiap hari.

Mendengar Engel bicara walau sedikit, saya merasakan hal yang sama. Kami sempat sama-sama bercerita kepada teman kami Uning: seringkali Engel dan saya menggunakan taktik yang sama jika pergi merantau. Menggunakan kacamata hitam (dan bawa buku kalau saya) agar dikira turis, sebab selain turis derajatnya dianggap lebih tinggi dari orang Cina Indonesia, akan diajak bicara bahasa Inggris dan notabene yang tidak bisa bicara Inggris akan menjauh. Lalu, saya tidak akan diteriaki “Cina-Cina..” selama jalan berkacamata tersebut.

Engel bilang, kadang saya sengaja pakai kaos biasa pakai sendal jepit kalau jalan-jalan di kampung biar menyatu lho...

Kata saya.” Kalau kamu pakai baju belel dan celana pendek dan sendal jepit nanti dikira Cina Glodok..” sambil tertawa mentertawakan orang-orang Cina sendiri. Bagi sesama orang Cina, masing-masing Cina ada tuduhannya sendiri-sendiri (nanti saya ceritakan ya kalau sempat).

Nasib Cina pekerja sosial memang agak ironis ya. Dikira punya uang banyak, padahal tidak. Bukan pedagang, tapi dikira pintar dagang. Kadang diminta pindah agama walau bercanda.

Tentang agama pernah dalam suatu sosialisasi di daerah panas di Aceh, seorang prajurit TNI bertanya kepada saya di forum, “Jadi, selain maksud bapak-bapak datang untuk konservasi hutan, apa ada maksud lain datang ke masyarakat ini? Mohon maaf saya di sini untuk menjaga keamanan, karena di daerah lain suka muncul isu-isu yang membuat resah.”

Saya rasa ia merujuk kepada isu “pindah agama dapat uang” yang berhembus beberapa bulan sebelumnya. Isunya sendiri tidak dapat dibuktikan, entah dihembuskan oleh siapa dengan tujuan apa. Saya sih seringnya pasrah saja. Tapi ada kejadian lucu dan menyebalkan menurut saya, waktu agar terlihat berwibawa maka si oknum mengusulkan usulan kegiatan bagi warga kampung untuk peningkatan ekonomi: saya diminta buat Pabrik Sepatu di kampung sana. Lah kenapa jadi Pabrik Sepatu, apa karena saya mukanya pengusaha?

Untung Pak Mukim membela saya: Pak Indra, itu orang yang ga tau apa-apa dan bodoh masa minta bikin Pabrik Sepatu sih di sini? Yuk kita ngopi aja daripada mikirin orang bodoh itu...

Mau muslim, cina, kristen, budha, aceh, batak kalo bodoh ya bodoh, kalo baik ya baik.