Selasa, 22 Desember 2015

Kekeuh Harus Curigaan Kalo Jalan2 (Yogya Part 1)

Kemarin (17-21 Desember 2015) saya mendampingi 4 orang anak (Avi, Rahma, Dewi, Inay) untuk berjalan-jalan ke Kota Yogyakarta. Ini adalah pengalaman pertama bagi mereka melakukan perjalanan ala "backpacker" sebab mereka merancang dari rute perjalanan, melakukan penggalian informasi terkait transportasi, penginapan sampai bersepakat bersama saya kalau akan melakukan penghematan-penghematan yang dirasakan perlu supaya ga keluar duit terlalu banyak.

Lalu berangkatlah kami, menggunakan kereta api kelas murah "Bengawan". Walau sudah banyak perbaikan dibanding kereta waktu jaman saya mahasiswa, yang penumpangnya sampe tiduran nyelusup ke kolong bangku tetep naik kereta ekonomi pegel2 badan sebab tempat duduknya lurus dengan punggung kita, persis kaya papan tanpa desain bantalan apapun.

Masih tentang tempat duduk dan bantalan, yang aneh adalah petugas KA lalu menawarkan bantal kotak segiempat kepada para penumpang. Saya mikir, buat apa ya pake bantal kotak itu? Ditaro di punggung akan memperkecil ruang senderan tanpa beri utilitas apapun, lalu kalo ditaro dipantat akan geser2 juga dan cenderung ga enak? Di alam pikiran saya, ada pertanyaan mengapa yang disewakan bukan bantal untuk leher ya? PASTI banyak yang mau pakai?

Saran saya bagi yang pegel2 di bagian pundak dan leher karena posisi yang kurang baik, silahkan gunakan botol aqua yang dibungkus oleh kain sebagai pengganjal pada leher. Botol aqua juga bisa diganti benda lain seperti payung lipat atau yang lainnya. Lumayan efektif untuk mencegah leher dan pundak sakit.
St Lempuyangan di waktu malam
Setelah kira2 8,5 jam di kereta, dari St Senen kami tiba di St Lempuyangan (jam 11.30 siang sampai 8 malam kira2). Sakit kepala akibat kesemprot AC (saran saya agar pakai topi) dan pegal2 di badan seimbang dengan harga yang dibayar (Rp 80.000).

Habis makan bekel yang dah disiapin ma umi nya Rahma n Dewi (empal plus nasi) kami berjalan keluar. Hari agak hujan rintik2 jadi kami tidak mau ambil resiko jalan jauh dan basah. Walau dari peta terlihat dekat dan saya pernah membaca kalau dari St Tugu (deket Malioboro) jalan ke St Lempuyangan hanya 1 km tapi lokasi penginapan kami ada di ujung jalan Malioboro yang lain. Saya memutuskan untuk mendukung rencana menggunakan taksi karena kemungkinan hujan di jalan tersebut, dan dengan perkiraan biaya sekitar 30 ribuan.

Akhirnya naiklah kami dengan taksi model avanza, karena kami pikir muat orangnya bisa lebih banyak. Nyatanya, kami tetap di charge tambah 10 ribu karena menurut supir taksi 357 (kalo ga salah itu merknya) taksi ini standar 4 orang maksimum, sedangkan kami 5 orang.

Otre sajalah karena kayanya masuk akal.

Kami lalu berkendaraan. Lewat Malioboro, lewat Sarkem (Pasar Kembang), Jalan Bantul dan seterusnya yang tidak saya ingat lagi. Sepanjang perjalanan kami mengkonfirmasi keberadaan penginapan "Deep Purple" yang sudah kami booking. "Gedungkiwo, Pak" Kata Rahma sambil menjelaskan nama jalannya juga, dari WA yang ia terima dari pihak homestay.

Terus terang saya kurang sreg dengan supir yang membawa taksi ini, sebab dari Pasar Kembang mulutnya sudah berceloteh tentang "pasar manusia". Mungkin itu menarik bagi lelaki, tapi ya ampunnn ini kan yang dibawa anak2 ABG? Apa ga bisa menyaring informasi kah? Kedua, supir ini tampak sok ramah tapi gajebo menurut saya. Dia nyanyi-nyanyi ringan di dalam mobil, lalu minta supaya bisa dilihatkan GPS (kebetulan handphone Rahma ada fasilitas tersebut). Alasannya, "Kalau pulsanya ga habis, GPS saya bisa seperti handphone nya Mba."

"Bodo amat" Pikir saya yang sudah negatif sebab memang sering berurusan dengan para pengemudi tranpsortasi saat backpackingan. Ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa dipercaya menurut saya kalau kita berjalan2: tukang beca, tukang ojeg, tukang taksi dan sejenisnya.

Jalan kaki malem2, di sekitar Gedungkiwo nyari homestay
Sampai di sekitar Gedungkiwo, taksi puter2, beberapa kali nyelonong lalu salah ambil gang. Kecurigaan saya bertambah besar: apakah sengaja tidak pelan2 dan salah ambil arah biar semakin lama kami di taksi sementara argo terus bertambah?

Setelah beberapa kali salah ambil arah karena tidak pelan2 kami putuskan berhenti di depan warung, membayar sekaligus jalan kaki mencari rumah homestay tersebut. Si supir masih mencoba menahan kami ,"Dicoba yang kiri", Katanya. Terlambat kami (saya terutama) memutuskan keluar taksi, diikuti oleh anak2. Saya khawatir argo terus bertambah seribu dua ribu sepuluh ribu lagi sementara kami berusaha melakukan penghematan.

Akhirnya bayar kalau ga salah Rp 55.000 (sebab tentu saja supir taksi tidak ada pulangan angka ribuan). Tidak beda jauh dengan tawaran supir taksi tembak di St Lempuyangan yang meminta Rp 60.000 untuk sekali jalan antar.

Di perjalanan, saya wanti-wanti mengulangi nasehat saya buat cucu-cucu saya ini, never trust a Taxi Driver regarding my experience elsewhere. Sekitar 5 menitan jalan, sampailah di Deep Purple Homestay yang ga pakai pelang kecuali temboknya yang warna purple seperti yang ia bilang. Pak Sono sudah berdiri di jalan menyambut kami. Horeee...

Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 10 malam waktu itu.

Walau kemudian kami menemukan bahwa perjalanan dari homestay ke Jalan Malioboro cukup jauh (setengah jaman jalan kaki kira2); dari perjalanan kami keesokan harinya, tetep saya kekeuh kalo kita harus berhati-hati kepada orang yang terlalu banyak berbicara, baiknya tidak normal serta berprofesi sebagai pengemudi. Walau kewasapadaan ini sangat berguna, namun saya akan cerita lain kali di part lain kalau ternyata kewaspadaan saya tidak cukup, dan kebobolan juga di hari kepulangang). Tunggu ya part selanjutnya...

Baca selanjutnya:
Taman Sari (Yogya Part 2)

Selasa, 15 Desember 2015

Jadi Miskin itu...



Jadi miskin itu

  • Ban motor gundul depan belakang tapi ga bisa ganti2, sama kaya remnya yg juga blong
  • Makan ngirit2, mikir 2x kalo aja bisa diganti ma telor rebus n nasi aja di rumah
  • Motong rambut jadi pendek aja, supaya irit shampo n lama panjangnya
  • Tau rumah jauh n pulang ujan2 badai lanjut pake doa aja
  • Dompet tipis gada duitnya selaen bon2 reimburse an aja
  • Ga bisa bales SMS lantaran pulsa abis, dan baru 3 hari kemudian bales minta maap
  • Nunggu uang bensin dari kantor, supaya ngehemat sedikit kalo naek motor
  • Bahagia kalo dapet jatah makan malem dari kantor
  • Rajin matiin lampu, supaya bisa ngehemat biaya listrik dikit
  • Ngopi di kantor aja ga di rumah
  • Ngerasa kaya kalo dapet tambahan duit 50 rebu
  • Dimarahin tiap hari setelah tanggal 20 an
  • Maunya menyendiri dan bengong, sebab ga ngabisin duit
  • Sedih ngeliat rinso abis pas lagi nyuci
  • Sedih ngeliat anak yang disekolahin mahal2 ulangannya jelek
  • Minum coca-cola dicampur aer biar jadi lebih banyak
  • Beli soto aernya banyak, lalu beli lagi ayam goreng di warteg buat nambah suiran dagingnya
  • Naek angkot, bawa recehan 500 supaya ga keki kalo ga dipulangin ma sopir
  • Berdebat ma tukang parkir kalo ngasih duit parkir motor 5rb dipulangin cuman 3rb 
  • Rajin ngambilin pulpen waktu seminar supaya ga perlu beli
  • Baju kerja makin lama makin belel, ngarep dapet baju turunan dari orang laen
  • Minum kopi pagi supaya ga lapar ga perlu sarapan

Rabu, 02 Desember 2015

Lagi Demotivasi dalam Bekerja



Gaji bagi saya adalah ukuran seberapa tidak suka saya mengerjakan suatu pekerjaan. Ketidaksukaan itu bisa jadi karena

  • Lokasi berbahaya, panas, atau terlalu dingin
  • Gaya manajemen yang harus dihadapi
  • Ketidakcukupan biaya hidup sehari-hari
  • Bertemu dengan orang yang tidak disukai dalam bekerja
  • Jauhnya pekerjaan dari cita-cita dan impian


Nah belakangan ini saya sedang memikirkan untuk pindah pekerjaan. Beberapa kriteria di atas sudah terpenuhi dan semakin hari saya semakin de-motivasi untuk bekerja.

Dulu waktu saya awal kerja di tahun 2004, kerja itu amat menyebalkan (saya bekerja sebagai sales trainee di Index Furnishing, sekarang Informa). Saking menyebalkannya, saya sampai ingat waktu itu di kosan saya di Kodamar (Kompleks TNI di Kelapa Gading), di loteng yang terbuat dari triplek (kebayang ya panasnya kalo siang) saya merenung: kok bisa kaya begini hidup saya...

Saya lulusan ilmu kelautan, bekerja menjual sofa, ga boleh duduk kalo sedang bekerja... dan jam 11 malem masih sibuk cuci baju di WC buat dijemur besokan? (sambil nyeseuh kucek-kucek kemeja ijo buat kerja).

Tapi itu dulu. Saya sudah mendapatkan pekerjaan yang cukup sesuai sekarang: berhubungan dengan alam, dengan keorganisasian, dengan pemuda, anak... tinggal satu yang belum; meneliti. Ya sebab saya menyukai hal-hal yang berbau ilmiah terutama terkait dengan alam.

Balik lagi ah... bete dan demotivasi ini mungkin karena di tempat saya bekerja selain kebutuhan uang yang semakin nampak, juga karena atmosfer di lembaga yang lembam. Kalau kata teman saya semua berjalan autopilot, tanpa koordinasi dan penghargaan.

Lagi-lagi jatohnya ke komunikasi ya... seperti asal muasal dosa pertama yang terjadi akibat miskomunikasi antara adam, hawa, ular, tuhan (kalo belo tau baca tulisan saya yang lain).

Kayanya saya tahun depan sudah tidak di lembaga saya yang sekarang deh :(

Ini sumber semangat saya dalam bekerja:





Selasa, 01 Desember 2015

Jengkel Sedikit



Boleh nga sih saya menumpahkan lagi kejengkelan saya? Entah kenapa ya makin lama saya makin sensitif seh... ingin dipandang tidak berbeda dengan yang lainnya?

Kemarin Nov 2015 pas pelatihan HCV (High Conservation Value) samaan ma banyak orang perkebunan Pak Edi, direktur Tropenbos kenalan ma saya...

“Oh, dari LSM... RMI, ya ya ya... “ Katanya sambil muka sumringah. Ia hobi bicara cepat, jadi ya ya ya nya diucapkan juga dengan cepat.

“Saya kira dari Sinar Mas.”

Grrrrr... kenapa larinya ke situ lagi ya? Buat yang belum baca cerita sebelumnya saya sebal kalo yang menjurus satu ini. Sebab menjurus lagi ke pengkotakan kalo cina itu pebisnis, ga kerja di LSM. Dan sialnya ini memang acara pelatihan terkait sawit lagi. Ada Dendi memang Cina yang lain yang jadi peserta, kerja di SMART (perusahaan sawit Sinar Mas).

Kalo Mb Rina, dari Yayasan Kehati (keturunan Cina Bangka neh si Mb Rina) pas datang ke RMI sewaktu belum kenal tanya ke si Tilla waktu melihat saya:

“Til, RMI lagi diaudit ya?”

Yang ini nanya begitu sebab saya dulu waktu awal masuk LSM membawa kebiasaan saya di perusahaan. Kemeja lengan panjang, pakai sepatu kantor hitam mengkilat.

Aduh, menyebalkan sekali ya... walau mereka sebenarnya ga rasis seh... en wajar juga pernyataan maupun pertanyaannya. Tapi kalo dikumpulin dari bulan per bulan bejibun dah pengkotakannya.

tuhan yang Saya Sembah



Saya menyembah tuhan yang baik, tuhan yang memberikan harapan, tuhan yang lembut dan penuh cinta kasih. Yap,kalo ditanya siapa tuhan yang saya sembah maka itu jawabannya. Entah tuhan itu punya nama a, b, c, d, x sama saja buat saya sebab di dalam imajinasi saya; saya tidak melihat pakaian yang dikenakan orang-orang pada tuhan. Saya lebih melihat pengejawantahan tuhan dalam sifat yang saya pilih ia kenakan, bukan pada simbol yang diberikan manusia yang sok tahu ini.

Tapi tuhan yang saya sembah ini tidak mahakuasa. Sebab ia tidak dapat menghentikan sakit, peperangan, kematian, kehancuran. Ia hanya memberikan penghiburan, pengharapan, kasih selama penderitaan itu berlangsung.

Kenapa sih saya percaya tuhan? Alasannya adalah karena saat ini saya ada. Kamu (walau bisa jadi kamu imajinasi saya) juga ada. Artinya ada sebuah keberadaan dibanding kekosongan, ketidak adaan.

Tapi memilih tuhan yang seperti saya bilang di atas sebenarnya bertolak belakang lho dengan logika ilmiah saya yang mengatakan bahwa tuhan itu mahakuasa dan terdiri dari kejahatan dan kebaikan dalam satu wujud.

Yaaaa... saya sering berandai-andai kalau tuhan yang kedua ini sedang bermain-main dengan para makhluk hidup sebagai percobaannya. Ini adalah tuhan programer yang sedang tertawa senang saat salah satu manusianya tertembak oleh manusia yang lain, dan heran sekaligus kagum saat manusia lainnya berhasil lolos dari sebuah bencana; dikarenanya ia memberikan bonus kepada manusia tersebut: harapan, kebijakasanaan. Tapi semua adalah bagian dari permainan itu sendiri. Ia mencetak grand design dan hasilnya sudah ia ramalkan (100% sesuai kah dengan keinginan dia?)

Jangan-jangan tuhan kedua ini punya tuhan lain juga di atasnya ya? Kepikiran ga? Dan tuhan kedua ini juga lagi pusing tentang konsep ketuhanannya terhadap tuhan lain di atasnya?

Mesti diselidiki neh sang maha tuhan yang paling luhur di sono. Sekeren apa sih dia, atau sebuas apa sih dia?

Well, berbalik dengan logika ilmiah saya... tetap saya memilih tuhan yang pertama, dan guess what: pilihan saya sendiri sudah menjadi bagian dari permainan itu sendiri, sudah termasuk program tuha yang kedua. Sial banget ya?

Senin, 16 November 2015

Jaman Mapala vs Fahutan



Lanjut ya ke semasa saya kuliah (cerita ini sambungan beberapa cerita dengan label yang sama). Di masa kuliah saya memilih aktif di perkumpulan mahasiswa pencinta alam IPB: Lawalata IPB. Saking aktifnya, waktu lulus IPK saya 2,70 – sesuatu yang agak saya sesali karena kemudian saya sulit mencari beasiswa bahkan untuk melamar kerja sekalipun. 

Nilai saya banyak yang D seperti di kimia dasar 1 dan 2, statistika dasar, metode statistika dll. Tidak saya ulang karena saya kurang suka pelajarannya. Walau begitu saya bolehlah berbangga karena beberapa nilai penting juga A, sebagai penyeimbang agar IP tetap balance.

Di Lawalata, panggilan Ahong masih melekat di saya. Begitu populernya iklan Ahong yang dermawan bagi-bagi rejeki, termasuk ke pak haji sehingga dibredel karena keluhan masyarakat akibat dirasakan melecehkan pak haji. Jadi saya ikutan populer seperti si Ahong tersebut. Tapi sehubung semua calon anggota di diskriminasi mendapatkan nama panggilan jadi kali ini no problem: si Mehong, si Udang, si Jembut, si Oge (Omong Gede) dan lain-lain.

Yang boleh saya bangga sedikit adalah saya merubah sistem pendidikan untuk calon anggota di Lawalata ini. Saya memperkenalkan bahwa mengintimidasi, memukul, teriak-teriak bukan satu-satunya cara pendidikan. Saya memasukkan permainan, observasi dan analisis sosial pada malam hari terhadap tunawisma, survival perkotaan (dilepas di kota lain, diminta mengumpulkan uang dan tidak diberi makan), sampai character building.

Sesi keras seperti militer tetap ada tapi karena saya mem-blok orang-orang tidak waras yang gemar memukul akibat stres buat skripsi (akibat dia bodoh) jadi generasi ini agak terhindar dari ketidakwarasan.

Saya tentu saja dikomplain oleh senior2 tua (sekali lagi yang bodoh dan tidak lulus2 atau masih gila kekuasaan). Sehubung saya jadi ketua (kalo ga salah tahun 2000-2001) saya memegang kekuasaan untuk tidak melibatkan dan tidak mendengarkan orang-orang tersebut.

Saya agak bangga juga menjadi Ketua, jadi orang Cina pertama yang jadi ketua Mapala di IPB yang suka mendiskriminasi bolehlah kita merasa bangga walau dalam pemilihan saya beda tipis dengan si jahat yang suka omong doang. Artinya prestasi kalau kamu tidak beruntung, akan kalah dengan kampanye jual bacot.

Di Mapala, peristiwa berbahaya yang nyerempet ke Cina an saya terjadi saat terjadi perselisihan antara anggota dengan mahasiswa lain di fakultas kehutanan. Sehubung kegoblokan fanatisme fakultas amat tinggi waktu itu banyak peristiwa di IPB di mana demi menunjukkan kesetiaan korps maka bisa ada pertempuran antar fakultas kejar-kejaran gara2 provokasi kecil seperti masalah perempuan, liat-liatan dsb.

Ini saya agak salah juga sih, sebab waktu itu ada anggota yang merasa diancam oleh anak fahutan jadi saya datang ke DAR, tempat kumpul anak fahutan berusaha cari tahu dari nama orang yang sudah diinformasikan. Goblok banget pergi ke sarang musuh. Tapi waktu itu saya pikir tidak jadi masalah karena ada sahabat karib saya semasa SD yang jadi anak fahutan.

Ternyata isu sendiri sudah dibesarkan oleh si pelaku dan mereka sudah siap2 akan melakukan serangan ke markas Lawalata (PKM). Tersebarlah isu itu terutama si Cina, tadi ke fahutan... kita arah dia.

Sial banget emang, muka Cina ini gampang banget dideteksi. Saya setelah kejadian ini kalau ke kampus selama setahun tidak pernah lewat fahutan dan seminggu awal membawa pisau belati di tas. Setahun yang mendebarkan buat saya.

2 hari kemudian setelah kunjungan saya ke DAR, beredarlah kabar bahwa penyerangan akan dilakukan. Anak Lawalata berkunjung ke asrama mahasiswa fahutan senior karena junior tunduk ke senior di fahutan dan berusaha didamaikan. Sudah damai, eh ternyata tidak selesai sampai sana. Eh malah ada berita penculikan saat pelaku, yang diancam, perwakilan senior dan Lawalata berunding. Mahasiswa fahutan sudah berkumpul bawa alat, di markas Lawalata juga sudah tersedia balok, golok, klewang dll.

Akhirnya malam itu 5 orang Lawalata termasuk saya dan segerombolan mahasiswa kehutanan bertemu di lokasi pertemuan, disebut GWW. Saya tidak bawa alat sebab bisa memicu situasi jadi makin ancur. Kamu bisa bayangin, kira2 5 lawan 50 an lah tapi tidak ada yang berani memukul duluan, yang terjadi fahutan mengancam mondar-mandir sambil kita menjelaskan.

Karena jumlahnya banyak, mereka semakin berani, berteriak-teriak: pukul aja, ga usah nunggu. Cincang aja... Tapi karena dihadapi begitu tenang, ceileh... mereka ragu ga ada yang berani mukul duluan. Berani juga ya anak Lawalata. Kalau saya sih dalam keadaan begitu juga pasrah, selain siap-siap bentrok pengen tahu hasilnya.

Berantemnya ga jadi walau adrenalin sudah naik ke ubun2. Lalu dilanjutkan dengan pertemuan di Grawida (lokasi lain) kali ini membawa yang diancam kemarin (anak Lawalata). Saya diminta tidak ikut karena informasi dari anak fahutan sendiri (teman) bahwa saya salah satu yang “diarah”.

Dan akhirnya guess what? Anak Lawalatanya (yang diancam) meminta maaf kepada anak fahutan. Kalo menurut saya sih dia sebenarnya di pihak yang benar, hanya ceroboh lalu melibatkan korps (Lawalata) untuk mem-backing dia (alasannya, emblem Lawalata dicoret pake tangan). Saya sih melihat ini strategi mengalah yang walau tidak enak tapi jitu sebab meredakan ketegangan.

Yah anak Lawalatanya (yang diancam) sekarang juga ga jauh-jauh amat sih. Saya dengar dia jadi ekstrimis fanatik agama. Lalu anak fahutan provokatornya saya tidak tahu nasibnya. Pasti ga jauh-jauh amat jadi preman kampung di Tasik, atau jualan kredit baskom.