Rabu, 13 Juni 2012

Berbagi Cerita dari Dunia Legoland (Shanghai)

(Sayang ah dibuang tulisannya hehe... sori ngulang cerita-cerita sebelumnya, ini tulisan singkat buat publikasi terbatas - sori bahasanya agak formal)

Saya pikir sebagian dari kita pernah tahu sebuah permainan balok-balok plastik kecil berbagai ukuran dan bentuk yang bisa dipasang-pasangkan, dilepas kembali dan dinamakan Lego. Atau barangkali bagi yang belum pernah memainkan Lego mendapati ada permainan sejenis – yang memainkannya seperti Lego – baik dengan menggunakan balok kayu ataupun plastik, karena saya menemukannya juga (buatan Cina), dijual oleh si mamang di depan SD Sempur di Bogor.

Lego adalah permainan menarik, terutama bila biji-biji baloknya banyak (kalau sedikit mainnya tidak asyik). Kita dapat menyusun balok-balok tersebut jadi rumah, mobil, pesawat, gedung, jembatan dan berbagai hal lainnya, dan bila sudah selesai kita dapat memilih apakah meletakkan ciptaan kita di dalam etalase; atau kemudian membongkarnya kembali untuk dijadikan ciptaan kita yang lain lagi nantinya. Itulah kekhasan permainan Lego, dengan balok yang sama kita dapat menciptakan banyak hal berbeda. Dapat dicabut dan dipasang kembali. Jadi buat anak-anak yang pembosan, Lego adalah sebuah permainan yang menantang.

Yang dibutuhkan hanyalah imajinasi.

Maket downtown di Shangai Urban Planning Exhibition Center, maket seluas 1 lantai
Dan Shanghai adalah kota dengan imajinasi. Shanghai adalah sebuah Legoland besar yang disusun dengan perencanaan sangat matang, konsistensi luar biasa dan kerja keras dari pemerintah Cina bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan swasta dengan memperhatikan prinsip kebersinambungan (sustainable development).
Di saat kota lain seperti Jakarta susah payah membereskan persoalan angkutan metromini (yang mengepulkan asap kehitaman di belakangnya), banjir yang merendam Perumahan Kelapa Gading dan Kawasan Bisnis Sudirman, lahan hijau yang dijadikan SPBU dan tiang-tiang pancang Monorel yang menganggur sudah hampir 2 periode gubernuran maka Shanghai adalah sebuah dream come true.

Bagaimana tidak, setelah berjibaku selama 20 tahun – menurut sang Profesor, melalui training APLP (Asia Pasific Leadership Programme) di Shanghai, 4-8 Juni 2012 kemarin – maka sampailah Shanghai pada tahapan seperti saat ini.

Sepeda, efisiensi biaya dan energi di pinggir jalan
Dengan jumlah penduduk 16 juta jiwa (terbesar di Cina) bisa dibayangkan apa dayanya kota ini bila tidak dilakukan penataan yang serius. Sebagai perbandingan, Jakarta hanya dihuni oleh 10 juta jiwa saja.

Tidak saya temukan kemacetan yang serius, kecuali sedikit terhambat saat berkendaraan di sekitar kawasan pertokoan. Manusia berlalu lalang dengan menggunakan sepeda atau motor listrik, selebihnya menggunakan kereta subway yang selalu tepat waktu dan berbiaya murah, setiap 3-5 menit dan dengan jaringan yang amat kompleks menjangkau hampir seluruh kawasan Shanghai. Mau turun dari pesawat, lalu melanjutkan naik subway sampai ke hotel pun sudah tersedia jalurnya. Tinggal jalan 5 menit sampailah saya ke hotel, ga perlu diserempet metromini dan dipalak ma pengamen jalanan.

Pembicaraan mengenai green economy sebenarnya tidak terlalu menarik minat saya. Isu sustainable development seringkali dilihat oleh saya dari kacamata lingkungan, advokasi serta pendidikan lingkungan. Isu renewable energy sebelumnya saya lihat dari kemampuan masyarakat untuk memproduksi briket dari gabah atau serbuk kayu, dan saya sering menghindari pembicaraan mengenai penggunaan listrik, energi angin atau penggunaan lampu LED. Sorry, saya bukan orang teknik sebab dulu kapok diberi nilai 6 saja oleh guru elektronik dan fisika saya di SMA, yang ngajarnya semena-mena dan tidak peduli perasaan murid saat mengajar.

Mau tidak mau saya jadi tertarik persoalan green economy dan renewable energy ini, setelah mengikuti pelatihan. Saya mulai tertarik berpikir ke arah desain dan arsitektur juga, sebab saya melihat rumah-rumah dengan dinding vertikal yang diisi oleh tanaman bukan rambat di sisi-sisinya, gedung dengan lorong yang diterangi oleh lampu LED yang hemat energi, sampai penghematan lahan perkotaan dengan kebijakan pembangunan gedung vertikal.

Sedangkan pada sisi transportasi, Shanghai berada pada perkembangan yang baik dilihat dari penggunaan sepeda dan motor listrik dimana-mana, transportasi masal yang ramah lingkungan dan mengurangi kemacetan sampai titik maksimal.

Really sophisticated banget pokoknya jika dilihat dari sisi keinginan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan.

Saya kemudian mencoba mencari penduduk dengan tingkat kemiskinan tinggi, sebab saya pikir pasti pembangunan seperti ini memakan korban masyarakat miskin, tergusur atau terlantarkan. Namun alhasil saya agak kecewa sebab hanya menumkan 1-3 pengemis yang sedang duduk dan tidur di dekat gedung dan pertokoan yang mewah. Sampai kepulangan saya, saya belum berhasil menemukan kawasan slum area dan membuat saya menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan para penduduk miskin sudah ditempatkan secara baik pada gedung-gedung apartemen, atau bertempat tinggal di desa di luar kota Shanghai. Ga sempat tahu....

Keseriusan pemerintah Cina, juga ditunjukkan bukan hanya dengan pembangunan saja – khas Legoland, maka pemerintah juga berani membongkar pasang bangunan. Percaya atau tidak, jalan layang dengan panjang kilometer juga dibongkar untuk dijadikan kawasan yang lebih tertata dan hijau. Kalau sempat jalan di Jakarta, di Jalan Gatot Subroto – bayangkan saja kalau pemerintah DKI berani membongkar jalan layang di atasnya dan membuat pemukiman hijau. Ngimpi kali ye, apalagi ma Bang Foke, anaknya Bang Yos yang jadi Gubernur... Mikirin manjangin kumis terus seh dia...

Yah beruntunglah saya, sudah dipilih mewakili Indonesia di pelatihan ini dan dibiayai oleh Hanns Seidel Foundation... Secara presentasi materi, memang profesor-profesor di Univeristas Tongji ini mendapatkan keluhan mengenai isi dan metode mengajarnya. Too much data, should be presented more efficient, low interaction dll – tapi di lain sisi, apa yang dijelaskan bila diperhatikan lebih lanjut dapat dihubungkan dengan jaring-jaring kecil, seperti yang seharusnya sudah didapat lewat pelatihan ini – with Compas perspective begitu kata Robert Steele, mentor ESD (Education for Sustainable Development) saya disini.

Kudu ada NSEW (Nature, Social, Economy, Well Being) ceunah, kata Robert. Nah, maybe kalau dijelaskan metodenya  semua mengerti, namun pahamkah juga kalau di kehidupan sehari-hari bahkan kita harus jeli melihat bahwa jaring-jaring tipis ini juga sebenarnya ada di hal-hal yang bahkan kita tidak sukai? Dari pelatihan di Dunia Legoland, Indra melaporkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar