Minggu, 10 Juni 2012

Jangan Salah Menilai Karakter, Walaupun Boleh (Shanghai 4)


Not at all... Ya, and not all..

Di ketinggian awan ini saya merenungi kembali saudara sedarah saya, yang sangat identik DNA nya dengan saya, ras Mongoloid yang tinggal di daratan Cina, terutama Shanghai.

Diceritakan oleh ayah saya, kalau sebenarnya kakek saya (engkong) masih berasal dari Cina daratan, tepatnya sebuah kota yang kalau sering ia sebutkan dilafalkan Moyang, sebuah kota atau kampung saya tidak tahu- tapi katanya itu berada di Propinsi Yunan. Saya tanyakan kepada si Chen Pu, participant dari Cina Beijing dimanakah lokasi nenek moyang saya tersebut. Sayang ia tak dapat menjelaskan dimana letak kampung itu... mungkin karena masalah pronounce – atau karena beda dialek atau karena sebenarnya ayah saya memang tidak tahu pasti letak kampungnya itu... maklum orang tuanya itu sudah meninggal sejak ia kecil. Tak banyak yang bisa diceritakan diwariskan kepada anaknya.

Dalam kepala saya, karena keseringan nonton film kungfu Jet Lee- orang dari Cina daratan itu saya sering identikkan dengan mata sipit, gigi tonggos, rambut berdiri, atau gendut kaya engko-engko dengan pipi yang tembem. Lalu diberitahu juga dari media kalau mereka suka meludah sembarangan, norak dan kalau tawar-menawar bisa sambil marah-marah. Terlebih karena saya suka mendengar bahasa Cina di tempat saya yang kasar, persis seperti kaleng diketok digesek-gesek bunyinya.

Sungguh saya mengasihani diri saya sendiri yang cukup egois dan suka men-judge orang lain dengan pengalaman yang sedikit ini.

Zhingwu Road, dekat Univ Tongji
Berjalan-jalan di Zhingwu Road dekat Universitas Tongji, sambil menghirup udara yang agak kelabu, saya melihat laki-laki perempuan, tua muda serta anjing-anjing kecil diajak berjalan-jalan santai di kota yang indah ini. Sepeda-sepeda dan motor listrik berseliweran, tertib (walau kadang nakal juga), serta elok dipandang – dikendarai mahasiswa-mahasiswi yang berwajah bersih. Dialek bahasa Mandarinnya enak juga kok, agak berlagu.

Jadi bingung benernya saya mendengar dialek mana yang bunyinya kaya kaleng ditakol digesek-gesek? Atau memang saya salah dengarkah di sini?

Sesekali saya melihat orang meludah. Tapi dari hasil berjalan selama 5 hari, saya terus terang – terang terus hanya mendapatkan satu kali orang meludah – saat jalan-jalan malam sendirian di Old China – dekat Yuyuan Garden. Bau minyak babi yang manis, serta diterangi temaram lampu jalan membawa saya untuk membayangkan kehidupan saudara CIna saya di sini.

Old Chinnese Town, deket Yuyuan Garden
Apa salah saudara-saudari saya ini sampai saya mencap jelek orang Cina daratan ini ya? Mungkin karena cerita kanan kiri, atau bawaan turis mancanegara yang bertemu mereka di Singapura – namun tidak cukup sahih untuk mensejajarkan saudara Cina saya ini menjadi level masyarakat rendah yang kurang terdidik dan jadul.

Mereka berpakaian rapih, bersih, tertib – serta menunjukkan pemikiran yang maju. Boleh juga diadu soal tampang dengan sembarang daerah di negara lain – tidak kalah cantik perempuannya, serta tampan laki-lakinya, dengan bentuk tubuh yang proporsional.

Mau melihat dari segi budaya dan kemodernan – bisa bikin Jakarta sempoyongan dan berpeluh ketakutan karena tidak imbang jadinya. Boleh juga diadu dengan Kuala Lumpur dan Bangkok, masih kalah juga dua kota ini. Kalau diadu dengan Bremen atau Den Haag mana saya tau – soalnya mang belom pernah datang kedua kota yang disebut.

Jalanan rapih, dengan penataan yang sedemikian superiornya ditata dengan taman-taman kota berbunga, jalur  pedestrian yang lebar. Semua sudut kota, bahkan sampai daerah yang bolehlah dikatakan agak slum untuk ukuran Shanghai, masih lebih bagus dibanding kelas menengah bawah bahkan menengah di daerah Jakarta.

Entah dimana mereka menyembunyikan daerah-daerah jorok lainnya. Atau mungkinkah daerah tersebut sudah menghilang karena penataan kota yang sedemikian baiknya?

Kembali lagi ke persoalan manusia yang membuat saya menyesal karena sebelumnya mengambil keputusan bahwa “tidak baik berteman dengan saudara Cina ini”, manusia di sini secara kualitas ok lah – kalau tidak bisa dibilang lebih berbudaya dibanding kita di negara Indonesia ini – ambilah contoh kota dengan kulaitas manusia paling bisa diandalkan di Indonesia – Jakarta.

Pendidikan yang baik, sopan santun, kebersihan, serta usaha –usaha memperbaiki lingkungan menunjukkan kalau seorang manusia bisa memiliki tingkat peradaban yang berbeda walau dibariskan dalam suatu ruangan. Sikap sesorang menunjukkan seberapa tinggi peradaban sesorang.

Yah bolehlah kali ini kita yang berasal dari luar Shanghai: Ulan Bator, Jakarta, Bangkok, Sydney,  Calcuta, New Delhi, de el el belajar dari sikap seorang manusia Shanghai walau juga tidak semuanya sebenarnya beperilaku baik (pastinya tak ada gading yang tak retak).

Seperti kata pepatah di budaya Indonesia: ilmu padi, makin berisi makin merunduk... maka terlihatlah kualitas seseorang dari sikap yang ditunjukkannya selama ia diberi wewenang. Semoga bukan karakter bangsa yang mereka tunjukkan saat itu karena semua orang menyaksikan dan boleh membuat kesimpulan sendiri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar