Not at all... Ya, and not all..
Di ketinggian awan ini saya merenungi kembali saudara
sedarah saya, yang sangat identik DNA nya dengan saya, ras Mongoloid yang
tinggal di daratan Cina, terutama Shanghai.
Diceritakan oleh ayah saya, kalau sebenarnya kakek saya
(engkong) masih berasal dari Cina daratan, tepatnya sebuah kota yang kalau
sering ia sebutkan dilafalkan Moyang, sebuah kota atau kampung saya tidak tahu-
tapi katanya itu berada di Propinsi Yunan. Saya tanyakan kepada si Chen Pu,
participant dari Cina Beijing dimanakah lokasi nenek moyang saya tersebut.
Sayang ia tak dapat menjelaskan dimana letak kampung itu... mungkin karena
masalah pronounce – atau karena beda dialek atau karena sebenarnya ayah saya
memang tidak tahu pasti letak kampungnya itu... maklum orang tuanya itu sudah
meninggal sejak ia kecil. Tak banyak yang bisa diceritakan diwariskan kepada
anaknya.
Dalam kepala saya, karena keseringan nonton film kungfu Jet Lee- orang dari Cina daratan itu saya sering identikkan dengan mata sipit, gigi tonggos, rambut berdiri, atau gendut kaya engko-engko dengan pipi yang tembem. Lalu diberitahu juga dari media kalau mereka suka meludah sembarangan, norak dan kalau tawar-menawar bisa sambil marah-marah. Terlebih karena saya suka mendengar bahasa Cina di tempat saya yang kasar, persis seperti kaleng diketok digesek-gesek bunyinya.
Sungguh saya mengasihani diri saya sendiri yang cukup egois
dan suka men-judge orang lain dengan pengalaman yang sedikit ini.
Zhingwu Road, dekat Univ Tongji |
Berjalan-jalan di Zhingwu Road dekat Universitas Tongji,
sambil menghirup udara yang agak kelabu, saya melihat laki-laki perempuan, tua
muda serta anjing-anjing kecil diajak berjalan-jalan santai di kota yang indah
ini. Sepeda-sepeda dan motor listrik berseliweran, tertib (walau kadang nakal
juga), serta elok dipandang – dikendarai mahasiswa-mahasiswi yang berwajah
bersih. Dialek bahasa Mandarinnya enak juga kok, agak berlagu.
Jadi bingung benernya saya mendengar dialek mana yang bunyinya kaya kaleng ditakol digesek-gesek? Atau memang saya salah dengarkah di sini?
Jadi bingung benernya saya mendengar dialek mana yang bunyinya kaya kaleng ditakol digesek-gesek? Atau memang saya salah dengarkah di sini?
Sesekali saya melihat orang meludah. Tapi dari hasil
berjalan selama 5 hari, saya terus terang – terang terus hanya mendapatkan satu
kali orang meludah – saat jalan-jalan malam sendirian di Old China – dekat
Yuyuan Garden. Bau minyak babi yang manis, serta diterangi temaram lampu jalan
membawa saya untuk membayangkan kehidupan saudara CIna saya di sini.
Old Chinnese Town, deket Yuyuan Garden |
Mereka berpakaian rapih, bersih, tertib – serta menunjukkan
pemikiran yang maju. Boleh juga diadu soal tampang dengan sembarang daerah di
negara lain – tidak kalah cantik perempuannya, serta tampan laki-lakinya,
dengan bentuk tubuh yang proporsional.
Mau melihat dari segi budaya dan kemodernan – bisa bikin
Jakarta sempoyongan dan berpeluh ketakutan karena tidak imbang jadinya. Boleh
juga diadu dengan Kuala Lumpur dan Bangkok, masih kalah juga dua kota ini.
Kalau diadu dengan Bremen atau Den Haag mana saya tau – soalnya mang belom
pernah datang kedua kota yang disebut.
Jalanan rapih, dengan penataan yang sedemikian superiornya
ditata dengan taman-taman kota berbunga, jalur
pedestrian yang lebar. Semua sudut kota, bahkan sampai daerah yang
bolehlah dikatakan agak slum untuk ukuran Shanghai, masih lebih bagus dibanding
kelas menengah bawah bahkan menengah di daerah Jakarta.
Entah dimana mereka menyembunyikan daerah-daerah jorok
lainnya. Atau mungkinkah daerah tersebut sudah menghilang karena penataan kota
yang sedemikian baiknya?
Kembali lagi ke persoalan manusia yang membuat saya menyesal
karena sebelumnya mengambil keputusan bahwa “tidak baik berteman dengan saudara
Cina ini”, manusia di sini secara kualitas ok lah – kalau tidak bisa dibilang
lebih berbudaya dibanding kita di negara Indonesia ini – ambilah contoh kota
dengan kulaitas manusia paling bisa diandalkan di Indonesia – Jakarta.
Pendidikan yang baik, sopan santun, kebersihan, serta usaha
–usaha memperbaiki lingkungan menunjukkan kalau seorang manusia bisa memiliki
tingkat peradaban yang berbeda walau dibariskan dalam suatu ruangan. Sikap
sesorang menunjukkan seberapa tinggi peradaban sesorang.
Yah bolehlah kali ini kita yang berasal dari luar Shanghai:
Ulan Bator, Jakarta, Bangkok, Sydney,
Calcuta, New Delhi, de el el belajar dari sikap seorang manusia Shanghai
walau juga tidak semuanya sebenarnya beperilaku baik (pastinya tak ada gading yang tak
retak).
Seperti kata pepatah di budaya Indonesia: ilmu padi, makin berisi makin
merunduk... maka terlihatlah kualitas seseorang dari sikap yang ditunjukkannya
selama ia diberi wewenang. Semoga bukan karakter bangsa yang mereka tunjukkan
saat itu karena semua orang menyaksikan dan boleh membuat kesimpulan
sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar