Kamis, 16 Maret 2017

Mendefinisikan ulang Ecological Child Rights dari Perspektif Anak



Istilah Ecological Child Rights (ECR) – hak anak atas keadaan lingkungan (yang sehat  dan aman), sebagai turunan dari hak anak nyaris tidak dikenal di masyarakat di Indonesia. Istilah ini merupakan istilah baru yang menerangkan adanya keterhubungan antara lingkungan tempat anak beraktifitas dengan proses tumbuh kembang anak, dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 1999 oleh National Coalition for the Implementation of Children’s Rights di Jerman. Terminologi kata ecological dan environmental sampai saat ini masih digunakan bersama-sama untuk menjelaskan hubungan di atas, namun dalam tulisan ini kata ecological-lah yang digunakan oleh penulis.

Keterhubungan antara perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia serta hak generasi yang akan datang sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru (1). Pada konferensi lingkungan internasional pertama PBB di Stockholm (1972) hal tersebut dinyatakan pada Prinsip I deklarasi final:

“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a solemn responsibility to protect and improve the environment for present and future generations.”

Keterbatasan pemahaman masyarakat, akan pentingnya – serta keterhubungan isu lingkungan dan hak anak di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) bisa jadi disebabkan karena konsep pembangunan hanya menitikberatkan kemajuan sektor ekonomi saja. Isu sosial dan lingkungan merupakan isu “kelas dua”, dimana isu ini hanya dianggap penting apabila dapat memberikan manfaat ekonomi secara langsung. Tidak mengherankan apabila kemudian terjadi degradasi lingkungan secara besar-besaran atas nama pembangunan beserta konflik-konflik sosial yang menyertainya. Pada setiap konflik yang terjadi, anak-anak dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan. 

Melalui penggalan tulisan-tulisan di bawah ini, anak-anak dan pemuda berusaha menangkap dan menuangkan kegelisahan-kegelisahan mereka sehubungan dengan perubahan lingkungan yang terjadi di sekeliling mereka. Tulisan mereka sederhana, namun memang sederhanalah anak-anak.

Tulisan dari Lindawati Saputri, 18 tahun


Kesehatan dan Keamanan

Lingkungan yang sehat dan aman harus dimiliki baik oleh mereka yang tinggal di ekosistem pedesaan maupun di  perkotaan. Kelompok anak dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia karena posisinya yang biasanya lemah (tidak didengarkan pendapat-pendapatnya, tidak kuat secara posisi tawar). Pada lingkungan pabrik misalnya, kelompok buruh yang paling sering dijadikan tenaga kerja berasal dari kelompok anak dan perempuan. Hal ini dialami oleh Winarti Oktaviani (18 tahun) yang tinggal di Kampung Lengkong – Bogor, Jawa Barat yang bekerja sejak lulus dari SMP pada umur 15 tahun sebagai buruh pabrik garmen. Menurutnya, jam kerja di pabrik seringkali tidak menentu, terutama apabila pabrik menginginkan produksi ditingkatkan menjelang hari raya (ia mungkin bekerja dari jam 07.00 – 21.00 di waktu lemburnya). Umumnya buruh tidak punya kekuatan untuk menolak kerja lembur dikarenakan kebutuhan ekonomi dan   ketakutan akan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) apabila terlalu sering menghindari lembur kerja.

Lindawati Saputri (17 tahun) dari Kampung Ciadeg – Bogor, Jawa Barat menyebutkan bahwa bekerja di pabrik sangat menguras tenaga, menyesakkan napas, serta mengakibatkan alergi parah pada kulit. Ia pernah bekerja sebagai “helper” - tukang pola pada sebuah garmen. Selama bekerja, buruh tidak diperkenankan duduk (terkecuali pada saat istirahat). Tubuh terasa sakit-sakit dan pekerja sering terkena migrain (sakit kepala)

Pemaparan bahan kimia dari kain pada tubuh juga mengakibatkan diri Lindawati alergi parah. Sebagai akibat dari kedua hal tersebut, Lindawati mengundurkan diri bekerja sebagai buruh garmen. Diduga paparan bahan kimia dari kain berbahaya bagi kesehatan. Tidak semua pekerja memang terkena alergi namun debu dari bahan kimia yang terhirup oleh buruh diduga akan berakibat pada jangka panjang. Pada kasus ini terlihat betapa berbahayanya bekerja di sebuah pabrik terutama bagi anak dan pemuda/i.

Walaupun Lindawati tidak menyukai bekerja di pabrik, namun ia juga menyadari bahwa mereka yang bekerja di pabrik adalah pahlawan bagi keluarganya. Ia menyebutkan, biasanya dalam 1 keluarga yang beranggotakan 5-7 orang, 1-2 orang dari keluarga tersebut bekerja di pabrik. Perempuan biasanya lebih mudah bekerja di pabrik karena lebih disukai (dianggap bekerja keras, tidak banyak membantah dan mau bekerja lembur). Beruntung bagi Lindawati, saat ini ia dapat bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah sekolah swasta di dekat rumahnya. Tidak seperti kawan-kawannya yang hanya lulusan SMP, Lindawati dapat bekerja sebagai tenaga administrasi karena sudah lulus SMK dan mengikuti kuliah di Universitas Terbuka saat ini.

Kisah yang sama diceritakan oleh Lili Suryani (saat ini 18 tahun - Medan, Sumatera Utara) pada workshop tentang hak anak – CRC Asia (Agustus 2014) di Jakarta, yang pernah bekerja sebagai buruh di pabrik pembuatan bata di Medan. Banyak teman seusianya yang bekerja di pabrik bata tersebut. Tanpa disadari mereka kehilangan waktu untuk bermain dan belajar. Seperti dikatakan Lili, asap hasil pembakaran batu batu juga banyak mengandung jelaga, serta lingkungan bekerja kotor dan berdebu. Hal ini dapat menjadi penyebab penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) bagi buruh yang bekerja disana.

Biasanya sepulang sekolah Lili bekerja di pabrik tersebut. Lili secara perlahan-lahan mengurangi jam bekerja, sampai akhirnya memutuskan berhenti dari pekerjaan tersebut setelah mendapatkan pendampingan dari sebuah LSM (KKSP) yang bergerak di isu hak anak di Medan.

Jailani (seorang anak, perkiraan usai 18-20 tahun) yang tinggal di Tanjung Belawan, Medan juga bercerita bagaimana banyak anak bekerja di bagan (tempat penangkapan ikan) di tengah laut, terombang-ambing di lautan dan terpisah dari daratan. Aktifitas ini sungguh berbahaya bagi anak karena tidak adanya jaminan keselamatan, waktu bekerja yang panjang dan tercerabutnya hak anak untuk belajar dan bermain. Bekerja di bagan menguras tenaga, berbahaya (karena berada di tengah laut lepas), serta merupakan bentuk eksploitasi tenaga anak.

Selain Winarti, Lindawati, Lili dan Jailani mungkin jutaan anak lagi yang bekerja sebagai buruh di lingkungan yang tidak sehat dan aman. Data yang ada tidak pasti karena sangat banyak pekerja anak yang tidak tercatat, dan umumnya bekerja secara informal. Menurut Muhaimin Iskandar (2) (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia), pada tahun 2013 sekitar 4 juta pekerja anak bekerja di sektor padat karya, Usaha Kecil Menengah (UKM) dan usaha beromzet kecil (Harian Republika, 5 Juni 2013).

Impian Anak akan Lingkungan yang Sehat dan Aman

Sehubungan dengan pengertian hak untuk keadaan lingkungan yang sehat dan aman, bagi anak-anak (dan pemuda/i), hal yang paling sering mereka ungkapkan dan mereka anggap dapat mewakili pemikiran mereka adalah “impian” yang berkaitan dengan keinginan mereka untuk tetap dapat “bermain” di sebuah lokasi yang aman, bersih dan terbuka.  Pemikiran ini sederhana namun sebenarnya merupakan pucuk dari pemikiran mereka. Terminologi kata “bermain” perlu dilihat dari berbagai perspektif, dan merupakan sebuah sintesis dari berbagai macam keadaan. 

Bagi Dewi Septiani (13 tahun) misalnya, kehilangan tempat bermain merupakan salah satu masalah yang mereka sadari. Dewi berasal dari Kampung Lebak Jaya (Bogor, Jawa Barat) menceritakan:


Tulisan dari Dewi Septiani, 13 tahun

Hal yang sama juga diceritakan oleh perwakilan anak dari berbagai lokasi (Bogor, Medan, Aceh, Jambi, Semarang, Yogyakarta) saat berdiskusi mengenai ECR pada acara National Partners Meeting TDH di Bogor, di bulan Februari 2013. Hal ini seringkali luput dari perhatian orang dewasa, bahwa konsep berpikir anak-anak dan pemuda/i adalah sederhana. Pemikiran mereka tentang konsep lingkungan yang sehat dan aman dirasakan diwakilkan dengan ketersediaan tempat untuk bermain dan berkumpul di tempat-tempat (lahan hijau) terbuka.


Tulisan dari Aviani Kurnia, 18 tahun

Aviani Kurnia (18 tahun) dari Kampung Muara (Bogor, Jawa Barat) menambahkan pula bahwa ada pula perubahan perilaku pada anak akibat hilangnya lahan hijau untuk bermain. Ia menyebutkan bahwa saat ini pilihan anak-anak untuk bermain semakin sempit. Banyak di antaranya pergi ke warnet untuk bermain dan bersosialisasi. Ia mendata, bahwa hanya tinggal 1 lapangan sepakbola tersisa di kampungnya, dan itupun dimiliki oleh pribadi sehingga ia khawatir bahwa di masa depan tempat itupun akan hilang.

Tulisan dari Dewi Agustina, 22 tahun

Dewi Agustina (22 tahun), bibi dari Aviani menuliskan kekhawatirannya akan hilangnya permainan-permainan tradisional akibat pengalih fungsian lahan menjadi rumah kontrakan dan pabrik seperti yang terjadi di desanya (Muarajaya – Bogor, Jawa Barat). Ia tidak menyalahkan kemajuan teknologi (seperti HP), karena menurutnya persoalan yang terjadi lebih diakibatkan oleh minimnya lahan bermain.

Apabila ditanyakan, maka sebenarnya persoalan lahan bermain (yang dianggap mewakili bergesernya kualitas lingkungan) tidak hanya dikemukakan mereka yang tinggal di kawasan desa, sebab ini juga dilontarkan oleh anak-anak lain yang tinggal di kota besar seperti Fina Aprilia Anggreani (18 tahun - Kota Semarang, Jawa Tengah), misalnya mengatakan bahwa walaupun ia tinggal di kota namun ia tetap mendambakan lingkungan yang hijau, indah dimana mereka dapat bermain dan berkumpul. Bagi masyarakat yang tinggal dan berhubungan langsung dengan

Walaupun pendapat ini tidak mewakili pendapat semua anak namun nampak ada keterkaitan antara ECR dengan pemikiran anak bahwa lingkungan yang sehat dan aman menjamin keberlangsungan aktifitas mereka untuk dapat bermain (di ruang terbuka hijau).

Ahmad Robial (18 tahun, Kampung Kibalu – Bogor, Jawa Barat) menjelaskan lebih lanjut mengenai akibat dari degradasi lingkungan terhadap penurunan kualitas dan kuantitas tangkapan ikan orangtuanya (dimana aktifitas ini merupakan salah satu matapencaharian keluarganya).



Tulisan dari Ahmad Robial, 18 tahun



Hak anak untuk berada di lingkungan yang sehat dan aman seharusnya juga menjamin bahwa dengannya maka persediaan air dan makanan yang menjadi asupan anak tidak tercemari oleh polutan. Pembangunan pabrik-pabrik di Desa dimana Robial tinggal (dan sebagian besar di wilayah ini) misalnya, menjadi masalah tersendiri sebab seringkali mencemari lingkungan dengaan pembuangan limbahnya secara langsung ke sungai dan saluran yang pada akhirnya mencemari tanaman padi penduduk. Penyakit kulit, alergi banyak diderita penduduk. Sumur-sumur tercemar sehingga airnya tidak dapat dipakai lagi, serta tanaman padi misalnya mengalami gagal panen akibat tercemari oleh limbah pabrik. Jumlah dan jenis tangkapan ikan juga turun drastis pada sungai yang tercemar seperti dikatakan oleh Robial. Beberapa kelompok, yang menggunakan metode biomonitoring (pengamatan kualitas air dengan menggunakan bio indikator) juga menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran ringan sampai berat di saluran-saluran air di daerah tersebut. Pencemaran berat terutama terjadi di saat musim kemarau, dan di titik dekat pembuangan limbah dari pabrik.


Kegiatan biomonitoring, melihat kualitas air berdasarkan keberadaan makhluk hidupnya

Kegiatan biomonitoring, yang dilakukan beberapa kelompok di Bogor misalnya, adalah salah satu kegiatan keorganisasian yang dilakukan oleh pemuda/i dan anak. Organisasi-organisasi ini bermunculan biasanya untuk merespon permasalahan sosial, ekonomi atau lingkungan yang terjadi di sekeliling mereka. Organisasi ini biasanya muncul setelah kelompok LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) melakukan pendampingan pada kelompok sasaran anak muda. Kelompok anak muda di pedesaan umumnya menghadapi permasalahan, bahwa kesibukan untuk berorganisasi berlawanan dengan kebutuhan mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Banyak lulusan SMP dan SMA bekerja sebagai buruh anak di pabrik. Di perkotaan kegiatan berorganisasi juga sering terbentur dengan permasalahan ekonomi bagi mereka dengan latar belakang ekonomi lemah, atau kesibukan anak muda untuk belajar bagi mereka dengan latar belakang ekonomi yang kuat.

Mendengar dan mencatat kembali tutur dari orang tua tentang sejarah kampung

Kembali saya ulang mengingat urgensinya; saat penulis bertanya kembali kepada peserta anak muda yang datang dari berbagai daerah di Indonesia (pada workshop National Partners Meeting terre des hommes - Germany, yang salah satunya mengangkat topik ECR) mengenai apa harapan mereka mengenai lingkungan mereka. Jawabannya adalah sederhana, selain menggambarkan lingkungan yang masih asri dan hijau mereka selalu membahas mengenai keinginan mereka untuk dapat melakukan aktifitas bermain.

Makna “bermain” penulis pikir bermakna sangat dalam. Penerjemahannya bisa jadi: tidak mungkin bisa bermain dalam keadaan lapar atau sakit, tidak mungkin bisa bermain dalam keadaan tidak punya tempat bermain dan tidak mungkin bermain saat lingkungan berbahaya. Terminologi kata “bermain” merupakan sintesis anak terhadap beberapa keadaan kompleks yang terjadi di belakang mereka yang juga berkaitan dengan keadaan sosial, politik, dan ekonomi suatu daerah.

---oOo---


Referensi:
(1)        Schubert, Jonas (2012). Protecting Environmental Child Rights. Terre des hommes Germany Publication.
(2)        http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/05/mnwsld-muhaimin-jumlah-pekerja-anak-ri-capai-4-juta-orang


Tulisan ini dikirimkan kepada terre des hommes Germany, untuk mendefinisikan kembali makna Ecological Child Rights pada bulan September 2014. Ditulis oleh Indra Nusantoro Hatasura.