Senin, 25 Desember 2017

India 2: Barang Murah dan Kemiskinan


Saat saya membeli barang dengan harga murah, saya selalu merasa senang, apalagi jika mendapatkan barang bagus, unik. Selain itu perasaan menang juga muncul, karena saat di - iyakan - artinya seperti memperoleh kontrol atas seseorang/sesuatu (let's talk about it next time).


Namun perasaan ini jadi dilema-lalala bagi saya sekarang terutama setelah sering menyaksikan kondisi para pembuatnya, atau masyarakat di sekitarnya.

Diawali misalnya saat jalan-jalan senang di Malioboro. Siapa yang tidak senang saat bisa menawar baju barong bali seharga 14 ribu rupiah, atau makan gudeg krecek telur nasi seharga 10 ribu rupiah? Di dalam hati saya berpikir merenung, keuntungan si pembuatnya pasti kecil ya (selama 5 detik), tapi lalu hepi selama 2-3 mingguan. Betapa kecilnya porsi berpikir tentang orang lain, dibandingkan kesenangan terhadap kemenangan diri sendiri ya?

Kebetulan saya punya kemampuan menawar, dan tahu tekniknya dengan tepat sehingga tak jarang saya jadi garda depan kegiatan tawar menawar kalau sedang membeli sesuatu. Tapi semakin lama saya merasa ada permasalahan antara kemampuan menawar saya dan hati nurani saya.

Perasaan ini semakin campur aduk saat saya ke India kemarin. Barang2 yang didapatkan saya di sana harganya lebih murah dibanding di Indonesia. Dimulai dari buku Rabindranath Tagore hard cover yang saya beli seharga 30 ribuan (kalau di Indonesia harganya sekitar 60 ribuan minimal), lalu kain (astaga, ada kain sepanjang 3 meter seharga 20ribu rupiah), baju kurti (60 ribuan, dan kayanya minimal harganya sejajar ma Tanabang), gelang warna-warni hiasan untuk oleh-oleh (50 ribuan utk 1 kotak isi 4 buah), buah delima  (12ribu sekilo), dan lain-lain.

Pemandangan biasa di jalan: seorang wanita tua, bersarung dan berjalan tanpa alas kaki
 
Dalam percakapan dengan Uda Aldi di RMI sesudah pulang, ia berkata... kalau harga barang murah itu artinya tenaga kerja juga dihargai sangat murah di sana. Saya jadi termenung, mengingat di sana saya melihat kemiskinan, kekumuhan, ketidaktertiban dengan mata kepala saya sendiri dan saya tahu bahwa itu adalah puncak gunung es dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Saat berjalan kaki (karena saya menyukai berjalan kaki di kota yang belum saya kenal), saya menjumpai simptom kemiskinan dimana-mana, dari wanita tua bersarung- penyapu di jalan berdebu tanpa alas kaki, mereka yang belum bangun tidur bergelung di jalan, pedagang kecil dengan lapak sederhananya yang semrawut, bau got yang tersumbat, sampah yang menumpuk di jalanan, orang yang menyikat gigi dan berkumur2 di jalan, dan sebagainya.

Di pagi hari, para pekerja kasar, mungkin gelandangan tidur tanpa alas di pinggir jalan
Ranchi di Jharkhand tempat saya berkunjung mungkin bukanlah kota termiskin di India. Saya mendengar di Colcata dan New Delhi, terutama di daerah slum keadaan jauh lebih buruk. Saya mulai bisa membayangkan bagaimana Mother Theresa pada tahun2 awalnya, turun dari pesawat lalu melihat-lihat sekeliling selama perjalan dan kemudian menetapkan hatinya untuk orang2 miskin. Yang saya lihat tidaklah seperseribu yang ia lihat dan jangan samakan saya dengan Mother Theresa ini. Jauuuhhhh. Dan ini saja sudah membuat saya deg-degan selama berjalan dan makin masuk dalam pikiran saya.

Saat saya semakin jauh melangkah, setelah lebih dari 1,5 jam tiba2 tanpa sengaja tibalah kaki saya menghantarkan saya ke para pengrajin kayu. Ganies, teman seperjalanan saya awalnya tidak terlalu memperhatikan tumpukan kayu di pinggir jalan, sampai kami berjalan lebih dekat.

Oh bukan, yang saya lihat bukanlah ukiran2 indah, melainkan kayu2 lapis yang dijadikan peti mati sederhana, agak mirip dengan kayu bekas peti kayu buah2an. Sungguh sederhana bentuk peti mati tersebut. Wujudnya cukup untuk menampung satu orang dengan tangan yang dilipat di dada. Tebal kayunya tipis, sehingga agak parno juga ya kalo membayangkan saat diisi tubuh seseorang, lalu karena berat jatuhlah papannya karena pakunya tak kuat menahan berat yang mengisi. Gedebuk.


Peti mati seperti ini jelas dikhususkan untuk orang miskin.Seorang teman, setelah melihat foto peti mati tersebut menyatakan kalau harganya sekitar 5 juta kalau di Indonesia (tentu dengan standar yang lebih bagus). Saya tidak bertanya berapa harga peti ini, hanya membayangkan kalau dipotong tiga, lalu dimodif sedikit bisa jadi isinya adalah buah-buahan.

Sepanjang saya berjalan tanda2 ketidaksejahteraan, kemiskinan semakin muncul. Ya, dan tanda2 tersebar di sebuah kota yang sibuk. Bukan di tempat2 terpencil dan kumuh tapi di tengah2 kota kecil ini.

Di sebuah lokasi wisata, Jhona Falls, mata saya tertuju kepada dagangan2 sederhana yang dijual oleh anak2 kecil di pinggir jalan kecil. Tumpukan buah jambu batu diletakkan di depan mereka. Tidak banyak, mungkin jika habis terjual semua pun, untungnya hanya cukup untuk menambah makan pada hari itu saja. Seorang anak perempuan kecil berjualan buah jambu batu ditemani adiknya yang lebih kecil. Tubuh mereka kurus. Tak jauh dari sana sebuah toilet yang agak berbau pesing membuat beberapa wisatawan berdiri menunggu di dekatnya. Sebagian memilih menunggu dekat si anak. Kalau beruntung, mereka akan membeli buah jambu itu. Mungkin.



Anak penjual buah jambu batu di sekitar lokasi wisata
Satu yang saya sering pakai sebagai pembanding kesejahteraan suatu daerah/negara adalah harga lokal dari produk Kentucky Fried Chicken atau McD-nya. Semakin murah harganya, maka tingkat kesejahteraannya semakin rendah. Saya bandingkan dengan harganya di Indonesia secara kasar, lalu saya bandingkan juga dengan harga di Filipina (pernah juga ke situ dan membandingkan harga ayam gorengnya) dan saya mendapatkan harga ayam goreng KFC nya terpaut beberapa ribu rupiah dengan yang di Indonesia dan Filipina. Artinya di India lebih miskin secara tingkat kesejahteraan menurut saya.

Mengapapa KFC atau McD bisa dijadikan patokan? Karena menurut saya, model toko, teknologi, jenis masakannya sama dan dengan menggunakan bahan yang sama. Yang mungkin menjadi faktor pembeda adalah harga bahan dasar, upah tenaga kerja, transportasi dan beberapa faktor lain.
Tenaga kerja lagi. Jadi bisa kita simpulkan sedikit jika barang yang sama, dengan menghilangkan faktor2 lain (biaya transportasi, harga bahan dasar yang beda, lokasi penjualan yang berbeda, pajak, kemudahan2), dijual dengan harga yang berbeda maka dapat dipastikan bahwa di tempat dimana benda tersebut kita peroleh lebih murah, maka tenaga kerjanyalah yang dihargai murah.

Jadi saya sekarang semakin enggan menggunakan kemampuan saya untuk menawar. Sekedarnya saja.

Tapi masalah kemiskinan ini ga pecah telor kok karena satu orang ga mau menawar barang. Perlu lebih dari itu. Bila kita bukan pembuat kebijakan, saya rasa bisa kita mulai dari memperlakukan dan membayar orang lain (terutama yang miskin) dengan lebih adil.

Membuat kerajinan kayu dengan kampak
Buat saya, praktiknya adalah bersikap lebih perhitungan kepada orang yang sudah cukup berada, dan bersikap lebih murah hati kepada yang lebih miskin. Melawan hukum alam memang ya, sebab membayar, memberi, menjilat orang yang lebih kuat itu akan membuat posisi kita lebih aman, n kalo dipikir2 apa untungnya sih menolong orang yang lebih miskin, yang mungkin tidak berposisi dapat menolong kita seperti yang kaya? Ga tau saya jawabannya, maybe soal keberpihakan saja (atau alasan lain yang saya kurang sadar).

Saya cukupkan tulisan ini karena makin lama makin agak ngawur dan saya melihat persoalan ini ga ada habis2nya, ga ketemu jalan keluar dan nempel di kepala saya. Pusing.
Merry X Mas 2017. May happiness and blessfulness with you. Damai dan sejakhtera bagi semua makhluk di dunia. Om Shanti Shanti Shanti.

Kamis, 21 Desember 2017

India 1 : Teh Susu dan Sapi


Teh susu di cawan tanah liat
Teh susu, sekarang menjadi minuman yang sering saya minum paling tidak 1-2x dalam sebulan, tergantung apakah saya sering atau tidak pergi membeli susu segar di rumah Pak Kohar, yang punya sapi perah dekat Kuburan Blender. Kebiasaan ini terbawa sejak saya pulang dari Indihe.

Tadinya saya minum teh saja, atau susu saja (kardusan, merk dancow dong pastinya). Namun karena di Indihe saya mencicip teh susu yang enak banget so saya jadi ketagihan. Rahasianya adalah mereka menggunakan susu sapi murni, lalu direbus dengan mencampurkannya dengan teh. Atau kalau di tempat lain, mungkin membuat air teh kental lalu mencampurkanya dengan susu murni. Agar tepat, perbandingan (air) teh dan susu haruslah bahwa susu lebih (sangat) dominan dibanding teh. Gulanya suam2 kuku ajah.

Saya mau cerita neh pengalaman saya di India terkait teh susu. Teh susu bisa diminum dengan mudah di jalan-jalan di Ranchi (saya berasumsi kota lain juga begitu) dengan harga 10 rupee (1 rupee = 207 rupiah saat itu) terutama di daerah-daerah yang agak ramai seperti dekat pasar, dekat stasiun. Ia dibuat pula minuman botolan dan dijual di warung-warung dari yang berdinding triplek sampai swalayan.

Penjual teh susu di pinggir jalan
Teh susu biasanya disajikan bersahaja di mangkok kecil yang dibuat dari tanah liat. Fungsi mangkok ini adalah untuk meredam panasnya teh susu, jadi bisa dipegang sambil ditiup-tiup. Wangi susu bercampur dengan aroma teh yang berat, dan membuat kantuk hilang di pagi atau malam hari. Saya biasa meminumnya sambil melihat para pejalan kaki lalu lalang di dekat stasiun kereta api Ranchi.

Dekat Stasiun Ranchi, pagi-pagi penjual teh susu sudah dagang
Masyarakat India ini peminum teh susu ya? Dan kalau begitu kita harus tahu asalnya susu... yaitu dari sapi (kalau susu sapi...). Nah yang unik adalah tentang sapi ini.

Di perjalanan dalam bis, saya bertanya ke teman saya Sailendra. Ia dari Nepal tapi ia rasanya mampu menjawab pertanyaan saya tentang persapian ini. Sebab ada kesamaan dalam budaya mereka memelihara sapi.

Menurut Sailendra, sapi-sapi ini dipelihara oleh masyarakat India, tidak boleh dibunuh. Jika mati karena tua atau penyakit maka ia akan dikuburkan di dalam tanah. Sapi adalah binatang suci bagi penduduk India yang beragama Hindu. Nandini, atau Andini adalah nama sapi putih yang ditunggangi Dewa Siwa dalam kepercayaan Hindu. Sapi dianggap memberikan kesejahteraan bagi manusia lewat susu, tenaga, air seni sampai kotorannya. Menurut kisah di India, Sri Krisna mengutamakan sapi sebagai binatang yang perlu dihormati.

Kheer yang tawar dan manis juga dibuat dari susu

Gulab jamun yang super manis juga dibuat berbahan susu
Nah di perjalan itu, sambil menikmati klakson tolalet tolatet nya si bis yang doyan banget nglakson (sebagai keterangan, penduduk sini demen banget maenin klakson, bikin stres saya) saya bertanya lagi, apakah tidak terjadi bahwa populasi sapi nya tumbuh terlalu banyak (sebab membayangkan sapinya kan tidak boleh dibunuh, dan apakah tidak terjadi kawin mawin antar sapikah?).

Sailendra menjawab tidak, sebab dikontrol. Sapi jantan tidak disatukan dengan sapi betina, dan walau populasi banyak (setiap keluarga yang mampu bisa punya 1-2 ekor sapi), tapi sapi tidak dibiakkan untuk tujuan bisnis. Jadi sudah dapet jawabannya ya... sapinya mang banyak, tapi dijagain satu-satu kaya anjing. Jadi bukan ditaro berkelompok dan sengaja dikembang biakkin buat diambil dagingnya. Seperempat populasi di dunia katanya ada di India (http://www.sapibagus.com/2016/04/01/6-negara-memiliki-populasi-sapi-terbanyak-di-dunia) yaitu sebanyak 330 juta ekor.

Tapi saya baca di google kok katanya India adalah negara pengekspor sapi potong juga ya keluar negeri? Tak terhindarkan kali ya, orang2 yang sudah melihat kendaraan Dewa ini sebagai komoditas bisnis menguntungkan? Jadi absurd juga kalau begini ya...

Sailendra dan Kalpana, dari Nepal
Saya sempat menyatakan ini ke Sailendra, tapi sepertinya ia tidak punya data seperti yang saya dapatkan, walaupun secara logika dapat dimengerti. Sailendra cuma bilang ada sih yang di negaranya membunuh sapi tapi secara ilegal. Data tentang pengeksporan ini mungkin dia ga ngeh waktu diskusi dengan saya.

Balik lagi ke soal sapi penghasil susu ini, doi ini keren – berjalan-jalan selayaknya bemo di jalan2 utama, tahu berhenti saat mobil di depannya berhenti. Agak minggir kalo motor mau nyusul, bisa nyelap-nyelip lewat celah-celah kalo mau nyusul, lalu dia berhenti di tumpukan sampah nye-nack sisa sayur, nasi. Ibaratnya sapi di India ini saya anggap setara bemo lah keberadaannya.

Sapi yang hidup di India ini mungkin hidupnya lebih enak ya dibanding sapi yang hidup di negara lain, yang hidup di Pakistan, Indonesia, Amerika yang memang dibiakkan untuk dimakan.

Sapi itu setara dengan bemo untuk soal nyelap-nyelip di jalannya
Pikir-pikir nasih manusia juga sama ya kaya cerita si sapi ini lho: manusia ga bisa milih dilahirkan dimana. Kalo lahir di Swedia, terjaminlah dia seumur hidup, tapi kalo lahir di negara Afrika yang lagi perang, apeslah nasib dia.

Yuk seruput teh susunya dulu...

Monggo lain kali dicobian teh susu buatan sayah


Jumat, 22 September 2017

Koran sebagai Alat Pembelajaran di Rimba



Mereka adalah Orang Rimba

Sudah 1x saya ke rimba sebelum ini. Beberapa hari saja. Dan sudah beberapa kali saya berjumpa, berdiskusi, kadang memfasilitasi pertemuan yang juga dihadiri oleh para pemuda dari rimba. Pada tulisan ini sebutan rimba jika kawan belum tahu, adalah sebutan saya bagi sebuah lokasi khususnya di dalam Taman Nasional Bukit Dua Belas di Jambi, lebih khusus lagi di bagian Makekal Hulu dimana kawan-kawan saya berkehidupan sebagai Orang Rimba. Jadi karena Orang RIMBA tinggal di RIMBA (hutan yang masih lebat), maka sepantasnyalah tempat tinggal mereka ini saya sebut RIMBA (masa iya sih disebut Meikarta?)

Nama-nama  Orang Rimba mungkin tidak familiar bagi orang terang*. Orang terang tentu tidak mudah menghapal nama-nama kawan kami: Bro Pengendum Tampung , Bro Mijak Tampung, Bro Penangguk Sunting, Bro Jangat Pico, dan lain-lain (maaf untuk yang perempuan, saya tidak kenal satu pun karena ada aturan adat bagi saya – orang terang, yang membatasi saya untuk berkenalan dengan mereka walau kami jumpa (jangan heran ya Orang Rimba menempatkan posisi perempuan sangat tinggi dan terhormat jadi wajarlah kalau ada aturan adat yang melindungi mereka ini dari yang model saya-saya ini).

Nah, para pemuda di rimba ini bergabung menjadi sebuah kelompok. Namanya KMB (Kelompok Makekal Bersatu) yang merupakan kelompok yang awalnya difasilitasi oleh SOKOLA (LSM). Kalau sekarang mereka sudah lebih mandiri, dan SOKOLA tetap fasilitasi mereka agar dapat berjaringan dengan kelompok lain. KMB ini yang sering menamakan dirinya Bramatala (Brani mati takut lapar katanya), fokus di pendidikan bagi Orang Rimba.  Terkadang dalam pertemuan Orang Rimba dengan pemerintah / pihak lain, kader KMB menjadi juru bahasa, negosiator atau perwakilan pada pertemuan tersebut **.

Ruma Pangajoran

Adalah sebuah bangunan di dalam hutan di rimba, masih agak di depan di daerah kebun karet yang disebut ruma pangajaron (rumah pengajaran) tempat kader SOKOLA meneruskan kegiatan literasi mereka. Di sinilah tempat kami biasa nongkrong kalau sedang ada pertemuan.

Rumah ini dekat dengan beberapa rombong Orang Rimba dan mungkin dipilih karena letaknya strategis. Untuk menuju lokasi ini kira-kira butuh 6-7 jam perjalanan naik mobil dari Jambi ke Bangko, lalu dilanjut naik motor/mobil 1,5 jam ke Trans-G (pemukiman transmigran) lalu dilanjut kira-kira 1 jam sampai  rumah itu (kalau habis hujan, maka becek banget, kaya ngebajak motor pake sawah).

Saya sulit menjelaskan akses masuk ke ruma pangajaron, terkecuali bahwa pejalan kaki mungkin bisa lebih beruntung daripada pengguna motor pada waktu-waktu hujan, walau butuh waktu lebih lama untuk berjalan. Waktu itu, seorang kawan saya mengalami kecelakaan terjatuh dari motor saat perjalanan, sehingga harus dipapah untuk berjalan selanjutnya.
  
Koran untuk Pendidikan

Di rumah tempat mengajar inilah saya ingin memulai cerita saya: kemarin saya bawakan barang mulia yang saya dapatkan dari pesawat terbang, sebuah koran yang kiranya akan membawa pengetahuan  bagi Orang Rimba. Tidak main-main jika saya mengatakan bahwa koran yang saya bawa bagus sekali. Ada berita tentang pembangunan daerah, komik spidermannya, harga-harga kebutuhan pokok (ada iklan bergambar dari Lotte yang menarik sekali). Sekiranya barang yang saya bawakan ini tentu akan jadi secercah cahaya bagi kawan-kawan dan adik-adik saya di rimba. Nama koran yang saya bawa begitu terkenal dan ia bervisi menjadi penunjuk arah bagi para pembaca sekalian yang budiman.

Dengan bangga, pada sore hari saya letakkan koran saya untuk dibaca kawan-kawan, dan benar saja semuanya bergembira. Karena koran saya terdiri dari beberapa bagian yang bisa dibaca secara terpisah maka terbentuklah kelompok-kelompok di bale-bale rumah itu. Ada yang asyik membaca iklan produk, ada yang baca tentang berita lingkungan, ada yang lagi membolak-balik koran secara cepat belum menemukan artikel kesukaannya. Bukan hanya anak-anak yang ingin membaca, Kepala Adat Bepa Pengusai pun saya lihat melihat-lihat koran tersebut.

Saya jadi menyesal tidak membawa lebih banyak koran dari pesawat yang banyak ditinggalkan para penumpang pesawat yang kurang bisa menghargai bacaan. Bayangkan jika saja mereka paham bahwa di bagian tempat lain koran seperti ini akan jadi sesuatu yang berharga. Sedih sekaligus geram saya memikirkan ini 😩😩😩

Sampai sore dan malam, koran itu sudah berganti-ganti tangan. Semua yang pergi ke ruma pangajaron minimal memegang atau melihat koran itu. Saya punya buktinya, sahih dan tidak dapat dibantah.

Dan malam itu, anak-anak yang sedang belajar dengan menggunakan lampu headlamp dan lilin bergantian melihat, membolak-balik koran itu. Suasana yang ditimbulkan sungguh khusyu. Saya bisa saja bila mengingat momen itu, di sini, saat ini akan memarahi anak-anak bandel yang kerjanya setiap hari main game, nonton TV, malas belajar dan menyusahkan orang tua.

Dan tidurlah saya malam itu dengan perasaan bersyukur sudah bisa membantu orang banyak.


Paginya, karena suasana yang dingin saya meneruskan tidur saya setelah terbangun sebentar. Biasanya di rumah ini kita terbangun karena suara-suara aktifitas baik binatang maupun manusia. Atau karena asap dari kayu yang terbakar (rumah ini rumah panggung, jadi di bawahnya kawan-kawan sering memanfaatkannya untuk memasak apabila cuaca agak hujan).

Ok, baiklah akhirnya saya bangun karena asapnya makin lama makin menusuk.

Setelah agak pulih, saya melihat sekeliling saya. Anak-anak sedang bermain. Di bawah ada yang sedang memasak, ada juga yang masih tidur.

Saya mau melihat apakah ada yang masih sedang membaca koran.

Saya lihat sekeliling, sepertinya sedang dibaca di sudut sana yang terhalang mata saya.

Anak-anak sedang riuh bermain pesawat-pesawatan.

Ok, saya akan lanjutkan bermalas-malasan dahulu. Indit, teman saya bilang kalau kehidupan di hutan ya begini, bisa bermalas-malasan kalau sedang malas dan bekerja keras kalau sedang mau kerja keras.

Di samping saya ada sebuah pesawat kertas.  Saya singkirkan sedikit. Ada juga yang dekat asbak rokok di depan sana.

Hmm... berwarna. Lalu saya amati lagi, sepertinya saya kenali.

ALAMAK.OH MY GOSH.
Itu kan dari koran yang saya bawa, yang saya pikir bisa digunakan untuk alat pencerahan di sini 😂.

Hati saya bercampur antara rasa penyesalan, sebal dan rasa geli. Rupanya koran mulia saya digunakan untuk main pesawat-pesawatan oleh anak-anak. Sisanya tergeletak berceceran di panggung, dan sisanya lagi mungkin jadi bahan buat menyalakan api di bawah sana. Ludes 70% nya. Sisanya kucel menunggu dibakar sia-sia setelah saya pulang.

Baiklah, saya menghapus kata geli pada paragraf di atas. Ini sebenarnya sudah termasuk tragedi, karena dengan demikian hilanglah kesempatan bocah-bocah lain, bahkan Kepala Adat untuk menikmati luasnya dunia di sana. Sungguh disayangkan kejadian ini terjadi.

Moral


Tidak setiap cerita punya moralnya sendiri-sendiri. Namun cerita saya ini tentu saja punya moral tidak seperti cerita-cerita lain yang murahan. Moral ini tentu saja perlu saya bagikan dengan para pembaca yang budiman.
  • Lain kali bawa koran lebih banyak dari pesawat. Harus menaklukan rasa malu saat mengumpulkan koran dari bangku sebelah dan depan (sambil jalan).
  • Majalah akan lebih baik dibawa karena lebih sulit untuk disobek, tidak mudah terlepas.
  • Atau bisa juga print gambar dan tulisan yang bagus serta dilaminating agar tidak mudah kusut dan bisa dipakai mengajar terus menerus.
Dari perspektif yang lebih dalam  kita dapat merefleksi.
  • Manusia berbuat, tuhan menentukan.
  • Koran yang kamu anggap bermanfaat bisa digunakan sebagai pelita untuk mengusir kegelapan (eh maap saya ketuker sama lagu guru), juga berguna untuk menyalakan api untuk bakar kayu dan memasak.
  • Kapal-kapalan lebih asyik dibanding membaca berita ekonomi dan pendidikan. Belum bisa diperkirakan hasilnya jika dibandingkan dengan yang bagian komik Panji Koming.
  • tuhan sayang Orang Rimba, agar tidak tercemar isu-isu busuk dari koran orang terang (termasuk iklan produk shampo yang wangi) yang bisa mengubah dunia mereka yang tenteram dan baik-baik saja menjadi berbau ***.
  • Belajar sebelum mengajar. Baiklah, ini saya kutip dari ucapan Bapak Dodi Rokhdian yang ngasi materi siangnya. Bukan istilah saya sendiri.Maksudnya kita ini ga boleh sok tahu, ngajarin sesuatu secara ga proporsional dengan asumsi yang kita percayai paling benar di dunia karena bisa membuat orang lain menderita. Belajarlah dulu dengan mendengar, mengamati, menganalisa, mencicip, mengendus,
Dari hasil merefleksi itu, legalah hati saya.

Sebelum meneruskan kegiatan, belajar membuat jerat hewan bersama kawan-kawan Orang Rimba, saya buatkan minuman Chocolatos untuk Kepala Adat Bepa Pengusai, tulus dari hati saya yang paling dalam, agar ia sehat dan bisa memimpin kelompok Orang Rimba dengan bijak dan aman selalu. Untuk koran, biarlah ia berguna secara semestinya di rimba ini.




Catatan kaki: 

* Orang terang adalah sebutan bagi masyarakat yang tinggal di luar hutan, sedangkan Orang Rimba menyebut diri mereka orang gelap – yang tinggal di bawah naungan pohon-pohon besar yang menjadikan suasana lebih gelap).
 ** Tahukah kamu, kalau kader SOKOLA ada yang sampai 15 tahun mendampingi, melihat anak KMB tumbuh dari kecil sampai beranak pinak saat ini? Indit (kader SOKOLA) mengatakannya pada saya saat kami berdiskusi dalam suatu pertemuan anak muda, Suara Muda Nusantara (SMN). Dari tidak mengenal huruf sampai bisa mengadvokasi ke pemerintah, itu SESUATU BANGET menurut saya.
*** Di rimba, sungai dianggap sebagai jalan dewa sehingga dilarang oleh adat untuk menggunakan bahan yang mencemari sungai, seperti misalnya sabun atau shampo. Buang kotoran manusia di sungai juga dilarang.

Minggu, 09 Juli 2017

Siem Reap 2: Bergandengan Tangan


Di suatu pertemuan di Negara Kamboja, di Kota Siem Reap di bulan Maret 2017 kami dari beberapa negara Asia Tenggara kumpul. Dari Indonesia, kebetulan saya, Mas Sis dan Avi terpilih sebagai perwakilan lembaga dan anak muda. Avi kebetulan adalah perwakilan anak yang mendapatkan suara dari teman2nya sehingga bisa mengikuti pertemuan itu. Rejeki dan kemampuan lah menurut saya sebab selain ia harus mampu memahami dan berbicara bahasa Inggris, selain itu ia juga harus mendapatkan kepercayaan dari pilihan anak-anak lain perwakilan terdahulu di Asia Tenggara.
Kroma, selendang khas Khmer jadi inceran kami kalau jalan2 ke pasar

Di sela-sela pertemua yang berjalan lambat, yang kami tunggu2 tentulah saat berjalan-jalan ke luar ruang pertemuan. Mas Sis yang kurang sehat keadaannya biasanya memilih stay di hotel (mungkin sambil liat film atau nyanyian Khmer yang saya rasa ia ga ngerti juga yah :P ). Kalau saya walau ga ngerti tetapi demen. Entah kenapa ya, saya itu suka banget ma budaya2 asing (termasuk budaya suku2 Indonesah juga sih) jadi di sana saya suka nonton TV dari pengusiran setan oleh biksu, nyanyi2, siaran kickboxing sono, sampe iklan shampo.

Mejeng dikit abis presentasi dengan terbata-bata karena pake bahasa Inggris :)
Balik lagi, ke waktu yang kami cintai: waktu jalan2, ternyata yang suka jalan2 juga bukan kami saja. Orang dewasa yang sorenya tidak melakukan pekerjaan serius sering pergi jalan2. Kami yang satu rombongan terdiri dari orang Indonesia, Thailand, Burma, Filipina, Vietnam, Laos, dan Kamboja tentunya sebagai tuan rumah, seperti pelangi. Satu lagi dari Belanda, dan satu lagi dari India. Cukup mewakili benua2 besar ya, kurang Aborigin dan Indian komplitlah kami. Kami semuanya bersangkutan dengan beberapa pekerjaan kemanusiaan, dan biasanya terhubung dengan isu anak.

Yang saya cintai adalah bahwa semua peserta, tanpa memandang umur suku ras dan agama bersahabat. Ya bersahabat, kata ini benar2 saya rasakan. Di perjalanan menuju tempat makan, Avi yang muslim digandeng oleh Hnin Hnin dan Thu Zar yang beragama Budha. Saat saya berjalan di belakang mereka, tiba2 saja kejadian itu terjadi. Satu hal sederhana yang saya pikir muncul dari hati masing2, seakan mereka berkata... kita adalah bersaudara. Tanpa banyak berkata-kata dalam bahasa Inggris (karena Avi dan Hnin kurang suka dan kurang bisa memakai bahasa Inggris), mereka menggoyang-goyangan tangan sambil terus berjalan.


Thu Zar, Hnin Hnin dan Avi
Di Burma, masih ada persoalan mengenai konflik Rohingnya yang muslim di negara bagian Rakhine dari tahun 2012 sampai hari ini, sehingga ribuan orang pengungsi berhamburan keluar dari negara. Konflik di Burma sendiri bukan hanya menimpa kaum Rohingnya (baca ....). Di Indonesia, patung Budha besar sempat diturunkan di Tanjung Balai, Sumatera 2016 akibat paksaan kelompok Muslim radikal. Di Indonesia juga sama kasusnya dengan di Burma, kaum mayoritas ada yang menjadi bagian dari penindasan kaum minoritas. Mungkin kata mayoritas perlu kita perjelas sedikit... karena bisa jadi di kaum mayoritas tidak semuanya setuju akan kesewenang-wenangan, namun karena yang fundamentalis lebih kuat, berani, dan sering disokong oleh kekuatan ekonomi dan politik tertentu maka suara dan aksi mereka seakan-akan menjadi suara dan aksi keseluruhan mayoritas.

Saya lupa siapa yang omong ya... pokoknya kira2 bilang kalau yang benar diam saja saat kesewenang-wenangan merajalela, di situlah kemanusiaan akan benar2 mati.

Tapi di sini, arti perlawanan itu benar2 nyata. Tentu saja saya mendengar semua usaha2 yang dilakukan teman2 yang tergabung, dari aksi2 kemanusiaan yang mereka lakukan di negara masing2. Dari melakukan kampanye menentang pembangunan dam yang merugikan masyarakat lokal, pengorganisasian kaum muda, perbaikan fasilitas kesehatan, kegiatan pertanian, aksi2 mendukung penegakan HAM dan lain-lain.

Di antara kekacauan2 yang terjadi, cukup bergandengan tangan saja dan itu memberikan harapan besar bagi kami untuk masa depan.