Selasa, 05 Januari 2016

Taman Sari (Yogya Part 2)



Ketika kemarin, bulan Desember 2015 kami berjalan-jalan ke Yogyakarta dengan mode backpacking dan masing-masing ditanya lokasi mana yang paling menarik buat kami, jawaban saya agak berbeda dengan teman-teman saya. Sebagian menjawab keraton dan Borobudur, Malioboro dan lain-lain sedangkan pilihan saya merupakan pilihan kategori lokasi yang mereka anggap tidak menarik.

Saya menyukai perjalanan dan berada di lokasi Taman Sari.  Taman Sari ini adalah sebuah kompleks yang terhubung satu lokasi ke lokasi lainnya dengan bercampur antara memasuki gang-gang dimana penduduk tinggal, reruntuhan bangunan serta taman yang terawat dengan baik (sebagian). 

Keseluruhan taman dan bangunan ini cukup besar, namun sulit memperkirakan luasannya karena juga bercampur dengan areal perumahan-perumahan penduduk (mungkin kediaman abdi dalem yang diberikan ijin tinggal oleh kesultanan di sekitar lokasi).

Reruntuhan bangunan
Menuju Taman Sari, awalnya saya bingung juga sebab ada petunjuknya di tengah pasar, lalu kami masuk pasar tersebut. Di pasar kami bertanya lagi sebab kok agak berbeda dengan bayangan kami – kalau memasuki obyek wisata pasti ada loket tiket, tertata dengan baik dll... tapi ini seperti masuk jalan kampung, dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Belakangan kami tahu jika pintu masuk Taman Sari ada beberapa dan yang kami masuki ini sepertinya bagian belakangnya.

Yang kami masuki pertama adalah bekas bangunan yang sudah rubuh, reruntuhan. Gedung setinggi kira-kira 20-30 meteran itu dengan atap yang sudah runtuh tampak seperti bekas bagian bangunan penting yang sudah abandoned. Ada 2 tingkatan pada gedung itu, dan bangunan ini kalau menurut saya keren ya buat pemotretan... sebab seperti dimana gitu..? Beberapa tembok berserakan di atas tanah berpasir. Namun untungnya, tempat ini cukup bersih – tidak terlalu nampak jorok. Ada beberapa orang disana yang sepertinya menjaga (pemandu legal atau ilegal), dan sibuk berteriak-teriak, terutama kepada anak-anak muda yang naik di lantai 2 karena duduk-duduk di pinggiran bangunan yang berbahaya. Pemandu ini walau berjasa menjaga kelestarian bangunan namun juga agak mengganggu ya sebab mereka sering mengajak bicara wisatawan tanpa memperkenalkan diri secara resmi. Terus terang banyak wisatawan menjauh karena khawatir disuruh bayar jasa panduan, atau simply karena merasa terganggu didekati orang tak dikenal.

Setelah berkeliling di lokasi pertama lalu saya bertanya dalam hati... bagian lain yang kayanya indah yang ada di internet dimana ya? Kok masuk lokasi Taman Sari dapetnya yang beginian aja ya... walau terus terang saya juga memperkirakan kalau picture indah di internet kalau dibandingkan dengan yang aslinya pasti beda... wong yang motret milih angle dan mainkan warna toh?

Terowongan menuju bangunan utama
Untung si Rahma lalu kasih tau: ke bawah kak... ada jalan lagi ke bawah. Lalu ke bawahlah saya, menapaki jalan batu yang sekali lagi di kiri-kanannya ada perumahan penduduk. Lalu sampailah kami pada sebuah pintu masuk yang kurang terlihat. Ternyata nembus ke terowongan bawah tanah yang cukup besar. Menuruni tangga, terowongan berdiameter sekitar 10 meter ini cukup keren dan kita menembus bagian bawah Taman Sari. Sinar matahari masuk seadanya saja dan membuat susana seperti senja. Terowongan ini kita jalani sekitar 3-5 menit, dan akan menembus ke bagian Taman Sari lainnya.

Lalu kami berjalan lagi, masuk sela-sela rumah penduduk lagi dan akhirnya sampai ke bagian utama Taman Sari yang dimuat di internet. Nah disini kita harus beli tiket. Cukup murah, kalau ga salah cuma 2 ribuan aja deh.

Bagian ini adalah bagian yang ada kolam renangnya, pemandian para selir raja waktu jaman dahulu. Tamannya tertata dengan baik dan ada pemandu wisata apabila diperlukan. Kalau tidak punya uang tapi ingin dengar sejarah tempat ini, mungkin kamu bisa mendekati rombongan yang sedang di guide. Jangan terlalu dekat biar tidak mengganggu rombongan utama ya?

Kolam renang putri-putri raja / selir
Yang unik dari tempat ini adalah selain bangunannya yang saya bilang masih cukup baik perawatannya, serta minimnya coret-coret yang saya temukan adalah karena banyaknya rumah penduduk yang ada di dalam kompleks. Mungkin ini adalah penghargaan Sultan terhadap para abdi dalem yang selama ini mengabdi, dan walau kesultanan tidak bisa memberikan gaji yang besar bagi para abdi ini, tapi fasilitas-fasilitas dan ijin seperti inilah yang bisa ia berikan.

Cukup mengganggu sih banyak rumah di dalam kompleks, tapi ini menjadikannya unik juga.

Lalu kolam renang di dalam Taman Sari boleh direnangi ga? Jangan mimpi ya... air jernih ini cukup dipotret saja, lainnya tidak. Dipasangi tali juga agar begundal-begundal nakal tidak mencoba masuk kolam ini.

Kalau kamu penggemar sejarah, budaya, sesuatu yang unik, Taman Sari boleh dikunjungi. Saya malah menyukainya. Kalau kamu berharap obyek wisata yang rapi penataannya, fasilitas tersedia, dicat bagus, hijau berbunga seperti yang kamu harapkan di internet, jangan kesini ya.
Komplek Taman Sari bersatu dengan pemukiman
Baca sebelumnya:
Kekeuh harus curigaan kalo jalan2 (Yogya Part 1)

Minggu, 03 Januari 2016

Ada Apa di Petak Sembilan, Glodok



Berjalan-jalan di Petak Sembilan, Glodok adalah menyusuri kehidupan keturunan Cina di Kota Tua Jakarta. Buat saya yang juga keturunan Cina dan tinggal di Bogor kawasan serupa juga ada di daerah Suryakencana, Jalan Roda dan Gang Aut – tapi tidak sebesar dan semeriah kawasan sekitar Petak Sembilan. Berjalan-jalan di sana, saya seperti kembali ke asal muasal saya – dari budaya, suasana meriah pasarnya sampai bau hio dari toko-toko sepanjang jalan, beserta tempelan penolak bala di atas pintu masuk toko yang juga difungsikan sebagai tempat tinggal.

Petak Sembilan tidak pernah membosankan bagi saya. Biasanya setelah berbelanja di Jalan Asemka dimana saya bisa membeli barang-barang murah untuk dijual lagi, saya menyempatkan diri untuk 1-2 jam berjalan-jalan ke Petak Sembilan jika ada waktu. Dari Jalan Asemka tinggal jalan sekitar 10 menitan lebih kita sudah masuk kawasan Petak Sembilan, Glodok. Jalan lewat trotoar yang dihiasi tiruan pohon mei hwa yang berwarna pink, melewati tukang buku loak dengan bermacam-macam buku bermutu sampailah kita di sebuah jembatan kecil yang dihiasi tempat sembahyang dengan patung dan hio di tepiannya. Itu tanda kita sudah memasuki daerah Petak Sembilan.

Buat yang suka makan, daerah ini adalah surganya, dari yang halal sampai non halal tersedia di sini. Dari masakan rujak juhi (cumi2 besar), masakan pi-oh (kura-kura, bulus), sekba (babi), mie ayam, cakue medan, bakso, lo cu pan, rujak shanghai, air perasan tebu, nasi ulam, es potong singapur, bacang, kopi menghiasi pinggiran jalan. Untuk mencoba semuanya saya pikir kita harus berkali-kali datang sebab tidak mungkin dalam satu kesempatan mencoba semua masakan ini. Pandangan pribadi saya, tidak mungkin di pecinan makanan tidak enak dijual sebab untuk survive berjualan makanan di daerah ini diperlukan keahlian meracik bumbu tingkat tinggi. Kalau tidak enak, siap-siap gulung tikar sebab di daerah pecinan para konsumennya adalah pemilih (kaya saya hehehe).

Toko atau restoran tempat jualannya jangan dipikir tempat mewah ber-AC. Bisa jadi bangunannya malah bersatu dengan tempat tinggal yang punya, mirip garasi dengan meja dan kursi seadanya... tapi persoalan ini tentu tidak jadi masalah bagi para penggemar kuliner sejati. Makan di kursi plastik dibarengi angin dari kipas angin asal mulut dan hati terasa nyaman tentu tidak apa-apa.

Ada beberapa tempat kuliner yang terkenal di Petak Sembilan:

  • Kopi Tak Kie yang terkenal dengan es kopi gula / susu. 15 ribuan. Jam 14 sudah tutup ya. Katanya sih kedai kopi tertua di Jakarta sejak tahun 1920 an.
  • Rujak shanghai Encim yang menggunakan rebusan kangkung, potongan sotong / cumi / juhi ubur2 disiram kuah tomat manis kental. 35 ribuan.
  • Bakmi Anggit dengan berbagai masakan chinnese foodnya, lo cu pan, ifu mie, dll. Mie baso ayam kampung 25 ribuan dengan jamur dan ayamnya yang meresap bumbunya (keinget ni mie ayam jadi pusing saya nih pagi2 belom makan).
  • Gado-gado direksi dengan bumbu kuah kacangnya yang kental. 30 ribuan. Kalo dimakan siang2 enak kali ya.
Rujak Shanghai Encim yang pake juhi, ubur2 n kangkung

Ifu mie nya Bakmi Anggit top banget rasanya
Di sini juga ada beberapa lokasi wisata sejarah / budaya selain melihat-lihat rumah-rumah jadul. Menuju tempat tersebut kita tetap bisa dengan berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit sambil senggol-senggolan dengan pengunjung lain, sambil lirik-lirik manisan buah dan permen warna-warni yang dijajakan. Sungguh warna-warni memang kawasan ini. Ini adalah beberapa lokasi yang patut dikunjungi bila baru pertama kali menginjak kaki di kawasan ini:
  • Vihara Dharma Bakti (dibangun 1650 katanya) dan dan Kelenteng Hian Tan Keng (Vihara Aria Marga)
  • Vihara Toasebio di Jalan Kemenangan III no 48 yang dibangun kembali pada tahun 1751 setelah sebelumnya terbakar.
Vihara Toasebio tampak dari depan
Sembahyang di dalam Vihara Dharma Bakti
Bau hio yang dibakar akan segera menyambut kita saat mendekati kedua vihara ini. Bila dibandingkan, Vihara Toasebio tampak lebih modern dibanding Vihara Dharma Bakti dan Kelenteng Hian Tan Keng. Warna merah dan patung-patung dewa, naga, lampion serta lilin-lilin besar menghiasi bagian dalam ruangan Vihara.

Menjelang hari Imlek, banyak pengemis berdatangan mengharapkan mendapatkan angpau dari pengurus Vihara, donasi umat di sana.

Permen dan manisan buah di sepanjang Petak Sembilan
Bila masih sanggup berjalan, sekitar 30 menit dari Petak Sembilan kita bisa juga mengunjungi cultural heritage Gedung Candra Naya yang diperkirakan dibangun oleh Khouw Tian Sek (pada tahun 1807) atau anaknya Khouw Tjeng Tjoan (pada tahun 1867). Gedung ini juga sebelumnya dikenal sebagi Rumah Mayor, karena didiami oleh Mayor Khouw Khim An (anak dari Khouw Tjeng Tjoan). Jangan pangling ya... gedung ini letaknya seakan di dalam komplek Green Central City (komplek pertokoan, kantor dan apartemen). Saya sih agak benci melihatnya: komplek GCC ini seakan menorehkan noda di Candra Naya... pembangunan kok maksa banget ya? Jijai saya!

Gedung Candra Naya, ditengah himpitan toko dan apartemen
Sejarah Gedung Candra Naya
Masih kuat? Silahkan jalan lagi ke Gedung Arsip di Jalan Gajah Mada untuk melihat arsitektur jadul VOC yang dibangun abad 18. Saya sih sanggup jalaninnya walau kaki kepayahan juga sampai sore bolak-balik jalan-jalan. Tapi percaya deh, kombinasi jalan – makan enak – melihat budaya dan kadang ngadem AC di pertokoan Glodok merupakan kombinasi komplit yang worthed to try di Jakarta.

Gedung Arsip Nasional, halaman dalemnya juga keren lho
How to Get There? Saya orang Bogor, jadi naik kereta dari St Bogor ke St Kota (5rb 1,5 jam), lalu jalan kaki ke Jl Asemka lalu terus ke Petak Sembilan (15 menitan).