Senin, 09 Juli 2012

Jangan Jadi Miskin


Jangan jadi miskin, miskin dekat dengan kejahatan – begitulah.

Ya, bayangkan betapa rumit pergumulan hati saya sampai hari ini- apabila dalam keadaan kemiskinan sekarang, lalu ditawari pekerjaan lain dengan ongkang-ongkang kaki lalu dapat gaji kira-kira 7x lipat gaji sekarang.

Sudah sebulan pekerjaan tersebut saya coba tampik dan pending keputusan untuk menerimanya, semata-mata karena pekerjaan tersebut cukup berat dari sisi nurani saya- karena saya tahu akibat pekerjaan saya tersebut berdampak bagi hidup orang lain nantinya.

Sekitar sebulan yang lalu, saya sudah bertemu pemilik perusahaan- Komisaris Direktur dan Marketing Managernya sekaligus di sebuah cafe Starbucks, di sebuah jalan yang saya sudah lupa- namun di daerah Kuningan, sebab saya memang tidak familiar dengan Kota Jakarta.

Seperti biasa saya selalu kikuk dengan minum kopi di gerai Starbucks sebab harga 1 cup nya cukup mahal menurut ukuran saya, Rp 50.000,- seharga umumnya 5x makan pagi saya, nasi bungkus campur ayam goreng, tumis kangkung, kentang pedas dan mie goreng. Kepikiran juga saya, itu artinya saya bisa beli makan pagi buat si mami, si Bonum, si Charma, Lizbeth dan saya sendiri. Kalau salah satunya tidak ada bisa saya belikan buat si Awah-pembantu saya yang jarang saya traktir. Pasti semuanya hepi.

Pekerjaan yang ditawarkan hanyalah sebagai perantara pembelian tanah, sebagai komunikator dan pemegang kas Perusahaan, di Sintang - Kalimantan Barat. Sebuah pekerjaan tidak tertulis yang tidak pernah ada diiklankan di koran karena pemilihannya adalah berdasarkan kepercayaan semata, dan tidak akan pada struktru perusahaan. Jenis perusahaannya adalah perkebunan, walau saya tidak tahu bisnis besarnya karena biasanya perusahaan besar seperti ini mempunyai beberapa bisnis sekaligus.

Menyesal atau tidak-sampai saat ini saya belum tahu. Terbuka saja, kalau saya saat ini sedang mengalami pemotongan gaji dari Yayasan saya bernaung. Kira-kira terpotong 1 jura sebab Yayasan dalam keadaan tidak punya uang, agak bangkrut dan beginilah komitmen kami untuk tetap menjaga agar Yayasan tetap berjalan.

Jangan pikir bisa seenaknya pergi ke mall, nonton bioskop, makan mewah atau apapun lah. Bulan lalu saya sudah menggadaikan Logam Mulia yang saya tabung untuk keadaan darurat di Pegadaian- untuk kebutuhan sehari-hari, dari uang tahunan masuk sekolah, memberangkatkan mami n papi ke Bali (sudah dipesan tiketnya 1 tahun lalu so sekarang perlu dibekelin sangu), sampai hal-hal kecil seperti bayar ini bayar itu.

Sedih juga, sebenarnya pekerjaan yang sudah di depan mata tersebut tidak mengharuskan saya hidup susah. Berkecukupan banget malah.

Fasilitas yang disebut membuat saya ngiler: tiket pesawat PP yang bisa diatur, kontrakan rumah dengan AC dan Indovision, mobil 4 WD,  asuransi, bonus tahunan, dan lain-lain. Boro-boro masang Indovision di rumah, betulin pipa ledeng yang bocor saja susahnya bukan main karena keterbatasan dana.
.
Tapi nurani bicara, pembelian tanah berarti memindahkan kekuatan hidup seseorang, masyarakat kepada kita- menyedot energi hidupnya perlahan-lahan dan walaupun adalah sebuah kebebasan bagi sesorang untuk menjual tanahnya masing-masing, namun pengalaman saya beberapa bulan di bumi khatulistiwa memperlihatkan bahwa kehancuran sudah pasti pada sebuah desa yang menjual dirinya kepada perusahaan.

Banjir, hilangnya pekerjaan, terusir dari desa tidak memandang apakah tanah dijual kepada Perusahaan atau Taman Nasional. Sama saja- dua-duanya menyebabkan hilangnya nyawa sesorang secara perlahan.

Balik lagi, kemiskinan memang sucks!

Sementara yang coba berbuat benar terseok-seok dan saling menyenggol kakinya keplitek, yang kaya menjentikan jarinya dan berhektar-hektar tanah berpindah jadi kebun sawit. Beginilah dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar