Kamis, 25 April 2013

Penduduk Vietnam yang Rajin



Boleh miskin, tapi tetap rajin. Begitulah pandangan saya terhadap penduduk Vietnam. Apabila kata miskin kurang cocok dipakai serta perlu diperhalus, bolehlah saya menambahkan kata “agak miskin” disini sebab apabila saya perbandingkan dengan pembangunan di negeri saya, Indonesia maka sarana dan prasarana di negeri saya nampaknya lebih lengkap dan maju.

Saya sudah 2x berkunjung ke Vietnam, pada tahun 2010 dan belum lama ini – April 2013 – semuanya melalui perjalanan ala backpacker. Kalau yang pertama saya hanya travel di kota Saigon (Ho Chi Minh City) saja dan melanjutkan ke Thailand. Yang kedua adalah berkeliling di kota Saigon dengan tambahan pelesir ke kota dataran tinggi Da Lat. Saigon dan Da Lat, dua-duanya mewakili wilayah perkotaan besar dan kecil. Untuk wilayah lain, walau keinginan saya sangat besar untuk bisa stay di wilayah model perkampungan atau pantai namun sampai saat ini belum bisa terwujud karena keterbatasan waktu dan biaya.

Penduduk Vietnam adalah penduduk yang cenderung slim bentuk tubuhnya (jarang yang subur dan berisi, terutama perempuannya). Di mana banyak kaum perempuan berjalan-jalan berpakaian Ao Dai (pakaian perempuan Vietnam) baik di sekolah atau jalan-jalan biasa. Mengenakan caping serta penutup hidung dari kain, serta bersepeda motor atau bersepeda goel. Lainnya yang saya ingat adalah tulisan-tulisan dua sampai tiga kata berisikan kata-kata nguyen, puc, loc, duc, vang, cong thi dan lain-lain yang tidak bisa saya mengerti.

Membuat semacam martabak, di pinggir jalan
Suatu hal yang menonjol, dan apabila saya diminta menggambarkan satu kata tentang masyarakat Vietnam adalah kata rajin. Kalau boleh memilih kata lainnya adalah ulet. Ya, saya harus menggaris bawahi kata rajin dan ulet sebab terpatri dengan kuat di kepala saya.

Mungkin karena bangsa ini baru saja mengalami penderitaan berperang (tahun 1970an), serta kemudian terjadi perpecahan antar bangsa (Vietnam Selatan dan Vietnam Utara), maka bangsa ini sedang dalam keadaan tersadarkan diri untuk membangun negerinya kembali. Saya menegasikannya dengan keadaan penduduk di negeri saya Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945 yang sekarang sedang carut marut dan sibuk saling memakan antar sesama. Mungkin kelamaan merdeka membuat sesorang tidak lagi mampu bersyukur dan bekerja keras ya?

Masalah kerajinan ini dicontohkan oleh berbagai hal, yang dapat kita lihat dengan mata dan kepala sendiri. Sepanjang jalan di Vietnam kita  bisa melihat rumah-rumah memasang etalase untuk  jualan di depan rumahnya, baik apakah itu untuk berjualan minuman, roti banh mi, kedai makan kecil-kecilan, sampai menggelar buah-buahan di trotoar. Bangku-bangku dan meja kecil seadanya digelar di depan rumah, dan nampaknya kebiasaan ini merata minimal di Vietnam Selatan.

Si ibu, sambil nunggu jualan dia kadang merajut juga
Lainnya adalah kemampuan Vietnamese untuk memanfaatkan waktu luang: seperti di Da Lat, mereka merajut dan menyulam sambil berjualan. Dari tukang kue, karyawan cable car, penjual baju... semua memegang jarum dan benang wol, tangannya naik turun merajut sambil menunggu pelanggan.

Di malam hari, saat berjalan-jalan saya melihat juga porsi penjual perempuan berimbang dengan kaum laki-laki. Nampaknya secara tidak sengaja kesetaraan gender tumbuh dengan baik di bangsa ini. Mungkin karena faktor keamanan yang lebih terjamin, budaya penghargaan yang tumbuh pada kaum laki-lakinya, serta pengaruh ajaran spiritual, ditambah dengan desakan ekonomi – semuanya menghasilkan kepercayaan diri bagi kaum perempuan untuk memajukan keluarga serta bangsanya.

Kerajinan lukisan kulit telur, dikerjakan oleh kaujm difable
Bukan saya tidak ingin menceritakan kaum laki-laki, namun dengan melihat sepak terjang kaum perempuan maka rasanya pandangan saya terhadap kaum laki-laki juga sudah ter-cover. Kaum laki-laki memang nampak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tani, buruh dan lain-lain. Tapi begitu juga kaum perempuan.

Di Vietnam yang menarik juga adalah bahwa negara memfasilitasi hak-hak kaum cacat (disable / difable). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pusat pelatihan bagi mereka untuk misalnya, menghasilkan barang-barang kerajinan: lukisan, ukiran, makanan sampai produk-produk berteknologi . Saya sempat mengunjungi satu pusat pelatihan di pinggiran kota Saigon untuk melihat pembuatan kerajinan lukisan dari kulit telur, painting kayu, kerajinan gantungan kunci, dan lain-lain untuk diekspor keluar negeri (mungkin untuk menambah nilai jual, dan nilai tambahnya dapat dipakai untuk membiayai program-program seperti ini).

Mereka ini, kaum difable diberikan kesempatan untuk berkembang – difasilitasi oleh negaranya yang komunis yang membuat kita bertanya-tanya, bukankah seharusnya negara kita yang kapitalis “demokratis” ini lebih baik (lah pejabat kan suka gembar-gembor kalo negara demokratis Pancasilais ini bermartabat, makmur, kesejahteraannya cukup baik ) ?

Ah jadi males deh kalo ngomongin Pancasilais dan  demokrasi dan sebagainya. Jadi inget neh di Indonesia gerombolan FPI merajalela. Ustad pada ngomong sembarangan di mimbar-mimbar, Rhoma Irama mau jadi presiden, korupsi Hambalang, koruptor pada pasang TV kabel di penjara.

Hadeuuuuhh....

Jumat, 19 April 2013

Kagok - Kagokan Jalan Kaki dan Naik Motor di Vietnam



Kagok, begitulah yang dirasakan oleh saya saat berjalan kaki meyeberangi jalan di sekitar Ho Chi Minh City (dulu: Saigon). Bagaimana tidak, sepeda motor berlalu lalang selang-seling, terlebih di jam-jam sibuk dan jumlahnya yang sangat banyak bagaikan kumbang-kumbang yang berseliweran. Jadi heran, karena dengan lalu lintasnya yang jarang berpolisi dan dengan arah yang suka-suka saya belum menemukan para pengendara saling bertabrakan. Muka mereka pun lurus-lurus saja, tidak terlihat marah saat disalib atau misal karena dipapas motor lain dari arah yang berlawanan. Sudah biasa kali ya?

Lalu lintas di Kota Ho Chi Minh (Saigon), didominasi oleh sepeda motor

Biasanya jalan kaki menjadi kebiasaan saya kalau melakukan backpacking. Umumnya saya jalan dari pagi dan baru berhenti malam hari karena biaya menggerakkan kaki yang murah, cukup disogok dengan sedikit makanan, dan bisa dipakai satu hari penuh.

Cuma di Vietnam ini, kebiasaan jalan kaki cukup terganggu terutama saat bertemu persimpangan dimana saya harus menyeberang. Nyebrang jalan, tengok kiri kanan menjadi menu rutin sepanjang penyebrangan. Hati ini tidak tenang kalau belum menginjak trotoar lagi. Tidak seperti di Indonesia, disini tidak ada standar kalau arah motor atau mobil haruslah selalu dari arah yang disepakati undang-undang.

Kekagokan saya bertambah double ataupun triple saat mengendarai sepeda motor, kali ini di Da Lat, sebuah kota di ketinggian 1.500 meter yang indah, dimana bebungaan liar tumbuh sepanjang jalan, dan mawar merah kuning dan orange menghias garis batas di jalan. Kalau di Saigon saya nyerah deh ga ada nyali buat pakai motor (takut emosi dan nabrak), tapi saya pikir Da Lat ini kan kota yang kecil, so mungkin saya bisa adaptasi lebih baik di tempat yang lebih sepi ini. Jadi saya sewa motor bebek buat jalan-jalan.

Jalan utama di Da Lat: ingat berkendaraan di sebelah kanan yaaa...

Sehubung bekas jajahan Perancis, mengemudi di Vietnam adalah di sebelah kanan, dan untuk menyusul dari sebelah kiri. Sebagai orang Indonesia keadaan ini menyulitkan karena berkebalikan dengan keadaan di sini (Polisi sini berpendapat baiknya adalah naik motor di kiri, kalo mau nyusul dari kanan).

Beberapa kali (biasanya sehabis keluar dari suatu tempat) saya langsung ambil ruas kiri ngikutin kebiasaan di Indonesia. Walhasil, baru sadar waktu akan marah liat orang Vietnam nyetir motornya di kanan. Padahal yang salah adalah saya.

Lah kok kita yang salah lalu mau marah sih ? Itulah kelemahan saya: memang saya gampang marah kalau naik motor sebab beradaptasi dengan kerasnya lalu lintas kalau di Bogor tempat saya dilahirkan (walau ternyata keadaannya tak sekeras disini).

Di negeri yang ramah ini, akibat perbuatan saya, saya cuma dilihat oleh Vietnamese ini – dia tidak marah, dan melihatnya pun cuma sekilas. Perkiraan saya dua: mereka bangsa ramah yang toleran kepada saya, atau karena nyetir salah arah adalah biasa, karena juga dilakukan oleh mereka sendiri dengan caranya masing-masing.

Emosi marah ini sempat juga muncul (sebenarnya bukan marah tapi kesal sedikit) karena masalah bensin. Lah iya, saya menyewa motor satu hari seharga 5 USD dari jam 7 pagi sampai 9 malam, lalu pas ngisi bensin (di Da Lat) oleh si ibu ditagih 60.000 VND (dong) alias 3 USD. Padahal ngisinya bentar banget, kurang dari 2 liter rasanya; satu setengah liter paling banyak.

Mahal banget sih bensinnya, Man? Secara disini itu cuma Rp 4.500 / lt. Dengan Rp 30.000 / 3 USD / 60.000 VND saya bisa isi bensin sekitar 7 liter disini.

Danau Xuan Huong, di tengah kota Da Lat
Merasa ditipu, selama nginep di motel (harga 14 USD / malam, dengan 2 tempat tidur: saya dan istri tercinta) saya selalu browsing internet via BB istri. Cuma dapat kabar di halaman pertama google: Masyarakat Vietnam Shock atas Kenaikan Harga BBM – tidak dapat diteruskan browsingnya karena cuma dapat percikan Wifi dari motel, dan menyebabkan loading BB nya lama banget dan bikin putus asa.

Saya teruskan pencarian itu saat mencapai Indonesia kembali. Penasaran karena cuilan berita yang kurang lengkap tersebut. Dengan bantuan Profesor Google, saya dapati bahwa harga bensin di Vietnam adalah berkisar antara Rp 11.000 sampai Rp 12.000. Amin ucap saya, agak puas.  Jadi kalau saya mengorbankan Rp 30.000 untuk bensin saya pikir semoga waktu itu diisi 2 liter lebihlah ma si ibu bensin.

Pikiran ini ditentang lagi oleh logika saya. Hati mau memaafkan, tapi kepala menentang, sebab kalau dilihat tangki bensin motor yang saya tumpangi kecil. Masa iya tangki motor sekecil itu memuat bensin kira-kira 2,3 liter?

Pikiran saya lalu berusaha agak baik lagi sama sang hati yang berusaha memahami. Pikiran lalu berkata pelan-pelan, katanya: mungkin jenis BBM di Vietnam agak banyak, motor kamu diisi ma bensin kualitas pertamax jadi harganya agak mahal.

Iya ajalah, demi keindahan dataran tinggi Da Lat.

Saya sudah diberikan jasa oleh motor yang saya tumpangi ini selama ngalor ngidul cari-cari titik wisata di Da Lat, sudah sepantasnya ia diberi minuman yang setimpal (sekualitas minuman yoghurt dari Da Lat). Kalau ada lebih, anggaplah sumbangsih saya untuk rakyat Vietnam, setelah peperangan bertahun-tahun yang menyengsarakan serta atas kerajinan dan keuletan mereka (Vietnames ini rajin-rajin banget dan akan saya ceritakan di story yang lain ya).  

Salam dari atas motor gaul peminum yoghurt.