Selasa, 25 Agustus 2015

Rudi dan Jaya


 
Dari semua anak yang sedang berkumpul di lapangan, Rudi paling tidak suka dengan anak bertubuh besar yang berdiri dekat gawang. Ia bukan penjaga gawang, hanya berdiri saja dekat tiang dan sesekali berteriak kalau bola mendekat. Teriakannya tidak jelas dan juga canggung.
“Siapa itu, Man?” Rudi bertanya kepada Maman, sebab ia baru saja pindah ke kampung ini dan belum mengenal banyak orang.
“Itu Jaya, dia suka nongkrong di lapangan memang kalau sudah sore. Tapi sebentar lagi pasti dijemput ibunya.” kata Maman.
Ya, dijemput sebab ia begitulah.” kata Maman sambil memainkan mimik mukanya. “Agak bodoh.” sambungnya.
Rudi terus melihat ke arah gawang. Jaya masih tetap berteriak-teriak kepada anak-anak lain yang sedang menggiring bola menuju gawang.
“Goooooool!” terdengar teriakan riuh dari ujung sana.
---
Rudi berjalan sendiri saat pulang sore itu. Rumahnya tidak terlalu jauh sehingga ia berani pulang sendiri. Teman-temannya sudah berpencar, dan karena Rudi berbincang-bincang dengan Pak Pelatih Bola untuk ikut bergabung dengan tim bola maka ia agak terlambat pulang.
               Sambil berjalan ia membayangkan makanan yang disediakan ibunya di rumah. Sayur asem, sambal, ayam goreng...
               Bruk! tanpa disadari ia terperosok sebelah kakinya ke dalam sebuah saluran air dan karena licin, saat menarik tubuhnya malah pegangannya terlepas dan seluruh tubuhnya meluncur ke arah kolam ikan. Tangannya berusaha menahan dengan menggapai-gapai ke segala arah, tapi terlambat.
               Byur!
               Seluruh badannya jatuh ke air yang berlumpur dan ia gelagapan.
               “Hufp...,” Rudi terengah-engah. Air bercampur lumpur membuatnya tersedak. Ia sangat panik karena tak bisa renang.
               “Tolong, tolong, hyurp...” seru Rudi. Ia tenggelam. Kolam itu tidaklah dangkal.
Sebuah tangan terulur dan memegangnya dengan erat.
Rudi meninggalkan kegelapan lumpur. Mukanya terangkat dan hal pertama yang ia lihat adalah sesosok tubuh, anak berbadan besar. Jaya.
“Kamu tidak apa-apa, Rud?” tanya Jaya setelah mereka berdua terengah-engah terduduk di tepi saluran air.
“Terima kasih.” Rudi menjawab pelan. Seluruh tubuhnya terasa lemas setelah ia sebelumnya muntah dua kali. Perutnya terasa nyeri dan ia hampir tidak mampu bergerak.
“Mari kuantar pulang. Ibuku hari ini tidak menjemput, katanya aku harus pulang sendiri dan harus berhati-hati. Ia mengingatkanku tentang licinnya jalan sehabis hujan terutama ya disini.” kata Jaya sambi tersenyum. Ia masih riang walau sambil bicara terengah-engah. Tubuhnya juga basah kuyup dan berlumpur.
“Bagaimana kamu mengenal namaku.” tanya Rudi lirih.
“Kita tinggal berdekatan. Ibuku kemarin mulai bekerja di rumahmu untuk mencuci. Ia berkata kalau pemilik rumah punya seorang anak. Tadi anak-anak lain sempat memanggil namamu saat mengajakmu ikut main bola, jadi aku tahu.” Jaya menjawab.
---
               Semenjak itu Rudi dan Jaya berkawan erat. Walaupun menurut teman-temannya aneh, tapi bagi Rudi, Jaya adalah spesial. Tubuhnya yang besar adalah karena hatinya yang juga besar. Itu yang dikatakan ibu saat menanggapi Rudi  bercerita tentang peristiwa itu.  Menurut ibu, Jaya adalah seorang anak yang baik, jujur dan tulus. Ia memang mengalami keterlambatan dalam perkembangan intelegensi, tapi itu tidak berarti bahwa ia harus dijauhi.   Ibu mengingatkan, di dalam keterbatasan sesorang; termasuk Rudi atau Jaya, selalu ada hal yang membuat kita bisa saling melengkapi satu sama lain.  
               “Rudi, ayo kamu bisa..!” Jaya berteriak dari ujung kolam, meyemangati.
               Dengan tergugup-gugup Rudi meluncur, menggerak-gerakan kedua tangan dan kakinya secara bergantian. Jaya menjadi pelatih renang Rudi sekarang.
---

Perang Narkoba di Kampung Nelayan, Belawan (SMN Part 2)


Jangan dibayangkan kalau Kampung Nelayan Belawan ini yang katanya termasuk wilayah Medan berada di Kota Medan yang padat. Sama-sama padat, tapi di sini warga tinggal di antara 540 KK di kampung yang “mengapung” di atas laut. Sebagian besar rumah menggunakan fondasi kayu atau semen agar tidak terendam air saat pasang naik. Rumah di sini sangat padat, bedanya jika kita melihat ke bawah bukan tanah atau lapisan semen yang ada melainkan genangan air laut atau sampah.
Ya sampah... Walau sudah banyak berkurang tapi sampah masih menjadi problem di sini.
Kambing di antara sampah di lantai kampung
Menjadi sarang perkembangbiakkan nyamuk dan mengganggu pemandangan. Kebiasaan masyarakat yang membuang sampah ke bawah rumah sudah berhasil dikurangi dengan kampanye anti buang sampah oleh kelompok Pekan (Persatuan Kesenian Nelayan) yang dikoordinasi Jailani Hasibuan (22 th), para Pemuda Karang Taruna Tunas Muda dan PBT (Pemuda Berani Tantangan).
Bukan hanya menanggulangi sampah di kolong rumah yang memang juga tidak ada habis-habinya (sebab dibawa oleh arus laut juga dari daratan Belawan), mereka juga bekerjasama membuat banyak kegiatan untuk menyalurkan tenaga dan minat para pemuda/i di kampung. Dari mengajar anak PAUD, menjadi guru sekolah muda (Nurul AS, anggota Pekan adalah guru di SD), latihan dan pentas drama dan tarian (daerah serta yang sudah dimodifikasi), memperbaiki titian kayu di jalan yang keropos dengan iuran sendiri, sampai beternak ikan di tambak dengan sistem bagi hasil. Siapa bilang darah muda di sini sukanya cuma hura-hura?
Tapi kalau ditanyakannya dulu, benar dulu di sini para pemuda sukanya cuma hura-hura. Kampung Nelayan di tahun 2000an menurut Nova, pendamping dari LSM P3MN dikenal sebagai zona merah. Selain narkoba, daerah ini juga dikenal sebagai sarang bajak laut yang suka merompak kapal yang berada di sekitar Selat Malaka.
Yang saya bilang merupakan keberhasilan besar bagi kelompok adalah kemudian terlepasnya banyak orang dari jaringan narkoba berkat kegiatan mereka. Sewaktu saya membaca postingan-postingan Jailani di Facebook, sebelum saya datang ke kampung ini tidak terpikir oleh saya untuk merasa antusias pada isu narkoba. Terus terang saja isu narkoba bukan menjadi pilihan isu pendampingan saya, yang lebih mengutamakan isu keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Bagi saya yang tidak pernah ketagihan narkoba, saya tidak tahu bagaimana rasanya sakau. Tidak tahu juga mengalami pertentangan dalam hati jika sampai mencuri uang atau perhiasan orang tua karena meriang narkoba. Satu-satunya kasus saya dengan narkoba adalah karena tidak sengaja membeli segenggam rokok tradisional dari negara yang belum bebas narkoba dimana sudah menjadi kebiasaan untuk menyelipkan daun ganja pada rokok tersebut.
Kembali lagi ke Kampung Nelayan, di suatu malam kami berdiskusi dengan para pemuda/i, baik yang sudah lepas dari narkoba bahkan rokok, sampai yang dalam tahapan penyembuhan diri (dengan cara mengurangi ketergantungan, mengurangi secara bertahap) kami sebagai tamu bertanya: bagaimana caranya melepaskan diri dari narkoba tersebut? (sebab setahu kami cukup sulit).
Caranya adalah dengan banyak berkegiatan bersama pemuda lain.
“Semudah itukah?” tanya saya lagi.
Tidak ada jawaban pasti yang diberikan oleh para pemuda tadi (PBT, Pemuda Berani Tantangan). Namun dari raut wajah mereka yang antusias dalam berkelompok, saya tahu bahwa dengan banyaknya kegiatan, banyaknya tanggung jawab yang mulai diserahkan kepada mereka timbulah rasa percaya diri dan kebersamaan, yang pada akhirnya mengeliminasi perasaan bosan, tidak keren, tidak melakukan apa-apa yang berujung pada pelarian kepada narkoba.
Bincang-bincang malam antara kelompok SMN, Pekan dan PBT
Masih penasaran, seorang kawan dari kelompok SMN (Suara Muda Nusantara) yang sedang bertamu di sana melanjutkan, “Kawan-kawan hebat lho sebab keluar dari masalah narkoba itu sulit. Kami di Medan punya kawan-kawan yang terlibat pada narkoba. Namun di sini karena bersatu, sepertinya lebih mudah keluar dari narkoba yaa...”
Mereka nampak senang dan tersipu-sipu. Kami berpikir kelompok anak muda ini sangat perlu
didukung, apalagi kelompok ini belum lama terbentuk. Tak heran, tanpa dikomandoi bertubi-tubi tepuk tangan tanda dukungan dari kelompok SMN berkali-kali terdengar.
Inilah perang melawan narkoba menurut kelompok-kelompok pemuda di Kampung Nelayan:
  • Membentuk kelompok PBT (Pemuda Berani Tantangan). Adanya pembagian tugas untuk anggota dengan demikian semua anggota memiliki peran dan tanggung jawab.
  • Program perbaikan titian (jalan dengan kayu penghubung) antar rumah. Sehubung panjangnya jalan dan kualitas kayu yang bisa dipakai titian jalan mudah rusak dan bisa menyebabkan kecelakaan pada warga. Para pemuda menjadi punya tugas rutin untuk perbaikan titian.
  • Melatih nyanyian dan band agar bisa pentas saat ada hajatan warga/ panggilan lain.
  • Masih tentang hajatan, kelompok ini berkomitmen berjibaku secara gratis apabila ada warga menggelar hajatan. Bisa sebagai tenaga kebersihan, pembawa barang-barang, dekor dan lain-lain.
Cukup menarik ya? Jadi bukan dengan cara-cara yang canggih, namun dengan pendekatan
kelompok sebaya. Selain itu tentu saja bagi mereka yang sudah terlepas dari narkoba dapat menceritakan perjuangannya kepada kawan lain. Memberi contoh dari perbuatan dibandingkan berteori dan berpresentasi.
Sukses selalu buat kelompok-kelompok pemuda/i di Kampung Nelayan. Semoga bisa menjadi contoh buat kawan-kawan lainnya.

Rabu, 19 Agustus 2015

Pembunuhan Atas Nama tuhan (Lapar)


Pernah nga kepikiran kalau kamu jadi kodok, sudah diikat dan sudah tahu akan mati. Di depanmu diletakkan teman-temanmu yang sudah mati tanpa kepala dan dikuliti?


There are no escape beside death


Setiap makhluk hidup sudah diprogramkan untuk membunuh, termasuk tanaman sekalipun dengan cara berdaun lebat, menutupi tanaman lain di bawahnya juga sampai mengeluarkan racun langsung dari akar-akarnya.


Menunggu pembantaian dalam hitungan hari T.T

Semua diharuskan bersedia untuk ikut dalam permainan ini. Permainan bunuh membunuh, karena kamu sudah diciptakan bernyawa.

Selasa, 18 Agustus 2015

Kampung Nelayan di Belawan (SMN Part 1)



Kalau mendengar Medan, tentu kita membayangkan sebuah kota besar dengan segalanya yang ada: dari seliweran bentor (becak motor), mal dan pasar yang super sibuk, logat Medan supir angkot, bis modern Medan-Aceh dengan wifinya, serta toko penjual bika ambon. Medan adalah kota terbesar ketiga di Indonesia, jadi tak heran hampir semua barang ada di situ.
Udang segar dari Kampung Nelayan
Untuk menuju Kampung Nelayan, kita perlu sampai ke Pelabuhan Belawan dulu. Setelah berkendaraan kurang lebih 1,5 jam dari Medan, suasana mulai berubah. 30 menit sebelum memasuki daerah pelabuhan jalanan begitu berdebu sampai seluruh penumpang angkot menggunakan saputangan, handuk sampai  jilbab untuk menyaring partikel-partikel di udara agar tetap bisa bernapas lega. Kabut debu ini terjadi akibat terangkatnya pasir, kotoran di tanah terutama oleh truk-truk besar yang hilir mudik mengantar barang dari pelabuhan. Belawan adalah pelabuhan internasional dengan kapal-kapal cargo besar bersandar di bibir pantai beton.
 Kami lalu turun di sebuah pasar, di sisi pelabuhan. Nampak dua orang ibu tua duduk menjajakan udang segar seukuran telunjuk tangan di atas baskom besar. Beberapa di antaranya masih bergerak hidup. Di sampingnya, gerobak warung yang menjajakan minuman ringan dan rokok, selayaknya sebuah pasar di pinggir jalan.
Perjalanan dilanjutkan naik boat dari sebuah dermaga kayu kecil. Rombongan kami, sekitar 10 orang mengeluarkan uang 3rb rupiah seharga teh botol per orangnya untuk sekitar 5 menit perjalanan di laut. Untuk ke lokasi yang lebih jauh, biaya boat sekitar 5rb rupiah.
Kampung Nelayan tidak menyatu dengan daratan Belawan. Ia berdiri di tengah lautan dengan sanggaan tonggak-tonggak kayu tahan air (kayu laut). Antar rumah terhubung dengan titian-titian kecil (jalan setapak dari kayu-kayuan) yang kebanyakan swadaya masyarakat. Rumah-rumah terbuat dari papan yang warnanya kebanyakan luntur terkena panas matahari. Penghias rumah adalah pot-pot dengan bunga dari daratan yang dipelihara dengan apik oleh empunya rumah. Ia seperti sebuah dunia sendiri, milik para pelaut pencinta bunga.
Rumah-rumah di Kampung Nelayan sebagian besar akan terendam air bila pasang naik. Di saat pasang tinggi sekitar jam 11 siang kemarin, saya hanya melihat bagian pekuburan yang (agak) tidak terendam batu nisannya. Apabila melihat patokan dermaga sender kapal, ada perbedaan tinggi sekitar 2 meter antara pasang surut dan naik di kampung ini.
Senja di Kampung Nelayan
Ada berapa KK ya yang tinggal di Kampung Nelayan ini? Menurut kawan saya Jailani Hasibuan, ada 500 KK tinggal di Kampung Sebrang (Belawan I, masuk wilayah Medan), dan 40 KK di Kampung Banjar (Paloh Kurau Kec Hamparan Perak masuk wilayah Deli Serdang). Kedua-duanya dipisahkan oleh selat kecil sekitar 20-30 meteran. Akibat terbagi pada 2 wilayah, masyarakat sulit melakukan pembangunan sebab sering masing-masing pemerintah merasa tidak berwenang atau bertanggung jawab pada lokasi pencilan ini. Saat warga mengusulkan pembangunan, si Fulan misalnya bilang mintanya silahkan ke pemerintah Medan saja. Datang ke pemerintah Medan, dibilang itu wewenang Deli Serdang. Akhirnya stucklah pembangunan di sana terkatung-katung.
Kata seorang pendamping masyarakat, rekan dari LSM P3MN di sana, oknum pemerintah Medan seringkali heran apabila mengunjungi Kampung Nelayan.
“Masih ada daerah seperti ini ya Bang di Medan?”
Beberapa orang juga keberatan kalau pertemuan diadakan di Kampung Nelayan. Dugaan saya mungkin ngeri jalan di atas titian yang menghubungkan antar rumah warga, yang lebarnya sekitar 30- 50 cm an dan terbuat dari kayu yang sudah melapuk. Tapi untunglah masih ada perwakilan Pemda yang mau melihat-lihat keadaan Kampung Nelayan sebab kampung ini jelaslah perlu pembangunan yang sesuai kebutuhan. Minimal jika oknum jatuh terperosok di titian, harapannya ia akan lebih tanggap membantu pembangunan titian yang lebih kokoh di kampung.

Antar rumah terhubung dengan titian kayu
Ada hal lain lagi di sini: masyarakat sulit mengakses air tawar. Lalu bagaimana caranya minum dan mandi ya? Ternyata air tawar bisa dimiliki warga, dengan bayar 10ribu/kali isi ke tauke air. Doi tauke menggali sampai kedalaman 96 meter (hitungan 16 pipa dikali masing-masing 6 meter), memasang mesin pompa lalu mengijinkan warga mengisi air untuk 1,5- 2 jam (terserah mau seberapa banyak atau sedikit). Biaya satu kali isi 10ribu. Kalau 30 kali berarti 300ribu, anggaplah warga hemat air jadi membayar sekitar setengahnya.
Di Kampung ini juga saya menemukan satu Sekolah Dasar saja plus satu SMP yang baru bulan kemarin beroperasi. Untuk ke SMA harus ke daratan, tak heran di sini pendidikan tertinggi biasanya sampai SMP.
Tukang perahu yang bolak-balik Kampung-daratan sudah berupaya memberikan keringanan, dengan mengijinkan anak sekolah membayar seribu rupiah untuk satu kali jalan. Ini adalah upaya subsidi mereka yang rindu akan  kemajuan di kampung. Mereka pasti berharap dengan banyaknya anak nelayan yang bisa bersekolah sampai tinggi, pelan-pelan kampung ini berkembang.
Karamba kelompok yang diisi ikan sikakap
               Berbicara tentang perkembangan, Kampung Nelayan ini tidak hanya menadahkan tangan saja menerima bantuan. Dari masyarakat sendiri telah terbentuk beberapa kelompok yang sangat aktif dan mandiri dalam memajukan kampungnya. Contoh saja Pekan (Persatuan Kesenian Anak Nelayan), PBT (Pemuda Berani Tantangan) dan Tunas Muda yang berkegiatan mulai dari mendidik anak-anak lewat kesenian, beternak ikan lewat karamba, memperbaiki titian kayu secara mandiri, mendorong sesama pemuda keluar dari jaringan narkoba sampai melakukan gerakan pendidikan lingkungan. Jumlah keanggotaan mereka cukup banyak, sampai puluhan orang dengan lebih banyak lagi masyarakat sebagai penerima manfaatnya.
               Sedih melihat banyak yang punya kesempatan, waktu dan uang namun tidak melakukan kegiatan-kegiatan tersebut namun di sini semua dijungkirbalikkan. Di dalam segala keterbatasan akses, biaya dan fasilitas tindakan-tindakan besar yang berguna di Kampung Nelayan dilahirkan.