Senin, 25 Agustus 2014

Beautiful Burma



Beautiful Burma. Kesan saya terhadap sebuah negara yang terletak antara Thailand, Cina, dan Bangladesh. Agak susah juga penilaian saya menjadi acuan sebab saya selalu mengagumi segala sesuatu. Buat orang lain biasa-biasa saja tapi bagi saya tetap luar biasa. Burma yang kata orang ketinggalan jaman, tidak modern, membosankan, panas menurut saya keren, penuh peradaban, penuh kesantunan, menarik di setiap sisi jalannya. 

Tidak seperti negara lain yang saya kunjungi, hanya sedikit informasi tentang Burma yang bisa saya peroleh dari sumber-sumber internet. Saya mencoba mendownload beberapa lagu (terutama tradisional) untuk mengenal budaya Burma tapi kok ga banyak ya yang tersedia di youtube?

Negara Burma ini terkenal sebagai penghasil batu giok (jade) terbesar di dunia. Mungkin bebatuan ini berasal dari pegunungan di sebelah utara Burma.  Saya dengan bahagia membeli bebatuan ini  di toko suvenir Cherry Myaing di Jalan Aung San, di Pasar Bogyoke di hari terakhir saya di Yangon. Satu cincin kecil harganya Rp 5000 dan sebuah lempeng batu giok sekitar Rp 20.000. Gelang juga sekitar itu. Kalau saya bilang sih murah (walau saya tidak tahu perbandingannya, tapi rasaan waktu saya melihat-lihat di Bangkok akhirnya saya memutuskan tidak jadi membeli – tandanya kalau di Bangkok termasuk barang mahal). Menurut teman saya, kalau pergi ke kampung saya bisa membelinya lebih murah lagi (ga kepikiran buat melaksanakan info ini).

Penjual suvenir di Cherry Myaing di Bogyoke (coretan di pipinya adalah tanaka)

Saya mengagumi kelambatan negeri ini, yang lama berubah. Saya masih melihat para warga berdesak-desakan di semacam mobil bak (tertutup) macam colt di tahun 70an. Transportasi publik kondisinya agak kuno, tapi mobil pribadi keren-keren banget (sewaktu pulang saya naik semacam APV dengan atap bisa dibuka). Banyak warga yang menggunakan sepeda untuk bepergian.

Pembangunan nampak baru dimulai dilihat dari berdirinya gedung-gedung di pusat kota. Tapi bangunan-bangunan lama juga masih ada, beberapa di antaranya bahkan ditumbuhi dengan pohon-pohonan di selan-sela batu bata. Temboknya berwarna pudar, namun membuat bangunan-bangunan itu tampak unik. Dekor lama masih nampak di antara bangunan itu. Mungkin gaya Perancis di tahun 1900 an ya?

Bangunan jadul. Keren tapi apa ga bocor ya?
Bandara internasionalnya cukup kecil, tapi bersih. Saya rasa seperti baru dibangun ya? Dilihat dari kecilnya ruang tunggu dan keberangkatan tampak bahwa pesawat dari luar yang datang ke Yangon tidak terlalu banyak.

Dilihat dari penampilannya penduduk Burma ini adalah campuran. Saya melihat wajah yang nampak seperti orang India, melayu, Thai dan Cina. Mungkin sejarah penaklukan-penaklukan mencampurbaurkan orang-orang di sini. Untuk diketahui, Kerajaan Burma sempat menaklukan Siam (Thai), Kamboja, sebagian India. Kerajaan ini juga sempat diserang oleh Thai, Khmer (Kamboja), Mongol, dan Cina. Pendatang awal (misalnya etnis Mon) dari arah Yunan, Cina juga turut membentuk bangsa ini.

Teman saya: Thin Zar Maung, Htet Htet Oo, Phoe Taike, Khintan Nwe, De Nai. Mereka berasal dari etnis-etnis yang berbeda.

Soal makanan, saya selera dengan makanan di sini. Atau entahlah ya sebab saya banyak makan di resort, disediakan makanan tradisional yang mungkin rasanya gak dianeh-anehin sebab untuk peserta dari 7 negara Asia Tenggara. Pokoknya saat saya makan ikan steam, ayam bumbu di komplek sekolah yang juga monastery (biara) saya ketagihan dan nambah nasi 2x. Sambelnya juga enak (ada yang seperti dicampur ikan asin) walau ada satu jenis yang saya tidak suka karena ada bumbu sesuatu yang keras menurut saya.

Makanan di jalan sayangnya saya ga sempet terlalu coba sebab waktu kami keliling kota memang tidak banyak. Cuma sempat makan semacam puding dengan campuran telur. Minuman yang banyak didapatkan sepanjang jalan adalah air jeruk lemon plus garam. Saya minum itu beberapa kali... menyegarkan di hari yang kadang panas.

Buah-buahan di pinggir jalan. Favorit saya: mangga :)
Buah-buahan yang saya lihat di jalan tampak menggiurkan. Mangga seperti mangga golek, manggis, jeruk, apel, jambu batu, duren berjejeran. Saya sempat mencoba mangganya yang merah namun liat sehingga waktu awal saya mau makan saya sangka itu adalah pepaya. Rasanya manis, dan seperti mangga gincu di kita tapi dengan ukuran yang besar dan tidak berserat banyak. Jambu batunya segar dan besar-besar, saya juga sempat mencobanya: krekes dengan manis jambu.

Sayang saya tidak sempat pergi ke Pagoda Shwedagon. Alasannya adalah kekhawatiran rekan saya (dari Burma) bahwa kedatangan saya yang bersama 3 perempuan (memakai jilbab) akan menarik perhatian dan menimbulkan reaksi yang dikhawatirkan akan mengganggu. Walau ada sebagian warga yang juga memakai jilbab di Yangon namun tampaknya kekhawatiran rekan saya, Ye Yint harus diperhitungkan (ia adalah aktifis kemanusiaan yang rasanya punya banyak informasi yang perlu diperhatikan). Kerusuhan etnis Rohingnya (minoritas Muslim) dan Rakhine (mayoritas Budha) di barat daya Burma beberapa bulan / tahun sebelumnya nampaknya masih menyulut sentimen agama bagi beberapa orang. Junta militer memang nampak memelihara dan tidak membereskan persoalan ini, saya menduga bahwa dengan adanya kerusuhan ini maka campur tangan militer di lokasi akan semakin kuat dimana kekuasaan akan tetap menjadi dipegang oleh militer.

Kerusuhan juga bukan hanya milik Rohingya dan Rakhine. Kalau pembaca masih fanatik bahwa ini menjadi hanya persoalan muslim dan agama lain saya memberitahukan juga kalau kerusuhan teradi antara etnis Karen dan pemerintah junta, dan Shan dengan pemerintah junta. Korban jiwa juga terjadi untuk kasus-kasus ini. Ratusan ribu (setahu saya) dari etnis Karen misalnya menjadi warga tanpa kebangsaan akibat status pengungsinya di Thailand. Mereka diburu oleh pemerintah junta akibat masalah pembangkangan dan tinggal di semacam kamp pengungsian. Salah satu teman saya Victoria menjadi pengungsi di Mae Sot (Thailand) misalnya.

Nong (adik) Dada, sahabat saya. Ia berasal dari etnis Karen dan salah satu aktifis muda yang memperjuangkan hak masyarakatnya dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam. Konflik yang terjadi bukanlah bermuasal dari agama, melainkan dari ketidakadilan perlakuan dan perebutan sumber daya alam.
Terkadang di satu pertemuan, mereka akan ditanya dulu apakah foto mereka dapat ditampilkan misalnya di jejaring sosial, atau pada publikasi. Keadaan dapat menjadi tidak menguntungkan bagi mereka kadang dengan adanya ekspos di media.

Banyaknya kerusuhan kecil dan besar antar etnis minoritas (135 suku katanya) dengan pemerintah umumnya muncul karena ketidaksejahteraan, perlakukan yang tidak adil dari pemerintah, diskriminasi dan lain-lain. Sejam berjalan dari Yangon, mulai tampaklah tanah-tanah kosong, industri sederhana, warung-warung kecil, dan warga bergelantungan di mobil angkutan.

Gedung pengadilan di Yangon
Saya rasa ini adalah pertanda bahwa pembangunan belum merata, dan belum mencapai level maju. Jika dalam sejam perjalanan saja keadaan berubah seperti ini , bagaimana dengan tempat teman saya Htet Htet Oo yang jauhnya 6 jam perjalanan dari Yangon?

Saat saya membuka peta nampaklah barisan pegunungan melingkari sebagian Burma, terutama di bagian barat daya, utara dan timur laut. Yangon memang daratan rendah namun menuju ke bagian atas, dataran tinggi membatasi akses jalan. Saya rasa tentu penetrasi pembangunan ke arah sana lebih sulit.

Ini juga alasan mengapa serangan Cina ke arah selatan terbatas, biasanya tidak sampai ke Burma karena geographical barrier ini (pegunungan). Dari India juga mentok sampai Bangladesh sepertinya. Yang suka serang-serangan adalah antara Burma dan Thai... Ini seperti Tom and Jerry. Kalau pembaca menonton film-film Thai yang menggambarkan jaman kerajaan, penjahatnya adalah tentara Burma yang merampok dan memerkosa penduduk. Dalam kenyataannya, kedua-duanya saling menghancurkan, kedua-duanya sama-sama “jahat” dan kedua-duanya sama-sama “baik”. Sulit untuk bisa bilang siapa merampas tanah siapa sehubungan kedekatan ini. Inipun terjadi  dengan Kamboja, Vietnam, Cina, Bangladesh. Bahkan kerajaan Melayu dan Indonesia, Filipina juga pernah terlibat.

Kembali lagi ke Burma (yang menyenangkan) buat saya. Kalau ada waktu saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu berjalan-jalan di negara ini (lucky me, Indonesian got 30 days free visa now). 

Boneka (wayang) tangan khas Burma
Mungkin saya belum kena batunya ya (perkecualian saya dimahalin minum es jeruk lemon seharga 10 ribu rupiah per gelas plastik) sehingga tetap bisa menyebutkan negara ini indah...

Saya dengar kalau orang sakit parah, dibawanya ke Thailand biasanya. Itu kalo orang banyak duit.
Kalau orang miskin, mungkin menunggu saja sambil didoakan para biksu.

Btw mengingat para biksu, Su Kong (adik dari kakek saya) Biksu Ashin Jinarakhita belajar agama Budha dari negara ini juga. Lalu kembali untuk memimpin kembali agama Budha di Indonesia selepas jaman kemerdekaan, dan mengadakan kembali upacara Waisak di Borobudur. Jadi saya punya utang dengan negara ini juga. Semoga entah bagaimana saya bisa membayar utang itu sedikit sedikit.

Hari Pertama di Burma



8 Agustus 2014. Ini hari pertama menyeberang kedua negara: Thailand dan Myanmar. Bersama 3 pemudi ABG yang baik-baik saya mendapatkan kesempatan untuk pergi ke negara yang sangat saya incar untuk diketahui keberadaannya. 

Berdasarkan 1000 list “yang harus dilakukan sebelum mati oleh Indra” – negara ini Myanmar termasuk salah satu favorit saya untuk dikunjungi sebab saya tidak banyak catatan tentang negara ini, hanya berdasarkan catatan wikipedia misalnya bahwa sepeda motor dilarang digunakan di negara ini. Lain-lainnya kelabu, tidak banyak yang bisa diceritakan negara tertutup ini. Sumber-sumber internet hanya mengulang-ulang informasi-informasi tertentu, seperti pagoda Shwedagon dan mengenai junta militer.

Sumber terdekat yang bisa dipercaya adalah perjumpaan saya dengan 3 orang teman dari Burma (seperti mereka menyebut Myanmar, sebagai bentuk penghormatan mereka yang lebih tinggi kepada nama ini) setahun yang lalu pada bulan Juni 2013. Secara umum saya bisa mengatakan mereka adalah orang-orang baik yang berpakaian sopan, dengan olesan tanaka di pipinya bagi yang perempuan dan bawahan sarung bagi yang laki-laki.

Nah katanya keberuntungan akan menghampiri orang yang berkeinginan kuat untuk mencapainya. Jadilah hari ini saya berbaring di tempat tidur di Bago Township, sebuah kota/kampung kecil sekitar 1-1,5 jam perjalanan dari Yangon. Sekilas pemandangan, kalau saya mau keluar dari semacam resort ekologis tempat menginap saya ini, yang ditemukan hanya jalan raya dengan semak/pertanian di sekelilingnya.

Banjir di Burma, saat pesawat mau mendarat
Burma tadi memang agak aneh kalau dilihat dari atas pesawat. Sebelum mendarat tampak lapangan-lapangan luas yang tergenang air, seperti rawa. Menurut Snow, teman saya (aka Thin Zar Maung) memang di Burma ini lagi hujan terus dan jadi banjir. Memang benar, tadi waktu di perjalanan sekitar Yangoon banjir melanda sampai jalan raya. Namun herannya adalah bahwa ini terjadi di sekitar lahan-lahan pertanian. Dugaan saya adalah memang lokasinya dataran rendah, drainase sekitar jalan yang kurang baik dan anomali - curah hujan yang tinggi (di Burma ini, Agustus adalah bulan penuh hujan lebat – berbeda dengan di Indonesia yang sedang menikmati panas pol).

Tanaka, bedak dingin di pipi :) , dipakai oleh anak-anak dan perempuan

Yang saya lihat yang lain adalah bukti bahwa memang para perempuan memakai tanaka (semacam bedak dingin) pada kesehariannya. Saya bilang sih jadi eksotis dan manis ya. Jadi agak bergeser nih kalau melihat tante-tante dandan menor di Jakarta. Mungkin mending pakai semacam tanaka aja ya biar terlihat kesederhanaannya. Apalagi kalau diperhatikan, kalau memakai tanakanya bagus pipi dan jidatnya tampak seperti dilukis berputar-putar dengan bedak putih. Keren banget kaya di film Indiana Jones. Perempuan-perempuan ini memakai tanaka di bandara, di pasar, di pinggir jalan. 

Bukti lain yang saya temukan adalah cowoknya pakai sarung buat pengganti celana sehari-hari. Maybe sekitar 30-50% lah persentasenya. Teman saya sempat bertanya juga sih ke saya, apa ga susah pake sarung karena gak ada kantongnya? Saya juga jadi bertanya sih, apakah sarung dipakai karena melestarikan tradisi, disuruh ma junta militer supaya ga hidup mewah-mewah amat, atau karena disini orang merasa keren kalau pake sarung? Tapi saya sempat lihat juga tuh pada agak kesusahan waktu hujan dan rada banjir. Pada narik-narik sarung sampe ke lutut tuh.

Jalan-jalan di Yangon sambil pakai longyi
Apa lagi yah yang saya temukan pada survei beberapa jam ini?

Ehmm.. kayanya teman Thai bisa saling berkomunikasi dengan teman Burma (bahasanya mirip kali). Kopi hitamnya enak (jadi ga pede kalau mengeluarkan kopi yang saya bawa, sachetan indocafe). Perempuannya banyak yang manis (menurut saya). Kotanya ga terlalu mewah (sedeng-sedeng aja kaya Cibinong kali ya kalo di Jawa Barat) Cuma kok heran mobil pribadinya banyak yang mewah ya? Lalu banyak warung sederhana di pinggir jalan yang dibangun dari bambu dan kayu. Sederhana banget menurut saya bahkan kalo dibanding warung indomie di Indonesia.

Ok itu aja dulu kali ya. Namanya juga baru beberapa jam lah. Mau tidur dulu dengan teman sekamar yang Burmese ini (Ye Yint namanya). Semoga besok menemukan lebih banyak fakta ya. Doakan saya ya.