Senin, 25 Desember 2017

India 2: Barang Murah dan Kemiskinan


Saat saya membeli barang dengan harga murah, saya selalu merasa senang, apalagi jika mendapatkan barang bagus, unik. Selain itu perasaan menang juga muncul, karena saat di - iyakan - artinya seperti memperoleh kontrol atas seseorang/sesuatu (let's talk about it next time).


Namun perasaan ini jadi dilema-lalala bagi saya sekarang terutama setelah sering menyaksikan kondisi para pembuatnya, atau masyarakat di sekitarnya.

Diawali misalnya saat jalan-jalan senang di Malioboro. Siapa yang tidak senang saat bisa menawar baju barong bali seharga 14 ribu rupiah, atau makan gudeg krecek telur nasi seharga 10 ribu rupiah? Di dalam hati saya berpikir merenung, keuntungan si pembuatnya pasti kecil ya (selama 5 detik), tapi lalu hepi selama 2-3 mingguan. Betapa kecilnya porsi berpikir tentang orang lain, dibandingkan kesenangan terhadap kemenangan diri sendiri ya?

Kebetulan saya punya kemampuan menawar, dan tahu tekniknya dengan tepat sehingga tak jarang saya jadi garda depan kegiatan tawar menawar kalau sedang membeli sesuatu. Tapi semakin lama saya merasa ada permasalahan antara kemampuan menawar saya dan hati nurani saya.

Perasaan ini semakin campur aduk saat saya ke India kemarin. Barang2 yang didapatkan saya di sana harganya lebih murah dibanding di Indonesia. Dimulai dari buku Rabindranath Tagore hard cover yang saya beli seharga 30 ribuan (kalau di Indonesia harganya sekitar 60 ribuan minimal), lalu kain (astaga, ada kain sepanjang 3 meter seharga 20ribu rupiah), baju kurti (60 ribuan, dan kayanya minimal harganya sejajar ma Tanabang), gelang warna-warni hiasan untuk oleh-oleh (50 ribuan utk 1 kotak isi 4 buah), buah delima  (12ribu sekilo), dan lain-lain.

Pemandangan biasa di jalan: seorang wanita tua, bersarung dan berjalan tanpa alas kaki
 
Dalam percakapan dengan Uda Aldi di RMI sesudah pulang, ia berkata... kalau harga barang murah itu artinya tenaga kerja juga dihargai sangat murah di sana. Saya jadi termenung, mengingat di sana saya melihat kemiskinan, kekumuhan, ketidaktertiban dengan mata kepala saya sendiri dan saya tahu bahwa itu adalah puncak gunung es dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Saat berjalan kaki (karena saya menyukai berjalan kaki di kota yang belum saya kenal), saya menjumpai simptom kemiskinan dimana-mana, dari wanita tua bersarung- penyapu di jalan berdebu tanpa alas kaki, mereka yang belum bangun tidur bergelung di jalan, pedagang kecil dengan lapak sederhananya yang semrawut, bau got yang tersumbat, sampah yang menumpuk di jalanan, orang yang menyikat gigi dan berkumur2 di jalan, dan sebagainya.

Di pagi hari, para pekerja kasar, mungkin gelandangan tidur tanpa alas di pinggir jalan
Ranchi di Jharkhand tempat saya berkunjung mungkin bukanlah kota termiskin di India. Saya mendengar di Colcata dan New Delhi, terutama di daerah slum keadaan jauh lebih buruk. Saya mulai bisa membayangkan bagaimana Mother Theresa pada tahun2 awalnya, turun dari pesawat lalu melihat-lihat sekeliling selama perjalan dan kemudian menetapkan hatinya untuk orang2 miskin. Yang saya lihat tidaklah seperseribu yang ia lihat dan jangan samakan saya dengan Mother Theresa ini. Jauuuhhhh. Dan ini saja sudah membuat saya deg-degan selama berjalan dan makin masuk dalam pikiran saya.

Saat saya semakin jauh melangkah, setelah lebih dari 1,5 jam tiba2 tanpa sengaja tibalah kaki saya menghantarkan saya ke para pengrajin kayu. Ganies, teman seperjalanan saya awalnya tidak terlalu memperhatikan tumpukan kayu di pinggir jalan, sampai kami berjalan lebih dekat.

Oh bukan, yang saya lihat bukanlah ukiran2 indah, melainkan kayu2 lapis yang dijadikan peti mati sederhana, agak mirip dengan kayu bekas peti kayu buah2an. Sungguh sederhana bentuk peti mati tersebut. Wujudnya cukup untuk menampung satu orang dengan tangan yang dilipat di dada. Tebal kayunya tipis, sehingga agak parno juga ya kalo membayangkan saat diisi tubuh seseorang, lalu karena berat jatuhlah papannya karena pakunya tak kuat menahan berat yang mengisi. Gedebuk.


Peti mati seperti ini jelas dikhususkan untuk orang miskin.Seorang teman, setelah melihat foto peti mati tersebut menyatakan kalau harganya sekitar 5 juta kalau di Indonesia (tentu dengan standar yang lebih bagus). Saya tidak bertanya berapa harga peti ini, hanya membayangkan kalau dipotong tiga, lalu dimodif sedikit bisa jadi isinya adalah buah-buahan.

Sepanjang saya berjalan tanda2 ketidaksejahteraan, kemiskinan semakin muncul. Ya, dan tanda2 tersebar di sebuah kota yang sibuk. Bukan di tempat2 terpencil dan kumuh tapi di tengah2 kota kecil ini.

Di sebuah lokasi wisata, Jhona Falls, mata saya tertuju kepada dagangan2 sederhana yang dijual oleh anak2 kecil di pinggir jalan kecil. Tumpukan buah jambu batu diletakkan di depan mereka. Tidak banyak, mungkin jika habis terjual semua pun, untungnya hanya cukup untuk menambah makan pada hari itu saja. Seorang anak perempuan kecil berjualan buah jambu batu ditemani adiknya yang lebih kecil. Tubuh mereka kurus. Tak jauh dari sana sebuah toilet yang agak berbau pesing membuat beberapa wisatawan berdiri menunggu di dekatnya. Sebagian memilih menunggu dekat si anak. Kalau beruntung, mereka akan membeli buah jambu itu. Mungkin.



Anak penjual buah jambu batu di sekitar lokasi wisata
Satu yang saya sering pakai sebagai pembanding kesejahteraan suatu daerah/negara adalah harga lokal dari produk Kentucky Fried Chicken atau McD-nya. Semakin murah harganya, maka tingkat kesejahteraannya semakin rendah. Saya bandingkan dengan harganya di Indonesia secara kasar, lalu saya bandingkan juga dengan harga di Filipina (pernah juga ke situ dan membandingkan harga ayam gorengnya) dan saya mendapatkan harga ayam goreng KFC nya terpaut beberapa ribu rupiah dengan yang di Indonesia dan Filipina. Artinya di India lebih miskin secara tingkat kesejahteraan menurut saya.

Mengapapa KFC atau McD bisa dijadikan patokan? Karena menurut saya, model toko, teknologi, jenis masakannya sama dan dengan menggunakan bahan yang sama. Yang mungkin menjadi faktor pembeda adalah harga bahan dasar, upah tenaga kerja, transportasi dan beberapa faktor lain.
Tenaga kerja lagi. Jadi bisa kita simpulkan sedikit jika barang yang sama, dengan menghilangkan faktor2 lain (biaya transportasi, harga bahan dasar yang beda, lokasi penjualan yang berbeda, pajak, kemudahan2), dijual dengan harga yang berbeda maka dapat dipastikan bahwa di tempat dimana benda tersebut kita peroleh lebih murah, maka tenaga kerjanyalah yang dihargai murah.

Jadi saya sekarang semakin enggan menggunakan kemampuan saya untuk menawar. Sekedarnya saja.

Tapi masalah kemiskinan ini ga pecah telor kok karena satu orang ga mau menawar barang. Perlu lebih dari itu. Bila kita bukan pembuat kebijakan, saya rasa bisa kita mulai dari memperlakukan dan membayar orang lain (terutama yang miskin) dengan lebih adil.

Membuat kerajinan kayu dengan kampak
Buat saya, praktiknya adalah bersikap lebih perhitungan kepada orang yang sudah cukup berada, dan bersikap lebih murah hati kepada yang lebih miskin. Melawan hukum alam memang ya, sebab membayar, memberi, menjilat orang yang lebih kuat itu akan membuat posisi kita lebih aman, n kalo dipikir2 apa untungnya sih menolong orang yang lebih miskin, yang mungkin tidak berposisi dapat menolong kita seperti yang kaya? Ga tau saya jawabannya, maybe soal keberpihakan saja (atau alasan lain yang saya kurang sadar).

Saya cukupkan tulisan ini karena makin lama makin agak ngawur dan saya melihat persoalan ini ga ada habis2nya, ga ketemu jalan keluar dan nempel di kepala saya. Pusing.
Merry X Mas 2017. May happiness and blessfulness with you. Damai dan sejakhtera bagi semua makhluk di dunia. Om Shanti Shanti Shanti.

Kamis, 21 Desember 2017

India 1 : Teh Susu dan Sapi


Teh susu di cawan tanah liat
Teh susu, sekarang menjadi minuman yang sering saya minum paling tidak 1-2x dalam sebulan, tergantung apakah saya sering atau tidak pergi membeli susu segar di rumah Pak Kohar, yang punya sapi perah dekat Kuburan Blender. Kebiasaan ini terbawa sejak saya pulang dari Indihe.

Tadinya saya minum teh saja, atau susu saja (kardusan, merk dancow dong pastinya). Namun karena di Indihe saya mencicip teh susu yang enak banget so saya jadi ketagihan. Rahasianya adalah mereka menggunakan susu sapi murni, lalu direbus dengan mencampurkannya dengan teh. Atau kalau di tempat lain, mungkin membuat air teh kental lalu mencampurkanya dengan susu murni. Agar tepat, perbandingan (air) teh dan susu haruslah bahwa susu lebih (sangat) dominan dibanding teh. Gulanya suam2 kuku ajah.

Saya mau cerita neh pengalaman saya di India terkait teh susu. Teh susu bisa diminum dengan mudah di jalan-jalan di Ranchi (saya berasumsi kota lain juga begitu) dengan harga 10 rupee (1 rupee = 207 rupiah saat itu) terutama di daerah-daerah yang agak ramai seperti dekat pasar, dekat stasiun. Ia dibuat pula minuman botolan dan dijual di warung-warung dari yang berdinding triplek sampai swalayan.

Penjual teh susu di pinggir jalan
Teh susu biasanya disajikan bersahaja di mangkok kecil yang dibuat dari tanah liat. Fungsi mangkok ini adalah untuk meredam panasnya teh susu, jadi bisa dipegang sambil ditiup-tiup. Wangi susu bercampur dengan aroma teh yang berat, dan membuat kantuk hilang di pagi atau malam hari. Saya biasa meminumnya sambil melihat para pejalan kaki lalu lalang di dekat stasiun kereta api Ranchi.

Dekat Stasiun Ranchi, pagi-pagi penjual teh susu sudah dagang
Masyarakat India ini peminum teh susu ya? Dan kalau begitu kita harus tahu asalnya susu... yaitu dari sapi (kalau susu sapi...). Nah yang unik adalah tentang sapi ini.

Di perjalanan dalam bis, saya bertanya ke teman saya Sailendra. Ia dari Nepal tapi ia rasanya mampu menjawab pertanyaan saya tentang persapian ini. Sebab ada kesamaan dalam budaya mereka memelihara sapi.

Menurut Sailendra, sapi-sapi ini dipelihara oleh masyarakat India, tidak boleh dibunuh. Jika mati karena tua atau penyakit maka ia akan dikuburkan di dalam tanah. Sapi adalah binatang suci bagi penduduk India yang beragama Hindu. Nandini, atau Andini adalah nama sapi putih yang ditunggangi Dewa Siwa dalam kepercayaan Hindu. Sapi dianggap memberikan kesejahteraan bagi manusia lewat susu, tenaga, air seni sampai kotorannya. Menurut kisah di India, Sri Krisna mengutamakan sapi sebagai binatang yang perlu dihormati.

Kheer yang tawar dan manis juga dibuat dari susu

Gulab jamun yang super manis juga dibuat berbahan susu
Nah di perjalan itu, sambil menikmati klakson tolalet tolatet nya si bis yang doyan banget nglakson (sebagai keterangan, penduduk sini demen banget maenin klakson, bikin stres saya) saya bertanya lagi, apakah tidak terjadi bahwa populasi sapi nya tumbuh terlalu banyak (sebab membayangkan sapinya kan tidak boleh dibunuh, dan apakah tidak terjadi kawin mawin antar sapikah?).

Sailendra menjawab tidak, sebab dikontrol. Sapi jantan tidak disatukan dengan sapi betina, dan walau populasi banyak (setiap keluarga yang mampu bisa punya 1-2 ekor sapi), tapi sapi tidak dibiakkan untuk tujuan bisnis. Jadi sudah dapet jawabannya ya... sapinya mang banyak, tapi dijagain satu-satu kaya anjing. Jadi bukan ditaro berkelompok dan sengaja dikembang biakkin buat diambil dagingnya. Seperempat populasi di dunia katanya ada di India (http://www.sapibagus.com/2016/04/01/6-negara-memiliki-populasi-sapi-terbanyak-di-dunia) yaitu sebanyak 330 juta ekor.

Tapi saya baca di google kok katanya India adalah negara pengekspor sapi potong juga ya keluar negeri? Tak terhindarkan kali ya, orang2 yang sudah melihat kendaraan Dewa ini sebagai komoditas bisnis menguntungkan? Jadi absurd juga kalau begini ya...

Sailendra dan Kalpana, dari Nepal
Saya sempat menyatakan ini ke Sailendra, tapi sepertinya ia tidak punya data seperti yang saya dapatkan, walaupun secara logika dapat dimengerti. Sailendra cuma bilang ada sih yang di negaranya membunuh sapi tapi secara ilegal. Data tentang pengeksporan ini mungkin dia ga ngeh waktu diskusi dengan saya.

Balik lagi ke soal sapi penghasil susu ini, doi ini keren – berjalan-jalan selayaknya bemo di jalan2 utama, tahu berhenti saat mobil di depannya berhenti. Agak minggir kalo motor mau nyusul, bisa nyelap-nyelip lewat celah-celah kalo mau nyusul, lalu dia berhenti di tumpukan sampah nye-nack sisa sayur, nasi. Ibaratnya sapi di India ini saya anggap setara bemo lah keberadaannya.

Sapi yang hidup di India ini mungkin hidupnya lebih enak ya dibanding sapi yang hidup di negara lain, yang hidup di Pakistan, Indonesia, Amerika yang memang dibiakkan untuk dimakan.

Sapi itu setara dengan bemo untuk soal nyelap-nyelip di jalannya
Pikir-pikir nasih manusia juga sama ya kaya cerita si sapi ini lho: manusia ga bisa milih dilahirkan dimana. Kalo lahir di Swedia, terjaminlah dia seumur hidup, tapi kalo lahir di negara Afrika yang lagi perang, apeslah nasib dia.

Yuk seruput teh susunya dulu...

Monggo lain kali dicobian teh susu buatan sayah