Senin, 25 Agustus 2014

Beautiful Burma



Beautiful Burma. Kesan saya terhadap sebuah negara yang terletak antara Thailand, Cina, dan Bangladesh. Agak susah juga penilaian saya menjadi acuan sebab saya selalu mengagumi segala sesuatu. Buat orang lain biasa-biasa saja tapi bagi saya tetap luar biasa. Burma yang kata orang ketinggalan jaman, tidak modern, membosankan, panas menurut saya keren, penuh peradaban, penuh kesantunan, menarik di setiap sisi jalannya. 

Tidak seperti negara lain yang saya kunjungi, hanya sedikit informasi tentang Burma yang bisa saya peroleh dari sumber-sumber internet. Saya mencoba mendownload beberapa lagu (terutama tradisional) untuk mengenal budaya Burma tapi kok ga banyak ya yang tersedia di youtube?

Negara Burma ini terkenal sebagai penghasil batu giok (jade) terbesar di dunia. Mungkin bebatuan ini berasal dari pegunungan di sebelah utara Burma.  Saya dengan bahagia membeli bebatuan ini  di toko suvenir Cherry Myaing di Jalan Aung San, di Pasar Bogyoke di hari terakhir saya di Yangon. Satu cincin kecil harganya Rp 5000 dan sebuah lempeng batu giok sekitar Rp 20.000. Gelang juga sekitar itu. Kalau saya bilang sih murah (walau saya tidak tahu perbandingannya, tapi rasaan waktu saya melihat-lihat di Bangkok akhirnya saya memutuskan tidak jadi membeli – tandanya kalau di Bangkok termasuk barang mahal). Menurut teman saya, kalau pergi ke kampung saya bisa membelinya lebih murah lagi (ga kepikiran buat melaksanakan info ini).

Penjual suvenir di Cherry Myaing di Bogyoke (coretan di pipinya adalah tanaka)

Saya mengagumi kelambatan negeri ini, yang lama berubah. Saya masih melihat para warga berdesak-desakan di semacam mobil bak (tertutup) macam colt di tahun 70an. Transportasi publik kondisinya agak kuno, tapi mobil pribadi keren-keren banget (sewaktu pulang saya naik semacam APV dengan atap bisa dibuka). Banyak warga yang menggunakan sepeda untuk bepergian.

Pembangunan nampak baru dimulai dilihat dari berdirinya gedung-gedung di pusat kota. Tapi bangunan-bangunan lama juga masih ada, beberapa di antaranya bahkan ditumbuhi dengan pohon-pohonan di selan-sela batu bata. Temboknya berwarna pudar, namun membuat bangunan-bangunan itu tampak unik. Dekor lama masih nampak di antara bangunan itu. Mungkin gaya Perancis di tahun 1900 an ya?

Bangunan jadul. Keren tapi apa ga bocor ya?
Bandara internasionalnya cukup kecil, tapi bersih. Saya rasa seperti baru dibangun ya? Dilihat dari kecilnya ruang tunggu dan keberangkatan tampak bahwa pesawat dari luar yang datang ke Yangon tidak terlalu banyak.

Dilihat dari penampilannya penduduk Burma ini adalah campuran. Saya melihat wajah yang nampak seperti orang India, melayu, Thai dan Cina. Mungkin sejarah penaklukan-penaklukan mencampurbaurkan orang-orang di sini. Untuk diketahui, Kerajaan Burma sempat menaklukan Siam (Thai), Kamboja, sebagian India. Kerajaan ini juga sempat diserang oleh Thai, Khmer (Kamboja), Mongol, dan Cina. Pendatang awal (misalnya etnis Mon) dari arah Yunan, Cina juga turut membentuk bangsa ini.

Teman saya: Thin Zar Maung, Htet Htet Oo, Phoe Taike, Khintan Nwe, De Nai. Mereka berasal dari etnis-etnis yang berbeda.

Soal makanan, saya selera dengan makanan di sini. Atau entahlah ya sebab saya banyak makan di resort, disediakan makanan tradisional yang mungkin rasanya gak dianeh-anehin sebab untuk peserta dari 7 negara Asia Tenggara. Pokoknya saat saya makan ikan steam, ayam bumbu di komplek sekolah yang juga monastery (biara) saya ketagihan dan nambah nasi 2x. Sambelnya juga enak (ada yang seperti dicampur ikan asin) walau ada satu jenis yang saya tidak suka karena ada bumbu sesuatu yang keras menurut saya.

Makanan di jalan sayangnya saya ga sempet terlalu coba sebab waktu kami keliling kota memang tidak banyak. Cuma sempat makan semacam puding dengan campuran telur. Minuman yang banyak didapatkan sepanjang jalan adalah air jeruk lemon plus garam. Saya minum itu beberapa kali... menyegarkan di hari yang kadang panas.

Buah-buahan di pinggir jalan. Favorit saya: mangga :)
Buah-buahan yang saya lihat di jalan tampak menggiurkan. Mangga seperti mangga golek, manggis, jeruk, apel, jambu batu, duren berjejeran. Saya sempat mencoba mangganya yang merah namun liat sehingga waktu awal saya mau makan saya sangka itu adalah pepaya. Rasanya manis, dan seperti mangga gincu di kita tapi dengan ukuran yang besar dan tidak berserat banyak. Jambu batunya segar dan besar-besar, saya juga sempat mencobanya: krekes dengan manis jambu.

Sayang saya tidak sempat pergi ke Pagoda Shwedagon. Alasannya adalah kekhawatiran rekan saya (dari Burma) bahwa kedatangan saya yang bersama 3 perempuan (memakai jilbab) akan menarik perhatian dan menimbulkan reaksi yang dikhawatirkan akan mengganggu. Walau ada sebagian warga yang juga memakai jilbab di Yangon namun tampaknya kekhawatiran rekan saya, Ye Yint harus diperhitungkan (ia adalah aktifis kemanusiaan yang rasanya punya banyak informasi yang perlu diperhatikan). Kerusuhan etnis Rohingnya (minoritas Muslim) dan Rakhine (mayoritas Budha) di barat daya Burma beberapa bulan / tahun sebelumnya nampaknya masih menyulut sentimen agama bagi beberapa orang. Junta militer memang nampak memelihara dan tidak membereskan persoalan ini, saya menduga bahwa dengan adanya kerusuhan ini maka campur tangan militer di lokasi akan semakin kuat dimana kekuasaan akan tetap menjadi dipegang oleh militer.

Kerusuhan juga bukan hanya milik Rohingya dan Rakhine. Kalau pembaca masih fanatik bahwa ini menjadi hanya persoalan muslim dan agama lain saya memberitahukan juga kalau kerusuhan teradi antara etnis Karen dan pemerintah junta, dan Shan dengan pemerintah junta. Korban jiwa juga terjadi untuk kasus-kasus ini. Ratusan ribu (setahu saya) dari etnis Karen misalnya menjadi warga tanpa kebangsaan akibat status pengungsinya di Thailand. Mereka diburu oleh pemerintah junta akibat masalah pembangkangan dan tinggal di semacam kamp pengungsian. Salah satu teman saya Victoria menjadi pengungsi di Mae Sot (Thailand) misalnya.

Nong (adik) Dada, sahabat saya. Ia berasal dari etnis Karen dan salah satu aktifis muda yang memperjuangkan hak masyarakatnya dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam. Konflik yang terjadi bukanlah bermuasal dari agama, melainkan dari ketidakadilan perlakuan dan perebutan sumber daya alam.
Terkadang di satu pertemuan, mereka akan ditanya dulu apakah foto mereka dapat ditampilkan misalnya di jejaring sosial, atau pada publikasi. Keadaan dapat menjadi tidak menguntungkan bagi mereka kadang dengan adanya ekspos di media.

Banyaknya kerusuhan kecil dan besar antar etnis minoritas (135 suku katanya) dengan pemerintah umumnya muncul karena ketidaksejahteraan, perlakukan yang tidak adil dari pemerintah, diskriminasi dan lain-lain. Sejam berjalan dari Yangon, mulai tampaklah tanah-tanah kosong, industri sederhana, warung-warung kecil, dan warga bergelantungan di mobil angkutan.

Gedung pengadilan di Yangon
Saya rasa ini adalah pertanda bahwa pembangunan belum merata, dan belum mencapai level maju. Jika dalam sejam perjalanan saja keadaan berubah seperti ini , bagaimana dengan tempat teman saya Htet Htet Oo yang jauhnya 6 jam perjalanan dari Yangon?

Saat saya membuka peta nampaklah barisan pegunungan melingkari sebagian Burma, terutama di bagian barat daya, utara dan timur laut. Yangon memang daratan rendah namun menuju ke bagian atas, dataran tinggi membatasi akses jalan. Saya rasa tentu penetrasi pembangunan ke arah sana lebih sulit.

Ini juga alasan mengapa serangan Cina ke arah selatan terbatas, biasanya tidak sampai ke Burma karena geographical barrier ini (pegunungan). Dari India juga mentok sampai Bangladesh sepertinya. Yang suka serang-serangan adalah antara Burma dan Thai... Ini seperti Tom and Jerry. Kalau pembaca menonton film-film Thai yang menggambarkan jaman kerajaan, penjahatnya adalah tentara Burma yang merampok dan memerkosa penduduk. Dalam kenyataannya, kedua-duanya saling menghancurkan, kedua-duanya sama-sama “jahat” dan kedua-duanya sama-sama “baik”. Sulit untuk bisa bilang siapa merampas tanah siapa sehubungan kedekatan ini. Inipun terjadi  dengan Kamboja, Vietnam, Cina, Bangladesh. Bahkan kerajaan Melayu dan Indonesia, Filipina juga pernah terlibat.

Kembali lagi ke Burma (yang menyenangkan) buat saya. Kalau ada waktu saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu berjalan-jalan di negara ini (lucky me, Indonesian got 30 days free visa now). 

Boneka (wayang) tangan khas Burma
Mungkin saya belum kena batunya ya (perkecualian saya dimahalin minum es jeruk lemon seharga 10 ribu rupiah per gelas plastik) sehingga tetap bisa menyebutkan negara ini indah...

Saya dengar kalau orang sakit parah, dibawanya ke Thailand biasanya. Itu kalo orang banyak duit.
Kalau orang miskin, mungkin menunggu saja sambil didoakan para biksu.

Btw mengingat para biksu, Su Kong (adik dari kakek saya) Biksu Ashin Jinarakhita belajar agama Budha dari negara ini juga. Lalu kembali untuk memimpin kembali agama Budha di Indonesia selepas jaman kemerdekaan, dan mengadakan kembali upacara Waisak di Borobudur. Jadi saya punya utang dengan negara ini juga. Semoga entah bagaimana saya bisa membayar utang itu sedikit sedikit.

Hari Pertama di Burma



8 Agustus 2014. Ini hari pertama menyeberang kedua negara: Thailand dan Myanmar. Bersama 3 pemudi ABG yang baik-baik saya mendapatkan kesempatan untuk pergi ke negara yang sangat saya incar untuk diketahui keberadaannya. 

Berdasarkan 1000 list “yang harus dilakukan sebelum mati oleh Indra” – negara ini Myanmar termasuk salah satu favorit saya untuk dikunjungi sebab saya tidak banyak catatan tentang negara ini, hanya berdasarkan catatan wikipedia misalnya bahwa sepeda motor dilarang digunakan di negara ini. Lain-lainnya kelabu, tidak banyak yang bisa diceritakan negara tertutup ini. Sumber-sumber internet hanya mengulang-ulang informasi-informasi tertentu, seperti pagoda Shwedagon dan mengenai junta militer.

Sumber terdekat yang bisa dipercaya adalah perjumpaan saya dengan 3 orang teman dari Burma (seperti mereka menyebut Myanmar, sebagai bentuk penghormatan mereka yang lebih tinggi kepada nama ini) setahun yang lalu pada bulan Juni 2013. Secara umum saya bisa mengatakan mereka adalah orang-orang baik yang berpakaian sopan, dengan olesan tanaka di pipinya bagi yang perempuan dan bawahan sarung bagi yang laki-laki.

Nah katanya keberuntungan akan menghampiri orang yang berkeinginan kuat untuk mencapainya. Jadilah hari ini saya berbaring di tempat tidur di Bago Township, sebuah kota/kampung kecil sekitar 1-1,5 jam perjalanan dari Yangon. Sekilas pemandangan, kalau saya mau keluar dari semacam resort ekologis tempat menginap saya ini, yang ditemukan hanya jalan raya dengan semak/pertanian di sekelilingnya.

Banjir di Burma, saat pesawat mau mendarat
Burma tadi memang agak aneh kalau dilihat dari atas pesawat. Sebelum mendarat tampak lapangan-lapangan luas yang tergenang air, seperti rawa. Menurut Snow, teman saya (aka Thin Zar Maung) memang di Burma ini lagi hujan terus dan jadi banjir. Memang benar, tadi waktu di perjalanan sekitar Yangoon banjir melanda sampai jalan raya. Namun herannya adalah bahwa ini terjadi di sekitar lahan-lahan pertanian. Dugaan saya adalah memang lokasinya dataran rendah, drainase sekitar jalan yang kurang baik dan anomali - curah hujan yang tinggi (di Burma ini, Agustus adalah bulan penuh hujan lebat – berbeda dengan di Indonesia yang sedang menikmati panas pol).

Tanaka, bedak dingin di pipi :) , dipakai oleh anak-anak dan perempuan

Yang saya lihat yang lain adalah bukti bahwa memang para perempuan memakai tanaka (semacam bedak dingin) pada kesehariannya. Saya bilang sih jadi eksotis dan manis ya. Jadi agak bergeser nih kalau melihat tante-tante dandan menor di Jakarta. Mungkin mending pakai semacam tanaka aja ya biar terlihat kesederhanaannya. Apalagi kalau diperhatikan, kalau memakai tanakanya bagus pipi dan jidatnya tampak seperti dilukis berputar-putar dengan bedak putih. Keren banget kaya di film Indiana Jones. Perempuan-perempuan ini memakai tanaka di bandara, di pasar, di pinggir jalan. 

Bukti lain yang saya temukan adalah cowoknya pakai sarung buat pengganti celana sehari-hari. Maybe sekitar 30-50% lah persentasenya. Teman saya sempat bertanya juga sih ke saya, apa ga susah pake sarung karena gak ada kantongnya? Saya juga jadi bertanya sih, apakah sarung dipakai karena melestarikan tradisi, disuruh ma junta militer supaya ga hidup mewah-mewah amat, atau karena disini orang merasa keren kalau pake sarung? Tapi saya sempat lihat juga tuh pada agak kesusahan waktu hujan dan rada banjir. Pada narik-narik sarung sampe ke lutut tuh.

Jalan-jalan di Yangon sambil pakai longyi
Apa lagi yah yang saya temukan pada survei beberapa jam ini?

Ehmm.. kayanya teman Thai bisa saling berkomunikasi dengan teman Burma (bahasanya mirip kali). Kopi hitamnya enak (jadi ga pede kalau mengeluarkan kopi yang saya bawa, sachetan indocafe). Perempuannya banyak yang manis (menurut saya). Kotanya ga terlalu mewah (sedeng-sedeng aja kaya Cibinong kali ya kalo di Jawa Barat) Cuma kok heran mobil pribadinya banyak yang mewah ya? Lalu banyak warung sederhana di pinggir jalan yang dibangun dari bambu dan kayu. Sederhana banget menurut saya bahkan kalo dibanding warung indomie di Indonesia.

Ok itu aja dulu kali ya. Namanya juga baru beberapa jam lah. Mau tidur dulu dengan teman sekamar yang Burmese ini (Ye Yint namanya). Semoga besok menemukan lebih banyak fakta ya. Doakan saya ya.

Sabtu, 21 Juni 2014

Tips Booking Hostel pas Bacpackeran di Luar Negeri


Ini saran saya buat kamoe-kamoe yang senang jalan-jalan murah ala backpacker, untuk membooking hostel dan kawan2nya:
  • Untuk masa liburan, Sabtu Minggu pesanlah jauh-jauh. Bukan masalah engga ada hostel lain (penginapan itu pasti ada kalau rajin nyari dan jalan, tapi sudikah kamu jalan-jalan bawa tas berat apalagi kalau dapet penerbangan malem kalau ternyata hostel kamu sudah penuh? Seringkali untuk hostel dengan review baik, mereka penuh terisi saat liburan (misal kalau Song Kran Festival di Bangkok bulan April, atau Tet di Vietnam, atau Lebaran di Malaysia).
  • Punya cadangan penginapan (minimal tahu alamat penginapan sekitar yang dekat dengan penginapan utama). Sebab pernah kejadian, di penginapan kami menemui wisatawan yang sudah booking namun kamar yang mereka pesan masih ditempati orang lain (pemilik hostel ya pasti setuju-setuju aja toh kalau wisatawan sebelumnya bermaksud memperpanjang sewa kamar? Dan tidak semua penginapan punya cadangan kamar lho). Walhasil jam 11 malam wisatawan Malaysia tersebut (5 orang) yang sudah naik ke lantai 3 bawa carrier berat turun lagi ke lobi sambil marah-marah sebab kamarnya masih ada yang mengisi. Hostel-hostel murah biasanya dikelola dengan manajemen sederhana sehingga seringkali lupa dengan catatan kedatangan wisatawan.
  • Minta no HP si pengurus hostel, minimal 2 orang. Pernah kami pulang jam 12 malam sehabis jalan-jalan di Chiang Mai dan kartu magnetic kami (untuk membuka pintu) menemui masalah. Terpaksa kami menunggu di depan pintu hampir 30 menit. No telepon yang diberikan tidak dapat dihubungi, mem-bel hostel tidak ada yang jawab, untung kami mendapatkan nomor satunya lagi dari kertas yang tertempel di pintu bawah (dioper-oper juga karena si penanggung jawab rumahnya agak jauh dari hostel kami tapi lumayanlah ditanggapi dengan baik kekesalan kami).
  • Beli nomor HP lokal kalau tinggal lebih dari beberapa hari. Kembali lagi ke point nomor 3... bayangkan biaya yang dihabiskan pulsa internasional kalau kita sampai menelepon lokal di luar negeri. Stressss.
  • Cari hostel yang dekat dengan jalur transportasi masal. Lebih baik mahal sedikt dan mudah mengakses transportasi dibanding murah tapi jauh, sehingga menghabiskan biaya transportasi nantinya atau energi (cape) jalan kaki. Sori ya bro n sis, kalau waktu kita terbatas dan misal jam 11 malam kita masih harus jalan kaki 20 menit (sementara siang-malamnya juga sudah kita habiskan berjalan kaki) kayanya gempor juga lho... (pengalaman pribadi neh di Bangkok, yang lokasinya tertulis 10 menit walk from Lumphini Station  padahal diitung2 hampir 20 menit deh berjalan dan nembus gang sini situ). Tips ini tidak berlaku untuk yang perjalanannya memang mencari lokasi yang tenang dan damai.
  • Cari hostel dengan review yang baik dan dengan jumlah review yang juga banyak (kalau sedikit, curiga kalau memang diisi oleh temannya si pemilik hostel). Review adalah hasil subyektif para penginap, dan boleh menjadi acuan terpercaya.
  • Boleh juga cek dapat fasilitas apa: wifi? Makan pagi? Sewa sepeda gratis? Safety box?
  • Pada hostel terutama dengan tipe dormitory awasi barang bawaan. Jangan pernah meninggalkan barang berharga. Bule sekamar juga bisa klepto bro. Kalau bukan tipe dormitory (misal single room), tukang bersih-bersih juga bisa klepto bro sis (kasus di Pham Ngu Lao street, Saigon duit saya pernah ilang sebab istri yang baru pernah bacpackeran ninggalin duit di wastafel kamar mandi – walhasil ilang saat dibersihkan). Mau urus duit ilang bisa berabe kalo diluar negeri walau cuma ilang seratus ribuan sebab kendala bahasa bro, masa mau maki-maki pake bahasa kita sedang dia juga ga ngerti kan?
  • Di hostel, baik-baik dengan sesama bacpacker. Kami sering menemui bahwa rasa kesetiakawanan para backpacker sangat besar. Kami berbagi cerita, berbagi barang bawaan kecil-kecil (misal kopi, teh sachet, pernak-pernik kecil dan sebagai pertukaran kami juga mendapatkan hal yang sama dari mereka, selain cerita tentunya).
  • Ga yakin hostel atau punya planning lain, bookinglah untuk 1 malam saja (kedatangan). Gunakan hari kedua untuk mencek keadaan sekitar syukur-syukur dapet hostel yang lebih enak. Jangan membooking keseluruhan liburan di 1 hostel yang sama sebab kalau hostelnya tidak enak agak sulit membatalkan pemesanan (ada penalti biasanya, kecuali si pemilik memaklumi – tapi keadaan kita lebih lemah biasanya).
  • Saya suka bawa benda-benda remeh tapi penting ini di hostel: 1 universal charger sambungin dengan 1 kaki tiga supaya bisa charge 3 alat sekaligus, tali rafia sepanjang 5 meter (beli aja 1000 di warung bro) buat jemur, kantong plastik yang rada tebel (1 atau 2) buat nyuci, pemanas air teko plastik (beli 15 ribu bro di Giant) buat nyeduh kopi, klip kertas (buat jepit baju). Buku Lonely Planet kecuali ngerasa penting banget ga usahlah dibawa sebab berat. Print aja dari internet, kecilin hurufnya – sekalian buat dicoret-coret belakangnya kalau kosong.
Wokeh segitu dulu tipsnya. Selain hostel bisa juga teman-teman menginap gratisan apabila menjadi anggota misal www.couchsurfing.com (saya sampai sekarang belum pernah inap walau sudah beberapa kali teman dari luar negeri menginap di rumah saya – beberapa kali saya coba cuma belum beruntung sebab yang punya rumah ingkar janji (membatalkan janji, sibuk bekerja misalnya). Biasanya saya suka memakai fasilitas seperti www.booking.com  (gada booking fee, kita bayar saat tiba di hostel, tapi apabila dibatalkan terlalu dekat ke hari H maka kartu kredit kita akan kena charge). Selain itu ada juga www.agoda.com atau www.hostelworld.com (dua-duanya juga saya pernah coba). Seringkali harga yang ditawarkan situs ini lebih murah dibanding booking langsung hostel. So, it’s worth a try.

Senin, 10 Maret 2014

Homoseksualitas Adalah


Temen saya di acara internasional di Bogor, seorang anak muda dari Myanmar mengaku bahwa dirinya adalah seorang gay (artinya menyukai yang lainnya yang berjenis kelamin sama, laki-laki). Kalau dibilang ia seperti perempuan secara fisik sebenarnya tidak terlihat. Hanya saja ia suka benda-benda bernuansa kewanitaan seperti sepatu high heels (sebab ia mencari-cari benda itu di Bogor Trade Mall, sebuah pusat belanja di kota saya tinggal). Favoritnya adalah Lady Gaga dan di malam perpisahan ia bernyanyi dan berdansa seperti Lady Gaga the Monster begitu kata dia, Alex.

Nah biasanya di negara yang kesejahteraannya rendah (seperti Myanmar) orang-orang yang berorientasi homoseksual agak jarang terdengar, tapi teman saya ini lain - dia vokal banget, berani menunjukkan kalau dia gay, bahkan cerita tentang pacarnya yang sama-sama laki-laki – kangen katanya ingin kalau ia dijemput di bandara nanti kalau ia pulang. Ternyata kemudian saya tahu kalau dia adalah putra seorang usahawan yang sangat kaya di kotanya. Selain itu ia juga bersekolah di sekolah internasional, jadi saya rasa pergaulannya di sana cukup liberal dan bebas. Saya rasa artinya ia mendapatkan dukungan yang baik pula untuk akses arus informasi termasuk untuk mendukung ke-gay an nya (bisa searching di internet minimal dengan free).

Indonesia juga agak anti dengan homoseksualitas - berbeda dengan di Thailand atau Belanda yang agak beda memperlakukan kaum homoseksual maupun transgender (kalau kata yang ini berarti kalau misalnya laki-laki kemudian berganti kelamin menjadi perempuan, dan sebaliknya).

Oh ya lupa, homoseksulitas itu ada yang gay (laki suka laki) dan lesbian (cewe suka cewe) juga. Bisa terjadi karena genetik dan juga dipengaruhi oleh lingkungan.

Terus kenapa ya orang pada umumnya pada ga suka sama kaum gay atau lesbian? Ini dengan asumsi pembicaraan kita bukan di negara-negara yang memiliki pandangan khusus yang cukup positif pada kaum ini.

Kalau teori saya, ini berasal dari jaman purba, boleh ya saya cerita?
Dulu (dan masih juga seh sekarang) ada pembagian pekerjaan adalah berdasarkan jenis kelamin - berikut teori fisik yang melekat padanya. Maaf ya yang ga suka teori, gw kasih teori neh berdasarkan juga buku Man from Mars and Women from Venus. Gw kasih dikit deh.

Pada intinya, ada perbedaan kekuatan dan fungsi tubuh di dua jenis kelamin ini. Kalau cowo karena jaman dulu kerjaannya adalah berburu maka fisik berkembang kuat untuk pekerjaan berat.

Otot-ototnya berevolusi / beradaptasi berkembang lebih kuat, bagian dari otaknya yang berhubung dengan indera penglihatan mampu mengkalkulasi jarak, lebar, tinggi (3D) agar mampu menusuk buruannya dengan tepat. Kalau perempuan, bagian otaknya yang berhubungan dengan indera penglihatan - karena fungsinya yang berkembang untuk menjaga sekitar (sebab ia stay di gua) maka ia memiliki lebar penglihatan yang lebih luas. Ia bisa mengawasi sekitar jauh lebih baik daripada laki-laki, hanya ia agak "gagal" dalam mengkalkulasi 3D.

Mangkanya kalau nyetir perempuan lebih banyak nabraknya sebab persepsi kedalamannya agak kurang. Mangkanya kalau cowok ngelirik perempuan matanya keliatan banget ngelirik, sedang perempuan tidak.

Secara fisik, laki-laki didesain menjadi pemburu yang baik. Sedangkan perempuan didesain untuk fungsi perawatan. Untuk yang ini saya yakin, sama seperti saya meyakini teori evolusi dan kalau kaum ultra feminis mencoba membantah teori ini silahkan saja. Secara ilmu pengetahuan saya meyakini bahwa ini terjadi.

Balik lagi, pembagian tugas tersebut saklek dan dikala laki-laki atau perempuan tidak bisa melaksanakan tugasnya tersebut ia akan dikucilkan (kalau jaman dulu biasanya dicuekin, ga dikasih makan, ga boleh masuk shelter bahkan bisa dibunuh) sebab jaman itu memang keras. Semua angota kumpulan harus (HARUS) bisa melakukan tugas primernya dengan baik. No time lah buat ngerjain hal-hal sekunder.

Nah lalau gitu apeslah buat yang berorientasi homoseksual sebab misal ditemukan cowok yang keperempuanan (lemah) atau perempuan yang ga bisa masak dan mengawasi anak-anak, agresif maka dikeluarkanlah ia dari kelompoknya. Pada waktu itu masyarakat tidak mampu menyediakan jenis pekerjaan yang cocok bagi kaum yang berbeda karena memang belum dibutuhkan pada struktur masyarakat yang sederhana. Kerjaan masyarakat sederhana ini cuman beginila kira-kira: cowok keluar gua nyari makan, cewek tunggu gua sambil rawat anak dan jaga-jaga supaya gak ada harimau gigi pedang yang menyantap anak-anak mereka.

Bukan hanya kaum dengan orientasi seksual berbeda yang akan dikucilkan agar hilang dari komunitas tapi termasuk diantaranya adalah kaum cacat (difabel), kaum yang sakit, kaum tua (kecuali maybe yang pernah berjasa karena dianggap pengetahuannya berharga buat dideger kalo lagi kongkow deket api unggun). Mengapa? Sekali lagi pada masa itu, kaum tersebut tidak dirasakan punya manfaat selain menjadi beban kelompok.

Pembagian tugas yang lebih rumit terjadi pada masyarakat yang sudah lebih maju dan kompleks. Misalnya kalo diilustrasiin jadi begini neh: si masyarakat gua kaum prianya jago banget berburu dan produksi berkelimpahan terus, kaum wanitanya bereproduksi terus, mengumpulkan jamu-jamuan, tidak ada masalah dengan lingkungan maka lalu punya waktu untuk santai.

Di situ lalu timbulah pekerjaan-pekerjaan sekunder, misalnya lalu si wanita dominan yang biasanya punya waktu lebih (ya iyalah masa si ratu disuruh nyuci baju terus dalam keadaan baik-baik saja?) lalu mencari pesuruh yang dipakai buat menyisir rambutnya (agar si cowok dominan, si pemimpin saat datang dari berburu atau memimpin kelompoknya mengusir musuh tertarik lalu mengajak reproduksi). Kalo cowok dominan, misalnya mereka juga perlu dihibur maka lalu munculah misalnya peran bagi manusia bertubuh kerdil (cacat sebenarnya, bisa secara genetik) untuk berperan sebagai badut.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa pada masyarakat yang lebih kompleks strukturnya maka peran-peran bagi kaum minoritas ini akan semakin terbuka. Semakin kompleks strukturnya maka semakin terbuka peran-perannya.

Kalau ga percaya, coba deh pikirin mana ada misal wedding singer, pembuatan website,  jasa pembuatan skiripsi, jasa perawatan akuarium air laut di masa perang kemerdekaan RI. Saya cuma bermaksud mengatakan kalau jasa-jasa tersebut ada di jaman sekarang, tahun 2000an yang secara struktur masyarakatnya cukup kompleks (didukung ma perkembangan teknologi) yang mebutuhkan tenaga ahli secara khusus.

Mau lebih aneh lagi? Pernah ga memikirikan kalau misalnya ada lagi jasa misalnya untuk mengusulkan pemberian nama buat bayi yang baru lahir? Atau misalnya jasa mengambilkan barang yang ketinggalan di rumah untuk diantar ke kantor?

Nah pada saat tersebutlah maka peran kaum minoritas termasuk lesbian dan gay bisa diterima sebab disitulah fungsi-fungsi mereka di masyarakat bisa diterima. Mereka misalnya bisa berperan sebagai hair stylist, koki, memasukkan data di komputer, membuat website, atau bahkan diperbolehkan bekerja lebih formal seperti bekerja sebagai tentara, di perusahaan atau lain-lain.
Sebab di masyarakat yang maju, semua bisa berperan di bidangnya masing-masing.

Menurut saya, munculnya homoseksualitas (yang benernya udah ada dari dulu) adalah bagian dari perkembangan struktur masyarakat dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks, thats all... bagian dari ilmu biologi, ekologi manusia dan dicampur ma sosiologi.

Rabu, 26 Februari 2014

Sedihnya Dapet Bihun Sedikit

Well, guyz... kadang kekesalan kita, kesedihan kita bisa terpicu oleh hal-hal kecil saja terutama di saat kita memang sedang galau.

Seperti saat saya sore ini. Saat itu saya sedang berjalan sendirian sehabis hujan lebat. Dari pinggir Sungai Ciliwung tercium bau luapan sungai, seperti bau sampah basah bercampur bau tanah.

Capai dan lelah karena seharian di depan laptop, serta sebelumnya bepergian dengan angkot ke Cipaku saya memaksakan diri keluar kantor, mencari tukang bakso yang biasanya mangkal dekat SD.

Yang pertama saya jumpai adalah tukang bakso baru, dengan gerobak lama. Hati saya agak kurang senang sebab saya tidak mudah akrab dengan orang baru. Saya perlu waktu untuk mengamati orang-orang baru sebelum memutuskan akan berakrab atau cukup biasa saja dengan mereka. Satu lagi adalah, saya percaya semakin lama orang bekerja - semakin profesional dia... dan dalam hal ini termasuk si tukang bakso.

Apa yang saya khawatirkan terjadi terjadilah.

Eeee. pas mangkoknya ditengok dapet bihunnya CUMAN sedikit ! Gimana saya ga kecewa, biasa dapet bihun minimal dalam kuantitas sedeng, ini paling tiga kali digarpu abis tumpukannya.

Dan sedihlah saya. kecewa dengan perubahan yang terjadi dan ketidakpastian di masa depan antara saya dan tukang bakso ini.

Yah saya doain aja semoga si abang bakso (new, fresh graduate, greeny) ini segera insyaf dan sadar kalau ngasih bihun terlalu dikit itu akan buat pelanggannya kabur.

TT Berdoa juga si abang lama jualan lagi atau minimal nasehatin si abang bakso baru supaya naker baksonya lebih baik.