Senin, 13 Agustus 2012

Hard Choice

Pernah nga, merasa di persimpangan jalan... tanpa tahu apakah harus mengambil jalan berikutnya ke kiri atau ke kanan karena so little clue?

Ini yang terjadi dengan hidup saya beberapa hari ini. Would I stay atau would I leave? Dan dua-duanya sama-sama tough question.

Apakah saya harus meninggalkan tempat dimana saya merasakan suka dan duka bersama-sama setelah lebih dari 5 tahun, atau pergi berlayar ke tempat asing untuk menemukan harapan-harapan di tanah baru?

Rabu, 08 Agustus 2012

In the Morning

In The Morning
Songwriters: GIBB, STEVE


In the morning when the moon is at it's rest,
You will find me at the time I love the best
Watching rainbows play on sunlight;
Pools of water iced from cold night, in the morning.
Tis the morning of my life.

In the daytime I will meet you as before.
You will find me waiting by the ocean floor,
Building castles in the shifting sands
In a world that no one understands,
In the morning.
Tis the morning of my life,

In the morning of my life the
Minutes take so long to drift away
Please be patient with your life
It's only morning and you're still to live your day

In the evning I will fly you to the moon
To the top right hand corner of
The ceiling in my room
Where wll stay until the sun shines
Another day to swing on clothes lines
May I be yawning
It is the morning of my life
It is the morning of my life
In the morning
In the morning
In the morning


Well, begitu indahnya lagu ini buat saya. Didengarkan oleh saya dari dulu lewat speaker besar Om Oweh, dengan tape jaman dulu yang tebal dan penuh kenop-kenop yang tidak saya mengerti fungsinya, lagu ini selalu terngiang-ngiang di kepala saya.

Katanya... In the morning of my life the minutes take so long to drift away. Please be patient with your life. It's only morning and you're still to live your day.

I need that.

Rabu, 01 Agustus 2012

Kemping Pertama (Minimalis Mode: On)


Yah – yah – yah... setelah saya mengudek-udek isi laci saya yang banyak isi fotonya, untuk mencari foto-foto di Shamadi Shalom Cipanas yang saya dapati malah beberapa buah foto dalam 1 album kecil, yang berisi tamasya kami ke Perkebunan Ciliwung bulan Februari tahun 1996.

Boleh saya katakan ini kemping perdana kami, waktu itu saya masih kelas 1 SMA di Regina Pacis Bogor. Dan sehubung ini kemping perdana kami boleh dong kalo kami melaksanakannya dengan sederhana dan sedikit ga berkualitas?

Yah, ini bisa disebut kemping pemberontakan (saya merasanya begitu) untuk keluar dari pakem kalau yang bisa kemping waktu itu adalah kalau hanya di bawah naungan kelompok pecinta alam saja (waktu itu saya hanya junior saja, jadi berstatus tunggu ajakan senior-senior yang incapable untuk melakukan kemping; dan jadinya ga pernah kemana-mana). Dengan modal survei yang sama sekali engga memadai kami saya dan Crisa memutuskan kalau tempat ini bisa dipakai untuk kemping.

Resa, Henry, Citra dan Crisa
Jadi kemudian bersiap-siaplah kami, dengan ransel berangkat menuju Perkebunan Ciliwung di Puncak yang letaknya di sebelah kiri jalan dari perkebunan teh Gunung Mas. Waktu sudah sore waktu kami tiba di tempat itu. Ijin kami dapatkan dari penjaga kebun, dan setelah jalan-jalan sedikit kami menemukan bahwa tempat yang kami tuju tidak tepat untuk diinapi. Kami lalu meneruskan perjalanan kami, agak menanjak di perkebunan teh, melewati sungai kecil dan  hutan kecil yang tidak terlalu rapat sambil foto-foto sekedarnya mengabadikan penjelajahan kami sambil membayangkan film Indiana Jones.

Tengah asyik-asyiknya mencoba menerobos rimba, tiba-tiba mentoklah kami berhadapan dengan pagar kawat ayam bolong.

“Terobos ga neh?" Tanya saya kepada Crisa, Resa dan Henry – semuanya teman saya di SMA.

Resa dan Citra yang saya ingat tidak suka pikir panjang tentu saja mengiyakan. Kalau Crisa dan Henry saya lupa jawabannya, tapi sepertinya tidak jauh dari persetujuan yang menggebu-gebu juga.

Dan lewatlah kami, menerobos masuk pagar kawat ayam itu. Tak sampai beberapa detik kemudian terperangalah kami, sebab yang kami lewati tiba-tiba berubah jadi sebuah resort, vila yang indah permai di dalam hutan tersebut. Jalan diaspal, rumah-rumah kayu putih, beberapa mobil serta water heater di atas atap. Walah salah jalan ini mah saya pikir... cuma karena sudah kepalang kami lanjutkan saja lenggang kangkung di perumahan mewah tersebut.

Sialnya, perjalanan kami tidak bisa diteruskan. Tergopoh-gopoh seorang satpam berbaju biru berjalan dan langsung menemui kami. Singkat kata, kami harus balik arah sebab katanya resort itu milik jendral. Halah emang ini jaman orde baru so kalo ingat-ingat masa itu kalau sebuah lokasi di claim milik jendral enyahlah cepat-cepat atau benjutlah kami digaplokin tanpa bisa lapor polisi. Ini jaman representatif Bung.

Dah mirip ma yg di cover kaset belom ya?
Dengan murung kami turun kembali ke bawah, kembali melewati sungai kecil sementara hari sudah semakin sore.

Sebagai kepala rombongan dan inisiator penjelajahan ini, saya mengarahkan agar kali ini perjalanan diarahkan tetap pada wilayah Perkebunan Ciliwung, namun ke arah yang lain. Saya tidak memilih Perkebunan Gunung Mas - tinggal nyebrang jalan raya saja sebenarnya - karena saya tahu persis di dalamnya adalah sudah menjadi kawasan wisata yang perlu membayar tiket masuk, termasuk lokasi kemahnya yang walaupun jelek tetap saja berbayar. Ga worthedlah waktu itu fasilitasnya, lagian dimana seni menjelajahnya saya pikir?

Langit mulai kuning memerah saat kami mulai menanjak di kebun teh. Matahari mulai tenggelam perlahan-lahan dan rona merah yang menjadi penanda saat sang surya tenggelam menghibur kami, anak-anak SMA yang berjiwa luhur.

Sehubung waktu itu malamnya adalah malam takbiran, dan puasa sudah selesai – cepat-cepatlah kami sebelum hari benar-benar gelap memilih lokasi untuk menginap. Setelah pusing mencari sana-sani tempat terlindung sesuai buku pedoman Survival Navy Seal berbahasa Inggris, kami memutuskan kalau tempat terbaik hanyalah sebidang tanah kosong, mungkin bekas tempat menimbun teh bagi para pemetik teh. Tidak apropriate namun diputuskan bahwa tempat itu adalah yang paling OK sehubung hari sudah mulai gelap dan rasanya di kebun teh agak susah mencari pepohonan besar sebagai naungan terkecuali kami berjalan sampai batas hutan di luar perkebunan.

Tidak ada yang kami persiapkan selain menggelar ponco, itupun hanya 2 ponco saja: saya dan Crisa. Citra yang pengendara motor tidak bawa (rasanya sih sengaja karena malas – dicirikan dengan bawaannya di ransel yang minim seminim-minimnya). Kalo Resa dan Henry memang tidak punya, walau Resa anggota pencinta alam juga.

Yah lalu bisa dibilang kami menghabiskan bekal, mondar-mandir di sekitar lokasi dan agak malam saya menyalakan senter rechargeable saya (keren banget waktu itu saya pikir karena jarang-jarang yang punya senter rechargeable ukuran kecil yang bisa jadi lampu penerangan juga :) .

A Time To Kill (1996)
Kami main kartu, bolak-balik tiduran, makan snack, bikin indomie, ngobrol ngalur-ngidul ngejelek-jelekin guru, berpikir bebas seperti seakan-akan tidak akan pernah bekerja dan hidup susah di kemudian hari.

Beberapa gelombang orang yang merayakan takbiran melewati kami sambil diiringi tetabuhan. Saya menebak, jangan-jangan ada perkampungan di atau Masjid di depan kami, setelah hamparan kebun teh ini.

Ga lama jam 9 an dah pada mau bobo, en memandang bintang di kejauhan. Ngobrol ngalor ngidulnya tetap jalan en sehubung gak ada HP waktu itu maka masing-masing ga sibuk sendiri melainkan cukup merubah topik. Kalo topik mengenai gigi si Resa udah ga seru maka bisa ngobrolin penindasan yang dilakukan oleh Citra sebagai senior kepada anggota-anggota beladiri THS bawahannya.

Wah ada yang salah rasanya mengenai memandang bintang di kejauhan dan mulai tersadari saat jam menunjukkan kira-kira tengah malam. Badan mulai menggigil karena hembusan angin dingin, dan walaupun badan diposisikan dalam bentuk melengkung seperti kucing, hawa dingin tetap menusuk menembus jaket. Kebetulan tidak ada sleeping bag yang kami bawa karena jaman itu jaman susah – jadi cukup lapis-lapis saja.

Saat jam 3 dingin tidak tertahankan lagi dan semua dari kami terbangun karena kedinginan. Bisa dibuktikan bahwa dalam perbedaan genetik dan budaya, kami tetap terbangun oleh hawa dingin yang sama. Citra dan Crisa penguasa ilmu bela diri, Resa si kuda, Henry yang jago gambar dan saya bertekuk lutut di bawah kekuatan alam: badan menggigil, gigi gemeretak, ujung-ujung jari dan telinga serasa membeku. Kami mengeluarkan segala perlengkapan namun semua hanya sedikit menolong.

Sampai matahari mulai muncul tidak ada yang bisa tidur, dan penderitaan kami sulit dijelaskan selain mengingat bahwa di lain kesempatan tidak mungkin kami akan mengulangi cara-cara bodoh ini lagi, tidur terbuka di pegunungan tanpa bekal apa-apa.

Pagi-pagi, dengan kebas-kebas di kaki dan sakit di punggung kami beres-beres. Sehubung tidak ada yang punya pengalaman jalan-jalan dan juga tidak ada yang kaya dan mampu mentraktir sesamanya (misalnya nerusin jalan-jalan ke Cibodas, makan-makan di resto Riung Gunung) maka kami memutuskan untuk mencuci muka kami di parit kecil yang dialiri air jernih di Perkebunan Teh Gunung Mas saja. Ya, setelah masak indomie, kami main-main sebentar ke perkebunan teh tetanggaan itu, lewat jalan pemetik teh guna menghindari pungutan tiket masuk si penjaga.

Ya, itulah pengalaman (tidak) menakjubkan kami yang menjadi pembuka petualangan-petualangan fantastik kami selanjutnya :)  . Perkebunan Ciliwung cuma stepping stone kan? 

And then go west guyz to a peaceful land !!! - kata geng hombreng "Village People." Ya, mungkin setelahnya kami berpencar, pergi ke tujuan kami masing-masing, tapi pernah ada suatu waktu dimana kami berkumpul di sini, di sebuah tempat bernama Perkebunan Ciliwung.