Rabu, 04 Desember 2013

Merubah Agama Sesorang


Agamaku adalah Agamaku, Agamamu adalah Agamamu.

Kalimat ini sering saya dengar diucapkan oleh banyak jenis orang, dari tokoh agama besar, aktifis LSM, sampai teman sendiri. Kebanyakan dari mereka adalah aliran tengah, bukan aliran kiri yang memang sudah keras kena formalin (kalau aliran kiri jenis ini pepatahnya lebih sangar lagi: masuk neraka, kafir). Nah kalau yang aliran tengah ini sepertinya terlihat netral… silahkan saja urus agama masing-masing, jangan saling meribetkan. Mungkin saya tambahkan lagi… kami akan bantu yang lain, asalkan tidak yang menyangkut masalah agama. Kalau yang itu kami tidak ingin tahu.

Masalah golong-golongan ini makin terlihat kerasnya kalau ke masalah yang paling sensitif... boleh ga sih kita pindah agama (walau kalau menurut UUD 1945 pasal 29 itu dijamin kebebasannya oleh negara)? Nah kalau yang garis kiri jelas-jelaslah kalau pindah agama ini dosa. Kalau garis tengah kayanya cenderung ngomong kalau itu agak dosa (netral ga sih yg ini?). Kalau garis kanan bilang itu kebebasan... malah mungkin mempertanyakan juga dosa itu apa sih?

Kalau di Indonesia seh yang paling santer tentang masalah converting agama seperti ini adalah agama Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik). Kalau yang lain maybe karena jumlahnya sedikit maka terjadi secara sporadis saja (misalnya Hindu, Budha, Kepercayaan) – walau sebenarnya secara bukan hanya dua agama ini yang mengeluh saling converting satu sama lain. Antar semua agama juga sebenarnya saling mengeluh, misalnya umat Budha yang misalnya mengeluh umatnya banyak yang dikristenisasi, atau Kepercayaan (Kong Hu Cu misalnya) yang diconvert jadi Katolik.

Lalu apakah memang sebaiknya agama sesorang itu tetap saja seumur hidupnya? Jadi misal kalau orangtua beragama Islam, lalu sebaiknya anak sampai cucu-cucunya tetap beragama Islam? Atau kalau orangtua beragama Kristen Protestan lalu keturunannya tetap Kristen Protestan juga sampai sepuluh abad setelahnya?  

Kalau menurut saya terjadinya proses komunikasi antar dua belah pihak adalah wajar. Begitu pula upaya mempengaruhi pihak lain agar menerima kebenaran, menyetujui pandangan yang lainnya adalah wajar. Bukankah inti komunikasi adalah upaya agar pihak yang lain percaya mengenai informasi / pandangan kita? So upaya saling meng-convert agama sebenarnya adalah contoh upaya tujuan komunikasi, agar pihak lain menerima / percaya akan kebenaran dari pihak lain.
Lalu bagaimana dengan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi akibat upaya convert mengconvert itu?

Perlu dipahami bahwa agama adalah suatu entitas. Suatu kelompok bergabung membentuk suatu kelompok agama dimana di dalamnya mereka percaya bahwa dengan bersatu mereka mampu melakukan suatu pekerjaan dengan lebih baik (misalnya, bertahan terhadap serangan kelompok lain). Pada saat suatu kelompok kehilangan anggota-anggotanya, dapat dibilang bahwa kekuatan mereka akan melemah. Hal ini berlaku sebenarnya untuk setiap kelompok.

Kalau dilihat pola ini adalah diturunkan dari intuisi makhluk hidup itu sendiri yang menyukai cara berkelompok selama makanan di sekitarnya tercukupi untuk kelompok sebab dengan bergabung mereka akan lebih aman (jadi inget kalau di laut ikan-ikan sejenis suka bergerombol dalam jumlah yang sangat besar, misal untuk membingungkan predatornya sehingga kemungkinan survivenya lebih tinggi untuk setiap individu di dalamnya).

Pada saat satu kelompok “tercemari”, misalnya saat anggota kelompoknya mendapatkan ide yang berbeda – akibat berkomunikasi dengan kelompok lain dengan paham yang berbeda, maka keberadaannya dapat mengancam kelompok besarnya, karena ide tersebut dapat menular. Maka seringkali kita mendapatkan suatu kelompok sangat “intoleran” terhadap ide atau gagasan baru. Ini merupakan suatu mekanisme pertahanan, terutama apabila kelompok tersebut merupakan kelompok konservatif, dimana di dalamnya tidak ada mekanisme cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya.

Kembali lagi terhadap hal perubahan agama. Maka apabila misalnya suatu keluarga khawatir karena anaknya pacaran dengan pria / wanita agama lain, hal itu bisa jadi karena ketakutan keluarga (kelompok kecil) tersebut terhadap tekanan kelompok yang lebih besar (notabene kelompok agamanya). Bisa jadi keluarga (kelompok kecil) tersebut misal berpendapat bahwa hal tersebut dilarang oleh Tuhan, dilarang oleh agama, dan lain-lain. Namun menurut saya, yang lebih mudah dilihat adalah bahwa kelompok kecil tersebut khawatir akan pandangan dan tindakan dari kelompok besarnya terhadap kelompok kecil tersebut.

Lainnya adalah bahwa seringkali perpindahan agama dilihat bukan menguntungkan secara ke individuan (misal, pendapat alangkah bahagianya bahwa sesorang bisa menemukan tujuan hidupnya dengan lebih baik) , namun kemudian dihubungkan dengan sisi politis, bahwa dengan berpindah menunjukkan bahwa agama barunya lebih baik dibandingkan dengan agama lamanya.
 Sisi politis ini bila dilihat dengan baik juga dapat dihubungkan dengan penambahan jumlah kelompok, dimana penambahan kuantitas berarti penambahan kekuatan bagi kelompok baru.

Lalu mana penerapan “Kebebasana memilih agama sesuai keyakinan dan kepercayaannya” yang dijamin oleh UUD 1945 itu ya? Heran saya. Ini kayanya retorika aja deh.

Di Indonesia ini, gara2 pindah agama sesorang bisa diadilin oleh keluarganya. Untung-untung FPI ga datengin rumahnya sambil bawa bambo. Yah tapi masih untunglah ga kaya di Negara-negara timur tengah yang bisa mancung kepala untuk soal beginian.

Semestinya, ini menurut saya ya… agama itu dipilih sesorang sebab dengan memilih agama tersebut ia bisa lebih baik dan mudah menemukan tujuan hidupnya ya? Berkelakuan lebih baik, positif, dan lain-lain. Dan kalau kita dimita mengesampikan agama, tentu kita akan mendukung misalnya ada sesorang di keluarga kita yang bertujuan seperti itu. Tapi sehubung agama bukanlah milik pribadi maka jadi komplekslah masalahnya.

Kalau saya tetap berprinsip agama itu seperti baju saja… kepribadian saya tetap sama walau baju saya berbeda. Ganti baju kalau memang harus ya lakukan saja. Saya masih percaya pasal di UUD 1945 tentang kebebasan beragama (untung saya tidak hidup di komunitas agama fanatik. Kalau ya bisa habis saya).

Minggu, 01 Desember 2013

Pendampingan Masyarakat: Masyarakat Yang Mana?



Selama saya melakukan pendampingan masyarakat, sering kita menjumpai konflik yang terjadi di masyarakat. Contohnya, misalnya antara perusahaan swasta yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dengan masyarakat. Bisa juga terjadi antara misalnya pemerintah (diwakili oleh Taman Nasional) dengan masyarakat.

Contoh pertama misalnya. Perusahaan  swasta ingin memanfaatkan lahan HGU untuk mendapatkan profit (misalnya dengan menanami lahan dengan tanaman seperti jati, jenjeng, atau sayuran). Nah ini legal dan sah, karena pemerintah memberikan hak HGU tadi kepada perusahaan. Yang biasanya agak bermasalah adalah apabila misalnya, lahan yang diberikan HGU nya kepada swasta ternyata adalah lahan yang diklaim milik masyarakat. Kalau kasus ini bisa terjadi misalnya kalau yang di HGU kan misalnya adalah hutan adat, dan lain-lain. Ini bisa terjadi karena misalnya pemerintah masih merasa kalau yang di peta Indonesia ini bisa diberi saja semaunya ke perusahaan yang bisa bayar pajak ke pemerintah. Padahal bisa jadi masyarakat. yang sudah ada sebelum pemerintah RI berdiri sudah merasa memiliki, memanfaatkan dan memanage hutan tersebut.

Sebagai catatan, tahun 2012 MK (Mahkamah Konstitusi) Indonesia sudah memisahkan Hutan Adat dari Hutan Negara. Artinya Pemerintah sekarang sudah tidak bisa seenaknya saja memberikan hak kelola Hutan Adat kepada Swasta. Itu punya masyarakat adat coy. Satu langkah yang baik menurut saya.

Lainnya, seperti di daerah pendampingan saya, desa Pasir Buncir dan Wates Jaya. Yang ini perusahaann yang punya HGU pintar sekali. Ada syarat kalau ditelantarkan, lahan HGU bisa tidak diperpanjang ijin pemanfaatannya. Kalau saya tidak salah kalau ditelantarkan 4 tahun masyarakat bisa mengajukan kepada pemerintah agar tidak memberikan perpanjangan HGU ini, dan bisa mengolahnya kemudian dengan asas kolektif (ngajuin bersama agar nanti hak kelola adalah memakai nama sama-sama). Ini kalau saya tidak salah ya sebab saya bukan ahli hukum pertanahan.

Di  desa ini perusahaan pandai. Mereka tidak mengolah lahan sendiri, namun menyewakannya kepada petani, agar diolah dan kemudian mereka akan mendapatkan kira-kira setengah dari hasil panen.  Jadi ga keluar modal.

Yang jadi masalah adalah nah kok elo ga ngelola sendiri, nyewain ke orang lain lalu elo claim kalo perusahaan elo sudah memanfaatkan HGU nya dengan baik? Atuh mending pemerintah langsung aja kasih HGU nya ke masyarakat?

Di sini perusahaan jadi bertindak seperti calo sewa tanah, dan ini dilarang. Kalo gw jadi pemerintah seh ga bakal ijin HGU nya gw kasih ke perusahaan macam begini. Kaya lintah gw bilang sih.

Nah masalah lain juga, ini sering luput dari kita-kita yang katanya pro ngebela masyarakat dibanding perusahaan besar.

Yang dibela ini masyarakat yang mana seh? Sering misal... kalo HGU perusahaan lepas lalu diberikan ke masyarakat, ternyata yang dinamakan masyarakat itu adalah makelar tanah. Bisa juga jatuh ke petani kaya, entah dari desa mana; atau pengusaha tambang ilegal (Haji sesuatu yang kayanya ujubile dari hasil nambang ilegal). Ini semua masyarakat Bung. Jadi mana masyarakat yang elo maksud?

Yang kasus pengusaha tambang ilegal ini kasus nyata di daerah pendampingan kami di desa sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Doi itu udah siap-siap katanya kalau HGU perusahaan ga diteruskan, dah siap-siap caplok HGU nya buat nambang kaolin. Dah siap tuh buldozer ma truk-truk besarnya buat ngerokin tanah.

Lalu dimana seh masyarakat petani, miskin, penggarap, yang kudunya emang dapet hak kelola lahannya? Sori coy... jadi elo para pendamping pikirin bae-bae karena reformasi agraria bisa jadi gila hasilnya. Dari mulut buaya jatuh ke mulut harimau.

Saya sih cuman pengen bilang. Yang namanya masyarakat itu bukan suatu entitas tunggal. Isinya adalah ibu-ibu, tukang sayur, petani, mamang baso, anak perempuan, balita, manula, makelar tanah, preman pasar, Haji yang udah 3x naek Haji, Pak RT, mahasiswa yang lagi PKL yang lagi pacaran ma petugas di Puskesmas. Isinya orang baik dan orang jahat dan yang abu-abu. Silahkan pilih dulu.

Jadi bae-bae deh pendampingannya. Mohon dicek dulu siapa ada dimana. Itu namanya assesment. Kaga bisa assesment? Siap-siap deh kecewa lahir batin setelah pendampingan.

Wasalam.