Senin, 27 Februari 2012

Siapa yang Miskin Sekarang?

Sederhana dan kaya... bisa ga seh?

Sebelumnya saya meragukan hal itu. Walau tidak tepat-tepat dengan definisi saya tapi tipe hidup seperti ini ada. Dan guess what: kalau melihatnya tipe hidup seperti ini 1-2 orang mungkin saya anggap biasa-biasa saja tapi yang saya temui ukurannya adalah desa. Bukan 1 desa juga tapi beberapa desa. Ini ukurannya komunitas bung, penduduk, rakyat...

Kasian deh kalau kita belum pernah pergi ke desa-desa seperti ini sebab konsep hidup kita mungkin hanya terpaku pada kerja keras di kantor di Jakarta, pergi jam 6 pagi pulang jam 8 malam, dan sial kalo jadi si miskin di Jakarta sebab seperti saya dulu: pergi naik kereta pulang naik kereta didempet kaya ikan sarden di kaleng.

Nah desa yang saya jumpai masuk hitungan berkecukupan atau menengah ke atas kalau dilihat dari penghasilan, tabungan dan investasi. Penghasilan lumayan, gada kebutuhan yang mahal (atau kalaupun mahal dapat dicukupi), mau makan tinggal ambil, dan tabungan serta investasi ada.

Penghasilan sekiat 3-10 juta di desa per bulan lumayan ga sih menurut kamu? Kalau saya nanya ma Pa Tony Chen eks Direktur Microsoft pasti dibilang gada papanya. Cuma buat saya, pendapatan segini masuk kategori sejahteralah. Ini adalah beberapa desa yang saya kunjungi pakai speedboat di pinggir Sungai Kapuas Hulu: Desa Jongkong Kiri Hilir, Piasak, Ujung Said, dan Nanga Betung (yang terakhir agak jauh dari Sungai tapi saya masukkan juga sebagai desa sejahtera dari hasil karet).

Rumah panggung, supaya ga tenggelam kalo musim banjir
Penduduk desa sejahtera: ini hitungannya - dari karet mereka dapat 5-10 kg perhari, harga jual Rp 12.000 /kg. Lalu mau makan tinggal mancing, pasang pukat, atau ambil di tambak. Saya hitung tanpa panenan di tambak maka sehari misal dapat 1-3 kg (ini sial atau rata-rata saja) maka hitunglah dapat ikan patin/bawal/gabus maka dapatlah tambahan 30 ribu. Lalu dari buat kerupuk ikan, dapat lagi (saya tidak tahu dapat berapa tapi saya rasa upah cukup tinggi karena ini adalah desa dengan penghasilan lumayan).

Ini tambahannya: investasi arwana super red atau silok- setiap KK biasanya pelihara 1-2 ekor (walau ada juga sampai 25 ekor). Ukuran 7 cm Rp 2,5 juta. Kalau besar sekitar 30 cm (sekitar 6-12 bulan) dijual 6-10 juta. Kalau 50 cm maybe disini (lokal) dijual 10-15 juta. Kalau bisa memijahkan indukan menghasilkan 20-40 anakan setahun sekali.  Lalu panen tambak, setahun 1x maybe bisa dapat 10-30 juta.
Ikan Siluk (arwana super red) di akuarium yang kaga mampu saya beli

Kalau sodara-sodara malas menghitungnya, saya cuma bilang pendapatan mereka dalam kondisi tidak panen apapun adalah minimal sekitar Rp 100.000 / hari. Ingat - tanpa PANEN ikan silok/arowana, buka tambak satu tahun sekali untuk tiap tambak yang dimiliki, atau menikmati kenaikan harga karet...

Itu untuk kategori kelas menengah saja perkiraan saya. Dan kelas menengah disini adalah cukup rata - kisaran normalnya dengan kurva menggelembung di tengah. Jarang yang bisa dibilang miskin disini karena mereka saling berbagi pekerjaan - terutama untuk kerja menyadap karet ( lebih bagus lagi kan: berbagi kerja dibanding berbagi duit?). 

Nah loh, siapa yang miskin lalu jadinya. Saya menggolongkan diri saya miskin kalau begitu. Belum lagi kadang harga karet naik sampai 21 ribu / kg seperti beberapa tahun lalu, berapa penghasilan rakyat sini - kaya ga seh?

Jadi gini coy... jangan sok tahu kalau melihat penduduk pakai baju kucel, pake motor 90an bukan mobil Avanza, mandi di sungai, pakai HP Nokia lama atau Cross buatan Cina. Dia bisa jadi jauh lebih kaya dan sejahtera tenang lahir batin dibanding ente. Saya dengar juga dari Bapak Haji pemilik losmen "Merpati" di Putussibau; kalau pernah dia ditawarkan untuk beli emas oleh seseorang. Si Bapak nanya ada berapa gram - sebab tertarik juga buat investasi beberapa gram mungkin. Dijawab oleh si penjual yang katanya dari Suku Dayak, "Saya ada 50 kg Pak.." (sepertinya sih dikatakan sambil muka polos soalnya Pak Haji jadi melongo katanya).

Sekolah, emang penduduk sini sadar pendidikan kok - banyak juga yang kuliah di Pontianak
Beginilah kehidupan penduduk di Desa yang saya kunjungi: hidup tenang dekat sungai, ngeliat banjir sambil nongkrong di rumah panggung, lalu anak sekolah di Univ Tanjung Pura.Pagi kasih makan ikan siluk, nyadap karet sampai sebelum tengah hari.

Lanjut... : mancing ikan kalau perlu makan ikan sambil ga peduli waktu kerja. Kerja ga kena macet, minum Milo jualan/selundupan dari Malaysia (Milonya rasanya lebih enak dari buatan Indonesia soalnya yang kualitas untuk dijual pack minuman dingin). Siapa yang miskin sekarang saya tanya coba?

Mangkanya saya sih dukung ni hutan, sungai dijaga. Saya lebih ridho melihat penduduk, para sahabat saya ini jadi kaya dibanding Ibu Dede (pemilik perusahaan sawit PT Dian Agro Lestari). Hidup penduduk! Ternak ikan siluk, tanam karet, jaga hutan, tendang perusahaan kelapa sawit!

Catatan, update Maret 2012:
Ga semua KK di desa memelihara ikan siluk, tapi perhitungan hasil karet saya juga akan saya perbaiki. Hasil 5 kg per hari adalah ukuran penduduk yang malas nyadap karet. Buat penduduk yang menengah rajin bisa dapat 10 kg per hari, sementara penduduk super rajin bisa dapat 20 kg sehari. Artinya penduduk menengah rajin minimal bisa dapat Rp 120.000 / hari hanya dari karet (harga karet saat ini @ Rp 12.000 / kg).
.

Si Biru yang Jatuh ke Sungai

Huhuhu... saya sedih neh...

Tadinya saya ingin menulis dengan membanggakan diri mengenai sesuatu - petualangan saya di Kapuas Hulu, naik jukung dan speedboat bermotor di Sungai Kapuas dan hutan-hutannya.

Tapi ada yang lebih penting dan sedih, dan menghilangkan keinginan saya menulis yang kelihatan besar-besar dan keren, sebab kamera saya si biru yang sering menemani saya jalan-jalan jatuh ke sungai saat saya renang di Sungai Kapuas.

Catatan bagi pemirsa, kamera si Biru saya adalah kamera poket "Fujifilm" dengan model yang saya lupa karena ga penting (saya ga peduli merk dan model), cuma jepretannya lumayan bisa diandalkan walau hasilnya sering agak kurang cahaya - cuma  memberikan efek teduh, dan karena sering saya pakai maka kelemahan dan kelebihannya saya sudah kenali dengan baik.

Si biru jatuh karena kesalahan saya, menaruhnya di tepi bagan. Saat saya akan naik karena selesai renang, dan sudah memperoleh foto dengan pengatur self timer saya mencoba naik bagan, dan siapa sangka papan rangka ternyata tidak dipaku kokoh dan bergoyang terbalik saat saya naik. Alhasil jatuhlah si biru teman saya, dan saya tidak berani menyelam mengambil karena menurut perkataan si ibu pencuci baju bahwa dalamnya sungai di bagian itu 6 meter (sebab bisa jadi saya beraniin nyelem, lalu terbawa arus sungai dan kolaps kecapean - jadilah saya makanan ikan).

Saya adalah orang yang cukup pasrah menerima kejadian, biasanya saya menganggap setiap kejadian buruk adalah seperti membuang sial. Saya beranggapan apabila peristiwa itu tidak terjadi maka sesuatu yang lebih buruk akan menimpa saya. Kehilangan kamera saya anggap membuang sebagian kesialan saya sehingga, misalnya saya tidak hanyut di sungai. Intinya setiap kejadian buruk saya anggap mengurangi "kantung sial" saya sehingga tidak meledak karena kepenuhan.

Secara logika seh, orang yang dah hilang kamera tentunya lebih awas, jadi bolehlah teori saya ini dibenarkan.

Tapi lalu kenapa untuk yang satu ini saya tetap merasa agak tidak senang ya? Mungkin karena saya bokek, tidak bersama Lizbeth (pacar saya yang lucu dan menggemaskan), dalam keadaan mencari pekerjaan baru, dah lama ga jalan-jalan senang dan menghabiskan tabungan, atau perasaan asing saya di lingkungan baru ini ya?

Mungkin saya perlu waktu untuk memahami diri saya sendiri ya? Cuma terus terang saya agak kesal karena saya sendiri orangnya kadang suka mengulangi kesalahan yang agak mirip. Jadi saya agak benci sebenarnya dengan kode genetik saya yang pada masalah ini kok kode asam basanya sering nyuruh "cepat tenang dan cepat lupa" ya - walau di sisi lain mungkin orang seperti saya ini (yang cepat tenang, cuek dan lupa) agak cocok karena selalu tenang, bahagia, cuek dan enjoy kalau dikirim ke hutan belantara sekalipun.

Nah loh, ga jelas... tadinya cuma mau curhat ketidakenakan perasaan saya gara-gara si biru hilang. Malah jadi pake teori-teori segala. Out dulu ah saya - ga jelas neh!

Remembering The Blues:
Salah satu hasil jepretan si Biru almarhum, di Grand Palace - Bangkok
Momen kebahagiaan bersama si Biru, di kebun
Si Biru, yang merekam perjalanan kami dimana-mana
Atkinson Clock Tower, Kinabalu by si Biru
Saat-saat terakhir bersama si Biru. Goodbye friend! Thank you for all...

Manusia kok Dimana-Mana?

Kok banyak amat sih manusia? Kok manusia bisa ada dimana-mana ya? Saya tidak habis pikir mikirin manusia ini yang ada dimana-mana... kadang ngeri juga walau saya sebagai spesies manusia lagi berada di atas angin menjajah spesies ayam, sapi dan sayur-sayuran yang saya makan setiap hari.

Back to topik, kenapa saya bisa bilang begitu, sebab saya menemukan manusia dimana-mana. Kebetulan saya agak suka jalan-jalan walau terbatas karena saya belum mencapai financial freedom (begitu kata Tung Desem Waringin buat orang yang pemasukan pasifnya dah gede dan ga perlu kahawatir masalah keuangan lagi) dan saya menemukan manusia dimana-mana. Doku saya ga banyak mangkanya ga bisa jalan-jalan jauh - kecuali kebetulan ditugasin kantor, beda ma Lara Croft (si Tomb Raider) yang hidupnya hedonis karena dapet warisan ortu dan jalan-jalan terus keliling dunia sambil ngerusak situs-situs purbakala.

Di desa kecil di Mindanao, Filipina juga ada manusianya
Nah loh, abis iya... di desa Buluh Kapur, kampung yang jauh di Lampung - ada manusia dari Jawa yang bertransmigran kesana. Di pedalaman kawasan Halimun - Jawa Barat juga ada kampung yang dihuni manusia walau untuk kesana jalannya jauh. Lalu di dalam hutan di kabupaten Merangin, Jambi yang jauhnya lumayan gawat dari kota kabupatennya, juga ada kampung yang dihuni manusia - yang hidupnya masih berdampingan ma harimau segala. Lalu di Putussibau, Kapuas Hulu - Kalimantan Barat juga ada kota kecil, dan kalau naik speedboat menuju desanya, Jongkong Kiri Hilir juga ada perkampungan.

Jalan-jalan ke Sungai Mekong, juga ada orangnya - orang Vietnam. Ke daerah sawit di semenanjung Malaysia juga ada orangnya.

Ini orang-orang, darimana sih datangnya? Gelo sugan? Katanya manusia homo sapiens kira-kira baru muncul 150.000 tahun lalu. Anggaplah kalo manusia umurnya pukul rata 50 tahun (walau orang jaman dulu matinya lebih cepat) maka saya hitung kira-kira ada 3000 generasi ampe sekarang. Anggaplah lebih pendek umurnya, 25 tahun lalu mati, maka berarti ada 6000 generasi ampe sekarang.

Wuaduh, beranak pinak 6000 turunan, lalu penuhlah isi dunia ini sekarang. Dipikir-pikir cepat sekali ya - dan sepertinya akan tetap bertambah beberapa saat lagi.

Ibu-ibu beli sayur di Kampung Parigi, Halimun - Jawa Barat
Saya sebenarnya agak ngeri melihat perkembangan ini. Sebab manusia butuh makan, dan akan membuka lahan, berburu untuk itu. Jadi rasanya alam akan semakin cepat habis - tidak bisa dicegah.

Manusia mungkin kalau dilihat dari kacamata alien seperti rayap ya? Melahap habis sumberdaya, walau ada moto saat ini: pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan - sesuai kerjaan saya di LSM lingkungan - namun sampai tahap apa bisa berkesinambungan kalau manusia terus bertambah dan bertambah ya?

Sedikit harapan: Belanda angka kelahirannya terus menurun, dan saat ini populasinya menyusut. Cina juga, akibat kebijakan 1 anak (orang Cina di dunia banyak banget - termasuk saya keturunan Cina). Lalu negara Eropa yang maju juga biasanya angka kelahirannya kecil, jadi dunia sepertinya sudah agak sadar untuk mulai menurunkan populasi karena kalau tidak sumber daya tidak akan mampu menopang penghidupan.

Lalu skenario berikutnya apa ya? Mencapai balance, lalu kurva akan menurun dan stabil? Atau kemudian Belanda dipenuhi orang India (asumsi negara yang penduduknya banyak banget en semua masih pengen punya banyak anak) lalu Belanda diambil alih orang India? Atau kemudian Belanda penduduknya (yang smart dan bijaksana karena berpandangan ke depan) akan banyak yang menikah dengan orang India (yang kurang tanggung jawab krn mbrojol terus, oportunis dan smart juga karena terus menerus beranak) dan menghasilkan turunan subspesies baru penguasa yang smart, bijaksana tapi nehi-nehi suka dansa-dansi?

Well, sementara itu biarlah saya menikmati menit-menit saya di kota kecil Putussibau ini, yang ada di tengah-tengah Pulau Kalimantan, 1 hari perjalanan lagi (kalau diteruskan) akan menembus perbatasan Malaysia. Disini, di kamar saya ada TV - sayang channelnya cuma 1 dan dikuasai oleh yang pegang remote dari resepsionis. Sistemnya terpusat - jadi kalau si pak haji pengen nonton wrestling Jepang (ga tau ni channel apa) maka si Bu Lukmi yang di kamar sebelah pun terpaksa nonton banting-bantingan (yang menurut saya sih seru). Yah begitulah... namanya juga manusia. Nikmatin aja sebelum kiamat kena penyakit atau kena meteor dari angkasa.