Senin, 17 Juni 2013

Perbandingan Kesialan saat Backpackeran



Kesialan yang perbandingannya 1 berbanding 11.315 (itungan saya) bisa saja terjadi saat kita sedang travelling. Entah mengapa, tapi kok hal ini bisa terjadi ya?

Contohnya adalah saat saya naik bis di tahun 2010, mencoba merasakan perjalanan darat dari Phuket ke Kuala Lumpur (untuk perjalanan ini rasanya males ngulang lagi karena selain lama, juga bosan melihat kebun sawit disepanjang perjalanan). Nah yang terjadi adalah kira-kira selepas Kuching, tiba-tiba bis saya ditabrak dari arah samping oleh sebuah mobil kotak kecil.

Akibat kejadian itu mobil si penanbrak ringsek. Dari mobil ukuran kecil, ukurannya semakin kecil lagi sebab menciut ringsek (dasar mobil kaleng). Saya yang duduk di bagian belakang bersyukur sebab selamat baik-baik saja walau kaget. Begitu juga seluruh penumpang lain selamat, seperti layaknya si penabrak yang malang sebab ban mobilnya meletus tiba-tiba.

Mobil yang nabrak di perjalanan Phuket - KL
Nambah deh waktu perjalanan sebab jadi nunggu bis lain lewat buat numpang. Saya ingat, dari Phuket saya jalan 10 an pagi. Sampai KL kira-kira jam 6 sore hari berikutnya. Pantat dan badan sakit semua.

Heran saya. Saya sudah 31 tahun hidup waktu itu. Ini seumur-umur liat mobil nabrak dan mobil saya ditabrak. Kok malah kejadian di negeri orang yang kalau saya hitung paling waktu perjalanan totalnya ngabisin waktu cuma semingguan aja? Tabrakan ini perbandingannya adalah 1 hari sial berbanding total hari hidup saya yang sudah terlampaui 365 x 31 = 11.315 hari. Artinya 1 berbanding 11.315. Kenapa ga terjadi di Indonesia saja (Bogor) dibanding di negeri orang lain?

Kesialan dengan perbandingan lebih rendah, misal kira-kira 1: 500 orang atau perjalanan (kira-kira saja) tentu saja lebih mudah terjadi. Misalnya hilangnya / tertinggal paspor saat bepergian. Teman saya, Fahmi mengalaminya saat jalan-jalan di Chiang Mai.  Untung ketemu lagi ketinggalannya di restoran walau pasti sudah pasrah ga ketemu.

Tapi ini ada penjelasannya. Kalau menurut saya, semakin penting sebuah benda (seperti paspor, tiket pesawat) maka semakin hati-hati kita mengingat-ingatnya. Parahnya adalah sepertinya semakin besar juga usaha otak kita untuk membuang beban berat ini dengan cara melupakannya.

Buktinya yang lain adalah, walau kita sudah siapkan tiket pesawat di saku baju tetap saja kita bisa mengobrak-abrik koper untuk mendapatkannya.

Sial yang lain juga bisa berakibat rentetan sial berikutnya. Hukum tarik menarik bagaikan magnet kali ya? Buktinya sebelum bis saya ditabrak mobil saya sempat ditelantarkan di Hat Yai, kota perhentian sementara. Di drop di terminal bis jam 3 pagi, tidur-tiduran di bangku tunggu berbahan besi, atau yang berbentuk seperti bangku kuburan cina (dari semen atau granit) dan walhasil badan mererentek sebab dinginnya menembus jaket.

Saya rasa lalu ada tiga dari antara kami bertiga (berangkat 3an) lalu mengumpat-umpat dalam hati sehingga kemudian “memanggil” kekuatan negatif. Walhasil bis kami ditabrak mobil. 

Mari kalau begitu kalau kita sedang mau jalan-jalan, perbanyak berdoa sebelum dan saat berangkat hehehe. Mungkin itu obat mujarab untuk menjauhkan hal-hal kesialan selama perjalanan. Atau bisa juga dengan memberi persembahan kepada dewa-dewi setempat selama disana.


Jam Tangan yang Berharga



Mengapa saya jadi pakai jam tangan kalau sedang bepergian sekarang? Itu ada alasannya. Beginilah kira-kira.

Dulu saya menganggap bawa HP saja cukup saat jalan-jalan, karena ada jamnya toh? Nah pernah suatu saat saya sedang jalan-jalan di Ca Dai Temple di sekitar Saigon (Ho Chi Minh) anggapan saya terbukti salah.

Di dalam kuil Cao Dai
Jalan-jalan ke Cao Dai Temple (unik, sebab ada beberapa agama besar di situ yang dibungkus jadi satu kepercayaan baru) saya mengikuti tur seharga 7 USD (plus tur ke Cu Chi tunnel markas gerilyawan Viet Cong dulu – exclude tiket masuk). Mudah, murah juga (apalagi kalau setelah sampai Cu Chi tunnel tidak jadi masuk dan cuma nongkrong di dekat loket karcis).

Anyway, pemandu wisata yang bekas guru bahasa Inggris menerangkan tentang keunikan agama Cao Dai tersebut, termasuk berapa lama waktu berkunjungnya.

Setelah sampai dan lama berputar-putar, serta melihat upacara dan permainan musik di dalam kuil, saya cek waktu melalui HP saya. Eh ternyata HP itu tertinggal di hostel (terbawa kebiasaan meninggalkan barang tersebut di ransel pakaian sebab sering tidak diaktifkan kalau pergi keluar negeri, takut kena rooming).

Saya lalu berpanduan kepada jam tangan yang dipakai oleh turis bule sekitar. Sebentar-sebentar saya lihat dan karena upacara keagamaannya belum selesai dan masih banyak kelompok turis berkeliaran saya tenang-tenang saja.

Beberapa selang kemudian sekitar 15 menit dari akhir bertemu, dengan muka masam dan marah munculah teman saya. Ternyata saya sudah mau ditinggal bis tur dan ia menyusul saya balik di kuil dengan tergesa-gesa. Untunglah ia tak lama marah kepada saya karena memang orangnya baik kok.

Saya balik ke bis dan dipelototin si pemandu dan para turis lain yang kesal menunggu saya.

Jadi selanjutnya, dalam perjalanan saya selalu pakai jam tangan. Dari jam tangan karet anak-anak, digital, sampai yang termutakhir Swiss Watch – semua jadi kewajiban kalau sedang berjalan sebab saya tetap memilih mematikan HP saat berjalan (kecuali di tahun-tahun akhir setelah lebih sering membeli kartu SIM lokal untuk melakukan SMS ke rumah, dan dimana provider mobile phone lebih ramah karena meniadakan rooming).

Dan jangan lupa, jam tangan yang dipakai tetangga belum tentu benar penunjukkan waktunya. Mungkin saja dimajukan 15 menit supaya bisa bangun lebih pagi. Time is important in a scheduled tour.


Tentang Booking Hostel Kalau Bacpackeran


Hostel yang mendapatkan peringkat yang baik belum tentu aman dan memuaskan pelayanannya. Pengalaman ini adalah berdasarkan pengalaman saya mengunjungi hostel di Ho Chi Minh City (HCMC).

Hostel, Bar dan Makanan di sekitar Jalan Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh
Hotel bernama My My Arthouse ini terletak di Pham Ngu Lao street, jalan no 219 (di dalam jalan no 219 ini banyak terkumpul hostel-hostel lainnya). Saya melakukan booking di hostelworld seminggu sebelumnya dan semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Malah balasan email yang saya terima sangat infomatif walau bukan jawaban secara pribadi karena nampaknya hasil copy paste untuk turis lain. Tapi untuk upaya ini, saya menganggap rating pelayanan yang diberikan via hostelworld tidak salah.

Saya datang malam hari sekitar jam 10 dengan memberikan kabar sebelumnya dan pemilik hostel menjawab kesediaannya untuk tetap membuka pintu hostelnya (ternyata hostel di daerah ini buka 24 jam walau memberikan info hanya buka sampai jam tertentu – nampaknya berkaitan dengan persaingan bisnis yang ketat dengan hostel lain).

Yang saya prihatinkan adalah apa yang terjadi kepada turis lain dari Malaysia. Mereka datang lebih malam daripada saya, dan malangnya kamar mereka masih terisi oleh orang lain. Pemilik hotel mencarikan kamar lain, dan rupanya karena sudah lelah si turis Malaysia angkat barang saja dan setelah naik 3 lantai membawa carrier berat, keempat-empatnya turun lagi. Sambil marah-marah mereka protes karena kamar yang diberikan dibawah standard. Mungkin terlalu kecil dan tidak ber AC.

Salah satu hotel yang saya tempati, nyaman dan bersih
Si ibu yang tidak bahasa Inggris disemprot. Memang benar, yang selama ini berkomunikasi dengan email berbahasa Inggris dengan si turis adalah anaknya, si Hanh. Kasihan juga melihat ibu tua ini disemprot, dan kasihan juga melihat para turis Malaysia ini terlantar malam-malam. Si anak pemilik hostel (Hanh) ditelpon, dan sialnya tidak ada jawaban karena setelah dicari, HPnya ditemukan tertinggal di dekat meja resepsionis.

Yes... shit happened sometimes (buat si Hanh, ibunya dan para turis yang sudah kecapean itu).

Saya ingin menerangkan, kalau sistem pemesanan hostel kebanyakan adalah sistem tradisional. Jadi jika kita sudah melakukan booking, apabila tamu sebelumnya di kamar kita belum keluar maka booking kita pasti dipindahkan ke kamar lain, atau makin malang nasib kita kalau tidak ada kamar kosong sama sekali, bisa terlantar kalau sedang ada di wilayah sepi hostel.


Murah... hostel seharga 6 USD semalam (model dormitory)
Pada hostel tertentu mereka menyediakan kamar khusus untuk kejadian-kejadian seperti ini. Tapi tidak semua hostel punya sistem buffer yang baik.

Jadi saran saya adalah, datanglah (kalau bisa) pada hari yang tidak terlalu malam agar tidak terlalu letih. Kedua, apabila pihak hostel tidak bisa segera memberikan jaminan kamar segeralah cari hostel lain – jangan buang waktu misalnya dengan menunggu, menaruh barang dan jalan-jalan dulu sebab bisa saja saat kita kembali dan lelah ternyata kamar hostel belum juga tersedia. Ketiga, kalau mau menengok kamar lain, letakkan carrier berat di lantai bawah. Kalau sudah yakin, baru bawa carriernya ke atas.

Lain-lainnya, adalah (ini saran umum saja): bawa bukti booking, tanyakan alamat dengan jelas via email. Pilih taksi (kalau tidak ada bis) yang terpercaya saja (cek lewat cerita para turis). Sediakan uang kecil (kebanyakan supir taksi tidak akan mengembalikan uang kembalian yang agak kecil). Cari alamat hostel cadangan yang dekat dengan hostel pilihan pertama (kalau-kalau hostel pertama jorok dan bau).


Angkutan di Pa Tong Beach



Saat saya berada di Phuket, kami pergi mengunjungi pantai-pantainya. Salah satunya adalah Pa Tong Beach.

Sebelum pergi kami sudah mendapatkan informasi bahwa setelah pukul 17.00 maka tidak ada lagi angkutan umum dari pantai menuju kota.

Jam 16.00 kami bersiap-siap pulang, dan 16.15 kami sudah siap di pinggir jalan. Angkutan umum masih ada jadi kami menunggu sampai ada yang siap-siap berangkat untuk segera ditumpangi. Herannya setelah sekitar 10 menit menunggu, tidak ada yang bergerak, dan baru kami tahu setelah bertanya bahwa sejak pukul 16.00 angkutan sudah off.

Lah... kok jadi maju 1 jam ya dari jadwal?  Jadi kami tertipu saat melihat angkutan yang sedang ngetem, yang awalnya kami kira kalau mereka akan segera berangkat; namun ternyata mereka sedang siap-siap mematikan mesin.

Strategi ini cukup aneh, karena sebenarnya mereka masih mau pergi ke kota kalau disewa seluruh mobilnya yang tentunya jauh lebih mahal daripada bayar biasa. Jebakan batman kata orang kampung saya sih.

Setelah 30 menit menunggu, berharap kalau saja ada angkutan yang masih narik penumpang secara normal kami menyerah. Rupanya kesepakatan ini berlaku secara masal untuk seluruh sopir angkutan, dan sepertinya banyak turis yang terjebak seperti kami. Lalu lalang bingung di pinggir jalan.

Yang sama-sama ditinggal ma angkot di Pa Tong
Hasil akhir adalah kami patungan untuk naik angkutan: 2 turis bule, 3 turis sewarna, 1 orang turis Jepang hasil lobi sana-sini. Tentunya dengan ongkos berlipat dari biasa.

Moral dari cerita ini adalah hati-hati terhadap informasi internet yang sering tidak up to date walau baru diposting 2 bulan lalu, dan jadilah orang yang agak kaya agar kejadian seperti ini tidak terlalu menjadi beban bagi Anda. Kasihan kami contohnya yang lalu hanya bisa beli nasi putih saja dan ayam goreng jalanan, di dua tempat terpisah dengan tujuan penghematan dana kolektif sehubungan kejadian ini.

Survei Makanan Terenak



Walau katanya menurut survei di internet kalau rendang adalah masakan terenak di dunia, tapi saya tetap percaya kalau indomielah yang secara tidak direkayasa menjadi makanan terenak di dunia. Para ekspatriatlah atau turis bermodal dengkulah (yang nyasar ketemu saya) buktinya.

Sebab saya percaya hasil survei rendang adalah hasil dari kurang kerjaannya penduduk Indonesia yang jumlahnya buanyak banget; yang sambil main Facebook berkali-kali menshare link internet demi memuluskan goal menjadikan Indonesia mendunia (setelah berhasil memasukkan komodo sebagai 7 wonder of the world).

Cuma saya lebih percaya pengamatan dan pengalaman saya sendiri. Kata orang yang diucapkan dari mulut (promosi) itu lebih real dibanding papan-papan reklame neon di pinggir jalan. Lebih jujur dan kalaupun ada bias paling gara-gara keinginan tamu menyenangkan hati saya.

Yang sudah bilang kalau indomie, sarimie dan supermie itu super enak adalah teman-teman dari Korea, Filipina, Malaysia dan bule backpacker yang numpang di rumah via jaringan couchsurfing (yang bisa numpang gretongan di berbagai negara; asal diterima ma yang punya rumah).

Bahkan teman Filipina saya, yang beberapa tahun dulu tinggal di Makasar selalu nitip indomie rasa ayam bawang terutama kalau ada koleganya yang ke Indonesia. Turis lain bilang... it’s feel good, this noodle...

Saya suruh teman-teman ini membandingkan dengan instant noodle lain yang pernah mereka rasakan di belahan dunia lain. Indomie tetap pemenangnya. Betapa membuat saya merasa bangga akan Indonesia.

Saya juga sudah mencoba beberapa model mie instant di berbagai negara. Rasanya memang banyak yang enak namun tidak seenak mie instant di Indonesia.

Rendang saya yakin tidak akan dipilih oleh sebagian besar bule. Hampir semua bule yang saya jumpai bilang kalau masakan padang, seperti rendang kategorinya too spicy: pedas dan kebanyakan bumbu macam-macam.  Mereka anti benar dengan makanan seperti ini kecuali pengen mencret-mencret sesudahnya. Cuma seorang dosen saya dulu yang Jerman yang suka makan udang balado padang. Kalau temannya, ia sampai kapok dan mukanya merah padam akibat makan nasi padang. Hot... hott... begitu ucapnya sambil bercucuran keringat.

Jadi pengkategorian makanan enak di dunia sepertinya bias. Mungkin juga kalau ada makanan remeh seperti nasi goreng dicicipi orang banyak, maka bisa mendapatkan peringkat atas. Atau nasi lemak di Malaysia misalnya.

Yah tapi siap-siap aja deh... kalau dimasukkan ke internet pollingnya lagi-lagi siapa banyak dia yang dapat. Bias soalnya India, Indonesia, Cina pasti merajai (tapi saya ga yakin kalau Cina menang soalnya koneksian internet ke situs-situs tertentu disana seperti Facebook dilarang).

Tips Lihat si Kecil-Kecil di Pantai



Jalan-jalan ke pulau selalu menarik bagi saya sebab saya menyukai kehidupan laut dan pantai. Saya agak mampu mengidentifikasi sebagian flora dan fauna laut tersebut sehubungan mempelajarinya di kuliahan tahunan yang lalu. Bahkan pernah juga karena saya waktu SMA keranjingan baca buku pengetahuan, saat ujian ikhtiologi di kuliahan, dimana ada pertanyaan mengenai jenis-jenis ikan beserta nama Inggris, lokal dan Indonesianya, nilai saya berubah jadi A dari seharusnya C, karena bagian bonus yang bobotnya amat tinggi tentang pertanyaan jenis-jenis ikan tersebut dapat saya jawab dengan mudahnya (bangga, sebab hobi saya jalan ke pasar dan bergaul dengan tukang ikan hias berbuah manis jadinya).

Namun di pulau seringkali hal-hal menarik terlewatkan karena ketidaktahuan kita. Pantai yang luas sering dipandang hanya sebagai pantai yang kering dan berpasir. Warna pasirnya hitam, coklat atau putih. Itu saja. Padahal tidak begitu.

Paling mudah untuk melihat makhluk laut adalah dengan mengambil sebongkah karang mati, ataupun tanaman laut (rumput laut atau algae) , membiarkannya pada stoples bening berisi air laut dan menunggu beberapa menit sampai para penghuninya menampakkan diri. Percaya atau tidak, tak lama kemudian para penghuninya akan keluar: dari cacing-cacingan, udang, siput, sampai mungkin ikan kecil yang tadinya nyumput di rongga karang.

Kalau lupa bawa stoples bening, kita bisa pakai botol bekas aqua ataupun pinjam gelas belimbing dari warung kopi.

Kehidupan laut juga menarik di waktu yang berbeda: pagi siang sore malam. Contohnya ubur-ubur, akan bertambah banyak di waktu lebih gelap dan mereka akan lebih mendekat ke arah permukaan air untuk mengejar plankton makanannya. Pagi dan malam adalah waktu yang tepat untuk melihatnya berkelap-kelip indah.

Di siang hari, mereka masih dapat dilihat apabila kita jeli, menyelam sambil menggunakan masker dengan memfokuskan pandangan jarak dekat (misal membayangkan ada jari sejauh 50 cm dari mata kita).

Teman-teman saya biasanya suka heran karena saya dapat menjumpai banyak binatang ini, sedangkan mereka mengaku tidak menjumpainya dimana-mana.

Pasir juga dapat kita gali. Di pantai berterumbu karang, pada jarak 1 meter dari batas air pasang bila kita gali pasirnya, kita mungkin menjumpai kerang-kerangan yang mengubur diri di bawah pasir.

Jadi pantai bukan hanya sunset dan sunrise. Mari belajar pantai dari yang aslinya... Kita bisa kok melihat makhluk-makhluk yang ada di National Geographic channel dari mata kita sendiri.