Senin, 16 Februari 2015

Laksa Mang Inin Tidak Buka Cabang Dimanapun


Tidak banyak tersisa tukang laksa, makanan tradisional di Bogor. Salah satunya adalah Mang Inin yang mangkal jauh di kampung Cijeruk, sekitar 20 menit berkendara dari pusat Kota Bogor menuju kaki Gunung Salak. Agak jauh memang, kurang lebih 10 km, tapi dipastikan itu bukan merupakan halangan sebab setiap Sabtu dan Minggu mobil-mobil berplat nomor B (Jakarta) mampir berderet di warung gubuk laksa yang masih beralaskan tanah itu.

Laksa Mang Inin bisa jadi merupakan fenomena bagi para penikmat kuliner. Warungnya yang sempit kira-kira 3x5 m2, terbuat dari bilik dengan anyaman kawat ayam di jendelanya terletak bukan di jalan strategis Kota Bogor. Hanya mobil biru Cihideung-Ramayana, sarana transportasi umum di jalan itu. Letak warungnya bahkan sering terlewat apabila tidak benar-benar diperhatikan sebab terletak di atas gundukan tanah, agak tinggi di persimpangan sehingga kalau kita berkendara cepat, lewatlah warung sederhana itu.

Namun bisa jadi sajian bihun, oncom, toge, telor rebus yang mengepul di seduh kuah panas kunyit dan bumbu rempah diingat oleh orang. Rasanya yang manis, dengan lembaran daun kemangi yang wangi menjadi pembicaraan mulut ke mulut, dan menjadi pembicaraan di dunia maya (ketik: laksa bogor). Dan sementara banyak makanan tradisional di Bogor menghilang kalah bersaing dengan makanan baru, laksa ini mampu membekukan nostalgia masa lalu. Para penikmat kuliner fanatik tentu saja membagikan pengalamannya mencicip makanan ini.

“Kalau saya tidak beri nomor antri, takutnya para pelanggan kecewa, Pak...” Jelas Pemilik Laksa Mang Inin (anak/mantunya?) tanpa melihat saya, sambil tangannya cekatan menangkup 2-3 kali kuah laksa agar pekat di mangkok bergambar ayam jago, saat saya bertanya mengenai nomor antri dari karton ditulis tangan yang menempel pada paku di tiang kayu kehitaman. Mungkin sering terkena asap dan jelaga dari kayu bakar.

Saya beberapa kali memang menjumpai antrian sepeda dan mobil di warung Mang Inin, pagi jam 7 sebelum warung dibuka. Luar biasa animo masyarakat, sampai harus diatur antrinya terutama di hari libur. Melayani banyak orang yang bisa memesan untuk dibawa pulang, ia jarang berkata-kata sambil bekerja. Gerakannya mekanis dan hanya berhenti kadang-kadang sesekali untuk menyodok-nyodok kayu di dalam tungku untuk menjaga panas. Abu sedikit beterbangan, namun tidak sampai masuk ke dalam panci kuah, sebab tingginya saya perkirakan 50 cm .

Jam 2 atau 3 siang, biasanya warung sudah mulai tutup. Istrinya membantu membereskan warung, dibantu oleh anaknya. Setelah selesai, mereka segera pergi berbelanja untuk keperluan esok hari.

Sering saya berpikir dan bertanya, dengan sebegitu banyaknya pelanggan mengapai ia tidak buka warung sampai sore. Begitu juga dengan harga, saya tetap berpikir harga delapan ribu rupiah per mangkuk terlalu murah, dan dapat dinaikkan beberapa ribu lagi untuk mencapai lebih banyak untung. Tapi Mang Inin berpikir berbeda, saya rasa. Saya tidak sempat bertanya karena sampai saya selesai makan ia tampak sibuk bekerja menambah, menakar, mencampur toge dan mengambil sejumput oncom merah.

Laksa Mang Inin tidak buka cabang dimanapun, tertulis di papan kayu di bilik warungnya.Baiklah, jadi kita memang harus mampir ke sini kalau rindu laksa Bogor. 

Mungkin sejuknya suasana kaki Gunung Salak ditambah bau kayu yang terbakar saat makan adalah sesuatu yang harus dibeli satu paket dengan semangkok laksa Mang Inin.