Minggu, 09 Juli 2017

Siem Reap 2: Bergandengan Tangan


Di suatu pertemuan di Negara Kamboja, di Kota Siem Reap di bulan Maret 2017 kami dari beberapa negara Asia Tenggara kumpul. Dari Indonesia, kebetulan saya, Mas Sis dan Avi terpilih sebagai perwakilan lembaga dan anak muda. Avi kebetulan adalah perwakilan anak yang mendapatkan suara dari teman2nya sehingga bisa mengikuti pertemuan itu. Rejeki dan kemampuan lah menurut saya sebab selain ia harus mampu memahami dan berbicara bahasa Inggris, selain itu ia juga harus mendapatkan kepercayaan dari pilihan anak-anak lain perwakilan terdahulu di Asia Tenggara.
Kroma, selendang khas Khmer jadi inceran kami kalau jalan2 ke pasar

Di sela-sela pertemua yang berjalan lambat, yang kami tunggu2 tentulah saat berjalan-jalan ke luar ruang pertemuan. Mas Sis yang kurang sehat keadaannya biasanya memilih stay di hotel (mungkin sambil liat film atau nyanyian Khmer yang saya rasa ia ga ngerti juga yah :P ). Kalau saya walau ga ngerti tetapi demen. Entah kenapa ya, saya itu suka banget ma budaya2 asing (termasuk budaya suku2 Indonesah juga sih) jadi di sana saya suka nonton TV dari pengusiran setan oleh biksu, nyanyi2, siaran kickboxing sono, sampe iklan shampo.

Mejeng dikit abis presentasi dengan terbata-bata karena pake bahasa Inggris :)
Balik lagi, ke waktu yang kami cintai: waktu jalan2, ternyata yang suka jalan2 juga bukan kami saja. Orang dewasa yang sorenya tidak melakukan pekerjaan serius sering pergi jalan2. Kami yang satu rombongan terdiri dari orang Indonesia, Thailand, Burma, Filipina, Vietnam, Laos, dan Kamboja tentunya sebagai tuan rumah, seperti pelangi. Satu lagi dari Belanda, dan satu lagi dari India. Cukup mewakili benua2 besar ya, kurang Aborigin dan Indian komplitlah kami. Kami semuanya bersangkutan dengan beberapa pekerjaan kemanusiaan, dan biasanya terhubung dengan isu anak.

Yang saya cintai adalah bahwa semua peserta, tanpa memandang umur suku ras dan agama bersahabat. Ya bersahabat, kata ini benar2 saya rasakan. Di perjalanan menuju tempat makan, Avi yang muslim digandeng oleh Hnin Hnin dan Thu Zar yang beragama Budha. Saat saya berjalan di belakang mereka, tiba2 saja kejadian itu terjadi. Satu hal sederhana yang saya pikir muncul dari hati masing2, seakan mereka berkata... kita adalah bersaudara. Tanpa banyak berkata-kata dalam bahasa Inggris (karena Avi dan Hnin kurang suka dan kurang bisa memakai bahasa Inggris), mereka menggoyang-goyangan tangan sambil terus berjalan.


Thu Zar, Hnin Hnin dan Avi
Di Burma, masih ada persoalan mengenai konflik Rohingnya yang muslim di negara bagian Rakhine dari tahun 2012 sampai hari ini, sehingga ribuan orang pengungsi berhamburan keluar dari negara. Konflik di Burma sendiri bukan hanya menimpa kaum Rohingnya (baca ....). Di Indonesia, patung Budha besar sempat diturunkan di Tanjung Balai, Sumatera 2016 akibat paksaan kelompok Muslim radikal. Di Indonesia juga sama kasusnya dengan di Burma, kaum mayoritas ada yang menjadi bagian dari penindasan kaum minoritas. Mungkin kata mayoritas perlu kita perjelas sedikit... karena bisa jadi di kaum mayoritas tidak semuanya setuju akan kesewenang-wenangan, namun karena yang fundamentalis lebih kuat, berani, dan sering disokong oleh kekuatan ekonomi dan politik tertentu maka suara dan aksi mereka seakan-akan menjadi suara dan aksi keseluruhan mayoritas.

Saya lupa siapa yang omong ya... pokoknya kira2 bilang kalau yang benar diam saja saat kesewenang-wenangan merajalela, di situlah kemanusiaan akan benar2 mati.

Tapi di sini, arti perlawanan itu benar2 nyata. Tentu saja saya mendengar semua usaha2 yang dilakukan teman2 yang tergabung, dari aksi2 kemanusiaan yang mereka lakukan di negara masing2. Dari melakukan kampanye menentang pembangunan dam yang merugikan masyarakat lokal, pengorganisasian kaum muda, perbaikan fasilitas kesehatan, kegiatan pertanian, aksi2 mendukung penegakan HAM dan lain-lain.

Di antara kekacauan2 yang terjadi, cukup bergandengan tangan saja dan itu memberikan harapan besar bagi kami untuk masa depan.


 

Selasa, 04 Juli 2017

Panataran Kinabalu: Saat Rasa dan Sikon Seirama



Pernah nga kamu makan di saat yang tepat, makan makanan yang tepat, suasana yang tepat sehingga kerasa tiap sendok makanan itu lezattt banget, masuk, dikunyah dan pecah-buyar kelezatannya di mulut?

The Kinabalu National Park Gate. Speak Melayu please supaya masuknya murah :)
Kalo kamu pernah merasakannya, maka pasti tahu kalo peristiwa langka seperti ini juga ada hubungannya dengan kelaparan, enaknya tu hidangan dan sikon sekeliling.


Nah salah satu peristiwa ini terjadi di sebuah rumah makan, namanya Penataran Kinabalu, letaknya di negara bagian Sabah – Malaysia dan letak rumah makan yang hidangannya enak itu ada tepat di depan gerbang masuk Taman Nasional Kinabalu, di pinggir jalan raya. Ga susah nemuinnya karena kayanya memang itu cuma satu2nya rumah makan yang dekat dengan pintu gerbang Taman Nasional. Ada lagi memang beberapa restoran, tapi letaknya adalah di dalam Taman Nasional.
Panataran Kinabalu, dengan modelnya yang seperti kabin terletak di depan pintu masuk Taman Nasional

Penampakannya kaya rumah kabin ya. Dari campuran kayu n semen, ga mewah, malah lebih terkesan kaya resto dan cafe kopi. Not fancy at all. Cuma karena letaknya di ketinggian, maka makan di sana itu diberkahi pula dengan suasana yang dingin dan berkabut kalau sore, malam atau siang hari (kadang).

Sup jamur, dengan kuah kental campur telur yang ga terlupakan
Jamur cah sapi yang lezaattt

Mie gorengnya...

Ayam lemon, ga mahal juga harganya kok... normal
Ruang makan terbagi dua, yaitu di dalam dan di luar (di serambi). Ada meja dan bangku sederhana disediakan di sana. Makanan yang menurut saya enak adalah masakan chinese dan melayu food nya, dari cap cay, cah jamur ayam, nasi gorengnya yang bisa kita santap sambil mengepul (bayangin deh di malam yang dingin berkabut makan ginian). Sup jamurnya juga yahuuddd banget dan kalo ngebanyangin sekarang gleggg, nelen air liur. Sup jamurnya ini di selusup dengan kuah kental campur telur dan irisan bawang putih yang panas dan kudu ditiup pelan2.


Susasan di dalam resto. Jualan kaos, sepatu karet en mainan anak :P
Serambi, dengan bangku plastik dan meja sederhana
Benernya ada nga sih makanan yang lebih enak dibanding yang di sini? Ya pasti ada. Banyak kali ya? Tapi yang jelas seperti saya bilang di atas butuh momen yang pas untuk ngebungkus makanan enak jadi enak banget. Buktinya banyak tuh makanan enak yang keingetnya cuma enak doang gara2 momennya ga pas. Ada juga nasi timbel plus cumi goreng yang rasanya jadi aduhai karena makannya di puncak gunung.

Jadi begini kali ya... Saya rasa penilaian makanan enak banget ini karena masuknya si makanan ke mulut adalah pada saat ia lagi sangat2 dibutuhkan oleh tubuh, dan otak yang aliran darahnya segera jadi lancar pas si mulut menyantap tu makanan lalu berterima kasih sangat: girang banget dia. Dan segera ia mengeluarkan hormon endorphin yang memberikan perasaan relaks, mangkanya kerasa itu makananlezatttt banget.

Good people who served me good food
Lalu ada ga makanan yang kategorinya enak banget tapi karena salah penempatan lalu jadi biasa aja? Ya iya banyaklah. Buktinya aja kalo lagi beruntung dapet undangan seminar di hotel bintang 5. Kurang apa itu kalo makan pagi: ada omelet, nasi goreng, kue coklat yang meleleh, ikan goreng tepung, irisan semangka, kopi, susu... tapi tetep aja kok rasaan kalah ya rasanya dibanding makan indomie telor di warung kopi di pinggir jalan?

Pemandangan dari Pondok Timpohon ke arah bawah
Balik lagi ke Kinabalu dan sekitarnya, salah satu yang mendukung kesempurnaan rasa makanan yang saya santap adalah pemandangan-pemandangan indah, rasa bebas, rasa bersyukur dan teman baik yang menemani saya di sana si Wandi (beberapa kali kami berpetualang bersama, sebelum kami sama2 married). Sementara ia sempat menuju Puncak Kinabalu, saya hanya bisa berkesempatan trekking di sekitar kaki gunung dan pos2 di sekitar Taman Nasional. Naik gunung ke Puncak Kinabalu (Low's Peak) di ketinggian 4095,2 m (kalo ga salah) itu cukup mahal. Kalo ga salah hitungannya sekitar 3 juta an untuk 1 orang ya (sudah berikut porter dan menginap dalam perjalanan). Untuk saya harga ini agak gimana gituu...

Low's Peak... puncak tertingginya Kinabalu
Eh malah cerita tentang trekking. Ok saya stop dulu sebelum makin banyak cerita trekking. Saya tutup dengan ngasih liat penginapan di deket Gerbang yang ga terlalu jauh dari resto Panataran Kinabalu, yang senangnya waktu itu dijaga oleh seorang perempuan asal Makasar. Wah ngobrol deh tentang kerinduan dia pulang ke Indonesia. Nginep di sini saya rekomendasikan ya, walau sederhana.


 

En ini ada list lama daftar makanan di Panataran Kinabalu (2010), semoga masih sama. Yang udah saya test dan enak banget: cap cay, cah jamur kacang mede ayam, sup jamur telor, mie goreng, ayam lemon, nasi goreng. Yg beef pake saos rasanya sih biasa ya. N kalo yang model tom yum, udang saos asam pedas saya ga pesen: wong di gunung kok malah makan udang?  Ok guyz, jangan lupa makan di Panataran Kinabalu kalo maen ke Kinabalu ya...