Selasa, 30 Oktober 2012

Tiang Keramat Penangkap Sinyal




Selama saya melakukan tugas kerja, di antaranya mengunjungi desa-desa yang terletak di pedalaman, seperti di Kalimantan Barat, Jambi sampai Lombok, sering saya menemukan hal-hal unik yang belum bisa dijelaskan secara tepat mengenai gejala ini, sehubungan dengan sinyal HP.

Contohnya di Desa Durian Rambun ini. Terletak di dalam hutan di Jambi, desa kecil imut (karena cuma 80 KK) ini sinyal HP sangat sulit didapat. Sehubung sinyal sulit dicari maka apabila ada spot dimana HP dapat sinyal maka berbondong-bondonglah HP dijejerkan di spot tersebut (seperti pada pertemuan yang kami ikuti), atau biasanya orang rela untuk jalan keluar rumah minimal untuk sampai ke spot tersebut.

Nah bicara mengenai spot istimewa tersebut, salah satunya adalah tiang di balai adat. Tiang kayu setinggi kira-kira 3 meter tersebut kami percaya ampuh dalam menarik sinyal HP. Kalau kita letakkan HP tersebut selama kira-kira 30 detik maka kemudian munculah garis sinyal. Walau cuma 1 strip tapi cukup untuk kirim dan terima pesan.

Kadang memang penunggu batang kayu tersebut pergi jadi pesan harus menunggu sampai si penunggu kembali ke batang, dan masuklah pesan sms ke HP kami.

Kalau di Desa Laman Satong, di Kalimantan Barat lain lagi ceritanya. Sinyal HP bisa kami dapatkan di rumah Bang Dogol, di bawah pohon cemara satu-satunya di halamannya. Di lain tempat sulit sekali.

Jadi bagaimana kalau diulas dari teori gelombang elektromagnetik?
- Apakah kebetulan posisi-posisi tersebut adalah saat seperti point yang tersentuh oleh turun naiknya gelombang elektromagnetik pada frekuensi tertentu?
- Atau karena beberapa benda memang memiliki energi tertentu yang menguatkan sinyal elektromagnetik lain?

Nah, PR deh buat yang mau ambil S1 elektronik, karena bisa jadi nantinya daripada bangun tower, maka saya usulkan agar perusahaan telekomunikasi tinggal menanam pohon-pohon jenis tertentu di kampung saja sebagai penguat sinyal. Sementara ini, biarlah kami berbekal selotip saja , untuk menempelkan HP kami di tiang keramat.

Hari Minggu di Desa Tanjung Dalam



 Hari Minggu ini diawali dengan bunyi mesin generator listrik, maklum saya di Desa Tanjung Dalam, Jambi dan di sini kalau siang sengaja listrik dimatikan untuk berhemat karena desa ini menggunakan tenaga listrik dari aliran sungai – mesin mikro hidro, untuk menerangi rumah (agak penting), mengisi batere handphone (penting) sampai menonton televisi (ini penting juga).

Anak-anak sedang berlibur, seperti saya bilang karena ini hari Minggu. Sayalah yang mesti mengulang-ulang kalau ini hari Minggu sebab sehubung sedang bekerja dan sudah hampir sebulan mondar-mandir ke daerah maka orientasi waktu saya menjadi kacau, tidak terbatas oleh kerja Senin- Jumat, dan saya rasa nikmat juga bekerja seperti ini sebab keteraturan kadang mengkhawatirkan juga.

Kalau ini sehabis pulang sekolah, sayang foto yg hari Minggu saya ga punya
Anak-anak berpakaian necis, main-main di depan pintu sebab tidak boleh masuk oleh ibu-bapaknya. Memang kami sedang mengadakan pelatihan di balai desa jadi no anak2 di dalam agar tidak berisik.

Yang unik dari anak-anak ini adalah di hari Minggu seperti ini semua berpakaian bagus. Ada yg model gulung-gulung roknya, model baju putri, celana jeans berikut topi, lengkap dengan bedak tebal. Kalau hari biasa, biasanya cukup memakai singlet, serta celana pendek yang sudah cemong dengan tanah. Saya agak senang juga menemukan fakta ini sebab berarti ada sesuatu yang bisa dianalisis (hehehe)...

Ini cukup unik bagi saya sebab disini jauh dari mall dan pasar. Untuk menuju kota Bangko, kota kabupaten dibutuhkan waktu sekitar 3 jam.  menembus hutan serta bukit (dengan jalanan berbatu yang terjalnya minta ampun, kalau tidak biasa bisa nangis darah (beneran) sebab mata kecolok kayu setelah ngegeleser jatuh dari tanjakan).

Artinya anak-anak ini (atau orang tuanya) bergembira dan menikmati hari libur di desanya dengan cara berpakaian bagus dan berdandan, santai gembira dan show sepanjang jalan desa, Yang remaja-remaji rambutnya wangi setelah shampoan di sungai, cantik dan rupawan. Ngumpul bareng sesamanya sambil ngobrol ngalor ngidul. Cukup di ruang tamu, bukan di pinggir jalan atau cafe.

Yah begitulah, semua orang punya cara untuk menghibur dirinya masing-masing... mengkompensasi dirinya setelah hari-hari lelah belajar atau bekerja. Sifat alami manusia yang dipadu dengan tanggalan Romawi. Sunday, hari yang bersinar-sinar, memanjakan diri di bawah sinar matahari (lah kok jadi keinget sama bule yang ngejemur di pantai yah saya sekarang?)

22 Juni 2012



Dear friend... mungkin suatu saat tulisan ini bisa mengingatkanmu kembali bahwa pernah ada suatu masa, suatu saat dimana kamu agak desperate... tidak punya uang, ingin sekolah S2 tapi tidak mampu bayar test IELTS untuk prasyarat, punya pacar cantik yang tidak mampu kamu traktir makan mewah, serta punya motor yang tidak mampu kamu servis rutin sebab masalahnya sama – agakj ga punya duiiittt!

(Sori, pengen nulis benar-benar desperate – cuma akan melemahkan arti kata “benar-benar” – so mari kita pergunakan kata “agak” saja ya kali ini – walau bisa juga digolongkan bahwa agak ini cenderung ke arah cukup terasa desperatenya sampai ke bau keringat).

Kamu harus ingat, pernah bersama-sama pacarmu yang cantik itu naik bis ke Jakarta, pergi ke konsultan pendidikan di daerah Slipi untuk bertanya-tanya bagaimana mengorbankan diri agar bisa menyelundup ke New Zealand dengan dalih kuliah – agar bisa jadi koki setelah lulus. Itupun tidak mampu karena kamu tidak punya uang 56 juta, plus biaya hidup satu tahun  untuk jaminan.

(Sebab walaupun ada tabungan sekitar 50 juta, namun tidak berani bunuh diri di NZ, karena baca komen kaskuser kelompok Indonesia di NZ yang menyatakan hati-hati kena deportasi – serta laporan orang Indonesia nekat di Auckland yang duitnya tinggal buat 1 minggu lagi setelah nekat masuk cari kerja lewat visa turis, dan terakhir nasehat dari yayang kalau masuk dengan modal segini sama artinya dengan bodoh dan tidak peduli dia dan keluarganya).

Atau pernah juga kamu pergi sendirian dengan ragu ke kedutaan-kedutaan asing, demi mendapatkan secercah harapan akan informasi beasiswa. Sepanjang jalan peluh bercucuran karena menghemat uang ojek dan taksi di Kuningan, dan berteduh di counter ATM BCA sekedar memeriksa uang dan mendinginkan muka – mengharapkan baju agak kering agar tidak malu saat disapa gadis Finlandia yang kau jawab hanya yes – thank you, saat ia memberikan penjelasan mengenai sekolah di rumahnya. 

(Gadis Finland nya cukup cantik dan ramah serta masih muda, sayang tidak bisa memberikan informasi beasiswa – tapi cukup memberikan semangat bahwa masih ada yang care sama makhluk aneh dan norak ini).

Pameran-pameran pendidikan kamu hadiri, bertekad kalau saja ada secercah harapan untuk pemuda miskin seperti kamu yang tidak berprestasi secara IP. Pulpen-pulpen gratis kamu ambil dari meja panitia, menghibur diri kalau minimal inilah hasil real yang bisa dibawa pulang – bahwa akhirnya di kantor tidak akan kehabisan pulpen lagi sementara waktu. (Sedih kalau IP cuma 2,70 karena tidak mengulang mata kuliah yang dapat D karena idealisme kerja yang bilang “kalau kerja yang dilihat adalah semangat dan hasilnya, bukan IP” yang menyebabkan saya banyak gagal melamar pekerjaan di 2 tahun pertama karena kalah saing dengan pemilik IP besar).

Yah, suatu saat saat kamu sukses, ingatlah bahwa ini pernah terjadi. Dan kamu terpaksa membungkus telur rebus sarapan pagi di hotel agar bisa dimakan malam hari demi penghematan uang tak seberapa. Ya, mungkin nanti suatu waktu kamu akan tertawa, tapi tidak sekarang.

Tentang Awah (lagi)

Tulisan ini saya buat setelah Lebaran 2012 lalu.


Ini tentang kisah tentang si Awah (lagi). Masih ingatkah kamu tentang pembantuku ini yang agak malang namun baik hati dan tidak sombong ini? Please read my previous story

Kisah ini adalah kisah kebahagiaan si Awah yang bercampur dengan duka, di liburan Lebaran 2012 ini. Rasanya si Awah rada seneng nerima bingkisan dari kami yang super gede plus THR nya (kurang gede). Di dalam bingkisan itu kami masukkan: minyak goreng 2 lt, gula 2 kg, biskuit 1 kaleng besar, permen-permen, 1 botol sirup, teh 1 dus kecil, dll dll. Mungkin saya rasa cukup menghibur ya dan rasanya sih masih kurang kalau dibanding ma jasanya membantu keluarga kami, dari membersihkan rumah sampai menyetrika baju-baju kami sampai rapih.

THR nya saya bilang kurang gede – yah soalnya gimana ya, keluarga kami memang terbatas dalam memberikan gaji, dan akibat keterbatasan itu maka si Awah bekerja ½ kali part time saja. Masuk jam 7 pulang jam 10 atau 11 kira-kira. Berdasarkan asas etika maka saya tidak bisa menyebutkan gaji si Awah di tulisan ini; tapi saya rasa cukup fair lah.

Nah kisah ini terjadi, cerita si Awah saat ia bersama keluarganya hendak bermain-main ke Jakarta. Biasa, mumpung Lebaran so si Awah yang orang Bogor ini rupanya hendak bertamasya ke Jakarta. Saya tidak tahu kenapa tidak pergi ke mertua atau saudara-saudaranya ya... mungkin sudah dilakukan pada liburan beberapa hari sebelumnya karena sama-sama orang Bogor, dan kesempatan ini doi mengajak keponakan-keponakannya untuk melancong ke Jakarta.

Bagi sebagian orang mungkin sama sekali tidak istimewa untuk pergi ke Jakarta. Tapi bagi Awah, pergi ke Jakarta adalah sesuatu yang spesial, ia mengatakan itu kepada saya. Terakhir beliau pergi ke Jakarta adalah bertahun-tahun lalu (ia tidak menyebutkan secara pasti tahunnya tapi saya asumsikan antara 5 sampai belasan tahun lalu).

Memang rumah si Awah tidak jauh dari rumah saya di Bogor Baru, masih wilayah kota. Tapi percayalah, banyak orang yang jarang sekali pergi ke ibukota walaupun sebenarnya cukup membayar Rp 2500 untuk naik kereta listrik, karena begitu sibuknya mereka bekerja, mengurus keluarga, mengurus hidup masing-masing sehingga tidak ada waktu untuk bersantai dan berekreasi. Lebaran biasanya menjadi momen berbahagia bagi mereka karena kesempatan ini adalah waktu berkumpul, membanggakan dan meninggikan diri dengan memberi angpau kepada keponakan dan menjamu tamu dengan kue kering, bersilaturahmi dengan sanak saudara yang datang dari jauh... intinya membahagiakan diri sendiri dan keluarga. Sebuah kisah yang membahagiakan.

Untuk membagi kebahagiaan ini, Awah pergi naik kereta bersama keponakan-keponakannya. Saya rasa keponakan-keponakannya pun sama dengan si Awah yang naik jarang naik kereta sebab dari cerita selanjutnya saya tahu kalau semuanya bingung kalau naik kereta.

Dari Bogor, mereka memilih kereta ekonomi, dengan tiket seharga Rp 2500. Murah meriah dan full AC (Angin Cepoi-Cepoi). Nah sedihnya, ternyata mereka salah memilih kereta. Yang dipilih adalah kereta Commuter dengan AC beneran yang harga tiketnya adalah Rp 8.000 per orang. Mungkin Anda tidak percaya kalau ada orang yang tidak engeh kalau salah naik kereta – wong jelas berbeda naik AC dengan yang ekonomi – cuma kejadian ini terjadi dengan si Awah. Mungkin karena terlena dengan sejuknya pendingin udara dan angin dari kipas angin, maka kelompok ini tetap lanjut, dan berhenti di terminal Manggarai... lalu ditangkap oleh petugas kereta api saat pemerikasaan.

Dasar orang lugu ya? Kalau saya yang ditangkap jalan keluarnya mudah. Ya tambah aja duitnya supaya sama dengan tiket AC, atau diturunkan di stasiun berikutnya – sambil ngotot ga mau bayar denda. Kalau kita ngotot ga punya duit daripada berantem petugas pasti milih alternatif kedua, kalau yang kesatu engga mempan.

Orang lugu yang memang bersalah ini tidak terbiasa dengan sikap preman yang kadang berhasil. Setelah diancam, si Awah dan rombongannya menyerah tanpa perlawanan. Yah tau sendiri, gampang banget membuat orang lugu menyerah – dengan sedikit ancaman, dan dengan menginformasikan undang-undang perkeretapian, digiringlah si Awah dengan rombongannya ke pos petugas KA.

Si Awah lalu menangis, sebab tentu saja merasa takut dan sedih liburannya yang disusun terancam gagal. Si Awah juga menangis sebab tambah takut di pos petugas KA didiamkan selama beberapa saat. Pressure by time dan main karakter kata saya seh nih petugas...

“Saya bayar deh Pak, berapa aja... yang penting saya jangan ditangkep.” Begitu kata si Awah memelas (kayanya) kepada petugas KA di pos.

Saya rasa petugas di pos senang sebab mangsanya yang lugu ini memang terlihat belum berpengalaman soal dunia premanisme, dan lenyaplah Rp 50.000 dari saku si Awah untuk menebus kesalahannya ngambil kereta yang salah.

Saya ga tau cerita selanjutnya. Mungkin si Awah dan rombongannya main ke mall, ke pasar, atau ke Monas ngeliat cobek ala Ir Sukarno soalnya ngedenger ia cerita sambil rada tidur-tiduran pagi.

Yang saya denger lagi adalah peristiwa saat ia mau pulang. Nah loh kok bisa, kena denda lagi di Stasiun Bogor dan hilang Rp 50.000 lagi? Denger deh kata dia – soalnya saya pikir kalau naek yang AC sama aja – AC nya juga ga ada – cuma pake kipas angin, bener ga Neng? Jadi saya pilih yang ekonomi aja Rp 2500.

Lalu kenapa dia naek yang AC lagi ya dari Cawang ke Bogor? Yang ini saya ga habis pikir dan dengan upaya mandiri, belum berhasil menemukan jawabannya. Mungkin saya perlu bertanya lagi secara lebih detail kepada si Awah... kenapa sih udah kena denda kok bisa-bisanya mengulang kesalahan lain dan kena denda lagi... sebab secara logika saya tidak menemukan jawabannya.

Bisa jadi saya akan menemukan jawaban yang sederhana dan jauh dari kerumitan pemikiran saya.

Intinya kadang hidup bisa meleset dari logika yang kita pikirkan matang-matang.

Jadi, sekarang saya sedang menunggu cerita besok pagi, minta penjelasan dari si Awah kenapa dia bisa kena denda sampai 2x Rp 50.000. Bisa jadi malam ini saya tidur kurang nyenyak sebab belum ketemu jawaban sederhana dari kelakuan si Awah ini.