Rabu, 13 Juni 2012

Berbagi Cerita dari Dunia Legoland (Shanghai)

(Sayang ah dibuang tulisannya hehe... sori ngulang cerita-cerita sebelumnya, ini tulisan singkat buat publikasi terbatas - sori bahasanya agak formal)

Saya pikir sebagian dari kita pernah tahu sebuah permainan balok-balok plastik kecil berbagai ukuran dan bentuk yang bisa dipasang-pasangkan, dilepas kembali dan dinamakan Lego. Atau barangkali bagi yang belum pernah memainkan Lego mendapati ada permainan sejenis – yang memainkannya seperti Lego – baik dengan menggunakan balok kayu ataupun plastik, karena saya menemukannya juga (buatan Cina), dijual oleh si mamang di depan SD Sempur di Bogor.

Lego adalah permainan menarik, terutama bila biji-biji baloknya banyak (kalau sedikit mainnya tidak asyik). Kita dapat menyusun balok-balok tersebut jadi rumah, mobil, pesawat, gedung, jembatan dan berbagai hal lainnya, dan bila sudah selesai kita dapat memilih apakah meletakkan ciptaan kita di dalam etalase; atau kemudian membongkarnya kembali untuk dijadikan ciptaan kita yang lain lagi nantinya. Itulah kekhasan permainan Lego, dengan balok yang sama kita dapat menciptakan banyak hal berbeda. Dapat dicabut dan dipasang kembali. Jadi buat anak-anak yang pembosan, Lego adalah sebuah permainan yang menantang.

Yang dibutuhkan hanyalah imajinasi.

Maket downtown di Shangai Urban Planning Exhibition Center, maket seluas 1 lantai
Dan Shanghai adalah kota dengan imajinasi. Shanghai adalah sebuah Legoland besar yang disusun dengan perencanaan sangat matang, konsistensi luar biasa dan kerja keras dari pemerintah Cina bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan swasta dengan memperhatikan prinsip kebersinambungan (sustainable development).
Di saat kota lain seperti Jakarta susah payah membereskan persoalan angkutan metromini (yang mengepulkan asap kehitaman di belakangnya), banjir yang merendam Perumahan Kelapa Gading dan Kawasan Bisnis Sudirman, lahan hijau yang dijadikan SPBU dan tiang-tiang pancang Monorel yang menganggur sudah hampir 2 periode gubernuran maka Shanghai adalah sebuah dream come true.

Bagaimana tidak, setelah berjibaku selama 20 tahun – menurut sang Profesor, melalui training APLP (Asia Pasific Leadership Programme) di Shanghai, 4-8 Juni 2012 kemarin – maka sampailah Shanghai pada tahapan seperti saat ini.

Sepeda, efisiensi biaya dan energi di pinggir jalan
Dengan jumlah penduduk 16 juta jiwa (terbesar di Cina) bisa dibayangkan apa dayanya kota ini bila tidak dilakukan penataan yang serius. Sebagai perbandingan, Jakarta hanya dihuni oleh 10 juta jiwa saja.

Tidak saya temukan kemacetan yang serius, kecuali sedikit terhambat saat berkendaraan di sekitar kawasan pertokoan. Manusia berlalu lalang dengan menggunakan sepeda atau motor listrik, selebihnya menggunakan kereta subway yang selalu tepat waktu dan berbiaya murah, setiap 3-5 menit dan dengan jaringan yang amat kompleks menjangkau hampir seluruh kawasan Shanghai. Mau turun dari pesawat, lalu melanjutkan naik subway sampai ke hotel pun sudah tersedia jalurnya. Tinggal jalan 5 menit sampailah saya ke hotel, ga perlu diserempet metromini dan dipalak ma pengamen jalanan.

Pembicaraan mengenai green economy sebenarnya tidak terlalu menarik minat saya. Isu sustainable development seringkali dilihat oleh saya dari kacamata lingkungan, advokasi serta pendidikan lingkungan. Isu renewable energy sebelumnya saya lihat dari kemampuan masyarakat untuk memproduksi briket dari gabah atau serbuk kayu, dan saya sering menghindari pembicaraan mengenai penggunaan listrik, energi angin atau penggunaan lampu LED. Sorry, saya bukan orang teknik sebab dulu kapok diberi nilai 6 saja oleh guru elektronik dan fisika saya di SMA, yang ngajarnya semena-mena dan tidak peduli perasaan murid saat mengajar.

Mau tidak mau saya jadi tertarik persoalan green economy dan renewable energy ini, setelah mengikuti pelatihan. Saya mulai tertarik berpikir ke arah desain dan arsitektur juga, sebab saya melihat rumah-rumah dengan dinding vertikal yang diisi oleh tanaman bukan rambat di sisi-sisinya, gedung dengan lorong yang diterangi oleh lampu LED yang hemat energi, sampai penghematan lahan perkotaan dengan kebijakan pembangunan gedung vertikal.

Sedangkan pada sisi transportasi, Shanghai berada pada perkembangan yang baik dilihat dari penggunaan sepeda dan motor listrik dimana-mana, transportasi masal yang ramah lingkungan dan mengurangi kemacetan sampai titik maksimal.

Really sophisticated banget pokoknya jika dilihat dari sisi keinginan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan.

Saya kemudian mencoba mencari penduduk dengan tingkat kemiskinan tinggi, sebab saya pikir pasti pembangunan seperti ini memakan korban masyarakat miskin, tergusur atau terlantarkan. Namun alhasil saya agak kecewa sebab hanya menumkan 1-3 pengemis yang sedang duduk dan tidur di dekat gedung dan pertokoan yang mewah. Sampai kepulangan saya, saya belum berhasil menemukan kawasan slum area dan membuat saya menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan para penduduk miskin sudah ditempatkan secara baik pada gedung-gedung apartemen, atau bertempat tinggal di desa di luar kota Shanghai. Ga sempat tahu....

Keseriusan pemerintah Cina, juga ditunjukkan bukan hanya dengan pembangunan saja – khas Legoland, maka pemerintah juga berani membongkar pasang bangunan. Percaya atau tidak, jalan layang dengan panjang kilometer juga dibongkar untuk dijadikan kawasan yang lebih tertata dan hijau. Kalau sempat jalan di Jakarta, di Jalan Gatot Subroto – bayangkan saja kalau pemerintah DKI berani membongkar jalan layang di atasnya dan membuat pemukiman hijau. Ngimpi kali ye, apalagi ma Bang Foke, anaknya Bang Yos yang jadi Gubernur... Mikirin manjangin kumis terus seh dia...

Yah beruntunglah saya, sudah dipilih mewakili Indonesia di pelatihan ini dan dibiayai oleh Hanns Seidel Foundation... Secara presentasi materi, memang profesor-profesor di Univeristas Tongji ini mendapatkan keluhan mengenai isi dan metode mengajarnya. Too much data, should be presented more efficient, low interaction dll – tapi di lain sisi, apa yang dijelaskan bila diperhatikan lebih lanjut dapat dihubungkan dengan jaring-jaring kecil, seperti yang seharusnya sudah didapat lewat pelatihan ini – with Compas perspective begitu kata Robert Steele, mentor ESD (Education for Sustainable Development) saya disini.

Kudu ada NSEW (Nature, Social, Economy, Well Being) ceunah, kata Robert. Nah, maybe kalau dijelaskan metodenya  semua mengerti, namun pahamkah juga kalau di kehidupan sehari-hari bahkan kita harus jeli melihat bahwa jaring-jaring tipis ini juga sebenarnya ada di hal-hal yang bahkan kita tidak sukai? Dari pelatihan di Dunia Legoland, Indra melaporkan.

Senin, 11 Juni 2012

Jendral Mao (Shanghai 5)


Rasanya Mr Mao Zedong masih hidup dan memimpin Cina.

Itu kesimpulan saya selama di Shanghai, sebab memang pengaruhnya masih sangat kuat dan seakan-akan beliau masih hidup karena pengkultusan yang dilakukan orang Cina terhadap tokoh yang satu ini. Sebenarnya pengkultusan inilah penyebab rohnya tetap mendiami tanah Cina. Kaga terbang-terbang ke langit.

Mr. Mao
Mao Zedong atau Mao Ce Tung kata si papi adalah peletak dasar negara Cina komunis. Ciang Kai Sek, Jenderal lainnya adalah peletak dasar negara Cina republik (kalah, lalu menyeberang ke Pulau Formosa atau Taiwan dan selalu diklaim sebagai propinsi pemberontak sampai sekarang).

Kalau sempat jalan-jalan ke pasar, bisa kita temukan buku merah Mao dijual kepada turis-turis, baik yang berbahasa Cina maupun Inggris atau Perancis. Poster-poster lama meghiasi toko dan rumah makan di pinggir jalan, dan dalam training nampak bahwa paham-paham yang ditanamkan oleh sang pemimpin masih mendominasi kehidupan sehari-hari.

Saya berbicara dengan Robert Steele, mentor training saya... apakah ia satisfied dengan seminar yang ia adakan di Shanghai ini (mengenai sustainable development)?

Dan ia menjawab “I am not satisfied with this training.” Ia menjawab bahwa ketidakpuasannya juga bisa dilihat dari bagaimana peserta menghargai training ini, dari keterlambatan peserta, para pengajar yang tidak setiap saat ada di tempat sehingga tidak bisa memancing diskusi - tanya jawab, pengaturan waktu serta penggunaan metode satu arah yang “Chinnese typical.”

Saya mengusulkan kepada Robert jika saja bisa bahwa para pengajar “dibriefing” dulu lain kali sebelum memberikan presentasi sehingga lebih baik, namun Robert menjawab bahwa itu sudah ia lakukan dan mereka kembali ke kebiasaan awal, selalu.

Chinnese typical, artinya bisa saya simpulkan adalah keras kepala dan propaganda – menunjukkan yang terbaik dan kurang mengakui kekurangan Lebih bersifat satu arah. Chen Pu peserta Cina selalu menggunakan kata propaganda dibanding kata kampanye saat melakukan sosialisasi kepada masyarakat, begitu lapor Asyira peserta Malaysia kepada saya saat kami membicarakan bahwa saya mendapati bahwa nampak masyarakat / negara yang bangga terhadap dirinya ini sangat bersatu di berbagai hal - membahas penggunaan kata propaganda.

Saya juga terkagum-kagum saat mendengar dari training bahwa kota ini mampu merontokkan berkilometer jalan layang, menghancurkannya demi menata kota sehingga mendapatkan kembali daerah yang tenang dan indah - demi penataan kota yang baik. Jauh berbeda dengan negara saya, Indonesia yang tidak mungkin menata ulang apa yang sudah dikerjakan. Jembatan layang berseliweran, rel kereta yang tidak pernah bertambah, jalur monorel yang batu-batunya menganggur bertahun-tahun terbengkalai, galian kabel yang tidak ditutup sampai dipepet metromini sudah saya anggap makanan sehat bagi orang Jakarta. 

Jangankan menata kota, dengan menghancurkan yang sudah jadi.... membangun tonggak monorel saja tidak jadi-jadi.

Begitu mudahnya pemerintah komunis ini mengorganisasi masyarakat karena disini tanah tidak dimiliki secara pribadi melainkan menyewa kepada pemerintah. Suatu sisi komunisme yang menguntungkan, walau dilain pihak saya tidak tahu bagaimana menemukan win-win solution bagi masyarakat Cina yang tergusur. Apakah didiamkan, dibungkam atau diberi kompensasi yang setimpal?

Sepulang dari Shanghai saya mendengar bahwa puluhan orang yang berdemo damai memperingati tragedi Lapangan Tianamen dipukuli habis-habisan oleh polisi. Rupanya sisi komunisme ini memperlihatkan wajah buruknya juga. Setahu saya, kata-kata “lilin – tragedi – memperingati – Tianamen – dll” sudah diblock oleh pemerintah Cina... sulit ditemukan di mesin pencari, sama seperti saya yang heran tidak bisa mengakses facebook, twitter dan blogger via internet di Shanghai. Saya kira tadinya jaringan internetnya yang lagi down. Ternyata tidak.

Dua sisi warisan Jendral Mao yang melegenda. Kekuatan dan kelemahannya sekaligus.

Minggu, 10 Juni 2012

Jangan Salah Menilai Karakter, Walaupun Boleh (Shanghai 4)


Not at all... Ya, and not all..

Di ketinggian awan ini saya merenungi kembali saudara sedarah saya, yang sangat identik DNA nya dengan saya, ras Mongoloid yang tinggal di daratan Cina, terutama Shanghai.

Diceritakan oleh ayah saya, kalau sebenarnya kakek saya (engkong) masih berasal dari Cina daratan, tepatnya sebuah kota yang kalau sering ia sebutkan dilafalkan Moyang, sebuah kota atau kampung saya tidak tahu- tapi katanya itu berada di Propinsi Yunan. Saya tanyakan kepada si Chen Pu, participant dari Cina Beijing dimanakah lokasi nenek moyang saya tersebut. Sayang ia tak dapat menjelaskan dimana letak kampung itu... mungkin karena masalah pronounce – atau karena beda dialek atau karena sebenarnya ayah saya memang tidak tahu pasti letak kampungnya itu... maklum orang tuanya itu sudah meninggal sejak ia kecil. Tak banyak yang bisa diceritakan diwariskan kepada anaknya.

Dalam kepala saya, karena keseringan nonton film kungfu Jet Lee- orang dari Cina daratan itu saya sering identikkan dengan mata sipit, gigi tonggos, rambut berdiri, atau gendut kaya engko-engko dengan pipi yang tembem. Lalu diberitahu juga dari media kalau mereka suka meludah sembarangan, norak dan kalau tawar-menawar bisa sambil marah-marah. Terlebih karena saya suka mendengar bahasa Cina di tempat saya yang kasar, persis seperti kaleng diketok digesek-gesek bunyinya.

Sungguh saya mengasihani diri saya sendiri yang cukup egois dan suka men-judge orang lain dengan pengalaman yang sedikit ini.

Zhingwu Road, dekat Univ Tongji
Berjalan-jalan di Zhingwu Road dekat Universitas Tongji, sambil menghirup udara yang agak kelabu, saya melihat laki-laki perempuan, tua muda serta anjing-anjing kecil diajak berjalan-jalan santai di kota yang indah ini. Sepeda-sepeda dan motor listrik berseliweran, tertib (walau kadang nakal juga), serta elok dipandang – dikendarai mahasiswa-mahasiswi yang berwajah bersih. Dialek bahasa Mandarinnya enak juga kok, agak berlagu.

Jadi bingung benernya saya mendengar dialek mana yang bunyinya kaya kaleng ditakol digesek-gesek? Atau memang saya salah dengarkah di sini?

Sesekali saya melihat orang meludah. Tapi dari hasil berjalan selama 5 hari, saya terus terang – terang terus hanya mendapatkan satu kali orang meludah – saat jalan-jalan malam sendirian di Old China – dekat Yuyuan Garden. Bau minyak babi yang manis, serta diterangi temaram lampu jalan membawa saya untuk membayangkan kehidupan saudara CIna saya di sini.

Old Chinnese Town, deket Yuyuan Garden
Apa salah saudara-saudari saya ini sampai saya mencap jelek orang Cina daratan ini ya? Mungkin karena cerita kanan kiri, atau bawaan turis mancanegara yang bertemu mereka di Singapura – namun tidak cukup sahih untuk mensejajarkan saudara Cina saya ini menjadi level masyarakat rendah yang kurang terdidik dan jadul.

Mereka berpakaian rapih, bersih, tertib – serta menunjukkan pemikiran yang maju. Boleh juga diadu soal tampang dengan sembarang daerah di negara lain – tidak kalah cantik perempuannya, serta tampan laki-lakinya, dengan bentuk tubuh yang proporsional.

Mau melihat dari segi budaya dan kemodernan – bisa bikin Jakarta sempoyongan dan berpeluh ketakutan karena tidak imbang jadinya. Boleh juga diadu dengan Kuala Lumpur dan Bangkok, masih kalah juga dua kota ini. Kalau diadu dengan Bremen atau Den Haag mana saya tau – soalnya mang belom pernah datang kedua kota yang disebut.

Jalanan rapih, dengan penataan yang sedemikian superiornya ditata dengan taman-taman kota berbunga, jalur  pedestrian yang lebar. Semua sudut kota, bahkan sampai daerah yang bolehlah dikatakan agak slum untuk ukuran Shanghai, masih lebih bagus dibanding kelas menengah bawah bahkan menengah di daerah Jakarta.

Entah dimana mereka menyembunyikan daerah-daerah jorok lainnya. Atau mungkinkah daerah tersebut sudah menghilang karena penataan kota yang sedemikian baiknya?

Kembali lagi ke persoalan manusia yang membuat saya menyesal karena sebelumnya mengambil keputusan bahwa “tidak baik berteman dengan saudara Cina ini”, manusia di sini secara kualitas ok lah – kalau tidak bisa dibilang lebih berbudaya dibanding kita di negara Indonesia ini – ambilah contoh kota dengan kulaitas manusia paling bisa diandalkan di Indonesia – Jakarta.

Pendidikan yang baik, sopan santun, kebersihan, serta usaha –usaha memperbaiki lingkungan menunjukkan kalau seorang manusia bisa memiliki tingkat peradaban yang berbeda walau dibariskan dalam suatu ruangan. Sikap sesorang menunjukkan seberapa tinggi peradaban sesorang.

Yah bolehlah kali ini kita yang berasal dari luar Shanghai: Ulan Bator, Jakarta, Bangkok, Sydney,  Calcuta, New Delhi, de el el belajar dari sikap seorang manusia Shanghai walau juga tidak semuanya sebenarnya beperilaku baik (pastinya tak ada gading yang tak retak).

Seperti kata pepatah di budaya Indonesia: ilmu padi, makin berisi makin merunduk... maka terlihatlah kualitas seseorang dari sikap yang ditunjukkannya selama ia diberi wewenang. Semoga bukan karakter bangsa yang mereka tunjukkan saat itu karena semua orang menyaksikan dan boleh membuat kesimpulan sendiri-sendiri.

Macam-macam Peserta Training (Shanghai 3)


Berkumpul dengan berbagai macam manusia dari berbagai bangsa, mulai terasa juga benturan kepentingannya. Jangankan berteman dengan yang berbeda bangsa – yang satu bangsa saja pun di pelatihan ini, bisa saya rasakan perbedaannya yang cukup signifikan.

Contohnya Fitri, yang gadis muda – sudah master dan baru bekerja di kementrian lingkungan hidup. Terasa kalau ia baru mencoba banyak hal dan terpana dengan banyak hal (pemikiran). Pikirannya masih lurus  (saya baru pernah minum bir katanya saat sarapan pagi tadi - hehe) dan masih agak lugu, namun berbeda dengan Tonni calon PhD dari UNU yang naif –juga dari Indonesia yang terus terang cukup memandang rendah peserta India, Bangladesh dan Pakistan. Bau katanya (walau mungkin bukan itu alasan utamanya). Diucapkan terang-terangan kepada saya karena ia berpikir bahwa saya mempunyai pandangan yang sama – so saya dianggap masuk dalam kawanannya.

Vagish yang berbulu
Lalu peserta India, Vagish yang suka meminjam kamera saya tanpa basa-basi. Dibukanya kamera saya, lalu dicopynya picture-picture di dalamnya tanpa ijin. Tidak punya sopan santun menurut saya walau penampilannya rapi, berbulu, berjam tangan dan sekarang sedang mengejar Phd entah dimana. Peserta yang satu ini nampaknya menganggap bahwa dirinya lebih pintar dan terhormat daripada peserta lain, suka merendahkan walau setelah saya tes cara berpikir sistemik saat kerja kelompok- bahwa ia cukup bodoh.

Lalu Miss Yasmin dari Pakistan yang oportunis menurut saya: meminta agar daging sapi disingkirkan dari meja makan saat ia makan – karena katanya tidak halal secara Islam. Mana ada makanan halal di Shanghai ini menurut saya – aneh sekali kalau ia kemudian tetap mencomot ikan, udang-udangan dan ayam. Menurut saya kalau sajklek by text book seperti itu, mestinya ia bergabung saja dengan meja makan vegetarian. Kami dari Indonesia dan Malaysia tentu saja agak keberatan walau tidak kami ucapkan secara langsung (yah pikir-pikir toh cuma 5 hari kan seminarnya – masih bisa ditahan demi hubungan baik). Tambahannya, Yasmin yang cantik ini juga senang datang terlambat, kadang sambil merepotkan yang lain karena minta ditunggu supaya sama-sama terlambat.

Peserta Vietnam lebih banyak diam, berkelompok dan kalau bisa di sekitar seminar membolos untuk jalan-jalan siang. Kaburnya juga diam-diam mungkin terinspirasi strategi gerilya tentara Vietkong.

Di training ini saya cukup dekat dengan Oulavanth (Ulawan dibacanya) yang berasal dari Myanmar, sebab selain bahasa Inggrisnya baik juga tidak jaim. Maklum kayanya sudah dipoles di Australia bertahun-tahun. Lalu saya dekat juga dengan Banda dari Bangladesh yang mirip Mr Bean, dengan gigi ompong di depan (mungkin terlibat dalam kecelakaan kendaraan bermotor di negeranya yang semrawut). Sepertinya karena sama-sama penderitaan di negara masing-masing.

Peserta dari Nepal yang suka menari
Ada juga Makcik Asyira dari Malaysia yang walau usianya sudah 40 tahun, tapi tetap gaul dan suka saling menghina dina diri sendiri bersama saya. Kami sama-sama mempunyai selera makan yang tidak jauh berbeda – dan biasanya bersekutu di meja makan vegetarian, atau punya meja sendiri dari kelompok lain (itupun kalau tidak dirusak Yasmin). 

Kalau peserta dari Cina, terkenal karena pendiam (mungkin Inggrisnya kurang lancar), agak berkelompok dan rupa-rupa mukanya (ada yang cantik, jelek, cakep, dll – mungkin karena berasal dari geografi dan etnik yang berbeda ya?).

Disini saya temukan teori evolusi Darwin berlaku. Yang sama akan saling berkelompok. Makin sama, dan semakin tinggi tekanan lingkungan maka makin berkelompoklah dia. Ada juga yang seperti saya atau si Myanmar yang cuek-cuek saja, nempel sana-sini cuma mang tetep sama-sama kesal kalau satu kelompok mulai melanggar batas. Sama saja sebenarnya kaya hidup sebagai kawanan singa di savana Afrika yang buas. Cuma kalau disini bisa lah dianggap Kebun Binatang Shanghai. Masih ada tembok yang menjaga, membatasi dan dibeberapa bagian diberi listrik supaya sang monyet kaget kalau berbuat di luar batasnya.

Yah pikir-pikir ini memang Kebun Binatang Shanghai, so saya ga perlu membolos naik Metro ke Kebun Binatang lagi... dan kemudian jangan juga kalau satu ekor monyet nakal lalu seluruh kawanan monyet dianggap nakal. Dari 1 monyet nakal barangkali masih ada 101 ekor monyet yang lebih nakal lagi...

Ngintip Harga Sambil Jalan (Shanghai 2)


Aeh… hari ini ngapain aja ya? Wah hari ini saya baru aja beli baju cheong-sam, baju khas dari CIna di Tiantong Road (itu nama stasiunnya) buat pacar saya dan anaknya. Setelah 2x survey, dan ditawarkan harga permulaan 225 dan 180 Yuan dari dua pedagang pada hari berbeda, dan berhasil mencapai titik tawar terendah 150 dan 130 Yuan maka deal lah sebuah cheong-sam dengan harga terakhir. Sebuah cheong-sam kecil ukuran 12 juga deal dengan harga 30 Yuan. Kalo dikali harga rupiah hari ini sebesar Rp 1500 per Yuan artinya dua baju tersebut saya dapat dengan harga Rp 195.000 dan Rp 45.000. Maaf, bukan cheong-sam 100% sutera, karena yang sutera sangat mahal – kira-kira Rp 600.000 per buahnya.

Simpang Yuyuan Road, dekat tempat nenek-nenek dansa-dansi kalau malam hari
Namanya juga dibiayaain jadi kudu hemat-hemat di Shanghai ini. Kalo engga bisa nombok dan setelah menjalani kenyataan hidup, jadi menyesal kalo duit dihambur-hamburin.

Shanghai, menurut saya dan menurut semua peserta (dari Bangladesh-yang kaya Mr Bean, Malaysia – ibu Makcik, Nepal dan India, etc) adalah kota well managed. Saya sibuk mencari perkampungan kumuh selama naik bis di kota ini. Tidak saya dapati sama sekali. Masyarakat hidup di apartemen-apartemen dengan penataan yang baik. Yang kurang baik dan etis rasanya cuma jemuran yang nongkrong dekat jendela. Yah mau gimana lagi kali yah- gada space buat jemur seh.

Jalan kemana-mana bisa pake subway. Sepeda lalu lalang – dari yang jadul sampai yang pakai baterai, dan disediakan jalur khusus untuk pesepeda. Gedung-gedung tinggi menjulang, dan serasa jalan-jalan di kawasan Sudirman, hanya saja tidak berujung jalannya sebab semua jalan di Shanghai adalah Sudirman.

Susah payah saya mencari pasar tradisional sebab heran tidak bisa menemukan kekumuhan, dan heran juga kok orang sebanyak  sini tidak kelihatan penyuplai makanannya ya? Yang saya dapatkan saat kebetulan saja berjalan di antara pertokaan adalah sebuah pasar mungil yang terselip di antara kerumunan toko lain, tertib dan ramai dimana sayuran, belut, kerang sampai ayam hidup yang siap dipotong dengan pemotongan yang bersih serta tembus pandang. Tidak berbau juga – entah bagaimana diaturnya.

Well, semoga ayam-ayam tersebut masuk Surga (Surga untuk ayam).

Oh ya saya juga mau ngadu… di Nanjiang Road, jalan pertokoan paling ramai di Shanghai saya dalam 2 hari jalan sudah didekati 2x3 perempuan cantik yang katanya mau be friend…

"Cheap... 100," kata salah seorang perempuan tersebut. Ga tau deh maksudnya teh 100 Yuan apa 100 Dolar. Atau 100 buat minum di Starbucks atau apa. Saya kaga ngerti n ga berusaha cari tau juga seh.

Wadoh… ini sih be friend for benefit- begitu terang saya kepada teman saya Banda si Bangladesh yang kaya Mr. Bean. Kalau melihat perempuan cantik senang sih senang tapi apa mau hidup kacau beliau setelahnya? Begitu kata saya kepada si Banda (sekaligus kepada diri sendiri).

Heran juga setelah saya perhatikan, perempuan di Shanghai ini banyak yang cantik. Kalau dihitung persentasenya lebih besar daripada kalau kita ambil sampel seperti di Manila, Jakarta, Medan, Bandung, Saigon dll. Apa karena disebabkan karena dandan atau karena memang cantik ya? Cuma tetep aja saya percaya yang kedua itu sebab dari anak kuliah sampe yang kerja dan agak emak-emak tetap enak dipandang. Maybe tuhan memang rada jail, mengkotakkan perempuan Cina yang cantik di Shanghai ini dan memasang bunyi beep-beep kalo mereka keluar batas.

Terakhir buat malam ini, saya ingin menceritakan kalau pandangan saya tentang Cina yang tadinya agak meremehkan suda h cukup membaik. Ngeliat saudara seleluhur saya di Cina ini jadi merasa agak geli… semua orang keheranan kalau saya bilang – I can’t speak Chinnese. Ngajak ngobrol mulu membabi buta walau saya dah senyum dan diam. Kurang percaya kayanya kalau saya tidak bisa bicara Cina.

“Bu, Ibu kudu tau kalo dulu si Suharto rajanya rezim Orde Baru menghapuskan kebudayaan Cina di Indonesia. Ngomong, nulis, nama asli, semuanya kudu diapus atau diubah… Jadi saya sekarang kaga bisa ngomong Cina…” Begitu saya ingin ucapkan dengan telepati kepada mereka, sayang saya bicara bahasa Inggris saja terbata-bata, mempersulit keadaan.

Lagian masa seh harus nerangin gitu pake bahasa Inggris ke saudaraku ini? Boro-boro dua kalimat, lah ini kita jawab I’m not Chinnese aja kaga ngerti-ngerti. Bisa-bisa lima menit ngomongin 2 kalimat ini…

Ah sudahlah… namanya nasib, terima aja toh kalau saya lagi di Shanghai ini?

Makanan vegetarian, kaga sanggup dah kalo tiap hari mah...
Dan sehubung takut duit habis abis beli pernak-pernik buat orang kantor en si pacar en de el el, en ga bisa bantuin biaya si Mami yang mau ke Bali tanggal 26 Juni maka saya relain malam ini makan mie instan gelas seharga 6,50 Yuan (yang rada mahal) dan beli sosis ayam 2 biji (each 1 Yuan) – total keluar 8,50 Yuan atau sekitar Rp 13.000. Soalnya saya kemarin-kemarin ga bisa menghindar juga makan mie, udon, dll seharga Rp 45.000 an sekali makan. Lumayanlah bisa hemat sekitar Rp 30.000an dengan beli mie instan.  ,

Mang mahal disini kaga ada warteg 7000 an dan sayang karena gada kompor, mie instan sarimie saya ga bisa dimasak di hotel

Kalau perlu mulai besok kalo duit makin payah kita sepakatin aja yah buat ambil makan pagi lebihan, masukin tissue buat persediaan makan malam.

Dari Sebuah Konferensi (Shanghai 1)


Namanya juga Negeri Cina… jadi yang jual rokok di jalan orang Cina, yang jadi satpam orang Cina, yang jadi mahasiswa orang Cina, petugas tiket (yang ga bisa ngomong Inggris) juga orang Cina.

Yah namanya juga lagi beruntung… gak ada angin gak ada badai tiba-tiba saja saya ditelpon oleh Ibu Nila dari HSF (Hans Seidel Foundation) mitra lembaga saya bernaung untuk mengisi formulir untuk pelatihan kepemimpinan lingkungan di Shanghai. Ditanggung ceunah ongkos trainingnya yang mahal dan akomodasinya.  How lucky I am karena kalau tidak ada bantuan jangan harap saya bisa mengikuti training di luar negeri. Untuk makan disini saja bingung biayanya dari mana... hiks.

Di sisi lain keberuntungan, di sisi lain adalah ketidakberuntungan. Keberadaan saya membawa ketidakberuntungan bagi mahasiswa-mahasiswa yang melamar pelatihan. Bu Nila lebih percaya untuk membiayai mitra potensial daripada kepada mahasiswa yang belum tentu berkarya nantinya. Mau senang atau tidak senang di dunia memang pemecahan masalah yang paling umum ya Win-Lost solution. Tak peduli kata Dale Carnegia, Tung Dasem, James Gwee… hukum rimba memang hukum kehidupan. Sisanya adalah yang dikarang-karang oleh pemotivator agar kita jadi lebih positif. Lah ujung-ujungnya yang positif itu lalu menyingkirkan yang lemah juga toh?

Balik lagi ke Cina, saya sekarang ini lagi di Universitas Tong Ji. Mendengarkan ceramah Prof. Guangto Wang yang saya lihat di layar tancap statusnya: former Minister of Construction of China. Nah berarti saya lagi berhadapan dengan salah satu bekas penguasa Tirai Bambu neh. Lumayan buat cerita nanti tapi rasanya ga berdampak apa-apa ma hidup saya terutama dilihat dari sisi – dari sini mau kemana seh?

Balik lagi aja ah ngomongin Cina, lebih enak. Di sini udaranya cukup sejuk, sekitar 21-27 derajat Celsius. Kalau mau dirasakan kaya kita jalan-jalan di Cisarua, Puncak – walau lebih dingin lagi sedikit kalo di Cisarua sebab kalau sudah sore malam suhu turun lagi karena ada di gunung. Di Shanghai lebih stabil.

Mahasiswa lalu lalang naik sepeda dekat Universitas Tong Ji yang indah ini. Bener-bener tertata, ga kaya Fakultas Perikanan IPB yang banyak tai burungnya, kaki lima kumuh yang jualan di kantin, tembok-tembok kusam, dan got-got yang mampet sebab tukang soto buang sampah plastik di dalamnya.

Kalau mau dibayangkan bolehlah dibayangkan ada rumput hijau dimana perempuan dan laki-laki berpelukan, naungan pohon sepanjang jalan, gedung-gedung dengan tanaman rambat, lapangan luas tempat mahasiswa berolahraga, disertai matahati dan udara yang sejuk.

Jadi agak jatuh cinta neh ma Shanghai (minimal daerah sekitar Universitas Tong Ji). Tadinya Cina tidak pernah masuk daerah tujuan saya. Saya mau sekolah di Canada atau New Zealand only, karena baca di booklet informasi kalau negara tersebut ramah, indah, banyak biri-birinya, pegunungan membiru di kejauhan dan udara yang dingin.  Pengen nikmatin kopi sambil duduk di serambi rumah yang dari kayu sambil melihat kebun dan gunung di kejauhan.

Tapi sejak tinggal di Shanghai ini, jadi agak berubah paradigma saya. Cina ga seburuk yang saya bayangkan. Jadi pengen kuliah juga disini.

Salam dari tempat duduk di konferensi International Student Conference on Environment and Sustainability, Shangai June 5-8. Ms. Elizabeth Mrema si Deputy Director and Coordinator, Operations and Programme Delivery Branch, Division of Environmental Policy Implementation (DEPI), UNEP jadi saksi di depan sana buat omongan saya ini.