Kagok, begitulah
yang dirasakan oleh saya saat berjalan kaki meyeberangi jalan di sekitar Ho
Chi Minh City (dulu: Saigon). Bagaimana tidak, sepeda motor berlalu lalang selang-seling,
terlebih di jam-jam sibuk dan jumlahnya yang sangat banyak bagaikan
kumbang-kumbang yang berseliweran. Jadi heran, karena dengan lalu lintasnya yang
jarang berpolisi dan dengan arah yang suka-suka saya belum menemukan para
pengendara saling bertabrakan. Muka mereka pun lurus-lurus saja, tidak terlihat
marah saat disalib atau misal karena dipapas motor lain dari arah yang
berlawanan. Sudah biasa kali ya?
Lalu lintas di Kota Ho Chi Minh (Saigon), didominasi oleh sepeda motor |
Cuma di Vietnam ini, kebiasaan jalan kaki cukup terganggu terutama saat bertemu persimpangan dimana saya harus menyeberang. Nyebrang jalan, tengok kiri kanan menjadi menu rutin sepanjang penyebrangan. Hati ini tidak tenang kalau belum menginjak trotoar lagi. Tidak seperti di Indonesia, disini tidak ada standar kalau arah motor atau mobil haruslah selalu dari arah yang disepakati undang-undang.
Kekagokan saya
bertambah double ataupun triple saat mengendarai sepeda motor, kali ini di Da
Lat, sebuah kota di ketinggian 1.500 meter yang indah, dimana bebungaan liar
tumbuh sepanjang jalan, dan mawar merah kuning dan orange menghias garis batas
di jalan. Kalau di Saigon saya nyerah deh ga ada nyali buat pakai motor (takut
emosi dan nabrak), tapi saya pikir Da Lat ini kan kota yang kecil, so mungkin
saya bisa adaptasi lebih baik di tempat yang lebih sepi ini. Jadi saya sewa
motor bebek buat jalan-jalan.
Sehubung bekas
jajahan Perancis, mengemudi di Vietnam adalah di sebelah kanan, dan untuk
menyusul dari sebelah kiri. Sebagai orang Indonesia keadaan ini menyulitkan
karena berkebalikan dengan keadaan di sini (Polisi sini berpendapat baiknya
adalah naik motor di kiri, kalo mau nyusul dari kanan).
Beberapa kali
(biasanya sehabis keluar dari suatu tempat) saya langsung ambil ruas kiri
ngikutin kebiasaan di Indonesia. Walhasil, baru sadar waktu akan marah liat
orang Vietnam nyetir motornya di kanan. Padahal yang salah adalah saya.
Lah kok kita yang
salah lalu mau marah sih ? Itulah kelemahan saya: memang saya gampang marah
kalau naik motor sebab beradaptasi dengan kerasnya lalu lintas kalau di Bogor
tempat saya dilahirkan (walau ternyata keadaannya tak sekeras disini).
Di negeri yang
ramah ini, akibat perbuatan saya, saya cuma dilihat oleh Vietnamese ini – dia tidak
marah, dan melihatnya pun cuma sekilas. Perkiraan saya dua: mereka bangsa ramah
yang toleran kepada saya, atau karena nyetir salah arah adalah biasa, karena
juga dilakukan oleh mereka sendiri dengan caranya masing-masing.
Emosi marah ini
sempat juga muncul (sebenarnya bukan marah tapi kesal sedikit) karena masalah
bensin. Lah iya, saya menyewa motor satu hari seharga 5 USD dari jam 7 pagi
sampai 9 malam, lalu pas ngisi bensin (di Da Lat) oleh si ibu ditagih 60.000
VND (dong) alias 3 USD. Padahal ngisinya bentar banget, kurang dari 2 liter rasanya;
satu setengah liter paling banyak.
Mahal banget sih
bensinnya, Man? Secara disini itu cuma Rp 4.500 / lt. Dengan Rp 30.000 / 3 USD
/ 60.000 VND saya bisa isi bensin sekitar 7 liter disini.
Danau Xuan Huong, di tengah kota Da Lat |
Saya teruskan
pencarian itu saat mencapai Indonesia kembali. Penasaran karena cuilan berita
yang kurang lengkap tersebut. Dengan bantuan Profesor Google, saya dapati bahwa
harga bensin di Vietnam adalah berkisar antara Rp 11.000 sampai Rp 12.000. Amin
ucap saya, agak puas. Jadi kalau saya
mengorbankan Rp 30.000 untuk bensin saya pikir semoga waktu itu diisi 2 liter
lebihlah ma si ibu bensin.
Pikiran ini
ditentang lagi oleh logika saya. Hati mau memaafkan, tapi kepala menentang,
sebab kalau dilihat tangki bensin motor yang saya tumpangi kecil. Masa iya
tangki motor sekecil itu memuat bensin kira-kira 2,3 liter?
Pikiran saya lalu
berusaha agak baik lagi sama sang hati yang berusaha memahami. Pikiran lalu
berkata pelan-pelan, katanya: mungkin jenis BBM di Vietnam agak banyak, motor
kamu diisi ma bensin kualitas pertamax jadi harganya agak mahal.
Iya ajalah, demi
keindahan dataran tinggi Da Lat.
Saya sudah
diberikan jasa oleh motor yang saya tumpangi ini selama ngalor ngidul cari-cari
titik wisata di Da Lat, sudah sepantasnya ia diberi minuman yang setimpal (sekualitas
minuman yoghurt dari Da Lat). Kalau ada lebih, anggaplah sumbangsih saya untuk
rakyat Vietnam, setelah peperangan bertahun-tahun yang menyengsarakan serta
atas kerajinan dan keuletan mereka (Vietnames ini rajin-rajin banget dan akan
saya ceritakan di story yang lain ya).
Salam dari atas
motor gaul peminum yoghurt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar