Agamaku adalah Agamaku, Agamamu adalah Agamamu.
Kalimat ini sering saya dengar diucapkan oleh banyak jenis orang, dari tokoh agama besar, aktifis LSM, sampai teman sendiri. Kebanyakan dari mereka adalah aliran tengah, bukan aliran kiri yang memang sudah keras kena formalin (kalau aliran kiri jenis ini pepatahnya lebih sangar lagi: masuk neraka, kafir). Nah kalau yang aliran tengah ini sepertinya terlihat netral… silahkan saja urus agama masing-masing, jangan saling meribetkan. Mungkin saya tambahkan lagi… kami akan bantu yang lain, asalkan tidak yang menyangkut masalah agama. Kalau yang itu kami tidak ingin tahu.
Kalimat ini sering saya dengar diucapkan oleh banyak jenis orang, dari tokoh agama besar, aktifis LSM, sampai teman sendiri. Kebanyakan dari mereka adalah aliran tengah, bukan aliran kiri yang memang sudah keras kena formalin (kalau aliran kiri jenis ini pepatahnya lebih sangar lagi: masuk neraka, kafir). Nah kalau yang aliran tengah ini sepertinya terlihat netral… silahkan saja urus agama masing-masing, jangan saling meribetkan. Mungkin saya tambahkan lagi… kami akan bantu yang lain, asalkan tidak yang menyangkut masalah agama. Kalau yang itu kami tidak ingin tahu.
Masalah golong-golongan ini makin terlihat kerasnya kalau ke masalah yang paling sensitif... boleh ga sih kita pindah agama (walau kalau menurut UUD 1945 pasal 29 itu dijamin kebebasannya oleh negara)? Nah kalau yang garis kiri jelas-jelaslah kalau pindah agama ini dosa. Kalau garis tengah kayanya cenderung ngomong kalau itu agak dosa (netral ga sih yg ini?). Kalau garis kanan bilang itu kebebasan... malah mungkin mempertanyakan juga dosa itu apa sih?
Kalau di Indonesia seh yang paling santer tentang masalah
converting agama seperti ini adalah agama Islam dan Kristen (Protestan dan
Katolik). Kalau yang lain maybe karena jumlahnya sedikit maka terjadi secara sporadis
saja (misalnya Hindu, Budha, Kepercayaan) – walau sebenarnya secara bukan hanya
dua agama ini yang mengeluh saling converting satu sama lain. Antar semua agama
juga sebenarnya saling mengeluh, misalnya umat Budha yang misalnya mengeluh
umatnya banyak yang dikristenisasi, atau Kepercayaan (Kong Hu Cu misalnya) yang
diconvert jadi Katolik.
Lalu apakah memang sebaiknya agama sesorang itu tetap saja
seumur hidupnya? Jadi misal kalau orangtua beragama Islam, lalu sebaiknya anak
sampai cucu-cucunya tetap beragama Islam? Atau kalau orangtua beragama Kristen
Protestan lalu keturunannya tetap Kristen Protestan juga sampai sepuluh abad setelahnya?
Kalau menurut saya terjadinya proses komunikasi antar dua
belah pihak adalah wajar. Begitu pula upaya mempengaruhi pihak lain agar
menerima kebenaran, menyetujui pandangan yang lainnya adalah wajar. Bukankah
inti komunikasi adalah upaya agar pihak yang lain percaya mengenai informasi /
pandangan kita? So upaya saling meng-convert agama sebenarnya adalah contoh
upaya tujuan komunikasi, agar pihak lain menerima / percaya akan kebenaran dari
pihak lain.
Lalu bagaimana dengan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi
akibat upaya convert mengconvert itu?
Perlu dipahami bahwa agama adalah suatu entitas. Suatu
kelompok bergabung membentuk suatu kelompok agama dimana di dalamnya mereka
percaya bahwa dengan bersatu mereka mampu melakukan suatu pekerjaan dengan lebih
baik (misalnya, bertahan terhadap serangan kelompok lain). Pada saat suatu
kelompok kehilangan anggota-anggotanya, dapat dibilang bahwa kekuatan mereka
akan melemah. Hal ini berlaku sebenarnya untuk setiap kelompok.
Kalau dilihat pola ini adalah diturunkan dari intuisi makhluk hidup itu sendiri yang menyukai cara berkelompok selama makanan di sekitarnya tercukupi untuk kelompok sebab dengan bergabung mereka akan lebih aman (jadi inget kalau di laut ikan-ikan sejenis suka bergerombol dalam jumlah yang sangat besar, misal untuk membingungkan predatornya sehingga kemungkinan survivenya lebih tinggi untuk setiap individu di dalamnya).
Kalau dilihat pola ini adalah diturunkan dari intuisi makhluk hidup itu sendiri yang menyukai cara berkelompok selama makanan di sekitarnya tercukupi untuk kelompok sebab dengan bergabung mereka akan lebih aman (jadi inget kalau di laut ikan-ikan sejenis suka bergerombol dalam jumlah yang sangat besar, misal untuk membingungkan predatornya sehingga kemungkinan survivenya lebih tinggi untuk setiap individu di dalamnya).
Pada saat satu kelompok “tercemari”, misalnya saat anggota
kelompoknya mendapatkan ide yang berbeda – akibat berkomunikasi dengan kelompok
lain dengan paham yang berbeda, maka keberadaannya dapat mengancam kelompok
besarnya, karena ide tersebut dapat menular. Maka seringkali kita mendapatkan
suatu kelompok sangat “intoleran” terhadap ide atau gagasan baru. Ini merupakan
suatu mekanisme pertahanan, terutama apabila kelompok tersebut merupakan
kelompok konservatif, dimana di dalamnya tidak ada mekanisme cepat untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya.
Kembali lagi terhadap hal perubahan agama. Maka apabila
misalnya suatu keluarga khawatir karena anaknya pacaran dengan pria / wanita
agama lain, hal itu bisa jadi karena ketakutan keluarga (kelompok kecil)
tersebut terhadap tekanan kelompok yang lebih besar (notabene kelompok agamanya).
Bisa jadi keluarga (kelompok kecil) tersebut misal berpendapat bahwa hal
tersebut dilarang oleh Tuhan, dilarang oleh agama, dan lain-lain. Namun menurut
saya, yang lebih mudah dilihat adalah bahwa kelompok kecil tersebut khawatir akan
pandangan dan tindakan dari kelompok besarnya terhadap kelompok kecil tersebut.
Lainnya adalah bahwa seringkali perpindahan agama dilihat
bukan menguntungkan secara ke individuan (misal, pendapat alangkah bahagianya
bahwa sesorang bisa menemukan tujuan hidupnya dengan lebih baik) , namun
kemudian dihubungkan dengan sisi politis, bahwa dengan berpindah menunjukkan
bahwa agama barunya lebih baik dibandingkan dengan agama lamanya.
Sisi politis ini bila
dilihat dengan baik juga dapat dihubungkan dengan penambahan jumlah kelompok,
dimana penambahan kuantitas berarti penambahan kekuatan bagi kelompok baru.
Lalu mana penerapan “Kebebasana memilih agama sesuai
keyakinan dan kepercayaannya” yang dijamin oleh UUD 1945 itu ya? Heran saya.
Ini kayanya retorika aja deh.
Di Indonesia ini, gara2 pindah agama sesorang bisa diadilin
oleh keluarganya. Untung-untung FPI ga datengin rumahnya sambil bawa bambo. Yah
tapi masih untunglah ga kaya di Negara-negara timur tengah yang bisa mancung
kepala untuk soal beginian.
Semestinya, ini menurut saya ya… agama itu dipilih sesorang
sebab dengan memilih agama tersebut ia bisa lebih baik dan mudah menemukan
tujuan hidupnya ya? Berkelakuan lebih baik, positif, dan lain-lain. Dan kalau
kita dimita mengesampikan agama, tentu kita akan mendukung misalnya ada
sesorang di keluarga kita yang bertujuan seperti itu. Tapi sehubung agama
bukanlah milik pribadi maka jadi komplekslah masalahnya.
Kalau saya tetap berprinsip agama itu seperti baju saja…
kepribadian saya tetap sama walau baju saya berbeda. Ganti baju kalau memang
harus ya lakukan saja. Saya masih percaya pasal di UUD 1945 tentang kebebasan
beragama (untung saya tidak hidup di komunitas agama fanatik. Kalau ya bisa
habis saya).