Jangan jadi
miskin, miskin dekat dengan kejahatan – begitulah.
Ya, bayangkan
betapa rumit pergumulan hati saya sampai hari ini- apabila dalam keadaan
kemiskinan sekarang, lalu ditawari pekerjaan lain dengan ongkang-ongkang kaki
lalu dapat gaji kira-kira 7x lipat gaji sekarang.
Sudah sebulan
pekerjaan tersebut saya coba tampik dan pending keputusan untuk menerimanya,
semata-mata karena pekerjaan tersebut cukup berat dari sisi nurani saya- karena
saya tahu akibat pekerjaan saya tersebut berdampak bagi hidup orang lain
nantinya.
Sekitar sebulan
yang lalu, saya sudah bertemu pemilik perusahaan- Komisaris Direktur dan
Marketing Managernya sekaligus di sebuah cafe Starbucks, di sebuah jalan yang
saya sudah lupa- namun di daerah Kuningan, sebab saya memang tidak familiar
dengan Kota Jakarta.
Seperti biasa
saya selalu kikuk dengan minum kopi di gerai Starbucks sebab harga 1 cup nya
cukup mahal menurut ukuran saya, Rp 50.000,- seharga umumnya 5x makan pagi
saya, nasi bungkus campur ayam goreng, tumis kangkung, kentang pedas dan mie
goreng. Kepikiran juga saya, itu artinya saya bisa beli makan pagi buat si
mami, si Bonum, si Charma, Lizbeth dan saya sendiri. Kalau salah satunya tidak
ada bisa saya belikan buat si Awah-pembantu saya yang jarang saya traktir.
Pasti semuanya hepi.
Pekerjaan yang
ditawarkan hanyalah sebagai perantara pembelian tanah, sebagai komunikator dan
pemegang kas Perusahaan, di Sintang - Kalimantan Barat. Sebuah pekerjaan tidak tertulis yang tidak pernah ada
diiklankan di koran karena pemilihannya adalah berdasarkan kepercayaan semata,
dan tidak akan pada struktru perusahaan. Jenis perusahaannya adalah perkebunan, walau saya tidak tahu bisnis besarnya karena biasanya perusahaan besar seperti ini mempunyai beberapa bisnis sekaligus.
Menyesal atau
tidak-sampai saat ini saya belum tahu. Terbuka saja, kalau saya saat ini sedang
mengalami pemotongan gaji dari Yayasan saya bernaung. Kira-kira terpotong 1
jura sebab Yayasan dalam keadaan tidak punya uang, agak bangkrut dan beginilah
komitmen kami untuk tetap menjaga agar Yayasan tetap berjalan.
Jangan pikir bisa
seenaknya pergi ke mall, nonton bioskop, makan mewah atau apapun lah. Bulan
lalu saya sudah menggadaikan Logam Mulia yang saya tabung untuk keadaan darurat
di Pegadaian- untuk kebutuhan sehari-hari, dari uang tahunan masuk sekolah,
memberangkatkan mami n papi ke Bali (sudah dipesan tiketnya 1 tahun lalu so sekarang perlu dibekelin sangu),
sampai hal-hal kecil seperti bayar ini bayar itu.
Sedih juga,
sebenarnya pekerjaan yang sudah di depan mata tersebut tidak mengharuskan saya
hidup susah. Berkecukupan banget malah.
Fasilitas yang
disebut membuat saya ngiler: tiket pesawat PP yang bisa diatur, kontrakan rumah
dengan AC dan Indovision, mobil 4 WD,
asuransi, bonus tahunan, dan lain-lain. Boro-boro masang Indovision di
rumah, betulin pipa ledeng yang bocor saja susahnya bukan main karena
keterbatasan dana.
.
Tapi nurani
bicara, pembelian tanah berarti memindahkan kekuatan hidup seseorang,
masyarakat kepada kita- menyedot energi hidupnya perlahan-lahan dan walaupun
adalah sebuah kebebasan bagi sesorang untuk menjual tanahnya masing-masing,
namun pengalaman saya beberapa bulan di bumi khatulistiwa memperlihatkan bahwa
kehancuran sudah pasti pada sebuah desa yang menjual dirinya kepada perusahaan.
Banjir, hilangnya
pekerjaan, terusir dari desa tidak memandang apakah tanah dijual kepada
Perusahaan atau Taman Nasional. Sama saja- dua-duanya menyebabkan hilangnya
nyawa sesorang secara perlahan.
Balik lagi,
kemiskinan memang sucks!
Sementara yang
coba berbuat benar terseok-seok dan saling menyenggol kakinya keplitek, yang kaya menjentikan
jarinya dan berhektar-hektar tanah berpindah jadi kebun sawit. Beginilah dunia.