Senin, 16 November 2015

Jaman Mapala vs Fahutan



Lanjut ya ke semasa saya kuliah (cerita ini sambungan beberapa cerita dengan label yang sama). Di masa kuliah saya memilih aktif di perkumpulan mahasiswa pencinta alam IPB: Lawalata IPB. Saking aktifnya, waktu lulus IPK saya 2,70 – sesuatu yang agak saya sesali karena kemudian saya sulit mencari beasiswa bahkan untuk melamar kerja sekalipun. 

Nilai saya banyak yang D seperti di kimia dasar 1 dan 2, statistika dasar, metode statistika dll. Tidak saya ulang karena saya kurang suka pelajarannya. Walau begitu saya bolehlah berbangga karena beberapa nilai penting juga A, sebagai penyeimbang agar IP tetap balance.

Di Lawalata, panggilan Ahong masih melekat di saya. Begitu populernya iklan Ahong yang dermawan bagi-bagi rejeki, termasuk ke pak haji sehingga dibredel karena keluhan masyarakat akibat dirasakan melecehkan pak haji. Jadi saya ikutan populer seperti si Ahong tersebut. Tapi sehubung semua calon anggota di diskriminasi mendapatkan nama panggilan jadi kali ini no problem: si Mehong, si Udang, si Jembut, si Oge (Omong Gede) dan lain-lain.

Yang boleh saya bangga sedikit adalah saya merubah sistem pendidikan untuk calon anggota di Lawalata ini. Saya memperkenalkan bahwa mengintimidasi, memukul, teriak-teriak bukan satu-satunya cara pendidikan. Saya memasukkan permainan, observasi dan analisis sosial pada malam hari terhadap tunawisma, survival perkotaan (dilepas di kota lain, diminta mengumpulkan uang dan tidak diberi makan), sampai character building.

Sesi keras seperti militer tetap ada tapi karena saya mem-blok orang-orang tidak waras yang gemar memukul akibat stres buat skripsi (akibat dia bodoh) jadi generasi ini agak terhindar dari ketidakwarasan.

Saya tentu saja dikomplain oleh senior2 tua (sekali lagi yang bodoh dan tidak lulus2 atau masih gila kekuasaan). Sehubung saya jadi ketua (kalo ga salah tahun 2000-2001) saya memegang kekuasaan untuk tidak melibatkan dan tidak mendengarkan orang-orang tersebut.

Saya agak bangga juga menjadi Ketua, jadi orang Cina pertama yang jadi ketua Mapala di IPB yang suka mendiskriminasi bolehlah kita merasa bangga walau dalam pemilihan saya beda tipis dengan si jahat yang suka omong doang. Artinya prestasi kalau kamu tidak beruntung, akan kalah dengan kampanye jual bacot.

Di Mapala, peristiwa berbahaya yang nyerempet ke Cina an saya terjadi saat terjadi perselisihan antara anggota dengan mahasiswa lain di fakultas kehutanan. Sehubung kegoblokan fanatisme fakultas amat tinggi waktu itu banyak peristiwa di IPB di mana demi menunjukkan kesetiaan korps maka bisa ada pertempuran antar fakultas kejar-kejaran gara2 provokasi kecil seperti masalah perempuan, liat-liatan dsb.

Ini saya agak salah juga sih, sebab waktu itu ada anggota yang merasa diancam oleh anak fahutan jadi saya datang ke DAR, tempat kumpul anak fahutan berusaha cari tahu dari nama orang yang sudah diinformasikan. Goblok banget pergi ke sarang musuh. Tapi waktu itu saya pikir tidak jadi masalah karena ada sahabat karib saya semasa SD yang jadi anak fahutan.

Ternyata isu sendiri sudah dibesarkan oleh si pelaku dan mereka sudah siap2 akan melakukan serangan ke markas Lawalata (PKM). Tersebarlah isu itu terutama si Cina, tadi ke fahutan... kita arah dia.

Sial banget emang, muka Cina ini gampang banget dideteksi. Saya setelah kejadian ini kalau ke kampus selama setahun tidak pernah lewat fahutan dan seminggu awal membawa pisau belati di tas. Setahun yang mendebarkan buat saya.

2 hari kemudian setelah kunjungan saya ke DAR, beredarlah kabar bahwa penyerangan akan dilakukan. Anak Lawalata berkunjung ke asrama mahasiswa fahutan senior karena junior tunduk ke senior di fahutan dan berusaha didamaikan. Sudah damai, eh ternyata tidak selesai sampai sana. Eh malah ada berita penculikan saat pelaku, yang diancam, perwakilan senior dan Lawalata berunding. Mahasiswa fahutan sudah berkumpul bawa alat, di markas Lawalata juga sudah tersedia balok, golok, klewang dll.

Akhirnya malam itu 5 orang Lawalata termasuk saya dan segerombolan mahasiswa kehutanan bertemu di lokasi pertemuan, disebut GWW. Saya tidak bawa alat sebab bisa memicu situasi jadi makin ancur. Kamu bisa bayangin, kira2 5 lawan 50 an lah tapi tidak ada yang berani memukul duluan, yang terjadi fahutan mengancam mondar-mandir sambil kita menjelaskan.

Karena jumlahnya banyak, mereka semakin berani, berteriak-teriak: pukul aja, ga usah nunggu. Cincang aja... Tapi karena dihadapi begitu tenang, ceileh... mereka ragu ga ada yang berani mukul duluan. Berani juga ya anak Lawalata. Kalau saya sih dalam keadaan begitu juga pasrah, selain siap-siap bentrok pengen tahu hasilnya.

Berantemnya ga jadi walau adrenalin sudah naik ke ubun2. Lalu dilanjutkan dengan pertemuan di Grawida (lokasi lain) kali ini membawa yang diancam kemarin (anak Lawalata). Saya diminta tidak ikut karena informasi dari anak fahutan sendiri (teman) bahwa saya salah satu yang “diarah”.

Dan akhirnya guess what? Anak Lawalatanya (yang diancam) meminta maaf kepada anak fahutan. Kalo menurut saya sih dia sebenarnya di pihak yang benar, hanya ceroboh lalu melibatkan korps (Lawalata) untuk mem-backing dia (alasannya, emblem Lawalata dicoret pake tangan). Saya sih melihat ini strategi mengalah yang walau tidak enak tapi jitu sebab meredakan ketegangan.

Yah anak Lawalatanya (yang diancam) sekarang juga ga jauh-jauh amat sih. Saya dengar dia jadi ekstrimis fanatik agama. Lalu anak fahutan provokatornya saya tidak tahu nasibnya. Pasti ga jauh-jauh amat jadi preman kampung di Tasik, atau jualan kredit baskom.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar