Sekarang saya mau cerita tentang kejadian pada tahun 1998,
seperti yang sudah saya sampaikan singkat pada cerita sebelumnya. Kamu ingat
cerita saya tentang ospek fakultas?
Tahun 1998 adalah saat saya baru lulus SMA dan mendaftar ke
Universitas Negeri, yaitu IPB. Saya diterima melalui jalur UMPTN di jurusan
ilmu dan teknologi kelautan. Itu juga saat terjadi kerusuhan Mei 1998. Saya di
Bogor waktu itu dan tahu ada pembakaran-pembakaran, kasus-kasus perkosaan
Tionghoa di Jakarta, namun keadaan di Bogor cukup aman waktu itu dan mengenai
apa yang benar2 terjadi masih belum diketahui. Presiden Soeharto yang sudah
berkuasa 32 tahun turun akibat aksi mahasiswa, beberapa mahasiswa Trisakti
ditembak mati, rupiah melemah dari 2500an sampai 11 atau 14 ribuan kalau ga
salah.
Saya masuk di bulan Juli waktu itu dan reformasi sedang
berjalan. Mahasiswa Trisakti kalau tidak salah sudah tertembak. Kakak saya di
Universitas Tarumanegara sudah terkena gas air mata saat berdemo di dekat Untar
(sebelah Trisakti) dan di dalam mobil sepupu saya yang berkuliah di Trisakti
didapat bolongan dan proyektil peluru.
Sebelum masuk perkuliahan, kami mahasiswa baru diospek dulu.
3x, yaitu di IPB, di fakultas dan di jurusan. Kalau ospek IPB yang mengagetkan
hanyalah tiba-tiba saat ada performance ada segerombolan orang memakai celana
sontok (semata kaki) tiba-tiba masuk kelas (untuk show) sambil membawa bendera
hitam bertuliskan huruf arab, meneriakan Alahuakbar, lalu berlari-lari di
depan, lalu meneriakkan kita harus memperjuangkan islam, awas kristenisasi dll.
Nantinya saya tahu bahwa mereka berasal dari BKIM (Badan Kerohanian Islam
Mahasiswa) salah satu yang sering meniupkan kebencian di dalam kampus, termasuk
rajinnya mereka mengedarkan kertas formulir berjihad ke Maluku (saat kerusuhan
terjadi), masuk dalam kelas dan memisahkan duduk laki-laki dengan perempuan.
Bodohnya, karena masuknya bergitu heroik- membawa bendera dan sambil berlari
maka saya ikut-ikutan menyemangati mereka sampai sadar saya berhadapan dengan
aliran garis keras yang baru pernah saya lihat setelah kurang lebih 1 menit
kemudian (sebab saat saya bersekolah di Regina Pacis yang toleransi antar
muridnya tinggi). Saat itulah saya tahu ini adalah dunia yang berbeda dengan yang sebelumnya pernah saya alami.
Ok lah, ospek IPB lewat maka saya ikut ospek fakultas
perikanan. Kalau satu jurusan kira-kira ada 80 orang maka ada sekitar 500 orang
saat itu yang diospek di fakultas perikanan di Dramaga, Bogor.
Di ospek fakultas ini selama seminggu kami disuruh baris, membawa barang aneh-aneh, meminta tandatangan kakak kelas dari berbagai jurusan yang jumlahnya banyak banget, sambil kumpul pagi-pagi jam 5, pulang jam 5. Entah diisi apa ospeknya: kadang dibentak-bentak di auditorium, di selasar, diminta mendengar ceramah di auditorium, diminta jongkok, pushup di selasar, dan diulang-ulang.
Tidak banyak keturunan Tionghoa di jurusan saya. Ada 4 dari sekitar 90
orang. Di jurusan lain juga jumlahnya saya pikir sekitar 1-5 saja jadi amat
mudah untuk mengenali kami yang matanya sipit berkulit biasanya putih. Menjadi
keturunan Tionghoa di tahun 1998 menjadi urusan serius bagi mahasiswa senior yang merasa kami
harus “dididik” lebih. Entah kerasukan roh reformasi yang telat atau lainnya
mereka banyak yang memanfaatkan momen ini untuk balas dendam.
Segera pada hari pertama saya langsung disikat. Ditampar
waktu itu sangat lumrah. Istilah tampar yang ringan biasanya dilakukan
perempuan ke laki-laki atau sesama perempuan. Kalau sesama laki-laki istilahnya
adalah gaplok (karena pakai tenaga) dan dari laki-laki ke perempuan istilahnya
adalah tampar juga (dilakukan di sini). Ditendang dari belakang juga. Kalau
memukul biasanya ke arah dada.
Salah satu sasaran yang sepertinya empuk dan menyenangkan
adalah saya. Kalau diteriak-teriaki strateginya adalah kita tinggal menatap ke
depan saja, seperti tentara yang ada di film dimarahi oleh komandannya... Tapi
mereka segera menemukan cara lain untuk merendahkan saya. Waktu itu iklan Ahong
yang memberi bingkisan kepada bapak haji sedang marak (yang lalu dicabut
setelah oleh masyarakat waktu itu dianggap merendahkan pak haji).
“Mana si Ahong, mana si Ahong...” kata gerombolan bolak-balik.
Ini dia si Ahong, mereka melihat saya... lalu menarik kerah
baju saya, mengerumuni saya. Saya sudah tidak ingat lagi perkata-perkataannya
tapi kira-kira, “Lu Cina ya? Dari mana? Ikutan reformasi ga? Dukung reformasi
ga? Nama lu si Ahong ya?” sambil tangan mereka gampar muka.
Kalau saya hitung dan sempat (kalau saja) perkiraan saya
seharinya saya bisa ditampar 30 kali dari kesalahan tidak melihat ke depan,
tidak bawa barang suruhan mereka, tanda tangan kurang, karena pengen aja atau
karena menarik perhatian.
Pernah suatu waktu, satu dua orang dari mereka meng-gaplok2
saya, menyeret saya ke tiang pembatas lantai, menjorokkan dada saya sehingga
1/3 badan saya di atas pembatas lantai. “Jangan macem-macem lu ya Ahong, gw
dorong jatuh lo! Lu berani lawan gw?”
Selasar perikanan (sekarang jadi kantin) letaknya satu
lantai di atas lantai dasar jadi dia mengintimidasi akan menjatuhkan saya dari
lantai dua. Saya tidak takut. Aneh memang, dalam keadaan seperti itu seluruh
tubuh jadi siap, bukan bertempur tapi mencari cara terbaik menghindar atau
terjatuh nanti.
Setelah saya dikembalikan ke barisan seseorang mendekati
saya,” Kamu tidak apa2?”
Pertanyaan itulah yang membuat saya langsung sedih, dan saya
hampir menangis. Saya jadi berpikir, kok tadi ada orang sejahat itu ya? Dan
saya jadi sedih karena masih ada ternyata yang waras di sini.
Orang itu (saya berusaha mengingat mukannya namun tidak bisa
teringat karena saya masih shock) berkata lagi.” Kamu jangan mau digituin...
kalau ada seperti itu lagi kamu bilang sama aku.”
“Iya Kak.”
Boro-boro mau lapor, saya mengingatnya saja sulit. Apa saya
harus teriak nanti cari dia? Dan seberapa banyak orang waras kaya dia dibanding
banyaknya gerombolan tidak waras di sini? Kalau orang-orang ini waras tentu
tidak akan terjadi ospek semacam ini.
Besoknya lebih gawat lagi walau saya tidak diseret ke tiang
pembatas. Stevie, salah satu anak Cina beda jurusan yang banyak juga bergabung
dengan saya secara tidak sengaja di barisan penyiksaan melapor kepada orang
tuanya tentang perlakuan para mahasiswa/i barbar itu.
“Mana yang namanya Stevie? Kamu ngadu ya ke orang tua, ke
dekan kami?”
“Engga kak, saya cuma cerita. Mungkin mereka khawatir jadi
lapor ke dekan. Saya tidak meminta.”
Habislah Stevie hari itu. Kayanya dia dapat minimal 2x lipat
tabokan hari itu plus jenggutan, seretan kesana-kemari. Untung walau berbadan
kecil anaknya cukup tabah. Dia saya yakin sedih dan tertindas habis. Orang
tuanya yang pikir dunia ideal dan akan adil dengan melaporkan kejadian tersebut
ke dekan pasti tidak menyangka anaknya jadi bulan-bulanan top scorer hari itu.
Setelahnya, saya, Stevie dan Ruban (teman yang lain) kebetulan sulit dapat kos karena bukan muslim jadi ngekos bareng. Kalau jalan di Dramaga mencari kos maka sering ada pertanyaan, apa muslim atau bukan, jadi kami sepakat sewa kamar di Siva selama ospekan. Yang berdua, Stevie dan Ruban melanjutkan tinggal di Siva yang sekarang sudah jadi semacam hotel.
Setelahnya, saya, Stevie dan Ruban (teman yang lain) kebetulan sulit dapat kos karena bukan muslim jadi ngekos bareng. Kalau jalan di Dramaga mencari kos maka sering ada pertanyaan, apa muslim atau bukan, jadi kami sepakat sewa kamar di Siva selama ospekan. Yang berdua, Stevie dan Ruban melanjutkan tinggal di Siva yang sekarang sudah jadi semacam hotel.
Dasar orangnya
periang, si Stevie ini kayanya cepat sembuh setelah kejadian penggamparan oleh panitia satu fakultas, malah kemudian dia jadi orang
penting di jurusan dia pada masanya.
Cukup panjang jika saya teruskan sampai ospek jurusan yang
lamanya 1 bulan plus. Di jurusan, saya dan Adel (keturunan Cina Pontianak) terpilih jadi
perwakilan jurusan laki-laki dan perempuan untuk dilantik secara simbolik jadi
anggota himpunan mahasiswa jurusan ilmu kelautan. Saya tidak minat menceritakan
detail ospek jurusan yang intinya sih mirip ospek fakultas dengan pertemuan
yang lebih jarang (2-3 hari sekali).
Apa iya untuk jadi perwakilan laki-laki dan perempuan di
jurusan harus saya dan Adel? Apa saya yang dianggap Cina bukan WNI ini lalu
jadi dianggap LEBIH WNI dengan disuruh maju di upacara bendera di penutupan ospek
jurusan? Nampaknya seperti itu, walau semuanya bilang main-main untuk
lucu-lucuan.
Miss my family.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar