Minggu, 15 November 2015

Yang bekerja di LSM



Mungkin ini tulisan pertama saya dari yang akan saya tulis nanti di masa mendatang. Saya tahu mengapa saya menulis ini, tapi butuh belasan tahun sampai saya merasa perlu menuliskannya. Saya rasa karena salah satunya adalah saya ingin banyak orang mengetahui perasaan saya.

Saya ingin bercerita dari sudut pandang saya sebagai seorang keturunan Cina, yang lahir di Bogor. Umur saya sekarang 35 tahun lebih dan bekerja di sebuah LSM lingkungan kecil di Bogor. Berbeda dengan tulisan-tulisan saya yang lain, untuk tulisan-tulisan ini  saya ingin bercerita dari sebuah sudut pandang yang titik matanya ada di bagian hati saya di sudut. Sehubung ini bagian pertama, biarlah saya bercerita dari yang baru terjadi kemarin.

Selama saya bekerja di LSM lingkungan di Bogor, saya tidak banyak menjumpai keturunan Cina (saya akan langsung memakai kata Cina di paragraf lainnya) yang jadi aktifis sosial atau lingkungan. Rasanya nama yang familiar dengan saya bisa saya hitung dengan jari di satu tangan, artinya kurang dari lima. Mungkin ada juga yang bekerja di lembaga internasional, namun yang bekerja di lembaga lokal sedikit. Pada saat saya berkata yang saya kenal jumlahnya sedikit, artinya karena saya jarang melihatnya.

Kemarin saya melakukan fasilitasi di acara anak muda di Tobelo, Halmahera dan saya bertemu dengan Engelina, dan ini pertama kalinya saya berpartner dengan keturunan Cina juga. Hati saya diliputi perasaan senang, bangga dan khawatir.

Kamu tahu kenapa khawatir? Sebab dari dulu saya menghindar berkawan dengan sesama Cina. Memelihara diri sendiri saja sudah susah di lingkungan masyarakat yang sering mendiskriminasi saya secara langsung ataupun tidak langsung, apalagi jika berjalan dengan yang lainnya saya pikir. Mengurus diri sendiri saya bisa lebih fleksibel, tapi kalau berjalan berdua? Biarlah berjalan bersama Cina lain cukup di lingkungan yang aman tentram misalnya di Jakarta.

Sedih ya... saya masa sampai berpikir begitu? Karena sudah jamak dulu di masa kecil kalau berjalan saya dipanggil “Cina, Cina..” sambil ditunjuk-tunjuk oleh anak kecil. Atau mereka menirukan cara orang Cina berbicara,” Cing cang cong cing cang cong..”

Bagi saya itu sungguh menghina, dan hinaan ini masih saya terima jika berjalan di kampung sampai sekarang. Sudah dewasa tetap juga dikata-katai seperti itu. Terakhir terjadi 3 bulan lalu saat berjalan melewati sebuah SD di Caringin. Jadi hal ga lucu ini masih terjadi kok sampai sekarang, di jaman 17 tahun setelah tahun 1998.

Mungkin yang meneriakkan merasa lucu, dan tidak bermaksud menghina. Tapi saya yang punya pengalaman-pengalaman buruk dibedakan karena ras tahu ada sebab dibelakang itu semua. Dari pembedaan NEM antara yang Cina dan bukan waktu masuk SMP, permintaan SBKRI, tidak lulus calon PNS walau berkas lengkap tanpa alasan apapun, dan lain-lain. Ini yang tidak langsung. Yang langsung ya dikatain "Pergi lu Cina" oleh tentara, atau diseret-seret pas ospek masuk kuliah IPB: diteriakin Ahong-Ahong, ditanya lu orang Cina ya?

Dari bukit ini, saya dulu pernah diusir oleh tentara penjaga lokasi
Balik lagi ke masalah jalan berdua dengan Engel, saya jadi merasa kalau ia menempuh jalan yang sama dengans saya. Saat pulang ke Kao, bandara kami jadi berbicara, walau tidak lama tapi jadi membuka diri saya yang sangat tertutup. Selama ini saya survive dengan berpikir dan diam. Saya tidak mempunyai penguatan-penguatan dari Gereja, komunitas sesama Cina atau apapun. Bisa dibilang saya bekerja sendiri, dan sering merasa tidak peduli kata orang. Tapi benarkah saya tidak peduli kata orang?

Di Cimande, pernah ada bercandaan dari staf, sesama teman kantor waktu saya awal masuk ke sana:
 “Burung Gereja kalau mati susah masuk surga ya?” Kenapa? “Sebab Burung Gereja sih.”

 Sedih mendengarnya. Sebab saya tidak pernah bekerja membawa agama, dan tidak pernah terucap dari mulut saya tentang agama saya. Saya sampai dibilang Kristen, Cina murtad oleh staf kantor sebab jarang ke Gereja (Minggu saya sering ke lapang tanpa pernah mengeluh kalau itu waktunya untuk pergi ibadah), tidak makan babi, juga jarang terlihat berdoa. Ya, sebab saya tidak pernah menampakkan simbol apapun dalam bekerja.

Tidak berarti saya tidak mempunyai kasih Tuhan di hati, jika saya tidak pernah menampakkannya secara simbolis. Saya masih dan selalu merindukan Hari Natal tiba, yang saya coba rayakan sendiri di hati saya setiap hari.

Mendengar Engel bicara walau sedikit, saya merasakan hal yang sama. Kami sempat sama-sama bercerita kepada teman kami Uning: seringkali Engel dan saya menggunakan taktik yang sama jika pergi merantau. Menggunakan kacamata hitam (dan bawa buku kalau saya) agar dikira turis, sebab selain turis derajatnya dianggap lebih tinggi dari orang Cina Indonesia, akan diajak bicara bahasa Inggris dan notabene yang tidak bisa bicara Inggris akan menjauh. Lalu, saya tidak akan diteriaki “Cina-Cina..” selama jalan berkacamata tersebut.

Engel bilang, kadang saya sengaja pakai kaos biasa pakai sendal jepit kalau jalan-jalan di kampung biar menyatu lho...

Kata saya.” Kalau kamu pakai baju belel dan celana pendek dan sendal jepit nanti dikira Cina Glodok..” sambil tertawa mentertawakan orang-orang Cina sendiri. Bagi sesama orang Cina, masing-masing Cina ada tuduhannya sendiri-sendiri (nanti saya ceritakan ya kalau sempat).

Nasib Cina pekerja sosial memang agak ironis ya. Dikira punya uang banyak, padahal tidak. Bukan pedagang, tapi dikira pintar dagang. Kadang diminta pindah agama walau bercanda.

Tentang agama pernah dalam suatu sosialisasi di daerah panas di Aceh, seorang prajurit TNI bertanya kepada saya di forum, “Jadi, selain maksud bapak-bapak datang untuk konservasi hutan, apa ada maksud lain datang ke masyarakat ini? Mohon maaf saya di sini untuk menjaga keamanan, karena di daerah lain suka muncul isu-isu yang membuat resah.”

Saya rasa ia merujuk kepada isu “pindah agama dapat uang” yang berhembus beberapa bulan sebelumnya. Isunya sendiri tidak dapat dibuktikan, entah dihembuskan oleh siapa dengan tujuan apa. Saya sih seringnya pasrah saja. Tapi ada kejadian lucu dan menyebalkan menurut saya, waktu agar terlihat berwibawa maka si oknum mengusulkan usulan kegiatan bagi warga kampung untuk peningkatan ekonomi: saya diminta buat Pabrik Sepatu di kampung sana. Lah kenapa jadi Pabrik Sepatu, apa karena saya mukanya pengusaha?

Untung Pak Mukim membela saya: Pak Indra, itu orang yang ga tau apa-apa dan bodoh masa minta bikin Pabrik Sepatu sih di sini? Yuk kita ngopi aja daripada mikirin orang bodoh itu...

Mau muslim, cina, kristen, budha, aceh, batak kalo bodoh ya bodoh, kalo baik ya baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar