Mungkin ini tulisan pertama saya dari yang akan saya tulis
nanti di masa mendatang. Saya tahu mengapa saya menulis ini, tapi butuh belasan
tahun sampai saya merasa perlu menuliskannya. Saya rasa karena salah satunya
adalah saya ingin banyak orang mengetahui perasaan saya.
Saya ingin bercerita dari sudut pandang saya sebagai seorang
keturunan Cina, yang lahir di Bogor. Umur saya sekarang 35 tahun lebih dan
bekerja di sebuah LSM lingkungan kecil di Bogor. Berbeda dengan tulisan-tulisan
saya yang lain, untuk tulisan-tulisan ini saya ingin bercerita dari sebuah sudut pandang
yang titik matanya ada di bagian hati saya di sudut. Sehubung ini bagian
pertama, biarlah saya bercerita dari yang baru terjadi kemarin.
Selama saya bekerja di LSM lingkungan di Bogor, saya tidak
banyak menjumpai keturunan Cina (saya akan langsung memakai kata Cina di
paragraf lainnya) yang jadi aktifis sosial atau lingkungan. Rasanya nama yang
familiar dengan saya bisa saya hitung dengan jari di satu tangan, artinya
kurang dari lima. Mungkin ada juga yang bekerja di lembaga internasional, namun
yang bekerja di lembaga lokal sedikit. Pada saat saya berkata yang saya kenal
jumlahnya sedikit, artinya karena saya jarang melihatnya.
Kemarin saya melakukan fasilitasi di acara anak muda di
Tobelo, Halmahera dan saya bertemu dengan Engelina, dan ini pertama kalinya
saya berpartner dengan keturunan Cina juga. Hati saya diliputi perasaan senang, bangga
dan khawatir.
Kamu tahu kenapa khawatir? Sebab dari dulu saya menghindar
berkawan dengan sesama Cina. Memelihara diri sendiri saja sudah susah di
lingkungan masyarakat yang sering mendiskriminasi saya secara langsung ataupun tidak langsung,
apalagi jika berjalan dengan yang lainnya saya pikir. Mengurus diri sendiri
saya bisa lebih fleksibel, tapi kalau berjalan berdua? Biarlah berjalan bersama
Cina lain cukup di lingkungan yang aman tentram misalnya di Jakarta.
Sedih ya... saya masa sampai berpikir begitu? Karena sudah
jamak dulu di masa kecil kalau berjalan saya dipanggil “Cina, Cina..” sambil
ditunjuk-tunjuk oleh anak kecil. Atau mereka menirukan cara orang Cina
berbicara,” Cing cang cong cing cang cong..”
Bagi saya itu sungguh menghina, dan hinaan ini masih saya
terima jika berjalan di kampung sampai sekarang. Sudah dewasa tetap juga
dikata-katai seperti itu. Terakhir terjadi 3 bulan lalu saat berjalan melewati
sebuah SD di Caringin. Jadi hal ga lucu ini masih terjadi kok sampai sekarang, di jaman 17 tahun setelah tahun 1998.
Mungkin yang meneriakkan merasa lucu, dan tidak bermaksud
menghina. Tapi saya yang punya pengalaman-pengalaman buruk dibedakan karena ras
tahu ada sebab dibelakang itu semua. Dari pembedaan NEM antara yang Cina dan bukan waktu masuk SMP, permintaan SBKRI, tidak lulus calon PNS walau berkas lengkap tanpa alasan apapun, dan lain-lain. Ini yang tidak langsung. Yang langsung ya dikatain "Pergi lu Cina" oleh tentara, atau diseret-seret pas ospek masuk kuliah IPB: diteriakin Ahong-Ahong, ditanya lu orang Cina ya?
Dari bukit ini, saya dulu pernah diusir oleh tentara penjaga lokasi |
Di Cimande, pernah ada bercandaan dari staf, sesama teman kantor
waktu saya awal masuk ke sana:
“Burung Gereja kalau mati susah masuk surga
ya?” Kenapa? “Sebab Burung Gereja
sih.”
Sedih mendengarnya. Sebab saya tidak pernah bekerja membawa
agama, dan tidak pernah terucap dari mulut saya tentang agama saya. Saya sampai
dibilang Kristen, Cina murtad oleh staf kantor sebab jarang ke Gereja (Minggu
saya sering ke lapang tanpa pernah mengeluh kalau itu waktunya untuk pergi
ibadah), tidak makan babi, juga jarang terlihat berdoa. Ya, sebab saya tidak
pernah menampakkan simbol apapun dalam bekerja.
Tidak berarti saya tidak mempunyai kasih Tuhan di hati, jika
saya tidak pernah menampakkannya secara simbolis. Saya masih dan selalu
merindukan Hari Natal tiba, yang saya coba rayakan sendiri di hati saya setiap
hari.
Mendengar Engel bicara walau sedikit, saya merasakan hal
yang sama. Kami sempat sama-sama bercerita kepada teman kami Uning: seringkali
Engel dan saya menggunakan taktik yang sama jika pergi merantau. Menggunakan
kacamata hitam (dan bawa buku kalau saya) agar dikira turis, sebab selain turis
derajatnya dianggap lebih tinggi dari orang Cina Indonesia, akan diajak bicara
bahasa Inggris dan notabene yang tidak bisa bicara Inggris akan menjauh. Lalu, saya
tidak akan diteriaki “Cina-Cina..” selama jalan berkacamata tersebut.
Engel bilang, kadang saya sengaja pakai kaos biasa pakai
sendal jepit kalau jalan-jalan di kampung biar menyatu lho...
Kata saya.” Kalau kamu pakai baju belel dan celana pendek
dan sendal jepit nanti dikira Cina Glodok..” sambil tertawa mentertawakan orang-orang
Cina sendiri. Bagi sesama orang Cina, masing-masing Cina ada tuduhannya
sendiri-sendiri (nanti saya ceritakan ya kalau sempat).
Nasib Cina pekerja sosial memang agak ironis ya. Dikira
punya uang banyak, padahal tidak. Bukan pedagang, tapi dikira pintar dagang.
Kadang diminta pindah agama walau bercanda.
Tentang agama pernah dalam suatu sosialisasi di daerah panas
di Aceh, seorang prajurit TNI bertanya kepada saya di forum, “Jadi, selain
maksud bapak-bapak datang untuk konservasi hutan, apa ada maksud lain datang ke
masyarakat ini? Mohon maaf saya di sini untuk menjaga keamanan, karena di
daerah lain suka muncul isu-isu yang membuat resah.”
Saya rasa ia merujuk kepada isu “pindah agama dapat uang”
yang berhembus beberapa bulan sebelumnya. Isunya sendiri tidak dapat
dibuktikan, entah dihembuskan oleh siapa dengan tujuan apa. Saya sih seringnya pasrah saja. Tapi ada
kejadian lucu dan menyebalkan menurut saya, waktu agar terlihat berwibawa maka
si oknum mengusulkan usulan kegiatan bagi warga kampung untuk peningkatan
ekonomi: saya diminta buat Pabrik Sepatu di kampung sana. Lah kenapa jadi
Pabrik Sepatu, apa karena saya mukanya pengusaha?
Untung Pak Mukim membela saya: Pak Indra, itu orang yang ga
tau apa-apa dan bodoh masa minta bikin Pabrik Sepatu sih di sini? Yuk kita
ngopi aja daripada mikirin orang bodoh itu...
Mau muslim, cina, kristen, budha, aceh, batak kalo bodoh ya bodoh, kalo baik ya baik.
Mau muslim, cina, kristen, budha, aceh, batak kalo bodoh ya bodoh, kalo baik ya baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar