Sabtu, 27 Juni 2015

Cahaya dari Danau Gelap


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Awesome Journey". Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan nulisbuku.com


 Cahaya dari Danau Gelap 


Aku sering pergi mengikuti ayah, yang hidupnya selalu bergaul dengan tanaman dan serangga.  Ia seorang peneliti yang kerap kali mengorek-ngorek binatang kecil di balik kulit kayu, di bawah serasah tumpukan daun. Segala kegilaan ini rupanya juga turun kepadaku. Aku juga tertarik pada tumbuhan, dan  semua binatang. Ini lebih seperti persoalan naluri, sebab sejak SD dengan mudah aku menghafal nama latin, dan dapat melihat hubungan antar fenomena alam. Cukup membaca sekali misalnya, aku langsung hafal kalau Rhinoceros sondaicus (Badak Jawa) jumlahnya hanya sekitar 60 ekor saja di dunia, dan mereka amat peka terhadap bau dan suara sehingga sangat sulit dijumpai di alam liar.
Sejak lulus SMA aku memutuskan untuk ikut ayahku, seorang ahli botani, begitu sebutan bagi orang-orang yang ahli di dunia tumbuh-tumbuhan. Ini bukan liburan. Aku memutuskan untuk menunda kuliah, setelah tamat sekolah menengah atas. Ayahku bilang, lebih penting mengenal dan merasakan kehidupan, agar menjadi orang yang benar. Ya, ia dan ibu sering mengatakan itu kepadaku. Mereka menekankan betapa pentingnya pendidikan, namun tidak seperti anak lain, aku beruntung memiliki orang tua yang melihat proses pendidikan tidak hanya dari sisi belajar di sekolah.

Di sinilah sekarang aku berada, di atas sebuah perahu di Sungai Kapuas yang lebar yang terletak di Kalimantan Barat. Ayah mengajakku melakukan ekspedisi pengumpulan sampel tumbuhan  di wilayah Kapuas Hulu. Bagian hulu terdiri dari sungai-sungai kecil yang berasal dari berbagai titik di hutan dan sekitar Pegunungan Muller Hilir, yang membatasi Kalimantan Barat dengan wilayah Serawak, Malaysia. Menurut beberapa sumber, panjang Sungai Kapuas sendiri kurang lebih 1.143 km. Sungai Kapuas di wilayah hilir cukup lebar dan dalam sehingga bisa dilewati kapal-kapal besar yang membawa kayu atau pasir, namun makin ke hulu makin kecil dan kebanyakan berupa cabang sungai. Beberapa cabang sungai ini bisa muncul saat musim hujan, dan menghilang saat musim kemarau tiba. Sungai meluas dan mengecil juga tergantung musimnya.
Berjenis-jenis ikan endemik Kapuas
Menurut Jimbong, pendamping lokal yang sering menemani ayah ke hutan di sini, ikan-ikan akan bertelur di dahan-dahan dan rerumputan saat musim hujan, saat air meluap dan membuat cabang sungai baru. Serangga-serangga yang terjebak banjir tahunan menjadi asupan bergizi bagi bermacam-macam jenis ikan, dari toman hijau (giant snakehead)  keluarga gabus seberat 10 kg sampai siluk (red arowana) yang sangat indah dan mahal.
“Anaknya 7 cm dijual 3 jutaan, Mas!” Jimbong menjelaskan tentang ikan siluk. Makhluk periang ini adalah temanku, dan ia sangat pandai menjelaskan tentang kehidupan hutan.  
---
Setelah 2 minggu di Desa Jongkong Kiri (Joki), ayah memutuskan untuk pergi lebih jauh lagi, ke arah dalam yaitu menuju Danau Sehubung. Aku sangat gembira sebab selain melihat lokasi yang lebih misterius, aku juga mulai bosan di Desa Joki ini. Danau Sehubung adalah danau lindung terpencil, bahkan bagi masyarakat setempat. Tempat misterius ini luasnya  sekitar 100 hektar dan tak pernah kering bahkan saat kemarau, karena mendapat pasokan air terus menerus dari berbagai sungai kecil di sekitarnya.  Luasannya akan membesar beberapa kali lipat saat musim hujan tiba.
Dengan perahu sampan bermotor,  kami mulai menyusuri Sungai Kapuas Hulu menuju Danau Sehubung. Di sungai yang luas itu, dimana nyaris sejauh mata memandang hanya nampak bentangan air. Permukaan sungai tenang, namun aku dapat melihat nuansa aliran air yang nampak gelap, mengalir dari arah timur.  Semakin mendekati air itu, nyata sekali berbeda dengan air di sekitarnya yang berwarna coklat. Warnanya seperti merah gelap.
“Kita semakin mendekat ke aliran dari Danau Sehubung,” kata Jimbong sambil menunjuk aliran air gelap itu. “Warna merah air ini tanda bahwa aliran air melewati daerah gambut Danau Sehubung. Di tempat seperti inilah ikan siluk liar sebesar 1 meter hidup,” katanya lagi.
Perahu mulai memasuki salah satu cabang sungai yang lebih kecil. Panas yang dirasakan saat berperahu di aliran utama mulai menghilang. Pepohonan besar mulai menutupi cabang sungai tersebut, mengurangi pancaran sinar matahari dan tak lama kemudian keadaan menjadi lebih sejuk. Saat mesin perahu dimatikan, suara kehidupan mulai muncul. Hutan menjadi bernyawa, dan semakin lama semakin ramai. Bahkan di sungai kecil tersebut, bunyi deritan sampan kami seakan menjadi bagian sungai dan hutan. Bunyi kecipak air terdengar, diiringi bunyi siulan burung. Seekor linsang meloncat di dekat tanah berlumpur, mengincar ikan yang terjebak di dekat akar-akaran. Tim kami yang terdiri dari ayah, Jimbong si Melayu, pemilik sampan dan Matius yang berasal dari Suku Dayak, dan aku, mulai berdiskusi mengenai rencana pengambilan sampel yang akan dilakukan.
“Thomas, kamu dan Jimbong akan turun di Danau Sehubung. Kami akan melanjutkan ke arah yang lebih dalam untuk mengumpulkan lebih banyak spesimen tanaman,” kata ayahku.
Danau Sehubung yang gelap dengan permukaan cerminnya
Sekitar 30 menit kemudian, setelah melewati dua perahu nelayan yang sedang memancing ikan sampailah kami di Danau Sehubung. Memasuki danau itu, tiba-tiba aliran air merah kehitaman menjadi sangat tenang. Saking tenangnya, permukaan air nampak memantulkan langit kebiruan dengan awan-awan putih di atasnya secara utuh. Persis seperti sebuah cermin raksasa. Aku merasa agak gamang, mengingat danau itu nampak dalam, terkesan misterius dan agak menyeramkan, akibat warnanya yang merah kehitaman. Aku menduga-duga kedalaman danau itu.
 “Baiklah, kau lihat tepian itu?” Ayah menunjuk sambil bertanya. Aku melihat ke tepi dan tidak melihat apa yang ia maksud.
“Maksud Ayah, kita akan pasang bivak (tenda darurat) di sekitar pohon di tepian danau ini?”
 “Bukan, bukan itu. Lihatlah lebih jeli pos itu.” sambil tangannya menunjuk sebuah lokasi. Aku melihat titik kecil seperti pondokan. Itu satu-satunya wilayah yang akan nyaman jika ditempati, sebab tidak seperti bayanganku sebelumnya tentang danau. Danau Sehubung  tidak punya pantai indah berpasir. Yang dimaksud tepian hanyalah pepohonan rapat yang mungkin dekat dengan tanah, tapi masih tetap terendam air. Tidak nampak ada pijakan tanah. Pos ini pun nampaknya dibangun di atas tanah yang terendam air. Kami lalu menepi, menurunkan sedikit perbekalan dan memasukannya ke dalam pondokan tersebut. Dermaganya hanya berupa tangga papan yang menjorok ke air, makin lama makin turun. Pondokan itu sendiri berdiri kira-kira 3 meter di atas permukaan air.
Jimbong memberitahukanku saat aku bertanya, “memang sengaja dibuat sangat tinggi sebab danau ini terkadang meluap sedemikian tingginya, sehingga hampir mencapai lantai pondok.” Sungguh tidak masuk di akal ada banjir setinggi itu, menurutku,  namun aku menghormati Jimbong. Ia pasti mengatakannya dengan alasan tertentu.
 “Baiklah bila sudah selesai kami akan pergi lagi. Jaga dirimu baik-baik.” kata ayah, lalu kami berpelukan. Aku sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti ini bersamanya. Jadi perpisahan 3-5 hari ke depan, tidak bermasalah buatku. 
---
Hari-hari pertama, kuisi dengan bersampan di sekitar danau. Danau itu luas sekali. Kurasa aku membutuhkan waktu beberapa hari untuk berkeliling danau, tanpa masuk ke cabangnya. Aku mengumpulkan sampel tumbuh-tumbuhan seperti yang dipesan ayahku. Beberapa yang sudah kukenal, hanya kuambil sedikit. Yang berbeda kuambil lebih banyak. Aku yakin ayahku pasti senang, berharap ia mendapatkan 2-3 tanaman jenis baru, dari ekspedisi ini.
Di siang hari saat panas menyengat, kami mengeringkan ikan yang kami pancing. Atap pondokan yang terbuat dari seng kami manfaatkan sebagai pengering. Ikan toman, gabus, hasil pancingan, kami bubuhi garam sebelum dimasak keesokan harinya. Jimbong seorang koki yang sangat piawai. Ia dapat mengolah semua ikan dengan kenikmatan yang tiada tara. Diberi cabai, bawang, santan, digoreng, berkuah kuning, semuanya bisa ia lakukan. Dengan nasi tanakan yang mengepul, ditambah tumisan rebung muda dan sambal, seluruh sakit kepala, pegal badan akan hilang diganti rasa bahagia.

Di hari ketiga, kami berjalan-jalan agak jauh ke tepian danau yang berhutan. Kami harus berhati-hati sebab tanaman mangrove di sekitar danau memiliki akar-akar yang tajam dan mencuat ke atas, dan bisa merobek sepatu dan telapak kaki kami, bila salah injak. Spesimen yang kami kumpulkan di antaranya, adalah dari tanah berair. Sekitar 50 meter dari danau, tanah baru bisa diinjak. Di situ kami mendapati jenis vegetasi yang berbeda. Kami mulai berjalan menapaki tanah sambil mengumpulkan beberapa sampel dan memotret keadaan di sekitar.
Menjelang sore, kami berjalan kembali ke arah sampan dilabuhkan. Perjalanan pulang sama seperti tadi, namun terasa lebih panjang. “Rasanya kita tidak melewati tempat ini tadi,” kataku kepada Jimbong.
“Ya kita melewati lokasi ini, lihat pepohonan bongkok itu.”
“Tapi daerah ini tidak berair tadi, rasanya.”
Jimbong berpikir sebentar, kemudian ia berkata, “kau benar, tadi bagian hutan ini tidak basah. Sekarang basah. Itu bisa berarti bahwa ada banjir di danau ini. Biasanya di bulan ini, banjir tahunan belum datang. Tampaknya ia datang lebih awal.”
Kami melanjutkan perjalanan, dan air memang nampak lebih tinggi dari biasanya. Kami segera naik sampan yang terletak menjauh lebih ke tengah. Di air gelap itu, kami berenang menuju sampan. Rasa agak khawatir mulai muncul walau air hanya sampai sepinggang. Aku tidak tahu, air gelap ini menyimpan apa. Di sampan, di kejauhan kami melihat awan gelap menyelimuti bagian barat hutan.
“Nampaknya malam ini dan hari berikutnya akan turun hujan. Banjir tahunan akan segera datang.” Jimbong nampaknya juga agak khawatir. “Sebaiknya kita kembali ke pos, menunggu kabar dari orang tuamu.”
Di sore itu kami mengikatkan sampan agak tinggi, sebab tahu permukaan danau akan segera meninggi. Apabila terlalu rendah, kami khawatir sampan akan putus dan terhanyut. Kami tidak bisa kemana-mana tanpa sampan.  Aku berbicara dengan Jimbong. Akhirnya kami memutuskan sampan akan diikat ke bagian paling atas dari pondok itu.
“Apakah kau pernah mengalami banjir tahunan seperti ini, Jim?” tanyaku sambil memandangi air danau di kejauhan. Dengan awan gelap yang mendekat, aku tak bisa membayangkan hujan macam apa yang akan mendekat.
“Pernah, hanya di kampungku  tidak di tengah danau seperti ini. Kami selalu dinasehati orang tua agar menghindari sungai apabila terjadi banjir. Ayahmu pun tahu itu. Ia pasti akan menginap di perkampungan Dayak terdekat, dalam keadaan seperti ini. Sayang kita tidak bisa menghubunginya dengan telepon genggam di lokasi ini.”
“Aku tak menduga banjir datang secepat ini. Cuaca semakin sulit ditebak beberapa tahun terakhir ini. Inikah yang dimaksudkan perubahan iklim?” Jimbong bertanya kepadaku.
“Ya, kau benar. Di suatu daerah bisa mengalami kekeringan, sementara di daerah lainnya hujan lebat. Siklus angin, hujan berubah. Siklus banjir berubah.”
Kami melewati sore itu dengan menikmati gulai ikan buatan Jimbong, di atas piring kaleng sambil meyalakan radio. Suara kresek-kresek menemani kami di antara lagu-lagu Melayu.
---
Malam hari,  jatuhan hujan pertama membuat suara-suara di atap seng. Makin lama makin keras, bunyinya seperti hujan peluru. Angin kencang mulai berembus. Kami menyenter  permukaan danau yang mulai bergolak. Untunglah kami berada 3 meter di atas permukaan air, sehingga hati kami pun agak tenang. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan selain bercerita. Jimbong bercerita tentang cerita-cerita jaman dahulu, mengenai kedekatan orang Melayu dengan sungai dan hutan. Hujan tetap turun sepanjang malam, dan kami makin lama makin mengantuk lalu tertidur.
Keesokan pagi, saat aku melihat keluar, betapa terkejutnya aku. Dasar panggung pos yang tadinya berdiri 3 meter di atas permukaan air, semakin dekat ke air. Jaraknya tinggal 2 meter saja. Kami tidak keluar hari itu, karena hujan masih juga turun. Aku mengisi siang itu dengan bercerita kepada Jimbong tentang sekolahku. Jimbong heran, mengapa aku tidak melanjutkan sekolah. “Jika aku berkesempatan sepertimu, tentu aku akan sekolah lagi. Kami di kampung rela berpisah, agar bisa menikmati pendidikan. Pendidikan adalah martabat bagi kami di kampung.”
Hujan tetap turun sampai sore itu, agak mengecil namun tidak berhenti. Kami lalu tidur sore itu.
Malam harinya, saat aku menengok permukaan danau, nampak kalau jaraknya sudah lebih dekat lagi. Hanya tinggal 1 meter lebih. Aku cukup panik, dan Jimbong pun juga panik. Kami merasa tidak aman berjarak terlalu dekat dengan danau yang airnya berwarna merah gelap. Malam itu kami memasang obor di sekitar pondok. Kami merasa lebih tenang, sebab nyala obor menerangi sedikit permukaan air sehingga bisa memperkirakan permukaan air yang terus naik.
Di tengah malam, terdengar suara derak kencang. Aku kaget sekali,  lalu bangun dan melihat Jimbong sudah terbangun. Kami saling menatap, merasa bingung dan takut.
“Ambil senter!” Kami menyenter keluar, dan mendapati  sampan telah terjepit papan bagian atas. Air naik sangat tinggi hampir menyentuh lantai pondokan. Tinggal beberapa jengkal lagi! Walau hujan kecil, namun tampaknya di hulu sana hujan tetap turun, dan membawa banjir ke danau ini.
“Naik ke sampan!” seruku kepada Jimbong. Aku tahu, mungkin beberapa menit atau jam, lantai pondokan akan tergenang air. Khwatir  pondok akan tenggelam, cepat-cepat kami memasukkan barang-barang yang kami anggap perlu; selimut, air, makanan jadi, ponco, dan lain-lain. Malam itu kuputuskan tidur di atas sampan yang masih terikat pada pondok. Senter kumatikan. Diiringi bunyi gemericik air yang menerpa sampan, kami berdua  termangu di kegelapan. Hujan mulai berhenti, dan angin juga sudah tidak bertiup kencang. Aku merasa cemas. Langit nampak kelam tanpa bintang, dan aku merasa danau ini akan menelanku hidup-hidup. 
Tiba-tiba, “Astagfirulah!” seru Jimbong sambil menunjuk pinggiran sampan. Kelap-kelip nampak dari dalam air. Warnanya biru dan merah.  Aku juga terkejut, menjadi kagum dan penasaran. Walau nampak tidak begitu jelas, aku melihat kumpulan ikan di dalam air yang memancarkan sinar terang biru dan merah, bagai pendaran kembang api tengah malam, tanpa suara. Kumpulan ikan  tampak seperti menari-nari. Bentuknya kecil, seperti ikan sepat. Saat kusenter, pendaran itu hilang. Mungkin mereka terkejut, namun mereka muncul lagi saat senter kumatikan.
“Apa ini Jim?”
“Tidak tahu, aku tidak pernah melihat ini seumur hidupku.”
Aku berpikir keras. Tidak pernah ingat ada jenis ikan seperti itu yang hidup di danau. Ikan yang melakukan bioluminessence biasanya hanya terdapat di gua yang tidak masuk cahaya matahari, atau di laut yang sangat dalam. Tapi tidak di air tawar yang terbuka seperti di danau ini. Jumlahnya mungkin ratusan. Danau nampak dihujani letusan kembang api merah dan biru dari dalam air.
Aku memotret sebanyak-banyaknya keajaiban ini, menduga ini adalah tarian perkawinan, sebab mereka nampak berpasang-pasangan. Dua jam kemudian tarian itu sepertinya berakhir, dan cahayanya memudar hilang satu demi satu. Aku tidak bisa tidur sampai pagi memikirkannya., lalu berbicara dengan Jimbong mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada. Sayang, ia tidak bisa memberikan penjelasani lebih banyak tentang kejadian ini. Dugaanku, mungkin kejadian ini berkaitan hanya dengan Danau Sehubung dan amat jarang terjadi.
Pagi hari,  saat matahari mulai muncul, aku masih berpikir, mungkinkah ini spesies ikan baru yang belum pernah ditemukan? Apakah mereka berasal dari bagian sebuah gua di dalam tanah yang bermigrasi saat musim banjir tiba karena terbukanya gua mereka untuk melakukan perkawinan, atau mungkinkah danau ini punya hubungan ke laut lepas, somehow?   
Di kejauhan ayah datang bersama sampan. Ia nampak tenang  melihatku masih di atas sampan yang terikat di pondok. Pondok kami tidak  jadi tenggelam, tinggal 30 cm dan air mulai sedikit turun, mungkin sampai mencapai ketinggian normal di musim hujan nantinya. Di kampung terdekat aku berusaha mencari tahu tentang ikan berpendar ini pada masyarakat setempat.

“Aku tidak tahu ikan seperti apa itu Thomas, apa memang ada ikan seperti itu?” seorang tua malah menanyakan balik kepadaku. “Untunglah kau dilindungi oleh penunggu sungai.” kata yang lain, prihatin dengan kejadian banjir di sungai yang kualami. Bagian ini umumnya lebih menarik bagi mereka. Cerita ikan berpendar mungkin kurang masuk akal bagi mereka.
---
 Aku menghabiskan waktu seminggu lagi di lokasi tersebut tanpa pernah menemui kejadian serupa, lalu pulang ke Jakarta karena tugas ayah sudah selesai.
Ayah menyarankanku untuk bertanya pada jaringan komunitas ilmiah karena ia sendiri tidak bisa menjelaskan tentang kejadian yang kualami secara spesifik. Cerita ikan berpendar tersebut kudiskusikan di mailing list biologi, dan banyak tanggapan dan teori yang mereka diskusikan denganku termasuk referensi-referensi dari jurnal ilmiah luar negeri, namun tidak ada yang memuaskan keingin tahuanku.
Tiga bulan telah berlalu.  Akhirnya aku tahu apa yang harus aku lakukan. Terima kasih atas banjir besar tersebut. Sekarang aku tahu akan memilih jurusan apa tahun depan, saat akan memulai kuliah nanti.  Bahkan aku sudah tahu topik penelitian apa yang akan aku ambil tiga tahun setelahnya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar