Sudah seminggu lebih saya di Aceh. Dimulai di Banda Aceh
pada perjalanan pertama, dan kemudian masuk ke Mukim Cubo dan Mane pada
perjalanan kedua. Buat saya yang dari Jawa Barat, agak sulit menghapal pada
awalnya nama-nama desa (gampong) disini karena kata-katanya yang baru pernah
saya dengar. Namun rasanya orang Aceh sekalipun kalau menghapal kata peuyeum,
ciherang, jampang kulon sama payahnya seperti saya menghapal kata blang sukon
(nama gampong), kreung (sungai) dan inong (perempuan). Sama-sama lah.
Pagi sekitar jam 8 pagi... kabut belum naik |
Saat ini saya sedang santai di pos FFI (lembaga yang ajak
saya datang). Jam 18.40an, cuaca masih terang seperti baru jam 5 sore (suasana
masih terang keemasan di sini). Saya memang sedang berada di suatu daratan
tinggi, Gampong True Cut di Mukim Lutueng Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie. Jam
8 pagi kabut masih belum naik di depan rumah, menghalangi pandangan samar-samar
walau matahari sudah tinggi. Jam 9 pagi, saat mulai berjalan menjumpai
masyarakat terlihat puncak-puncuk gunung, bagian dari pegunungan Bukit Barisan
tertutup awan rendah kalau tidak bisa dibilang kabut.
Sungguh suasana indah
yang jika saja saya diberi kesempatan, saya bersedia tinggal mengeksplorasi
gampong ini.
Sayang niat saya untuk berjalan-jalan terhalang himbauan
kawan-kawan. Kelompok Din Minimi, sempalan dari bekas GAM sedang dicari, karena
diperkirakan sedang berada di daerah Pidie. Menurut informasi, diperkirakan
jumlah personel berkisar 40 orang.
Kami sempat melewati dimana 3 anggota kelompok tertembak, di
sekitar Sigli, Kabupaten Pidie Jaya sekitar 3 jam perjalanan dari tempat kami.
Ehm... isi absen dulu ah |
Anggota TNI, dengan balok satu dua setrip beserta
komandannya keluar masuk ke acara kami, saat kami (saya dan Nia) memberikan
informasi, menjelaskan mengenai tema perubahan iklim di Gampong sebelah,
Lutueng. Ia memperlihatkan pesan SMS: katanya setiap pertemuan perlu dikawal- 2
orang tidak bawa senjata, 2 orang bawa senjata laras panjang. Tak urung
kelakuan mereka menjadi perhatian peserta dan masyarakat Lutueng.
Tapi kok kalau mengamankan, mengisi absen juga dan menerima
uang transportasi ya (sesuai dengan masyarakat, Rp 30rb untuk setengah hari)?
Lalu mengapa pasang tampang sok serius sambil bawa senjata laras panjang di
acara kami, sambil nanya anggarannya berapa?
Nia dan saya juga diminta mengisi nama lembaga, jabatan dan
dipotret beberapa kali untuk lapor komandan nanti.
Anyaway butt way, saya sore harinya jadi menonton kembali
film-film yang sudah saya download via youtube tentang Aceh (sebagai
profesional, saya melakukan riset dulu sebelum bepergian agar mengerti kemudian
dalam perjalanan apa yang saya alami). Filmnya: The Black Road (Perjuangan
Aceh), The Aceh War (1873-1914), Pelanggaran HAM di Aceh (Pasca Operasi Jaring
Merah).
Kenapa saya menonton film tersebut? Ini alasannya:
- Lagi mati listrik (laptop tapi belum mati dan lagu2 saya sudah bosan dengar)
- Sebel dengan kelakuan orang TNI yang saya rasa mencoba mengintimidasi kami sesuai kebiasaan purbakala bodoh mereka
- Saya merasa menjadi semakin dekat dengan teman-teman Aceh
- Mencoba memahami perjuangan mantan GAM yang ditinggalkan teman-teman mereka, yang sekarang malah berkoalisi dengan parpol Jawa. Apalagi saya eneg benar bahwa ada wakil gubernur yang sekarang jadi jurkam Prabowo komandan Kopasus yang memporak porandakan Aceh
Setelah nonton, saya makin kesel melihat keadaan di Aceh
yang bahkan menurut pendapat teman saya, Mahrizal pada saat saya menanyakan apa
yang dibayangkannya tentang Aceh 10 tahun mendatang.
Aceh memiliki alam yang mempesona. Bukit-bukit, sungai berbatu dan air yang biru di Tangse |
Jawabnya: mungkin tambah kacau, atau bisa perang saudara.
Daerah subur, berhutan indah, sungai berkelok-kelok dan
berpenduduk yang sebenarnya biasa-biasa ini kok dicabik-cabik politik jahat ya?
Sementara petani kecil di sawah ketakutan, saat orang bersenjata bertanya nama,
pernah melihat si ini si itu, tinggal di mana?
Bah. Saya tdak tahu jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar