(Sayang ah dibuang tulisannya hehe... sori ngulang cerita-cerita sebelumnya, ini tulisan singkat buat publikasi terbatas - sori bahasanya agak formal)
Saya pikir sebagian dari kita pernah tahu sebuah permainan balok-balok plastik kecil berbagai ukuran dan bentuk yang bisa dipasang-pasangkan, dilepas kembali dan dinamakan Lego. Atau barangkali bagi yang belum pernah memainkan Lego mendapati ada permainan sejenis – yang memainkannya seperti Lego – baik dengan menggunakan balok kayu ataupun plastik, karena saya menemukannya juga (buatan Cina), dijual oleh si mamang di depan SD Sempur di Bogor.
Saya pikir sebagian dari kita pernah tahu sebuah permainan balok-balok plastik kecil berbagai ukuran dan bentuk yang bisa dipasang-pasangkan, dilepas kembali dan dinamakan Lego. Atau barangkali bagi yang belum pernah memainkan Lego mendapati ada permainan sejenis – yang memainkannya seperti Lego – baik dengan menggunakan balok kayu ataupun plastik, karena saya menemukannya juga (buatan Cina), dijual oleh si mamang di depan SD Sempur di Bogor.
Lego adalah permainan menarik, terutama bila biji-biji
baloknya banyak (kalau sedikit mainnya tidak asyik). Kita dapat menyusun
balok-balok tersebut jadi rumah, mobil, pesawat, gedung, jembatan dan berbagai
hal lainnya, dan bila sudah selesai kita dapat memilih apakah meletakkan ciptaan
kita di dalam etalase; atau kemudian membongkarnya kembali untuk dijadikan
ciptaan kita yang lain lagi nantinya. Itulah kekhasan permainan Lego, dengan
balok yang sama kita dapat menciptakan banyak hal berbeda. Dapat dicabut dan
dipasang kembali. Jadi buat anak-anak yang pembosan, Lego adalah sebuah
permainan yang menantang.
Yang dibutuhkan hanyalah imajinasi.
Maket downtown di Shangai Urban Planning Exhibition Center, maket seluas 1 lantai |
Di saat kota lain seperti Jakarta susah payah membereskan
persoalan angkutan metromini (yang mengepulkan asap kehitaman di belakangnya),
banjir yang merendam Perumahan Kelapa Gading dan Kawasan Bisnis Sudirman, lahan
hijau yang dijadikan SPBU dan tiang-tiang pancang Monorel yang menganggur sudah
hampir 2 periode gubernuran maka Shanghai adalah sebuah dream come true.
Bagaimana tidak, setelah berjibaku selama 20 tahun – menurut
sang Profesor, melalui training APLP (Asia Pasific Leadership Programme) di
Shanghai, 4-8 Juni 2012 kemarin – maka sampailah Shanghai pada tahapan seperti
saat ini.
Sepeda, efisiensi biaya dan energi di pinggir jalan |
Tidak
saya temukan kemacetan yang serius, kecuali sedikit
terhambat saat berkendaraan di sekitar kawasan pertokoan. Manusia
berlalu
lalang dengan menggunakan sepeda atau motor listrik, selebihnya
menggunakan
kereta subway yang selalu tepat waktu dan berbiaya murah, setiap 3-5
menit dan
dengan jaringan yang amat kompleks menjangkau hampir seluruh kawasan
Shanghai.
Mau turun dari pesawat, lalu melanjutkan naik subway sampai ke hotel pun
sudah
tersedia jalurnya. Tinggal jalan 5 menit sampailah saya ke hotel, ga
perlu diserempet metromini dan dipalak ma pengamen jalanan.
Pembicaraan mengenai green economy sebenarnya tidak terlalu
menarik minat saya. Isu sustainable development seringkali dilihat oleh saya
dari kacamata lingkungan, advokasi serta pendidikan lingkungan. Isu renewable
energy sebelumnya saya lihat dari kemampuan masyarakat untuk memproduksi briket
dari gabah atau serbuk kayu, dan saya sering menghindari pembicaraan mengenai
penggunaan listrik, energi angin atau penggunaan lampu LED. Sorry, saya bukan
orang teknik sebab dulu kapok diberi nilai 6 saja oleh guru elektronik dan
fisika saya di SMA, yang ngajarnya semena-mena dan tidak peduli perasaan murid
saat mengajar.
Mau tidak mau saya jadi tertarik persoalan green economy dan
renewable energy ini, setelah mengikuti pelatihan. Saya mulai tertarik
berpikir ke arah desain dan arsitektur juga, sebab saya melihat rumah-rumah
dengan dinding vertikal yang diisi oleh tanaman bukan rambat di sisi-sisinya, gedung
dengan lorong yang diterangi oleh lampu LED yang hemat energi, sampai penghematan
lahan perkotaan dengan kebijakan pembangunan gedung vertikal.
Sedangkan pada sisi transportasi, Shanghai berada pada
perkembangan yang baik dilihat dari penggunaan sepeda dan motor listrik
dimana-mana, transportasi masal yang ramah lingkungan dan mengurangi kemacetan
sampai titik maksimal.
Really sophisticated banget pokoknya jika dilihat dari sisi
keinginan untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan.
Saya kemudian mencoba mencari penduduk dengan tingkat
kemiskinan tinggi, sebab saya pikir pasti pembangunan seperti ini memakan
korban masyarakat miskin, tergusur atau terlantarkan. Namun alhasil saya agak
kecewa sebab hanya menumkan 1-3 pengemis yang sedang duduk dan tidur di dekat
gedung dan pertokoan yang mewah. Sampai kepulangan saya, saya belum berhasil
menemukan kawasan slum area dan membuat saya menarik kesimpulan bahwa ada
kemungkinan para penduduk miskin sudah ditempatkan secara baik pada
gedung-gedung apartemen, atau bertempat tinggal di desa di luar kota Shanghai.
Ga sempat tahu....
Keseriusan pemerintah Cina, juga ditunjukkan bukan hanya
dengan pembangunan saja – khas Legoland, maka pemerintah juga berani membongkar
pasang bangunan. Percaya atau tidak, jalan layang dengan panjang kilometer juga
dibongkar untuk dijadikan kawasan yang lebih tertata dan hijau. Kalau sempat
jalan di Jakarta, di Jalan Gatot Subroto – bayangkan saja kalau pemerintah DKI
berani membongkar jalan layang di atasnya dan membuat pemukiman hijau. Ngimpi
kali ye, apalagi ma Bang Foke, anaknya Bang Yos yang jadi Gubernur... Mikirin
manjangin kumis terus seh dia...
Yah beruntunglah saya, sudah dipilih mewakili Indonesia di pelatihan
ini dan dibiayai oleh Hanns Seidel Foundation... Secara presentasi materi, memang
profesor-profesor di Univeristas Tongji ini mendapatkan keluhan mengenai isi
dan metode mengajarnya. Too much data, should be presented more efficient, low
interaction dll – tapi di lain sisi, apa yang dijelaskan bila diperhatikan
lebih lanjut dapat dihubungkan dengan jaring-jaring kecil, seperti yang
seharusnya sudah didapat lewat pelatihan ini – with Compas perspective begitu
kata Robert Steele, mentor ESD (Education for Sustainable Development) saya
disini.
Kudu ada NSEW (Nature, Social, Economy, Well Being) ceunah,
kata Robert. Nah, maybe kalau dijelaskan metodenya semua mengerti, namun pahamkah juga kalau di
kehidupan sehari-hari bahkan kita harus jeli melihat bahwa jaring-jaring tipis
ini juga sebenarnya ada di hal-hal yang bahkan kita tidak sukai? Dari pelatihan
di Dunia Legoland, Indra melaporkan.