Lalu berangkatlah kami, menggunakan kereta api kelas murah "Bengawan". Walau sudah banyak perbaikan dibanding kereta waktu jaman saya mahasiswa, yang penumpangnya sampe tiduran nyelusup ke kolong bangku tetep naik kereta ekonomi pegel2 badan sebab tempat duduknya lurus dengan punggung kita, persis kaya papan tanpa desain bantalan apapun.
Masih tentang tempat duduk dan bantalan, yang aneh adalah petugas KA lalu menawarkan bantal kotak segiempat kepada para penumpang. Saya mikir, buat apa ya pake bantal kotak itu? Ditaro di punggung akan memperkecil ruang senderan tanpa beri utilitas apapun, lalu kalo ditaro dipantat akan geser2 juga dan cenderung ga enak? Di alam pikiran saya, ada pertanyaan mengapa yang disewakan bukan bantal untuk leher ya? PASTI banyak yang mau pakai?
Saran saya bagi yang pegel2 di bagian pundak dan leher karena posisi yang kurang baik, silahkan gunakan botol aqua yang dibungkus oleh kain sebagai pengganjal pada leher. Botol aqua juga bisa diganti benda lain seperti payung lipat atau yang lainnya. Lumayan efektif untuk mencegah leher dan pundak sakit.
St Lempuyangan di waktu malam |
Habis makan bekel yang dah disiapin ma umi nya Rahma n Dewi (empal plus nasi) kami berjalan keluar. Hari agak hujan rintik2 jadi kami tidak mau ambil resiko jalan jauh dan basah. Walau dari peta terlihat dekat dan saya pernah membaca kalau dari St Tugu (deket Malioboro) jalan ke St Lempuyangan hanya 1 km tapi lokasi penginapan kami ada di ujung jalan Malioboro yang lain. Saya memutuskan untuk mendukung rencana menggunakan taksi karena kemungkinan hujan di jalan tersebut, dan dengan perkiraan biaya sekitar 30 ribuan.
Akhirnya naiklah kami dengan taksi model avanza, karena kami pikir muat orangnya bisa lebih banyak. Nyatanya, kami tetap di charge tambah 10 ribu karena menurut supir taksi 357 (kalo ga salah itu merknya) taksi ini standar 4 orang maksimum, sedangkan kami 5 orang.
Otre sajalah karena kayanya masuk akal.
Kami lalu berkendaraan. Lewat Malioboro, lewat Sarkem (Pasar Kembang), Jalan Bantul dan seterusnya yang tidak saya ingat lagi. Sepanjang perjalanan kami mengkonfirmasi keberadaan penginapan "Deep Purple" yang sudah kami booking. "Gedungkiwo, Pak" Kata Rahma sambil menjelaskan nama jalannya juga, dari WA yang ia terima dari pihak homestay.
Terus terang saya kurang sreg dengan supir yang membawa taksi ini, sebab dari Pasar Kembang mulutnya sudah berceloteh tentang "pasar manusia". Mungkin itu menarik bagi lelaki, tapi ya ampunnn ini kan yang dibawa anak2 ABG? Apa ga bisa menyaring informasi kah? Kedua, supir ini tampak sok ramah tapi gajebo menurut saya. Dia nyanyi-nyanyi ringan di dalam mobil, lalu minta supaya bisa dilihatkan GPS (kebetulan handphone Rahma ada fasilitas tersebut). Alasannya, "Kalau pulsanya ga habis, GPS saya bisa seperti handphone nya Mba."
"Bodo amat" Pikir saya yang sudah negatif sebab memang sering berurusan dengan para pengemudi tranpsortasi saat backpackingan. Ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa dipercaya menurut saya kalau kita berjalan2: tukang beca, tukang ojeg, tukang taksi dan sejenisnya.
Jalan kaki malem2, di sekitar Gedungkiwo nyari homestay |
Setelah beberapa kali salah ambil arah karena tidak pelan2 kami putuskan berhenti di depan warung, membayar sekaligus jalan kaki mencari rumah homestay tersebut. Si supir masih mencoba menahan kami ,"Dicoba yang kiri", Katanya. Terlambat kami (saya terutama) memutuskan keluar taksi, diikuti oleh anak2. Saya khawatir argo terus bertambah seribu dua ribu sepuluh ribu lagi sementara kami berusaha melakukan penghematan.
Akhirnya bayar kalau ga salah Rp 55.000 (sebab tentu saja supir taksi tidak ada pulangan angka ribuan). Tidak beda jauh dengan tawaran supir taksi tembak di St Lempuyangan yang meminta Rp 60.000 untuk sekali jalan antar.
Di perjalanan, saya wanti-wanti mengulangi nasehat saya buat cucu-cucu saya ini, never trust a Taxi Driver regarding my experience elsewhere. Sekitar 5 menitan jalan, sampailah di Deep Purple Homestay yang ga pakai pelang kecuali temboknya yang warna purple seperti yang ia bilang. Pak Sono sudah berdiri di jalan menyambut kami. Horeee...
Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 10 malam waktu itu.
Walau kemudian kami menemukan bahwa perjalanan dari homestay ke Jalan Malioboro cukup jauh (setengah jaman jalan kaki kira2); dari perjalanan kami keesokan harinya, tetep saya kekeuh kalo kita harus berhati-hati kepada orang yang terlalu banyak berbicara, baiknya tidak normal serta berprofesi sebagai pengemudi. Walau kewasapadaan ini sangat berguna, namun saya akan cerita lain kali di part lain kalau ternyata kewaspadaan saya tidak cukup, dan kebobolan juga di hari kepulangang). Tunggu ya part selanjutnya...
Baca selanjutnya:
Taman Sari (Yogya Part 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar