Berjalan-jalan di Petak Sembilan, Glodok adalah menyusuri
kehidupan keturunan Cina di Kota Tua Jakarta. Buat saya yang juga keturunan
Cina dan tinggal di Bogor kawasan serupa juga ada di daerah Suryakencana, Jalan
Roda dan Gang Aut – tapi tidak sebesar dan semeriah kawasan sekitar Petak
Sembilan. Berjalan-jalan di sana, saya seperti kembali ke asal muasal saya –
dari budaya, suasana meriah pasarnya sampai bau hio dari toko-toko sepanjang
jalan, beserta tempelan penolak bala di atas pintu masuk toko yang juga
difungsikan sebagai tempat tinggal.
Petak Sembilan tidak pernah membosankan bagi saya. Biasanya
setelah berbelanja di Jalan Asemka dimana saya bisa membeli barang-barang murah
untuk dijual lagi, saya menyempatkan diri untuk 1-2 jam berjalan-jalan ke Petak
Sembilan jika ada waktu. Dari Jalan Asemka tinggal jalan sekitar 10 menitan
lebih kita sudah masuk kawasan Petak Sembilan, Glodok. Jalan lewat trotoar yang
dihiasi tiruan pohon mei hwa yang berwarna pink, melewati tukang buku loak
dengan bermacam-macam buku bermutu sampailah kita di sebuah jembatan kecil yang
dihiasi tempat sembahyang dengan patung dan hio di tepiannya. Itu tanda kita
sudah memasuki daerah Petak Sembilan.
Buat yang suka makan, daerah ini adalah surganya, dari yang
halal sampai non halal tersedia di sini. Dari masakan rujak juhi (cumi2 besar),
masakan pi-oh (kura-kura, bulus), sekba (babi), mie ayam, cakue medan, bakso,
lo cu pan, rujak shanghai, air perasan tebu, nasi ulam, es potong singapur, bacang,
kopi menghiasi pinggiran jalan. Untuk mencoba semuanya saya pikir kita harus
berkali-kali datang sebab tidak mungkin dalam satu kesempatan mencoba semua
masakan ini. Pandangan pribadi saya, tidak mungkin di pecinan makanan tidak
enak dijual sebab untuk survive berjualan makanan di daerah ini diperlukan
keahlian meracik bumbu tingkat tinggi. Kalau tidak enak, siap-siap gulung tikar
sebab di daerah pecinan para konsumennya adalah pemilih (kaya saya hehehe).
Toko atau restoran tempat jualannya jangan dipikir tempat
mewah ber-AC. Bisa jadi bangunannya malah bersatu dengan tempat tinggal yang
punya, mirip garasi dengan meja dan kursi seadanya... tapi persoalan ini tentu
tidak jadi masalah bagi para penggemar kuliner sejati. Makan di kursi plastik dibarengi
angin dari kipas angin asal mulut dan hati terasa nyaman tentu tidak apa-apa.
Ada beberapa tempat kuliner yang terkenal di Petak Sembilan:
- Kopi Tak Kie yang terkenal dengan es kopi gula / susu. 15
ribuan. Jam 14 sudah tutup ya. Katanya sih kedai kopi tertua di Jakarta sejak
tahun 1920 an.
- Rujak shanghai Encim yang menggunakan rebusan kangkung,
potongan sotong / cumi / juhi ubur2 disiram kuah tomat manis kental. 35 ribuan.
- Bakmi Anggit dengan berbagai masakan chinnese foodnya, lo cu
pan, ifu mie, dll. Mie baso ayam kampung 25 ribuan dengan jamur dan ayamnya
yang meresap bumbunya (keinget ni mie ayam jadi pusing saya nih pagi2 belom
makan).
- Gado-gado direksi dengan bumbu kuah kacangnya yang kental.
30 ribuan. Kalo dimakan siang2 enak kali ya.
|
Rujak Shanghai Encim yang pake juhi, ubur2 n kangkung |
|
Ifu mie nya Bakmi Anggit top banget rasanya |
Di sini juga ada beberapa lokasi wisata sejarah / budaya
selain melihat-lihat rumah-rumah jadul. Menuju tempat tersebut kita tetap bisa dengan
berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit sambil senggol-senggolan dengan
pengunjung lain, sambil lirik-lirik manisan buah dan permen warna-warni yang
dijajakan. Sungguh warna-warni memang kawasan ini. Ini adalah beberapa lokasi
yang patut dikunjungi bila baru pertama kali menginjak kaki di kawasan ini:
- Vihara Dharma Bakti (dibangun 1650 katanya) dan dan
Kelenteng Hian Tan Keng (Vihara Aria Marga)
- Vihara Toasebio di Jalan Kemenangan III no 48 yang dibangun
kembali pada tahun 1751 setelah sebelumnya terbakar.
|
Vihara Toasebio tampak dari depan |
|
Sembahyang di dalam Vihara Dharma Bakti |
Bau hio yang dibakar akan segera menyambut kita saat
mendekati kedua vihara ini. Bila dibandingkan, Vihara Toasebio tampak lebih
modern dibanding Vihara Dharma Bakti dan Kelenteng Hian Tan Keng. Warna merah
dan patung-patung dewa, naga, lampion serta lilin-lilin besar menghiasi bagian
dalam ruangan Vihara.
Menjelang hari Imlek, banyak pengemis berdatangan mengharapkan
mendapatkan angpau dari pengurus Vihara, donasi umat di sana.
|
Permen dan manisan buah di sepanjang Petak Sembilan |
Bila masih sanggup berjalan, sekitar 30 menit dari Petak
Sembilan kita bisa juga mengunjungi cultural heritage Gedung Candra Naya yang diperkirakan
dibangun oleh Khouw Tian Sek (pada tahun 1807) atau anaknya Khouw Tjeng Tjoan
(pada tahun 1867). Gedung ini juga sebelumnya dikenal sebagi Rumah Mayor,
karena didiami oleh Mayor Khouw Khim An (anak dari Khouw Tjeng Tjoan). Jangan
pangling ya... gedung ini letaknya seakan di dalam komplek Green Central City
(komplek pertokoan, kantor dan apartemen). Saya sih agak benci melihatnya:
komplek GCC ini seakan menorehkan noda di Candra Naya... pembangunan kok maksa
banget ya? Jijai saya!
|
Gedung Candra Naya, ditengah himpitan toko dan apartemen |
|
Sejarah Gedung Candra Naya |
Masih kuat? Silahkan jalan lagi ke Gedung Arsip di Jalan
Gajah Mada untuk melihat arsitektur jadul VOC yang dibangun abad 18. Saya sih
sanggup jalaninnya walau kaki kepayahan juga sampai sore bolak-balik
jalan-jalan. Tapi percaya deh, kombinasi jalan – makan enak – melihat budaya
dan kadang ngadem AC di pertokoan Glodok merupakan kombinasi komplit yang
worthed to try di Jakarta.
|
Gedung Arsip Nasional, halaman dalemnya juga keren lho |
How to Get There? Saya orang Bogor, jadi naik kereta dari St
Bogor ke St Kota (5rb 1,5 jam), lalu jalan kaki ke Jl Asemka lalu terus ke
Petak Sembilan (15 menitan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar