Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
"Awesome Journey". Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan nulisbuku.com
Cahaya dari Danau Gelap
Aku sering pergi
mengikuti ayah, yang hidupnya selalu bergaul dengan tanaman dan serangga. Ia seorang peneliti yang kerap kali
mengorek-ngorek binatang kecil di balik kulit kayu, di bawah serasah tumpukan
daun. Segala kegilaan ini rupanya juga turun kepadaku. Aku juga tertarik pada
tumbuhan, dan semua binatang. Ini lebih
seperti persoalan naluri, sebab sejak SD dengan mudah aku menghafal nama latin,
dan dapat melihat hubungan antar fenomena alam. Cukup membaca sekali misalnya,
aku langsung hafal kalau Rhinoceros
sondaicus (Badak Jawa) jumlahnya hanya sekitar 60 ekor saja di dunia, dan
mereka amat peka terhadap bau dan suara sehingga sangat sulit dijumpai di alam
liar.
Sejak lulus SMA aku
memutuskan untuk ikut ayahku, seorang ahli botani, begitu sebutan bagi orang-orang
yang ahli di dunia tumbuh-tumbuhan. Ini bukan liburan. Aku memutuskan untuk
menunda kuliah, setelah tamat sekolah menengah atas. Ayahku bilang, lebih
penting mengenal dan merasakan kehidupan, agar menjadi orang yang benar. Ya, ia
dan ibu sering mengatakan itu kepadaku. Mereka menekankan betapa pentingnya
pendidikan, namun tidak seperti anak lain, aku beruntung memiliki orang tua
yang melihat proses pendidikan tidak hanya dari sisi belajar di sekolah.
Di sinilah sekarang
aku berada, di atas sebuah perahu di Sungai Kapuas yang lebar yang terletak di
Kalimantan Barat. Ayah mengajakku melakukan ekspedisi pengumpulan sampel
tumbuhan di wilayah Kapuas Hulu. Bagian
hulu terdiri dari sungai-sungai kecil yang berasal dari berbagai titik di hutan
dan sekitar Pegunungan Muller Hilir, yang membatasi Kalimantan Barat dengan
wilayah Serawak, Malaysia. Menurut beberapa sumber, panjang Sungai Kapuas
sendiri kurang lebih 1.143 km. Sungai Kapuas di wilayah hilir cukup lebar dan
dalam sehingga bisa dilewati kapal-kapal besar yang membawa kayu atau pasir, namun
makin ke hulu makin kecil dan kebanyakan berupa cabang sungai. Beberapa cabang sungai
ini bisa muncul saat musim hujan, dan menghilang saat musim kemarau tiba.
Sungai meluas dan mengecil juga tergantung musimnya.
Berjenis-jenis ikan endemik Kapuas |
“Anaknya 7 cm dijual 3
jutaan, Mas!” Jimbong menjelaskan tentang ikan siluk. Makhluk periang ini
adalah temanku, dan ia sangat pandai menjelaskan tentang kehidupan hutan.
---
Dengan perahu sampan
bermotor, kami mulai menyusuri Sungai
Kapuas Hulu menuju Danau Sehubung. Di sungai yang luas itu, dimana nyaris
sejauh mata memandang hanya nampak bentangan air. Permukaan sungai tenang, namun
aku dapat melihat nuansa aliran air yang nampak gelap, mengalir dari arah
timur. Semakin mendekati air itu, nyata
sekali berbeda dengan air di sekitarnya yang berwarna coklat. Warnanya seperti
merah gelap.
“Kita semakin mendekat
ke aliran dari Danau Sehubung,” kata Jimbong sambil menunjuk aliran air gelap
itu. “Warna merah air ini tanda bahwa aliran air melewati daerah gambut Danau
Sehubung. Di tempat seperti inilah ikan siluk liar sebesar 1 meter hidup,”
katanya lagi.
Perahu mulai memasuki
salah satu cabang sungai yang lebih kecil. Panas yang dirasakan saat berperahu
di aliran utama mulai menghilang. Pepohonan besar mulai menutupi cabang sungai
tersebut, mengurangi pancaran sinar matahari dan tak lama kemudian keadaan menjadi
lebih sejuk. Saat mesin perahu dimatikan, suara kehidupan mulai muncul. Hutan
menjadi bernyawa, dan semakin lama semakin ramai. Bahkan di sungai kecil
tersebut, bunyi deritan sampan kami seakan menjadi bagian sungai dan hutan. Bunyi
kecipak air terdengar, diiringi bunyi siulan burung. Seekor linsang meloncat di
dekat tanah berlumpur, mengincar ikan yang terjebak di dekat akar-akaran. Tim
kami yang terdiri dari ayah, Jimbong si Melayu, pemilik sampan dan Matius yang
berasal dari Suku Dayak, dan aku, mulai berdiskusi mengenai rencana pengambilan
sampel yang akan dilakukan.
“Thomas, kamu dan
Jimbong akan turun di Danau Sehubung. Kami akan melanjutkan ke arah yang lebih
dalam untuk mengumpulkan lebih banyak spesimen tanaman,” kata ayahku.
Danau Sehubung yang gelap dengan permukaan cerminnya |
“Baiklah, kau lihat tepian itu?” Ayah menunjuk
sambil bertanya. Aku melihat ke tepi dan tidak melihat apa yang ia maksud.
“Maksud Ayah, kita
akan pasang bivak (tenda darurat) di sekitar pohon di tepian danau ini?”
“Bukan, bukan itu. Lihatlah lebih jeli pos itu.”
sambil tangannya menunjuk sebuah lokasi. Aku melihat titik kecil seperti
pondokan. Itu satu-satunya wilayah yang akan nyaman jika ditempati, sebab tidak
seperti bayanganku sebelumnya tentang danau. Danau Sehubung tidak punya pantai indah berpasir. Yang dimaksud
tepian hanyalah pepohonan rapat yang mungkin dekat dengan tanah, tapi masih tetap
terendam air. Tidak nampak ada pijakan tanah. Pos ini pun nampaknya dibangun di
atas tanah yang terendam air. Kami lalu menepi, menurunkan sedikit perbekalan
dan memasukannya ke dalam pondokan tersebut. Dermaganya hanya berupa tangga
papan yang menjorok ke air, makin lama makin turun. Pondokan itu sendiri
berdiri kira-kira 3 meter di atas permukaan air.
Jimbong memberitahukanku
saat aku bertanya, “memang sengaja dibuat sangat tinggi sebab danau ini
terkadang meluap sedemikian tingginya, sehingga hampir mencapai lantai pondok.”
Sungguh tidak masuk di akal ada banjir setinggi itu, menurutku, namun aku menghormati Jimbong. Ia pasti
mengatakannya dengan alasan tertentu.
“Baiklah bila sudah selesai kami akan pergi
lagi. Jaga dirimu baik-baik.” kata ayah, lalu kami berpelukan. Aku sudah terbiasa
melakukan hal-hal seperti ini bersamanya. Jadi perpisahan 3-5 hari ke depan,
tidak bermasalah buatku.
---
Hari-hari pertama,
kuisi dengan bersampan di sekitar danau. Danau itu luas sekali. Kurasa aku
membutuhkan waktu beberapa hari untuk berkeliling danau, tanpa masuk ke cabangnya.
Aku mengumpulkan sampel tumbuh-tumbuhan seperti yang dipesan ayahku. Beberapa
yang sudah kukenal, hanya kuambil sedikit. Yang berbeda kuambil lebih banyak.
Aku yakin ayahku pasti senang, berharap ia mendapatkan 2-3 tanaman jenis baru,
dari ekspedisi ini.
Di siang hari saat
panas menyengat, kami mengeringkan ikan yang kami pancing. Atap pondokan yang
terbuat dari seng kami manfaatkan sebagai pengering. Ikan toman, gabus, hasil
pancingan, kami bubuhi garam sebelum dimasak keesokan harinya. Jimbong seorang
koki yang sangat piawai. Ia dapat mengolah semua ikan dengan kenikmatan yang
tiada tara. Diberi cabai, bawang, santan, digoreng, berkuah kuning, semuanya
bisa ia lakukan. Dengan nasi tanakan yang mengepul, ditambah tumisan rebung muda
dan sambal, seluruh sakit kepala, pegal badan akan hilang diganti rasa bahagia.
Di hari ketiga, kami
berjalan-jalan agak jauh ke tepian danau yang berhutan. Kami harus berhati-hati
sebab tanaman mangrove di sekitar danau memiliki akar-akar yang tajam dan
mencuat ke atas, dan bisa merobek sepatu dan telapak kaki kami, bila salah
injak. Spesimen yang kami kumpulkan di antaranya, adalah dari tanah berair.
Sekitar 50 meter dari danau, tanah baru bisa diinjak. Di situ kami mendapati
jenis vegetasi yang berbeda. Kami mulai berjalan menapaki tanah sambil
mengumpulkan beberapa sampel dan memotret keadaan di sekitar.
Menjelang sore, kami
berjalan kembali ke arah sampan dilabuhkan. Perjalanan pulang sama seperti
tadi, namun terasa lebih panjang. “Rasanya kita tidak melewati tempat ini tadi,”
kataku kepada Jimbong.
“Ya kita melewati
lokasi ini, lihat pepohonan bongkok itu.”
“Tapi daerah ini
tidak berair tadi, rasanya.”
Jimbong berpikir
sebentar, kemudian ia berkata, “kau benar, tadi bagian hutan ini tidak basah.
Sekarang basah. Itu bisa berarti bahwa ada banjir di danau ini. Biasanya di
bulan ini, banjir tahunan belum datang. Tampaknya ia datang lebih awal.”
Kami melanjutkan
perjalanan, dan air memang nampak lebih tinggi dari biasanya. Kami segera naik
sampan yang terletak menjauh lebih ke tengah. Di air gelap itu, kami berenang
menuju sampan. Rasa agak khawatir mulai muncul walau air hanya sampai
sepinggang. Aku tidak tahu, air gelap ini menyimpan apa. Di sampan, di kejauhan
kami melihat awan gelap menyelimuti bagian barat hutan.
“Nampaknya malam ini
dan hari berikutnya akan turun hujan. Banjir tahunan akan segera datang.”
Jimbong nampaknya juga agak khawatir. “Sebaiknya kita kembali ke pos, menunggu
kabar dari orang tuamu.”
Di sore itu kami
mengikatkan sampan agak tinggi, sebab tahu permukaan danau akan segera
meninggi. Apabila terlalu rendah, kami khawatir sampan akan putus dan
terhanyut. Kami tidak bisa kemana-mana tanpa sampan. Aku berbicara dengan Jimbong. Akhirnya kami
memutuskan sampan akan diikat ke bagian paling atas dari pondok itu.
“Apakah kau pernah
mengalami banjir tahunan seperti ini, Jim?” tanyaku sambil memandangi air danau
di kejauhan. Dengan awan gelap yang mendekat, aku tak bisa membayangkan hujan
macam apa yang akan mendekat.
“Pernah, hanya di
kampungku tidak di tengah danau seperti
ini. Kami selalu dinasehati orang tua agar menghindari sungai apabila terjadi
banjir. Ayahmu pun tahu itu. Ia pasti akan menginap di perkampungan Dayak
terdekat, dalam keadaan seperti ini. Sayang kita tidak bisa menghubunginya
dengan telepon genggam di lokasi ini.”
“Aku tak menduga
banjir datang secepat ini. Cuaca semakin sulit ditebak beberapa tahun terakhir
ini. Inikah yang dimaksudkan perubahan iklim?” Jimbong bertanya kepadaku.
“Ya, kau benar. Di
suatu daerah bisa mengalami kekeringan, sementara di daerah lainnya hujan
lebat. Siklus angin, hujan berubah. Siklus banjir berubah.”
Kami melewati sore
itu dengan menikmati gulai ikan buatan Jimbong, di atas piring kaleng sambil
meyalakan radio. Suara kresek-kresek menemani kami di antara lagu-lagu Melayu.
---
Malam hari, jatuhan hujan pertama membuat suara-suara di
atap seng. Makin lama makin keras, bunyinya seperti hujan peluru. Angin kencang
mulai berembus. Kami menyenter permukaan
danau yang mulai bergolak. Untunglah kami berada 3 meter di atas permukaan air,
sehingga hati kami pun agak tenang. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan
selain bercerita. Jimbong bercerita tentang cerita-cerita jaman dahulu,
mengenai kedekatan orang Melayu dengan sungai dan hutan. Hujan tetap turun
sepanjang malam, dan kami makin lama makin mengantuk lalu tertidur.
Keesokan pagi, saat
aku melihat keluar, betapa terkejutnya aku. Dasar panggung pos yang tadinya
berdiri 3 meter di atas permukaan air, semakin dekat ke air. Jaraknya tinggal 2
meter saja. Kami tidak keluar hari itu, karena hujan masih juga turun. Aku
mengisi siang itu dengan bercerita kepada Jimbong tentang sekolahku. Jimbong
heran, mengapa aku tidak melanjutkan sekolah. “Jika aku berkesempatan sepertimu,
tentu aku akan sekolah lagi. Kami di kampung rela berpisah, agar bisa menikmati
pendidikan. Pendidikan adalah martabat bagi kami di kampung.”
Hujan tetap turun
sampai sore itu, agak mengecil namun tidak berhenti. Kami lalu tidur sore itu.
Malam harinya, saat
aku menengok permukaan danau, nampak kalau jaraknya sudah lebih dekat lagi.
Hanya tinggal 1 meter lebih. Aku cukup panik, dan Jimbong pun juga panik. Kami
merasa tidak aman berjarak terlalu dekat dengan danau yang airnya berwarna
merah gelap. Malam itu kami memasang obor di sekitar pondok. Kami merasa lebih
tenang, sebab nyala obor menerangi sedikit permukaan air sehingga bisa
memperkirakan permukaan air yang terus naik.
Di tengah malam,
terdengar suara derak kencang. Aku kaget sekali, lalu bangun dan melihat Jimbong sudah terbangun.
Kami saling menatap, merasa bingung dan takut.
“Ambil senter!” Kami
menyenter keluar, dan mendapati sampan
telah terjepit papan bagian atas. Air naik sangat tinggi hampir menyentuh
lantai pondokan. Tinggal beberapa jengkal lagi! Walau hujan kecil, namun tampaknya
di hulu sana hujan tetap turun, dan membawa banjir ke danau ini.
“Naik ke sampan!”
seruku kepada Jimbong. Aku tahu, mungkin beberapa menit atau jam, lantai
pondokan akan tergenang air. Khwatir pondok akan tenggelam, cepat-cepat kami memasukkan
barang-barang yang kami anggap perlu; selimut, air, makanan jadi, ponco, dan
lain-lain. Malam itu kuputuskan tidur di atas sampan yang masih terikat pada
pondok. Senter kumatikan. Diiringi bunyi gemericik air yang menerpa sampan,
kami berdua termangu di kegelapan. Hujan
mulai berhenti, dan angin juga sudah tidak bertiup kencang. Aku merasa cemas.
Langit nampak kelam tanpa bintang, dan aku merasa danau ini akan menelanku
hidup-hidup.
Tiba-tiba, “Astagfirulah!”
seru Jimbong sambil menunjuk pinggiran sampan. Kelap-kelip nampak dari dalam
air. Warnanya biru dan merah. Aku juga
terkejut, menjadi kagum dan penasaran. Walau nampak tidak begitu jelas, aku
melihat kumpulan ikan di dalam air yang memancarkan sinar terang biru dan
merah, bagai pendaran kembang api tengah malam, tanpa suara. Kumpulan ikan tampak seperti menari-nari. Bentuknya kecil,
seperti ikan sepat. Saat kusenter, pendaran itu hilang. Mungkin mereka
terkejut, namun mereka muncul lagi saat senter kumatikan.
“Apa ini Jim?”
“Tidak tahu, aku
tidak pernah melihat ini seumur hidupku.”
Aku berpikir keras. Tidak
pernah ingat ada jenis ikan seperti itu yang hidup di danau. Ikan yang
melakukan bioluminessence biasanya hanya
terdapat di gua yang tidak masuk cahaya matahari, atau di laut yang sangat
dalam. Tapi tidak di air tawar yang terbuka seperti di danau ini. Jumlahnya
mungkin ratusan. Danau nampak dihujani letusan kembang api merah dan biru dari
dalam air.
Aku memotret
sebanyak-banyaknya keajaiban ini, menduga ini adalah tarian perkawinan, sebab
mereka nampak berpasang-pasangan. Dua jam kemudian tarian itu sepertinya
berakhir, dan cahayanya memudar hilang satu demi satu. Aku tidak bisa tidur
sampai pagi memikirkannya., lalu berbicara dengan Jimbong mengenai kemungkinan-kemungkinan
yang ada. Sayang, ia tidak bisa memberikan penjelasani lebih banyak tentang
kejadian ini. Dugaanku, mungkin kejadian ini berkaitan hanya dengan Danau
Sehubung dan amat jarang terjadi.
Pagi hari, saat matahari mulai muncul, aku masih
berpikir, mungkinkah ini spesies ikan baru yang belum pernah ditemukan? Apakah
mereka berasal dari bagian sebuah gua di dalam tanah yang bermigrasi saat musim
banjir tiba karena terbukanya gua mereka untuk melakukan perkawinan, atau
mungkinkah danau ini punya hubungan ke laut lepas, somehow?
Di kejauhan ayah
datang bersama sampan. Ia nampak tenang
melihatku masih di atas sampan yang terikat di pondok. Pondok kami tidak
jadi tenggelam, tinggal 30 cm dan air
mulai sedikit turun, mungkin sampai mencapai ketinggian normal di musim hujan nantinya.
Di kampung terdekat aku berusaha mencari tahu tentang ikan berpendar ini pada
masyarakat setempat.
“Aku tidak tahu ikan
seperti apa itu Thomas, apa memang ada ikan seperti itu?” seorang tua malah
menanyakan balik kepadaku. “Untunglah kau dilindungi oleh penunggu sungai.” kata
yang lain, prihatin dengan kejadian banjir di sungai yang kualami. Bagian ini umumnya
lebih menarik bagi mereka. Cerita ikan berpendar mungkin kurang masuk akal bagi
mereka.
---
Aku menghabiskan waktu seminggu lagi di lokasi
tersebut tanpa pernah menemui kejadian serupa, lalu pulang ke Jakarta karena
tugas ayah sudah selesai.
Ayah menyarankanku
untuk bertanya pada jaringan komunitas ilmiah karena ia sendiri tidak bisa
menjelaskan tentang kejadian yang kualami secara spesifik. Cerita ikan
berpendar tersebut kudiskusikan di mailing list biologi, dan banyak tanggapan
dan teori yang mereka diskusikan denganku termasuk referensi-referensi dari
jurnal ilmiah luar negeri, namun tidak ada yang memuaskan keingin tahuanku.
Tiga bulan telah
berlalu. Akhirnya aku tahu apa yang
harus aku lakukan. Terima kasih atas banjir besar tersebut. Sekarang aku tahu
akan memilih jurusan apa tahun depan, saat akan memulai kuliah nanti. Bahkan aku sudah tahu topik penelitian apa
yang akan aku ambil tiga tahun setelahnya lagi.