Sabtu, 08 April 2017

Siem Reap 1: Kota Penuh Cahaya

Inilah cerita saya waktu awal nyampe di Siem Reap, kota penuh cahaya. Saya tiba di Siem Reap, Kamboja setelah dari Jakarta transit di bandara Don Mueang di Bangkok. Dari Jakarta Bangkok 3,5 jam. Transit 3 jam an di Don Mueang saya ga berani keluar karena khawatir molornya waktu pas proses imigrasi. Lanjut ke Siem Reap sekitar 1 jam perjalanan.

Bandara Internasional Siem Reap merupakan bandara yang tidak terlalu besar. Begitu keluar pesawat saya langsung disambut panasnya hawa Siem Reap, angin kering bertiup dan cepat-cepat saya melindungi kepala dan badan saya dengan scarf kain besar. Masuk bandara, angin dingin menyambut lagi... lumayan pikir saya.

Sampai di dalam, para penumpang pesawat yang datang dari Bangkok, kebanyakan warga asing langsung mengisi visa on arrival. Saya yang dipesankan pengundang untuk membawa 2 pasfoto ukuran paspor segera menuju rombongan tersebut, insting. Walau tahu juga kalau katanya sesama ASEAN ga perlu buat visa. Yah ternyata gerakan rombongan itu intimidatif juga ya... plus karena saya pikir pengundang meminta saya bawa pasfoto buat visa.

Setelah mengantri mengular, saya sampai di meja visa. Dia cek paspor saya cepat, minta duit (30 USD per orang buat visa turis dan 35 USD untuk visa biasa). Sambil omong Inggris gumam-gumam, dia akhirnya cepat kembaliin paspor dan uang saya. Ga jadi. Sebab saya orang Indonesia dan visa on arrival gak diperlukan. Agak ribet saya masukin lagi pasfoto, fotokopi paspor dll yang tercecer sebab dia membuka sampul paspor saya yang isinya macem-macem. Sebel... Kalo diliat, suasananya kaya di kantor pajak, meja panjang dengan orang-orang PNS berderet menurut meja dan fungsinya. Agak ga teratur sih ya menurut saya. Saya beri nilai 5 untuk efektifitas waktu di sini, serta 5 untuk pelayanan

Keluar, masuk toilet WC... eh pas dah mau keluar bandara sadar HP ketinggalan di WC. Waduh saya lari lagi ke WC untung aja di WC yang sepi dan bersih itu HP saya masih ada. Memang ga banyak sih keliatannya WC ini dipakai. Mungkin karena orang tersumbat di ruangan sebelumnya ya dimana pemeriksaan imigrasi lamaaaaa banget, sehingga WC di lokasi dalamlah yang menanggung urine para penumpang pesawat.

Lalu saya naik mobil ke kota melalui konter resmi taksi di dalam bandara. Untuk pakai mobil biasa 7 USD, minibis 10 USD, tuk-tuk 6 USD, motor 5 USD. Gada tambahan. Sopirnya cukup fasih bahasa Inggris dan di perjalanan dia juga bilang bisa dihubungi untuk jalan-jalan ke obyek wisata di Siem Reap.

Oh ya... di Siem Reap ga perlu tukar USD ke mata uang lokal (riil Kamboja). Begitu juga di kota lain di Kamboja, USD diterima. 1 USD = 4000 riil. Nanti kalau kita pakai USD maka kembalianya adalah riil so nanti uang riil kita akan tersedia dengan sendirinya kok.

Yang unik di Siem Reap, pas saya masuk toko (mulai survei nih beli makanan buat dibawa pulang) dengan kecewa sekaligus takjub saya menemukan indomie goreng, permen milkita, kopiko, jagon neon, chupa cups buatan negeri sendiri di sini. Wah saya pikir hebat juga barang2 Indonesia bisa masuk sampai Kamboja sini. Cuma jadi ilfil mo beli oleh2 permennya, padahal permen adalah benda paling aman buat dibawa pulang untuk khalayak ramai.

Berjalan-jalan di sekitar hotel pada hari pertama, di siang hari kurang nyaman menurut saya karena hawanya yang panas. Mungkin karena waktu itu adalah di bulan Maret, biasanya musim terpanas ya kalau di daerah sekitar Thailand, Myanmar, Kamboja, Vietnam dan Laos. Sinar matahari bersinar terik dan membuat mata silau. Namun saya akan cerita lagi ya lain kali... kalau kemegahan candi-candi di Siem Reap ini, dan night marketnya asyik banget dan mampu mengalahkan penat dan keringat akibat panas di sini.

Baca selanjutnya:
Siem Reap 2: Bergandengan Tangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar