Tulisan ini saya buat setelah Lebaran 2012 lalu.
Ini
tentang kisah tentang si Awah (lagi). Masih ingatkah kamu tentang pembantuku
ini yang agak malang namun baik hati dan tidak sombong ini? Please read my
previous story
Kisah
ini adalah kisah kebahagiaan si Awah yang bercampur dengan duka, di liburan
Lebaran 2012 ini. Rasanya si Awah rada seneng nerima bingkisan dari kami yang
super gede plus THR nya (kurang gede). Di dalam bingkisan itu kami masukkan:
minyak goreng 2 lt, gula 2 kg, biskuit 1 kaleng besar, permen-permen, 1 botol
sirup, teh 1 dus kecil, dll dll. Mungkin saya rasa cukup menghibur ya dan
rasanya sih masih kurang kalau dibanding ma jasanya membantu keluarga kami,
dari membersihkan rumah sampai menyetrika baju-baju kami sampai rapih.
THR
nya saya bilang kurang gede – yah soalnya gimana ya, keluarga kami memang
terbatas dalam memberikan gaji, dan akibat keterbatasan itu maka si Awah
bekerja ½ kali part time saja. Masuk jam 7 pulang jam 10 atau 11 kira-kira.
Berdasarkan asas etika maka saya tidak bisa menyebutkan gaji si Awah di tulisan
ini; tapi saya rasa cukup fair lah.
Nah
kisah ini terjadi, cerita si Awah saat ia bersama keluarganya hendak
bermain-main ke Jakarta. Biasa, mumpung Lebaran so si Awah yang orang Bogor ini
rupanya hendak bertamasya ke Jakarta. Saya tidak tahu kenapa tidak pergi ke
mertua atau saudara-saudaranya ya... mungkin sudah dilakukan pada liburan
beberapa hari sebelumnya karena sama-sama orang Bogor, dan kesempatan ini doi
mengajak keponakan-keponakannya untuk melancong ke Jakarta.
Bagi
sebagian orang mungkin sama sekali tidak istimewa untuk pergi ke Jakarta. Tapi
bagi Awah, pergi ke Jakarta adalah sesuatu yang spesial, ia mengatakan itu
kepada saya. Terakhir beliau pergi ke Jakarta adalah bertahun-tahun lalu (ia
tidak menyebutkan secara pasti tahunnya tapi saya asumsikan antara 5 sampai
belasan tahun lalu).
Memang
rumah si Awah tidak jauh dari rumah saya di Bogor Baru, masih wilayah kota.
Tapi percayalah, banyak orang yang jarang sekali pergi ke ibukota walaupun
sebenarnya cukup membayar Rp 2500 untuk naik kereta listrik, karena begitu
sibuknya mereka bekerja, mengurus keluarga, mengurus hidup masing-masing
sehingga tidak ada waktu untuk bersantai dan berekreasi. Lebaran biasanya
menjadi momen berbahagia bagi mereka karena kesempatan ini adalah waktu
berkumpul, membanggakan dan meninggikan diri dengan memberi angpau kepada
keponakan dan menjamu tamu dengan kue kering, bersilaturahmi dengan sanak
saudara yang datang dari jauh... intinya membahagiakan diri sendiri dan
keluarga. Sebuah kisah yang membahagiakan.
Untuk
membagi kebahagiaan ini, Awah pergi naik kereta bersama keponakan-keponakannya.
Saya rasa keponakan-keponakannya pun sama dengan si Awah yang naik jarang naik
kereta sebab dari cerita selanjutnya saya tahu kalau semuanya bingung kalau
naik kereta.
Dari
Bogor, mereka memilih kereta ekonomi, dengan tiket seharga Rp 2500. Murah
meriah dan full AC (Angin Cepoi-Cepoi). Nah sedihnya, ternyata mereka salah
memilih kereta. Yang dipilih adalah kereta Commuter dengan AC beneran yang
harga tiketnya adalah Rp 8.000 per orang. Mungkin Anda tidak percaya kalau ada
orang yang tidak engeh kalau salah naik kereta – wong jelas berbeda naik AC
dengan yang ekonomi – cuma kejadian ini terjadi dengan si Awah. Mungkin karena
terlena dengan sejuknya pendingin udara dan angin dari kipas angin, maka
kelompok ini tetap lanjut, dan berhenti di terminal Manggarai... lalu ditangkap
oleh petugas kereta api saat pemerikasaan.
Dasar
orang lugu ya? Kalau saya yang ditangkap jalan keluarnya mudah. Ya tambah aja
duitnya supaya sama dengan tiket AC, atau diturunkan di stasiun berikutnya –
sambil ngotot ga mau bayar denda. Kalau kita ngotot ga punya duit daripada
berantem petugas pasti milih alternatif kedua, kalau yang kesatu engga mempan.
Orang
lugu yang memang bersalah ini tidak terbiasa dengan sikap preman yang kadang
berhasil. Setelah diancam, si Awah dan rombongannya menyerah tanpa perlawanan.
Yah tau sendiri, gampang banget membuat orang lugu menyerah – dengan sedikit
ancaman, dan dengan menginformasikan undang-undang perkeretapian, digiringlah
si Awah dengan rombongannya ke pos petugas KA.
Si
Awah lalu menangis, sebab tentu saja merasa takut dan sedih liburannya yang
disusun terancam gagal. Si Awah juga menangis sebab tambah takut di pos petugas
KA didiamkan selama beberapa saat. Pressure by time dan main karakter kata saya
seh nih petugas...
“Saya
bayar deh Pak, berapa aja... yang penting saya jangan ditangkep.” Begitu kata
si Awah memelas (kayanya) kepada petugas KA di pos.
Saya
rasa petugas di pos senang sebab mangsanya yang lugu ini memang terlihat belum
berpengalaman soal dunia premanisme, dan lenyaplah Rp 50.000 dari saku si Awah
untuk menebus kesalahannya ngambil kereta yang salah.
Saya
ga tau cerita selanjutnya. Mungkin si Awah dan rombongannya main ke mall, ke
pasar, atau ke Monas ngeliat cobek ala Ir Sukarno soalnya ngedenger ia cerita
sambil rada tidur-tiduran pagi.
Yang
saya denger lagi adalah peristiwa saat ia mau pulang. Nah loh kok bisa, kena
denda lagi di Stasiun Bogor dan hilang Rp 50.000 lagi? Denger deh kata dia –
soalnya saya pikir kalau naek yang AC sama aja – AC nya juga ga ada – cuma pake
kipas angin, bener ga Neng? Jadi saya pilih yang ekonomi aja Rp 2500.
Lalu
kenapa dia naek yang AC lagi ya dari Cawang ke Bogor? Yang ini saya ga habis
pikir dan dengan upaya mandiri, belum berhasil menemukan jawabannya. Mungkin
saya perlu bertanya lagi secara lebih detail kepada si Awah... kenapa sih udah
kena denda kok bisa-bisanya mengulang kesalahan lain dan kena denda lagi...
sebab secara logika saya tidak menemukan jawabannya.
Bisa
jadi saya akan menemukan jawaban yang sederhana dan jauh dari kerumitan
pemikiran saya.
Intinya
kadang hidup bisa meleset dari logika yang kita pikirkan matang-matang.
Jadi,
sekarang saya sedang menunggu cerita besok pagi, minta penjelasan dari si Awah
kenapa dia bisa kena denda sampai 2x Rp 50.000. Bisa jadi malam ini saya tidur
kurang nyenyak sebab belum ketemu jawaban sederhana dari kelakuan si Awah ini.