Kamis, 03 Januari 2019

Travelling Nepal 1 - Kathmandu, Thamel


Namaste...

Deuh... nulis dah lama banget neh sejak yang terakhir. Tapi tiba2 keinginan menulis datang lagi. Sebab yang ini perlu diingat lagi ya kalo udah tua. Ini adalah bagian pertama dari tulisan-tulisan saya saat pergi ke Nepal. Ada 3 lokasi yang sempat saya kunjungi: Kathmandu, Bhaktapur dan Nagarkot. Semuanya terletak tidak terlalu jauh dari ibukota negara, Kathmandu.

Rumah2 di atas awan, dilihat dari pesawat
Perjalanan saya kali ini adalah “gratisan” sebab saya sekaligus mengikuti pertemuan “hak perempuan atas tanah” di Kathmandu, 17-18 Desember 2018. Saya lalu extend sampai tanggal 22 Desember.

Nyampe di Kathmandu tanggal 16 Desember, begitu turun pesawat udara segar langsung menyerbu. Tidak terlalu terasa dingin karena dari pesawat memang sudah pakai jaket paling tebal yang pernah saya pakai. Mungkin temperatur di kabin pesawat tidak sedingin udara di Kathmandu ya. Kerasa dingin setelah di luar bandara sambil nunggu peserta pertemuan yang lain datang. 

Abis pertemuan langsung cas-cus deh

Sekitar jam 2 sore mulai deh kerasa dinginnya dan saya mulai “moyan” begitu kata orang Sunda, alias ngejemur badan kena matahari. Buat saya yang rumahnya di deket khatulistiwa, jarang siang-siang suhu udara mencapai 12 derajat Celsius. Saya lalu duduk sengaja di bagian yang terkena sinar matahari siang supaya lebih hangat.

Hari pertama, yang niatnya mau langsung jalan begitu sampe hotel (namanya Hotel Marshyangdi), statusnya adalah 50% failed. Begitu sampe kamar hotel langsung mandi air panas yang terasa dingin, sebab begitu air hangatnya menyentuh kulit tak lama kulit terasa kedinginan lagi – kecuali kembali disembur air panas segera. Abis mandi langsung pake jaket, kaos kaki masuk selimut. Ngecek suhu udara via google sekitar 10 derajat Celsius. Maybe karena belum adaptasi ya jadi pusing kepala begini, atau efek masuk angin karena perjalanan?

Penjual gorengan sate dan "momo" di pinggiran jalan
Cenat-cenut kepala ngebuat saya tidur beberapa jam sore itu. Mas Amir, temen seberangkatan saya juga langsung tidur. Bawaan Mas Amir cukup lengkap: sarung tangan, kaos kaki, jaket, topi hangat dan doi lalu meringkuk di bawah selimut kaya beruang yang lagi hibernasi. Bangun tidur sekitar jam 8, masih kleyengan. Ruang kamar gelap kayanya Mas Amir keenakan tidur deh.

Malam pertama, sesakit-sakitnya saya napsu jalan2 lebih kuat. Apalagi cuma sakit kepala begini, ga sampe pingsan juga rasaan. Jadi saya tinggalkan Mas Amir di  peraduannya, mau ngebangunin ga tega walau belum makan malam pun berdua kita ini. 

Pengendara tricycle di Thamel
Saya kemudian menjelajah wilayah dekat hotel, namanya wilayah Thamel. Biasanya hari pertama saya gunakan untuk survei barang-barang. Thamel sendiri sebenernya kaya semacam wilayah turis, mungkin kalau dikelilingi dengan berjalan kaki sekitar 30 menitan. Mungkin bisa disamakan dengan daerah Malioboro, hanya saja ia berbentuk kawasan dengan jalan2 kecil di dalamnya.

Saat berjalan pertama kali, selain dingin yang langsung terasa adalah serasa bedakan akibat debu yang beterbangan di jalan. Memakai masker rasanya akan membantu bernapas, namun tetap debu2 akan melekat di pakaian sih. Di hari awal masih terasa janggal – saat pulang perlu mengibaskan pakaian, tapi selanjutnya sih cuek aja.

Di jam 9 malam, toko-toko suvenir sebagian sudah tutup.  Suvenir khas dan barang-barang kebutuhan yang terkenal adalah dari baby yak wool syawhl (wow, enak dan anget banget), pashmina dari bulu kambing yang ringan, lebih mahal dan anget, singing bowl, patung2 kerbau, sapi, Budha, orang2an, jaket adventure, topi wol dan sarung tangan warna-warni, pisau khukri, kain penghias dinding warna-warni, kaos2 dibordir, dendeng daging kerbau, manisan2, minuman keras lokal dan dari luar, dan lain-lain.

Bendera doa, singing bowl, khukri, topeng, patung, incense, gelang, dll
Benda yang saya cari2 di antara suvenir2 itu terutama adalah singing bowl dan syal dari bulu yak yang hangat. Singing bowl adalah mangkok tembaga atau kuningan yang sering dipakai untuk bermeditasi. Caranya adalah dengan menggosokkan pemukul kecil di tepian mangkok. Bentuknya yang khas dapat menyebabkan resonansi dan getaran yang menghasilkan nada konstan. Tinggi rendah nadanya tergantung besar dari singing bowl. Utk yang kecil akan memperdengarkan nada yang lebih tinggi. Harganya bermacam2, dari kualitas rendah ukuran kecil yang berdengung sebentar  sampai kualitas tinggi yang getaran suaranya lama dan ukurannya yang besar. Saya membeli ukuran 12 cm (diameter) dengan harga tawar 1200 rupee (sekitar Rp 155 rb) yang kalau dibawa ke Indonesia rasanya harganya lebih dari Rp 500 rb an (udah cek di Tokopedia).

Syal dari bulu yak juga khas. Syal ini begitu lembut dan hangat. Saya menawar sampai mendapatkan harga 300 rupee atau sekitar Rp 39 ribu utk ukuran syal besar. Worthed banget untuk oleh-oleh. Untuk pashmina bulu kambing, harganya lebih mahal sekitar 700- beribu-ribu rupee (di atas Rp 100 ribu). Jangan lupa belinya di hari pertama tiba yaaaa... untuk langsung dipakai, sama dengan topi, sarung tangan dan kaos kaki wolnya. Tidur di kamar yang tanpa pemanas ruangan, benda-benda ini akan amat menolong kamu buat tidur lebih nyenyak.

Mas Amir dan saya, jalan2 survei harga di malam kedua di Thamel
Toko khusus penjual khukri hiasan dan khukri tempur
Utk pisau khukri yang khas Nepal (ditenarkan oleh tentara Gurkha) naksir juga sih, tapi agak malas bawanya karena khawatir bermasalah di bandara walau si pedagang bilang ok. Saya percaya juga sih, tapi ga berani beli karena takut over budget, teu boga duit. Selain itu pengalaman buruk karena pernah disita golok yang dibawa saat melewati border Thailand dan Malaysia.

Well... di daerah Thamel ini ga semuanya sedang berbelanja. Bagi sebagian turis mungkin yang terlihat adalah keramaian toko suvenir, cafe dan restoran, warna-warni syal, bir dan makanan ringan. Bagi yang lainnya mungkin melihat tambahan2nya.

Perempuan penjual kopi dan makanan ringan
Di tengah dinginnya malam, juga terdapat para perempuan yang tetap terjaga, yang menjajakan rokok, kopi, teh - dalam kotak dagangannya yang sederhana. Gelas kecil, termos berisi air panas dan keranjang berisi minuman instan menemaninya, saat sedang duduk di emperan toko, yang satu persatu mulai tutup.

Terdapat juga homeless yang tidur meringkuk di emperan toko lain malam itu. Duh ga kebayang dinginnya tidur di ruangan terbuka seperti ini yang suhu di pagi harinya bisa turun sampai 8 derajat Celsius).Seluruh badan dan kepalanya tertutup kain2an dan terpal, untuk menahan panas di dalam. Sedih ngeliatnya.

Para pekerja kebersihan, di pagi hari
Selain itu ada para preman yang mendatangi saya menawarkan rokok, lalu setelah ditolak, diganti kata rokoknya dengan kata weed, marijuana, alias ganja. Beberapa kali saya berjalan di sana, sekitar 3x saya ditawari hal serupa. Lumrah kayanya di sini. Sebab saya bukan pengganja, tawarannya saya tolak dengan halus.

Tiba2 pikiran meloncat ke indomie telor. Makan indomie sambil ngepul di udara malam yang dingin kaya begini  nilainya hampir sempurna, 9/10.

Pulang jalan-jalan malam di Thamel, nyampe kamar di hotel langsung masuk selimut sambil berpakaian lengkap. Mas Amir kebangun. Untung doi ga kemana-mana soalnya kartu pas kamarnya saya bawa jalan (atau dia ga keluar kamar karena ga ada kunci buat masuk lagi 😅). Selamat malam, waktunya hibernasi meniru beruang kutub. Semoga yang di luar sana juga tidak kedinginan.

Bersambung...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar