Kalau mendengar Medan, tentu kita
membayangkan sebuah kota besar dengan segalanya yang ada: dari seliweran bentor
(becak motor), mal dan pasar yang super sibuk, logat Medan supir angkot, bis modern
Medan-Aceh dengan wifinya, serta toko penjual bika ambon. Medan adalah kota
terbesar ketiga di Indonesia, jadi tak heran hampir semua barang ada di situ.
Udang segar dari Kampung Nelayan |
Kami lalu turun di sebuah pasar, di sisi pelabuhan. Nampak dua orang ibu tua duduk
menjajakan udang segar seukuran telunjuk tangan di atas baskom besar. Beberapa
di antaranya masih bergerak hidup. Di sampingnya, gerobak warung yang
menjajakan minuman ringan dan rokok, selayaknya sebuah pasar di pinggir jalan.
Perjalanan dilanjutkan naik boat
dari sebuah dermaga kayu kecil. Rombongan kami, sekitar 10 orang mengeluarkan
uang 3rb rupiah seharga teh botol per orangnya untuk sekitar 5 menit perjalanan
di laut. Untuk ke lokasi yang lebih jauh, biaya boat sekitar 5rb rupiah.
Kampung Nelayan tidak menyatu
dengan daratan Belawan. Ia berdiri di tengah lautan dengan sanggaan
tonggak-tonggak kayu tahan air (kayu laut). Antar rumah terhubung dengan
titian-titian kecil (jalan setapak dari kayu-kayuan) yang kebanyakan swadaya
masyarakat. Rumah-rumah terbuat dari papan yang warnanya kebanyakan luntur
terkena panas matahari. Penghias rumah adalah pot-pot dengan bunga dari daratan
yang dipelihara dengan apik oleh empunya rumah. Ia seperti sebuah dunia
sendiri, milik para pelaut pencinta bunga.
Rumah-rumah di Kampung Nelayan
sebagian besar akan terendam air bila pasang naik. Di saat pasang tinggi
sekitar jam 11 siang kemarin, saya hanya melihat bagian pekuburan yang (agak)
tidak terendam batu nisannya. Apabila melihat patokan dermaga sender kapal, ada
perbedaan tinggi sekitar 2 meter antara pasang surut dan naik di kampung ini.
Senja di Kampung Nelayan |
Kata seorang pendamping
masyarakat, rekan dari LSM P3MN di sana, oknum pemerintah Medan seringkali
heran apabila mengunjungi Kampung Nelayan.
“Masih ada daerah seperti ini ya
Bang di Medan?”
Beberapa orang juga keberatan
kalau pertemuan diadakan di Kampung Nelayan. Dugaan saya mungkin ngeri jalan di
atas titian yang menghubungkan antar rumah warga, yang lebarnya sekitar 30- 50
cm an dan terbuat dari kayu yang sudah melapuk. Tapi untunglah masih ada
perwakilan Pemda yang mau melihat-lihat keadaan Kampung Nelayan sebab kampung
ini jelaslah perlu pembangunan yang sesuai kebutuhan. Minimal jika oknum jatuh
terperosok di titian, harapannya ia akan lebih tanggap membantu pembangunan
titian yang lebih kokoh di kampung.
Antar rumah terhubung dengan titian kayu |
Ada hal lain lagi di sini: masyarakat
sulit mengakses air tawar. Lalu bagaimana caranya minum dan mandi ya? Ternyata
air tawar bisa dimiliki warga, dengan bayar 10ribu/kali isi ke tauke air. Doi
tauke menggali sampai kedalaman 96 meter (hitungan 16 pipa dikali masing-masing
6 meter), memasang mesin pompa lalu mengijinkan warga mengisi air untuk 1,5- 2
jam (terserah mau seberapa banyak atau sedikit). Biaya satu kali isi 10ribu.
Kalau 30 kali berarti 300ribu, anggaplah warga hemat air jadi membayar sekitar setengahnya.
Di Kampung ini juga saya menemukan
satu Sekolah Dasar saja plus satu SMP yang baru bulan kemarin beroperasi. Untuk
ke SMA harus ke daratan, tak heran di sini pendidikan tertinggi biasanya sampai
SMP.
Tukang perahu yang bolak-balik
Kampung-daratan sudah berupaya memberikan keringanan, dengan mengijinkan anak
sekolah membayar seribu rupiah untuk satu kali jalan. Ini adalah upaya subsidi
mereka yang rindu akan kemajuan di
kampung. Mereka pasti berharap dengan banyaknya anak nelayan yang bisa
bersekolah sampai tinggi, pelan-pelan kampung ini berkembang.
Karamba kelompok yang diisi ikan sikakap |
Sedih
melihat banyak yang punya kesempatan, waktu dan uang namun tidak melakukan
kegiatan-kegiatan tersebut namun di sini semua dijungkirbalikkan. Di dalam
segala keterbatasan akses, biaya dan fasilitas tindakan-tindakan besar yang berguna di
Kampung Nelayan dilahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar