Selasa, 18 Agustus 2015

Kampung Nelayan di Belawan (SMN Part 1)



Kalau mendengar Medan, tentu kita membayangkan sebuah kota besar dengan segalanya yang ada: dari seliweran bentor (becak motor), mal dan pasar yang super sibuk, logat Medan supir angkot, bis modern Medan-Aceh dengan wifinya, serta toko penjual bika ambon. Medan adalah kota terbesar ketiga di Indonesia, jadi tak heran hampir semua barang ada di situ.
Udang segar dari Kampung Nelayan
Untuk menuju Kampung Nelayan, kita perlu sampai ke Pelabuhan Belawan dulu. Setelah berkendaraan kurang lebih 1,5 jam dari Medan, suasana mulai berubah. 30 menit sebelum memasuki daerah pelabuhan jalanan begitu berdebu sampai seluruh penumpang angkot menggunakan saputangan, handuk sampai  jilbab untuk menyaring partikel-partikel di udara agar tetap bisa bernapas lega. Kabut debu ini terjadi akibat terangkatnya pasir, kotoran di tanah terutama oleh truk-truk besar yang hilir mudik mengantar barang dari pelabuhan. Belawan adalah pelabuhan internasional dengan kapal-kapal cargo besar bersandar di bibir pantai beton.
 Kami lalu turun di sebuah pasar, di sisi pelabuhan. Nampak dua orang ibu tua duduk menjajakan udang segar seukuran telunjuk tangan di atas baskom besar. Beberapa di antaranya masih bergerak hidup. Di sampingnya, gerobak warung yang menjajakan minuman ringan dan rokok, selayaknya sebuah pasar di pinggir jalan.
Perjalanan dilanjutkan naik boat dari sebuah dermaga kayu kecil. Rombongan kami, sekitar 10 orang mengeluarkan uang 3rb rupiah seharga teh botol per orangnya untuk sekitar 5 menit perjalanan di laut. Untuk ke lokasi yang lebih jauh, biaya boat sekitar 5rb rupiah.
Kampung Nelayan tidak menyatu dengan daratan Belawan. Ia berdiri di tengah lautan dengan sanggaan tonggak-tonggak kayu tahan air (kayu laut). Antar rumah terhubung dengan titian-titian kecil (jalan setapak dari kayu-kayuan) yang kebanyakan swadaya masyarakat. Rumah-rumah terbuat dari papan yang warnanya kebanyakan luntur terkena panas matahari. Penghias rumah adalah pot-pot dengan bunga dari daratan yang dipelihara dengan apik oleh empunya rumah. Ia seperti sebuah dunia sendiri, milik para pelaut pencinta bunga.
Rumah-rumah di Kampung Nelayan sebagian besar akan terendam air bila pasang naik. Di saat pasang tinggi sekitar jam 11 siang kemarin, saya hanya melihat bagian pekuburan yang (agak) tidak terendam batu nisannya. Apabila melihat patokan dermaga sender kapal, ada perbedaan tinggi sekitar 2 meter antara pasang surut dan naik di kampung ini.
Senja di Kampung Nelayan
Ada berapa KK ya yang tinggal di Kampung Nelayan ini? Menurut kawan saya Jailani Hasibuan, ada 500 KK tinggal di Kampung Sebrang (Belawan I, masuk wilayah Medan), dan 40 KK di Kampung Banjar (Paloh Kurau Kec Hamparan Perak masuk wilayah Deli Serdang). Kedua-duanya dipisahkan oleh selat kecil sekitar 20-30 meteran. Akibat terbagi pada 2 wilayah, masyarakat sulit melakukan pembangunan sebab sering masing-masing pemerintah merasa tidak berwenang atau bertanggung jawab pada lokasi pencilan ini. Saat warga mengusulkan pembangunan, si Fulan misalnya bilang mintanya silahkan ke pemerintah Medan saja. Datang ke pemerintah Medan, dibilang itu wewenang Deli Serdang. Akhirnya stucklah pembangunan di sana terkatung-katung.
Kata seorang pendamping masyarakat, rekan dari LSM P3MN di sana, oknum pemerintah Medan seringkali heran apabila mengunjungi Kampung Nelayan.
“Masih ada daerah seperti ini ya Bang di Medan?”
Beberapa orang juga keberatan kalau pertemuan diadakan di Kampung Nelayan. Dugaan saya mungkin ngeri jalan di atas titian yang menghubungkan antar rumah warga, yang lebarnya sekitar 30- 50 cm an dan terbuat dari kayu yang sudah melapuk. Tapi untunglah masih ada perwakilan Pemda yang mau melihat-lihat keadaan Kampung Nelayan sebab kampung ini jelaslah perlu pembangunan yang sesuai kebutuhan. Minimal jika oknum jatuh terperosok di titian, harapannya ia akan lebih tanggap membantu pembangunan titian yang lebih kokoh di kampung.

Antar rumah terhubung dengan titian kayu
Ada hal lain lagi di sini: masyarakat sulit mengakses air tawar. Lalu bagaimana caranya minum dan mandi ya? Ternyata air tawar bisa dimiliki warga, dengan bayar 10ribu/kali isi ke tauke air. Doi tauke menggali sampai kedalaman 96 meter (hitungan 16 pipa dikali masing-masing 6 meter), memasang mesin pompa lalu mengijinkan warga mengisi air untuk 1,5- 2 jam (terserah mau seberapa banyak atau sedikit). Biaya satu kali isi 10ribu. Kalau 30 kali berarti 300ribu, anggaplah warga hemat air jadi membayar sekitar setengahnya.
Di Kampung ini juga saya menemukan satu Sekolah Dasar saja plus satu SMP yang baru bulan kemarin beroperasi. Untuk ke SMA harus ke daratan, tak heran di sini pendidikan tertinggi biasanya sampai SMP.
Tukang perahu yang bolak-balik Kampung-daratan sudah berupaya memberikan keringanan, dengan mengijinkan anak sekolah membayar seribu rupiah untuk satu kali jalan. Ini adalah upaya subsidi mereka yang rindu akan  kemajuan di kampung. Mereka pasti berharap dengan banyaknya anak nelayan yang bisa bersekolah sampai tinggi, pelan-pelan kampung ini berkembang.
Karamba kelompok yang diisi ikan sikakap
               Berbicara tentang perkembangan, Kampung Nelayan ini tidak hanya menadahkan tangan saja menerima bantuan. Dari masyarakat sendiri telah terbentuk beberapa kelompok yang sangat aktif dan mandiri dalam memajukan kampungnya. Contoh saja Pekan (Persatuan Kesenian Anak Nelayan), PBT (Pemuda Berani Tantangan) dan Tunas Muda yang berkegiatan mulai dari mendidik anak-anak lewat kesenian, beternak ikan lewat karamba, memperbaiki titian kayu secara mandiri, mendorong sesama pemuda keluar dari jaringan narkoba sampai melakukan gerakan pendidikan lingkungan. Jumlah keanggotaan mereka cukup banyak, sampai puluhan orang dengan lebih banyak lagi masyarakat sebagai penerima manfaatnya.
               Sedih melihat banyak yang punya kesempatan, waktu dan uang namun tidak melakukan kegiatan-kegiatan tersebut namun di sini semua dijungkirbalikkan. Di dalam segala keterbatasan akses, biaya dan fasilitas tindakan-tindakan besar yang berguna di Kampung Nelayan dilahirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar