Dari semua anak
yang sedang berkumpul di lapangan, Rudi paling tidak suka dengan anak bertubuh
besar yang berdiri dekat gawang. Ia bukan penjaga gawang, hanya berdiri saja
dekat tiang dan sesekali berteriak kalau bola mendekat. Teriakannya tidak jelas
dan juga canggung.
“Siapa itu,
Man?” Rudi bertanya kepada Maman, sebab ia baru saja pindah ke kampung ini dan
belum mengenal banyak orang.
“Itu Jaya, dia
suka nongkrong di lapangan memang kalau sudah sore. Tapi sebentar lagi pasti
dijemput ibunya.” kata Maman.
Ya, dijemput
sebab ia begitulah.” kata Maman sambil memainkan mimik mukanya. “Agak bodoh.” sambungnya.
Rudi terus
melihat ke arah gawang. Jaya masih tetap berteriak-teriak kepada anak-anak lain
yang sedang menggiring bola menuju gawang.
“Goooooool!” terdengar
teriakan riuh dari ujung sana.
---
Rudi berjalan
sendiri saat pulang sore itu. Rumahnya tidak terlalu jauh sehingga ia berani
pulang sendiri. Teman-temannya sudah berpencar, dan karena Rudi
berbincang-bincang dengan Pak Pelatih Bola untuk ikut bergabung dengan tim bola
maka ia agak terlambat pulang.
Sambil
berjalan ia membayangkan makanan yang disediakan ibunya di rumah. Sayur asem,
sambal, ayam goreng...
Bruk!
tanpa disadari ia terperosok sebelah kakinya ke dalam sebuah saluran air dan
karena licin, saat menarik tubuhnya malah pegangannya terlepas dan seluruh
tubuhnya meluncur ke arah kolam ikan. Tangannya berusaha menahan dengan
menggapai-gapai ke segala arah, tapi terlambat.
Byur!
Seluruh
badannya jatuh ke air yang berlumpur dan ia gelagapan.
“Hufp...,”
Rudi terengah-engah. Air bercampur lumpur membuatnya tersedak. Ia sangat panik
karena tak bisa renang.
“Tolong,
tolong, hyurp...” seru Rudi. Ia tenggelam. Kolam itu tidaklah dangkal.
Sebuah tangan
terulur dan memegangnya dengan erat.
Rudi
meninggalkan kegelapan lumpur. Mukanya terangkat dan hal pertama yang ia lihat
adalah sesosok tubuh, anak berbadan besar. Jaya.
“Kamu tidak
apa-apa, Rud?” tanya Jaya setelah mereka berdua terengah-engah terduduk di tepi
saluran air.
“Terima kasih.”
Rudi menjawab pelan. Seluruh tubuhnya terasa lemas setelah ia sebelumnya muntah
dua kali. Perutnya terasa nyeri dan ia hampir tidak mampu bergerak.
“Mari kuantar
pulang. Ibuku hari ini tidak menjemput, katanya aku harus pulang sendiri dan
harus berhati-hati. Ia mengingatkanku tentang licinnya jalan sehabis hujan
terutama ya disini.” kata Jaya sambi tersenyum. Ia masih riang walau sambil
bicara terengah-engah. Tubuhnya juga basah kuyup dan berlumpur.
“Bagaimana kamu
mengenal namaku.” tanya Rudi lirih.
“Kita tinggal
berdekatan. Ibuku kemarin mulai bekerja di rumahmu untuk mencuci. Ia berkata
kalau pemilik rumah punya seorang anak. Tadi anak-anak lain sempat memanggil
namamu saat mengajakmu ikut main bola, jadi aku tahu.” Jaya menjawab.
---
Semenjak
itu Rudi dan Jaya berkawan erat. Walaupun menurut teman-temannya aneh, tapi
bagi Rudi, Jaya adalah spesial. Tubuhnya yang besar adalah karena hatinya yang
juga besar. Itu yang dikatakan ibu saat menanggapi Rudi bercerita tentang peristiwa itu. Menurut ibu, Jaya adalah seorang anak yang
baik, jujur dan tulus. Ia memang mengalami keterlambatan dalam perkembangan
intelegensi, tapi itu tidak berarti bahwa ia harus dijauhi. Ibu
mengingatkan, di dalam keterbatasan sesorang; termasuk Rudi atau Jaya, selalu
ada hal yang membuat kita bisa saling melengkapi satu sama lain.
“Rudi,
ayo kamu bisa..!” Jaya berteriak dari ujung kolam, meyemangati.
Dengan
tergugup-gugup Rudi meluncur, menggerak-gerakan kedua tangan dan kakinya secara
bergantian. Jaya menjadi pelatih renang Rudi sekarang.
---