Senin, 28 Februari 2011

Tukang Buburku

Ada tukang bubur 3000 an! Huhu... senangnya hati saya! Bukan karena cuma murah, tapi si tukang bubur mengingatkan saya secara tidak sengaja bahwa saya tetap harus hidup sederhana dan bersahaja.

Si tukang bubur, yang mangkal di dekat SD Sempur jualan pagi-pagi. Sebelumnya saya tidak menengok walau jalan setiap hari lewat situ. Cuma hari ini tanpa tanda saya agak-agak lapar (sebenarnya perut tidak lapar tapi pikiran minta makan dan walaupun antara perut dan pikiran tidak sinkron, heran juga pemenangnya adalah si otak karena ternyata kaki menurut ke intuisi pikiran - mungkin saya memang punya indra ke enam ya).

Setelah makan bubur, yang rasanya biasa-biasa aja sih, saya membayar dengan uang Rp 20.000,00 tanpa berkata apa-apa. Sebab sudah pengalaman, adakalanya pada saat saya bertanya "Berapa, Bang?" dijawab oleh si penjual dengan mata (pupil) menengok ke atas - tanda otak kanan bekerja - mikir lalu nyebut angka semaunya dia..."8000!" sebab si Abang percaya kalo kita adalah orang baru, orang selewatan yang patut ditakol secara harga untuk uang makan anak istrinya.

Itu alasan saya tidak bertanya "Berapa, Bang" kepadanya. Lagipula memang kasihan juga saya, sebagai warga keturunan Tionghoa (Cina) saya mendapatkan bahwa secara persentase saya akan mendapatkan bahwa secara jumlah, 10% orang akan menetapkan harga lebih tinggi dibanding yang lainnya. Apalagi  kalau saya naik ojek di daerah-daerah tertentu, saya akan mendapatkan persentase jumlah orang yang menaikkan harga itu bertambah sampai 80%.

Tapi buat si Abang bubur lain ceritanya. Saya mungkin dianggap warga Sempur atau si Abang memang sudah biasa bergaul dan menganggap saya saudara tanpa membedakan ras saya (varian genetik saya). Jadi saat saya kasih uang 20 ribu, si Abang memberikan saya uang: pertama selembar 10 ribu (biasa saja), lalu kedua 5 ribu (fair, mungkinkah harganya 5 ribu semangkuk?), lalu mencari-cari seribuan (wah, harganya 4 ribu : murah) dan akhirnya mengasongkan 2 ribu ke saya (terkejut, terharu, senang, bahagia karena harga bubur 3 ribu!).

Artinya si Abang memberikan pulangan 17 ribu kepada saya. 20 ribu - 17 ribu equal to 3 ribu.

Bagi saya, seperti saya ceritakan di atas sebelumnya, ini memberikan saya dua hal: 1). Masih ada tukang bubur murah yang jujur yang memperlakukan saya sama seperti kepada anak SD.  2). Menegur saya untuk lebih menghargai dan memanage uang (3 ribu bisa dapat bubur untuk sarapan pagi) karena saya di lain waktu kadang menghabiskan uang lumayan banyak, yang kadang karena angkanya besar, maka pulangan 5 ribuan pun tidak terasa besar. Malah kadang seperti orang kaya saja dibiarkan di meja makan (bukan sebagai tips) untuk paling akhir diambil saat beranjak pulang. Saya diingatkan, uang tidak berbanding lurus dan signifikan dengan kepuasan.

Kenapa saya merasa ditegur entah juga mengapa. Mungkin sama tidak tahunya seperti mengapa tiba-tiba saya pergi mencari jajanan walau perut dan pikiran tidak sinkron menentukan pemenangnya.

Namun, bagaimanapun tukang bubur yang budiman itu berhasil menyentuh saya. Mungkin tidak signifikan, tapi akan tetap berarti.

Mungkin saja esok siang saya tanpa angin tanpa babibu pergi makan ke Pizza Hut (padahal saya termasuk orang berpenghasilan minim). Tapi mungkin juga ada saat dimana saya melihat lagi tukang bubur lain di jalan dan diingatkan untuk me-rem pengeluaran yang kurang perlu, menabung sisanya yang seribu dua ribu (kalau anak SD bisa kenapa kita tidak bisa) dan lebih banyak memakai sisanya yang lain untuk menolong yang kekurangan. Semoga...

2 komentar:

  1. Kalau di Kaskus...ngasi komen pertama gini istilahnya, "G KUASAIAN PERTAMAX!"
    Hehehe...good ndra! Tukang bubur 3 rb-an isinya absolut bubur ya ndra? Nggak ada ayam, bawang, garem dan lain2nya?
    Piss ndra...pis, xixixi...

    BalasHapus
  2. Pake lah Rez, pake kacang, ayam, krupuk. Just like an ordinary tukang bubur :)
    Deket rumah atau kantorlu ada nga makanan murmer kaya gitu?

    BalasHapus