Kalau ada salah satu tempat yang akan saya kangenin, dipikirin pas saat2 mau mati, maka salah satunya adalah Nagarkot. Kenapa ya? Mungkin karena semua
yang terjadi di sana melekat, karena indah karena hening karena sesuatu yang
extraordinary.
|
Lantang range, bagian dari pemandangan Himalaya dari Nagarkot |
Iya saya sempat solo travel di Nagarkot, dan kampung-kampung
sekitarnya. Beda dengan kalau ada teman, antara kita lalu mendengar doi bicara,
atau doi mendengar kita bicara. Kalau solo, kita jadi lebih banyak diskusi
dengan diri sendiri aja. Jadi sempet ngedenger angin bertiup di kuping, merasa antusias
kadang khawatir kalo ketemu orang, atau mikir sambil ngos2an bingung gimana kalo
pingsan kecapean pas nanjak tebing.
|
Anak2 perempuan pulang sekolah sambil becanda-becandi |
Di Nagarkot, awalnya saya menginap dan jalan2 sama kedua
teman saya Azim dan Ripa dari Bangladesh. Tapi setelah mereka pulang, saya yang
menentukan mau ngapain mau kemana.
Jam 10 pagi saya siap2 beres packingan, setelah mencoba
tidur sebentar tapi tidak mampu. Walau kamar dingin dan mantab banget kalo buat
tidur lagi (biasanya sih udaranya sekitar 10 derajat lah) cuma pikiran ini
bertempur... antara mo bobo atau menjelajah. Akhirnya yang kedua yang menang.
Download peta offline dari Wifi hotel done. Packing done.
Dan setelah memutuskan jalur yang kira2 akan ditempuh, plus cek posisi
penginapan2 maka saya menentukan perkiraan rute.
Rute pertama adalah melewati forest trail. Yeay... setelah
jalan 10 menitan di jalan biasa, track itu terlihat: jalan setapak yang masuk
ke arah hutan. Dengan riang gembira, menghirup udara segar sambil melihat
cahaya matahari pagi saya melangkah gembira (bisa tralala trilili).
|
Jalan setapak di hutan |
|
Lewat jalur trekking hutan, bisa merasakan suasana hening ya |
|
Sebagian tanah biasanya tertutupi oleh serasah daun pinus |
Lalu ga sengaja saya agak tisoledat. Kepeleset kata orang
Indonesia mah. Awalnya ngerasa kaya nginjek lumut agak saya geser2. Sebab
kerasa kaya lumpur maka saya cek. Tai (tahi) sodarah-sodarah. Masih fresh, made by human ini setelah saya lihat dekat2.
Rupanya pada punya kebiasaan buang hajat di hutan. Entah dikeluarkan oleh umum yang lewat jalan tembus itu, atau penduduk yang rumahnya masih dekat jalan ini. 5 menitan saya coba ngebersihin tokai yang nempel di sol sepatu.
Cungkil cungkil berhadiah, awas nyiprat.
|
Jenis lumut yang tumbuh di pegunungan |
Trek yang saya jalani mantap banget. Ngelewatin pepohonan
pinus, tanaman2 yang tidak terlalu tinggi lain khas iklim sedang-tinggi. Kadang disela aliran air. Bagian trek naik turun biasanya sudah dipasang batu2 untuk memudahkan pejalan kaki.
Sekitar 2 jam berjalan, beberapa kali saya berpapasan atau disusul penduduk
setempat, sebagian adalah pelajar setingkat SMA. Lainnya adalah yang mengambil
kayu. Biasanya diikuti seekor anjing. Biasanya anjing-anjing itu sangat ramah,
beberapa malah berteman dengan saya.
Keluar dari jalur trekking tersebut yang juga merupakan hutan
masyarakat, pas saya cek GPS, kok agak ga pas ya. Salah satu sasaran saya, farm
house (hotel) sudah terlewati dan ngeliat jalur baliknya berliuk-liuk saya memutuskan meneruskan
perjalanan ke target berikut: jalur trekking loop panjang, dan dengan sasaran
pulang via Mira House (dan akan menginap di situ rencananya).
Trekking lalu dilanjutkan dengan berpanduan GPS lagi. Di tengah
jalan, 3 orang anak usia SD (12 tahun) bergabung dengan saya dan kami sepakat
membentuk tim sampai akhirnya nanti berpisah. Berjalan dengan mereka
mengasyikan, walau dengan bahasa Inggris yang seadanya (keren, anak2 kecil itu berani bicara sedikit2).
Sambil jalan, kadang mereka main berantem2an, kadang rangkulan, kadang minta duit, kadang minta tas. Kadang ngejagain saya, kadang nyanyi, kadang sembunyi ngerokok.
Saya memberikan masing2
anak sebuah gantungan kunci wayang yang sudah saya sediakan dari Indonesia
apabila bertemu teman2 baru di sini (ada banyak, masih sisa sekitar 50an). Sebagai
ganti, mereka menawarkan saya “chocolate” warna merah muda terang. Wah,
mantap... zat pewarnanya pasti dosis tinggi neh. Coklatnya saya isap dan makan,
rasanya asem cuit2 . Coklat ala barudak nepal.
Makin lama jalan petunjuk si google makin aneh. Lah di
google map keliatan gede. Kok ini jalan kecil dan sudah ditumbuhi rumput2? Plus si anak ga
tau jalan yang bercabang menuju Mira House. Kata mereka gada jalan. Tak sedetik
pun saya ragu sama google map. Perkiraan saya jalan tersebut ada tapi jalan
kecil (kemudian baru saya ketahui, jalan tersebut ada tapi kecil, rusak, tertimbun bebatuan atau tertutup rumput).
|
Menuruni tebing2 bersama anak2 |
Dan kami terus berjalan. Demi membuat perjalanan lebih singkat kami memotong
beberapa jalan, dengan cara menuruni beberapa tebing, menggunakan jalan setapak
yang ujung2nya membawa kebahagiaan sebab bisa melewati rumah2 penduduk, foto2
sama anak kambing gunung (please foto kami katanya...😁) , sapi yang kandangnya deket jurang (si sapi kayanya ga
bakal kabur, kecuali terbang). Sayang ga bisa mampir lama di sekitar kampung karena perjalanan masih
jauh.
|
Temen seperjalanan yang jadi penghibur selalu, mau dipotret sama kambing katanya |
Pemandangan sepanjang jalan sangat indah. Lembah2, bukit,
jalan tanah dan pemukiman di kejauhan nampak pudar warna hijau dan birunya.
Rentang pegunungan Himalaya dari Nagarkot (Lantang range)
tidak terlihat hari itu karena cuaca sedang
berawan. Matahari bersinar terik tapi cuma terasa hangat di kulit.
|
Melewati kebun2 sayur penduduk |
Lalu di sebuah pertigaan, saya dan anak2 tersebut berpisah
setelah saling berpelukan dan high five. Bakal kangen neh ma anak2 tersebut
nanti. Lalu saya mulai memasuki lembah dan jalan setapak yang beberapa kali
putus karena longsor atau tertutup tanaman. Saat hari mulai sore, saya masih
berada di lembah dan saat beristirahat, air minum sudah tinggal sedikit saja.
Saya duduk melepas jaket karena gerah, dan segera mulai merasa dingin.
Weleuh... lepas jaket dikit aja langsung dingin begini?
|
Rumah-rumah di atas tebing |
Setelah berjalan lagi melewati jalanan kecil yang sebagian
teruruk batu2an jatuh dari tebing sekitar akhirnya saya melewati lahan
pertanian lagi. Sayur2an sejenis lobak ditanam di lahan bertanah gembur
tersebut. Beberapa ekor kambing gunung beserta anaknya yang lucu (tapi ga lucu
buat si Pak Tani) berjalan di kebun terus menyingkir males, setelah ditereakin
ma si bapak sambil ditimpuk pake lobak buruk yang jatoh di tanah. Lumayan jitu lemparan si bapak dari
jarak sekitar 30 meter, ampir kena.
|
Kambing2 yang hobi ditimpuk petani karena doyan makan lobak |
Setelah jalan dan ngeliat GPS berkali-kali, ini Mira House
benernya dimana ya? Makin gila jalanan ini, sebab di GPS terlihat meliuk-liuk,
dan di GPS ga keliatan naik turunnya yang ganas ini. Beberapa hampir nanjak 45
derajat dan jalannya tanah gembur berbatu2. Mira House... dimana Mira House 😓 ?
|
Apakah kamu ngeliat Mira House di sini? (dikasih waktu 10 detik) |
Dan akhirnya bertemu sebuah rumah kaya Mira House. Ada satu
orang yang lagi beres2, kayanya mau pulang. Saya tanya... ekskyus mi ser, is
dis miras haus? En doi bilang kalo ini rumah penjaga Mira House nya... en saya
tanya lalu Mira House dimana? Doi lalu menunjuk ke belakang saya, persis di
bawah jalan ada tebing, dan ada bangunan yang kelewatan ma saya ga kliatan.
En sialnya itu rumah di ujung dunia kaga buka. Ini Mira House bisa dibilang sama orang normal ga bakal keliatan. Udah letaknya di ujung jalan, ngumpet lagi.Wasalamalaikum,
jalan deui dah, en makin nanjak aja ini perjalanannya.
|
Kebun caisim yang sedang menunggu berbunga |
|
Para perempuan yang pulang dari kebun |
En makin sore ya... tapi udah beberapa kali ketemu penduduk,
dari yang bawa kayu bakar dan jalan pulang dari kebun. Artinya udah deket
kampung walau kalo di peta ini jalan pulang masih jauh.
Lalu saya ditunjukkan jalan lebih dekat oleh seorang
penduduk, dan masuk kampung. Dimana saya sempat berkenalan dengan seorang
dokter relawan yang sedang menjalankan klinik kesehatan gratis untuk komunitas
di kampung. Yang saya ingat adalah: do you want to have a tea? No, are you
sure, or cannabis? Sial... keinget terus ma tawarannya...karena saya jawab...
no thank you, I must go again before it’s dark. Pretlah saya 😓
|
Panen, di sebidang tanah di ujung jurang |
En jalan lagi. Sore2, matahari makin turun jalanan makin
redup (mata saya silindris katanya). Saya jadi makin nekat ambil jalan pintas
yang naik2 bukit. Makin ngos2an dan makin kunang2... keringetan, tapi kalo buka
jaket ya dingin. Nyoba bikin vlog tapi ngomong jadi ga jelas. Gejala cape en
kurang oksigen. Yang saya sadarin juga kenapa ya idung kaya berembun gitu...
kaya basah gitu? Kayanya karena dingin, hembusan uap dari hidung menyublim jadi air dan hidung jadi basah. Walau lagi mo semaput minimal ada pengetahuan baru yang sempet disintesiskan. Yeay.
Sekitar jam 7 malem
baru ngeliat hotel lagi, yang mewah super duper cool yang kaga mampu dimasukin. Musik terdengar samar2 mengalun dan kebayang betapa enaknya kalo saya disuruh mampir, mandi air anget dan disuguhin teh susu. Lalu saya duduk di beranda ngeliat ke bawah dan ada orang semacam saya lagi lewat, saya ngajak dia lagi mampir.
Tetep we jalan terus sambil koprol2. Batere kamera udah abis, minum abis, kaki gempor, pengen baringan di kasur sambil tidur2an ngeliat sunset en ngisep udara dingin.
Dan setelah jalan 1 jam lagi, baru nemu warung sederhana,
dan udah jelas: mesen 1 gelas teh susu (cai) dan 1 gelas kopi susu .
|
Kalo abis jalan jauh, nemu warung yang teh susunya enak banget, giman gituuu... |
|
Ehem... ngeunahhhh ! |
Yang saya bawa sampe ke Bogor adalah lidah yang melepuh
sebab ausssss. Ga sabar niup2 itu cai sampe nekat nyeruput aer panas. Namun
demikian melepuh, tetap itu cai paling enak yang saya minum. Coklat kitkat saya
sikat juga sebab kelaparan dari siang belom makan.
Selesai mengumpulkan tenaga,
barulah saya berjalan kembali. Kali ini jalanan sudah saya kenali karena sehari
sebelumnya saya sudah ke lokasi ini. Sekitar 30 menit, sampe hostel dan nego
harga yang ternyata bisa lebih murah dibanding harga online-nya. Terimakasih Klinik Tong Fang.