Saat saya membeli barang dengan harga murah, saya selalu merasa senang, apalagi jika mendapatkan barang bagus, unik. Selain itu perasaan menang juga muncul, karena saat di - iyakan - artinya seperti memperoleh kontrol atas seseorang/sesuatu (let's talk about it next time).
Namun perasaan ini jadi dilema-lalala bagi saya sekarang
terutama setelah sering menyaksikan kondisi para pembuatnya, atau masyarakat di sekitarnya.
Diawali misalnya saat jalan-jalan senang di Malioboro. Siapa yang tidak senang saat bisa menawar baju barong bali seharga 14 ribu rupiah, atau makan gudeg krecek telur nasi seharga 10 ribu rupiah? Di dalam hati saya berpikir merenung, keuntungan si pembuatnya pasti kecil ya (selama 5 detik), tapi lalu hepi selama 2-3 mingguan. Betapa kecilnya porsi berpikir tentang orang lain, dibandingkan kesenangan terhadap kemenangan diri sendiri ya?
Diawali misalnya saat jalan-jalan senang di Malioboro. Siapa yang tidak senang saat bisa menawar baju barong bali seharga 14 ribu rupiah, atau makan gudeg krecek telur nasi seharga 10 ribu rupiah? Di dalam hati saya berpikir merenung, keuntungan si pembuatnya pasti kecil ya (selama 5 detik), tapi lalu hepi selama 2-3 mingguan. Betapa kecilnya porsi berpikir tentang orang lain, dibandingkan kesenangan terhadap kemenangan diri sendiri ya?
Kebetulan saya punya kemampuan menawar, dan tahu tekniknya dengan tepat
sehingga tak jarang saya jadi garda depan kegiatan tawar menawar kalau sedang membeli sesuatu. Tapi semakin lama saya merasa ada permasalahan antara kemampuan menawar
saya dan hati nurani saya.
Perasaan ini semakin campur aduk saat saya ke India kemarin.
Barang2 yang didapatkan saya di sana harganya lebih murah dibanding di
Indonesia. Dimulai dari buku Rabindranath Tagore hard cover yang saya beli
seharga 30 ribuan (kalau di Indonesia harganya sekitar 60 ribuan minimal), lalu kain (astaga, ada kain sepanjang 3 meter seharga 20ribu rupiah), baju kurti (60 ribuan, dan kayanya minimal harganya sejajar ma Tanabang), gelang warna-warni hiasan untuk oleh-oleh (50 ribuan utk 1 kotak isi 4 buah), buah
delima (12ribu sekilo), dan lain-lain.
Pemandangan biasa di jalan: seorang wanita tua, bersarung dan berjalan tanpa alas kaki |
Dalam percakapan dengan Uda Aldi di RMI sesudah pulang, ia berkata... kalau
harga barang murah itu artinya tenaga kerja juga dihargai sangat murah di sana.
Saya jadi termenung, mengingat di sana saya melihat kemiskinan, kekumuhan, ketidaktertiban dengan mata kepala saya sendiri
dan saya tahu bahwa itu adalah puncak gunung es dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Saat berjalan kaki (karena saya menyukai berjalan kaki di
kota yang belum saya kenal), saya menjumpai simptom kemiskinan dimana-mana, dari wanita
tua bersarung- penyapu di jalan berdebu tanpa alas kaki, mereka yang belum bangun tidur
bergelung di jalan, pedagang kecil dengan lapak sederhananya yang semrawut, bau got yang tersumbat, sampah yang menumpuk di jalanan, orang yang
menyikat gigi dan berkumur2 di jalan, dan sebagainya.
Di pagi hari, para pekerja kasar, mungkin gelandangan tidur tanpa alas di pinggir jalan |
Ranchi di Jharkhand tempat saya berkunjung mungkin bukanlah kota
termiskin di India. Saya mendengar di Colcata dan New Delhi, terutama di daerah slum
keadaan jauh lebih buruk. Saya mulai bisa membayangkan bagaimana Mother Theresa
pada tahun2 awalnya, turun dari pesawat lalu melihat-lihat sekeliling selama perjalan dan kemudian menetapkan hatinya untuk orang2 miskin. Yang saya lihat tidaklah
seperseribu yang ia lihat dan jangan samakan saya dengan Mother Theresa ini. Jauuuhhhh. Dan ini saja sudah membuat saya deg-degan selama berjalan dan makin masuk dalam pikiran saya.
Saat saya semakin jauh melangkah, setelah lebih dari 1,5 jam tiba2 tanpa sengaja tibalah kaki saya
menghantarkan saya ke para pengrajin kayu. Ganies, teman seperjalanan saya awalnya tidak terlalu memperhatikan tumpukan kayu di pinggir jalan, sampai kami berjalan lebih dekat.
Oh bukan, yang saya lihat bukanlah ukiran2 indah, melainkan kayu2 lapis yang dijadikan peti mati sederhana, agak mirip dengan kayu bekas peti kayu buah2an. Sungguh sederhana bentuk peti mati tersebut. Wujudnya cukup untuk menampung satu orang dengan tangan yang dilipat di dada. Tebal kayunya tipis, sehingga agak parno juga ya kalo membayangkan saat diisi tubuh seseorang, lalu karena berat jatuhlah papannya karena pakunya tak kuat menahan berat yang mengisi. Gedebuk.
Oh bukan, yang saya lihat bukanlah ukiran2 indah, melainkan kayu2 lapis yang dijadikan peti mati sederhana, agak mirip dengan kayu bekas peti kayu buah2an. Sungguh sederhana bentuk peti mati tersebut. Wujudnya cukup untuk menampung satu orang dengan tangan yang dilipat di dada. Tebal kayunya tipis, sehingga agak parno juga ya kalo membayangkan saat diisi tubuh seseorang, lalu karena berat jatuhlah papannya karena pakunya tak kuat menahan berat yang mengisi. Gedebuk.
Peti mati seperti ini jelas dikhususkan untuk orang miskin.Seorang teman, setelah melihat foto peti mati tersebut menyatakan kalau harganya sekitar 5 juta kalau di Indonesia (tentu dengan standar yang lebih bagus). Saya tidak bertanya berapa harga peti ini, hanya membayangkan kalau dipotong tiga, lalu dimodif sedikit bisa jadi isinya adalah buah-buahan.
Sepanjang saya berjalan tanda2 ketidaksejahteraan, kemiskinan semakin muncul. Ya, dan tanda2
tersebar di sebuah kota yang sibuk. Bukan di tempat2 terpencil dan kumuh tapi
di tengah2 kota kecil ini.
Di sebuah lokasi wisata, Jhona Falls, mata saya tertuju kepada dagangan2 sederhana yang dijual oleh anak2 kecil di pinggir jalan kecil. Tumpukan buah jambu batu diletakkan di depan mereka. Tidak banyak, mungkin jika habis terjual semua pun, untungnya hanya cukup untuk menambah makan pada hari itu saja. Seorang anak perempuan kecil berjualan buah jambu batu ditemani adiknya yang lebih kecil. Tubuh mereka kurus. Tak jauh dari sana sebuah toilet yang agak berbau pesing membuat beberapa wisatawan berdiri menunggu di dekatnya. Sebagian memilih menunggu dekat si anak. Kalau beruntung, mereka akan membeli buah jambu itu. Mungkin.
Di sebuah lokasi wisata, Jhona Falls, mata saya tertuju kepada dagangan2 sederhana yang dijual oleh anak2 kecil di pinggir jalan kecil. Tumpukan buah jambu batu diletakkan di depan mereka. Tidak banyak, mungkin jika habis terjual semua pun, untungnya hanya cukup untuk menambah makan pada hari itu saja. Seorang anak perempuan kecil berjualan buah jambu batu ditemani adiknya yang lebih kecil. Tubuh mereka kurus. Tak jauh dari sana sebuah toilet yang agak berbau pesing membuat beberapa wisatawan berdiri menunggu di dekatnya. Sebagian memilih menunggu dekat si anak. Kalau beruntung, mereka akan membeli buah jambu itu. Mungkin.
Anak penjual buah jambu batu di sekitar lokasi wisata |
Satu yang saya sering pakai sebagai pembanding kesejahteraan
suatu daerah/negara adalah harga lokal dari produk Kentucky Fried Chicken atau McD-nya.
Semakin murah harganya, maka tingkat kesejahteraannya semakin rendah. Saya
bandingkan dengan harganya di Indonesia secara kasar, lalu saya bandingkan juga dengan harga di Filipina (pernah
juga ke situ dan membandingkan harga ayam gorengnya) dan saya mendapatkan harga
ayam goreng KFC nya terpaut beberapa ribu rupiah dengan yang di Indonesia dan Filipina. Artinya di India lebih
miskin secara tingkat kesejahteraan menurut saya.
Mengapapa KFC atau McD bisa dijadikan patokan? Karena
menurut saya, model toko, teknologi, jenis masakannya sama dan dengan
menggunakan bahan yang sama. Yang mungkin menjadi faktor pembeda adalah harga
bahan dasar, upah tenaga kerja, transportasi dan beberapa faktor lain.
Tenaga kerja lagi. Jadi bisa kita simpulkan sedikit jika
barang yang sama, dengan menghilangkan faktor2 lain (biaya transportasi, harga
bahan dasar yang beda, lokasi penjualan yang berbeda, pajak, kemudahan2),
dijual dengan harga yang berbeda maka dapat dipastikan bahwa di tempat dimana
benda tersebut kita peroleh lebih murah, maka tenaga kerjanyalah yang dihargai
murah.
Jadi saya sekarang semakin enggan menggunakan kemampuan saya untuk menawar. Sekedarnya saja.
Tapi masalah kemiskinan ini ga pecah telor kok karena satu
orang ga mau menawar barang. Perlu lebih dari itu. Bila kita bukan pembuat
kebijakan, saya rasa bisa kita mulai dari memperlakukan dan membayar orang lain (terutama
yang miskin) dengan lebih adil.
Membuat kerajinan kayu dengan kampak |
Saya cukupkan tulisan ini karena makin lama makin agak
ngawur dan saya melihat persoalan ini ga ada habis2nya, ga ketemu jalan keluar dan nempel di kepala saya. Pusing.
Merry X Mas 2017. May happiness and blessfulness with you. Damai dan sejakhtera bagi semua makhluk di dunia. Om Shanti Shanti Shanti.