8 Agustus 2014. Ini hari pertama menyeberang kedua negara:
Thailand dan Myanmar. Bersama 3 pemudi ABG yang baik-baik saya mendapatkan
kesempatan untuk pergi ke negara yang sangat saya incar untuk diketahui
keberadaannya.
Berdasarkan 1000 list “yang harus dilakukan
sebelum mati oleh Indra” – negara ini Myanmar termasuk salah satu favorit saya
untuk dikunjungi sebab saya tidak banyak catatan tentang negara ini, hanya
berdasarkan catatan wikipedia misalnya bahwa sepeda motor dilarang digunakan di
negara ini. Lain-lainnya kelabu, tidak banyak yang bisa diceritakan negara
tertutup ini. Sumber-sumber internet hanya mengulang-ulang informasi-informasi
tertentu, seperti pagoda Shwedagon dan mengenai junta militer.
Sumber terdekat yang bisa dipercaya adalah
perjumpaan saya dengan 3 orang teman dari Burma (seperti mereka menyebut
Myanmar, sebagai bentuk penghormatan mereka yang lebih tinggi kepada nama ini)
setahun yang lalu pada bulan Juni 2013. Secara umum saya bisa mengatakan mereka
adalah orang-orang baik yang berpakaian sopan, dengan olesan tanaka di pipinya
bagi yang perempuan dan bawahan sarung bagi yang laki-laki.
Nah katanya keberuntungan akan menghampiri
orang yang berkeinginan kuat untuk mencapainya. Jadilah hari ini saya berbaring
di tempat tidur di Bago Township, sebuah kota/kampung kecil sekitar 1-1,5 jam
perjalanan dari Yangon. Sekilas pemandangan, kalau saya mau keluar dari semacam
resort ekologis tempat menginap saya ini, yang ditemukan hanya jalan raya
dengan semak/pertanian di sekelilingnya.
Banjir di Burma, saat pesawat mau mendarat |
Burma tadi memang agak aneh kalau dilihat dari
atas pesawat. Sebelum mendarat tampak lapangan-lapangan luas yang tergenang
air, seperti rawa. Menurut Snow, teman saya (aka Thin Zar Maung) memang di
Burma ini lagi hujan terus dan jadi banjir. Memang benar, tadi waktu di
perjalanan sekitar Yangoon banjir melanda sampai jalan raya. Namun herannya
adalah bahwa ini terjadi di sekitar lahan-lahan pertanian. Dugaan saya adalah
memang lokasinya dataran rendah, drainase sekitar jalan yang kurang baik dan
anomali - curah hujan yang tinggi (di Burma ini, Agustus adalah bulan penuh
hujan lebat – berbeda dengan di Indonesia yang sedang menikmati panas pol).
Tanaka, bedak dingin di pipi :) , dipakai oleh anak-anak dan perempuan |
Bukti lain yang saya temukan adalah cowoknya
pakai sarung buat pengganti celana sehari-hari. Maybe sekitar 30-50% lah
persentasenya. Teman saya sempat bertanya juga sih ke saya, apa ga susah pake
sarung karena gak ada kantongnya? Saya juga jadi bertanya sih, apakah sarung
dipakai karena melestarikan tradisi, disuruh ma junta militer supaya ga hidup
mewah-mewah amat, atau karena disini orang merasa keren kalau pake sarung? Tapi
saya sempat lihat juga tuh pada agak kesusahan waktu hujan dan rada banjir.
Pada narik-narik sarung sampe ke lutut tuh.
Jalan-jalan di Yangon sambil pakai longyi |
Apa lagi yah yang saya temukan pada survei
beberapa jam ini?
Ehmm.. kayanya teman Thai bisa saling
berkomunikasi dengan teman Burma (bahasanya mirip kali). Kopi hitamnya enak
(jadi ga pede kalau mengeluarkan kopi yang saya bawa, sachetan indocafe).
Perempuannya banyak yang manis (menurut saya). Kotanya ga terlalu mewah
(sedeng-sedeng aja kaya Cibinong kali ya kalo di Jawa Barat) Cuma kok heran
mobil pribadinya banyak yang mewah ya? Lalu banyak warung sederhana di pinggir
jalan yang dibangun dari bambu dan kayu. Sederhana banget menurut saya bahkan
kalo dibanding warung indomie di Indonesia.
Ok itu aja dulu kali ya. Namanya juga baru
beberapa jam lah. Mau tidur dulu dengan teman sekamar yang Burmese ini (Ye Yint
namanya). Semoga besok menemukan lebih banyak fakta ya. Doakan saya ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar