Boleh miskin, tapi
tetap rajin. Begitulah pandangan saya terhadap penduduk Vietnam. Apabila kata
miskin kurang cocok dipakai serta perlu diperhalus, bolehlah saya menambahkan
kata “agak miskin” disini sebab apabila saya perbandingkan dengan pembangunan
di negeri saya, Indonesia maka sarana dan prasarana di negeri saya nampaknya
lebih lengkap dan maju.
Saya sudah 2x
berkunjung ke Vietnam, pada tahun 2010 dan belum lama ini – April 2013 –
semuanya melalui perjalanan ala backpacker. Kalau yang pertama saya hanya
travel di kota Saigon (Ho Chi Minh City) saja dan melanjutkan ke Thailand. Yang
kedua adalah berkeliling di kota Saigon dengan tambahan pelesir ke kota dataran
tinggi Da Lat. Saigon dan Da Lat, dua-duanya mewakili wilayah perkotaan besar
dan kecil. Untuk wilayah lain, walau keinginan saya sangat besar untuk bisa
stay di wilayah model perkampungan atau pantai namun sampai saat ini belum bisa
terwujud karena keterbatasan waktu dan biaya.
Penduduk Vietnam
adalah penduduk yang cenderung slim bentuk tubuhnya (jarang yang subur dan berisi,
terutama perempuannya). Di mana banyak kaum perempuan berjalan-jalan berpakaian
Ao Dai (pakaian perempuan Vietnam) baik di sekolah atau jalan-jalan biasa. Mengenakan
caping serta penutup hidung dari kain, serta bersepeda motor atau bersepeda
goel. Lainnya yang saya ingat adalah tulisan-tulisan dua sampai tiga kata
berisikan kata-kata nguyen, puc, loc, duc, vang, cong thi dan lain-lain yang
tidak bisa saya mengerti.
Membuat semacam martabak, di pinggir jalan |
Suatu hal yang
menonjol, dan apabila saya diminta menggambarkan satu kata tentang masyarakat
Vietnam adalah kata rajin. Kalau boleh memilih kata lainnya adalah ulet. Ya,
saya harus menggaris bawahi kata rajin dan ulet sebab terpatri dengan kuat di
kepala saya.
Mungkin karena
bangsa ini baru saja mengalami penderitaan berperang (tahun 1970an), serta
kemudian terjadi perpecahan antar bangsa (Vietnam Selatan dan Vietnam Utara),
maka bangsa ini sedang dalam keadaan tersadarkan diri untuk membangun negerinya
kembali. Saya menegasikannya dengan keadaan penduduk di negeri saya Indonesia
yang sudah merdeka sejak tahun 1945 yang sekarang sedang carut marut dan sibuk
saling memakan antar sesama. Mungkin kelamaan merdeka membuat sesorang tidak
lagi mampu bersyukur dan bekerja keras ya?
Masalah kerajinan
ini dicontohkan oleh berbagai hal, yang dapat kita lihat dengan mata dan kepala
sendiri. Sepanjang jalan di Vietnam kita
bisa melihat rumah-rumah memasang etalase untuk jualan di depan rumahnya, baik apakah itu untuk
berjualan minuman, roti banh mi, kedai makan kecil-kecilan, sampai menggelar
buah-buahan di trotoar. Bangku-bangku dan meja kecil seadanya digelar di depan
rumah, dan nampaknya kebiasaan ini merata minimal di Vietnam Selatan.
Si ibu, sambil nunggu jualan dia kadang merajut juga |
Lainnya adalah
kemampuan Vietnamese untuk memanfaatkan waktu luang: seperti di Da Lat, mereka
merajut dan menyulam sambil berjualan. Dari tukang kue, karyawan cable car,
penjual baju... semua memegang jarum dan benang wol, tangannya naik turun
merajut sambil menunggu pelanggan.
Di malam hari,
saat berjalan-jalan saya melihat juga porsi penjual perempuan berimbang dengan
kaum laki-laki. Nampaknya secara tidak sengaja kesetaraan gender tumbuh dengan baik
di bangsa ini. Mungkin karena faktor keamanan yang lebih terjamin, budaya
penghargaan yang tumbuh pada kaum laki-lakinya, serta pengaruh ajaran
spiritual, ditambah dengan desakan ekonomi – semuanya menghasilkan kepercayaan
diri bagi kaum perempuan untuk memajukan keluarga serta bangsanya.
Kerajinan lukisan kulit telur, dikerjakan oleh kaujm difable |
Bukan saya tidak
ingin menceritakan kaum laki-laki, namun dengan melihat sepak terjang kaum
perempuan maka rasanya pandangan saya terhadap kaum laki-laki juga sudah
ter-cover. Kaum laki-laki memang nampak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tani,
buruh dan lain-lain. Tapi begitu juga kaum perempuan.
Di Vietnam yang
menarik juga adalah bahwa negara memfasilitasi hak-hak kaum cacat (disable / difable).
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pusat pelatihan bagi mereka untuk
misalnya, menghasilkan barang-barang kerajinan: lukisan, ukiran, makanan sampai
produk-produk berteknologi . Saya sempat mengunjungi satu pusat pelatihan di
pinggiran kota Saigon untuk melihat pembuatan kerajinan lukisan dari kulit
telur, painting kayu, kerajinan gantungan kunci, dan lain-lain untuk diekspor
keluar negeri (mungkin untuk menambah nilai jual, dan nilai tambahnya dapat
dipakai untuk membiayai program-program seperti ini).
Mereka ini, kaum
difable diberikan kesempatan untuk berkembang – difasilitasi oleh negaranya
yang komunis yang membuat kita bertanya-tanya, bukankah seharusnya negara kita
yang kapitalis “demokratis” ini lebih baik (lah pejabat kan suka gembar-gembor kalo negara demokratis Pancasilais ini bermartabat, makmur, kesejahteraannya cukup baik ) ?
Ah jadi males deh kalo ngomongin Pancasilais dan demokrasi dan sebagainya. Jadi inget neh di Indonesia gerombolan FPI merajalela. Ustad pada ngomong sembarangan di mimbar-mimbar, Rhoma Irama mau jadi presiden, korupsi Hambalang, koruptor pada pasang TV kabel di penjara.
Hadeuuuuhh....