Dulu, saya bercita-cita untuk mengelilingi Indonesia,
terutama ke daerah Papua yang kalau jamannya saya SD pas presiden Suharto
dipanggilnya Irian. Kenapa mau keliling Indonesia, bukan cita-cita ke luar
negeri – aneh ya? Tapi saya rasa sebagian dari kamu juga seperti itu.
Jawaban saya (mungkin kamu juga) ya kalo di Indonesia ajah belom ngapain juga ke luar
negeri, kan banyak obyek wisata indah di sini... perlu cinta Indonesia, dll
dll.
Lalu tibalah suatu kesempatan ke luar negeri tahun 2009.
Lembaga tempat saya kerja kebetulan berjaringan dengan yang namanya ILC dan
mereka mau buat meeting di Filipina, saya ditawarkan ikut. Saya ga tertarik,
karena tadi... cinta Indonesia (atau karena ga pede ya?)
Tapi lalu semua staf menolak. Kenapa...? Karena meetingnya
jatuh kena dengan Hari Raya Lebaran. Sebagai satu2nya yang non muslim di
kantor, lalu diberikanlah jatah itu ke saya. Padahal isunya tentang agraria
yang notabene waktu itu saya ga familiar.
Belajar nyanyi. Karena India, Pakitsan dan Bangladesh tadinya bersatu, maka seringkali mereka dapat menyanyikan lagu yang sama. Kaya Indonesia ma Malaysia kali ya.... |
Sehabis urus2 paspor (baru), akhirnya saya terbanglah ke
Filipina, bertemu dengan peserta lain dari India, Pakistan, Kamboja, Nepal,
Bangladesh dan tentunya peserta Indonesia lain. Di pertemuan ini, modal saya cuma
ice breaking untuk bantuin panitia sebab bahasa Inggris saya yang ala kadarnya
kurang informatif baik dalam presentasi maupun melobi komunitas. Tapi kalau mau
bangga, bolehlah saya bilang karena pengetahuan saya banyak tentang negara2
hasil rajin baca Wikipedia dan baca buku dari Killing Field Kamboja,
perwayangan, sampai perubahan iklim – maka banyaklah teman saya. Saya juga
demen banget denger cerita dari kawan2 ini misal tentang betapa padatnya
Bangladesh, atau Kasta Dalit yang didiskriminasi di India... jadi mungkin
mereka senang karena saya mendengarkan ya, jadi banyak teman.
Kepiting dan sayur yang difermentasi. Nah loh... :) |
Ini adalah titik balik di hidup saya. Dunia yang tadinya
saya kenal cuma Bogor Jakarta Jawa, pecahlah telurnya. Bertemu dengan orang
asing, dan betapa tidak tahunya saya akan informasi di luar... dari apa yang
biasa mereka makan, nama kota yang begitu asing, bertemu dan berdiskusi dengan
anak sekolah, sampai belajar nyanyian asing membuat saya menjadi gila.
Sebab jika ke luar negeri, dari permen, bentuk tiang listrik
itu beda. Semua berbeda dan buat otak saya yang menyukai petualangan, kemasukan
informasi baru ini seperti ekstasi yang buat ketagihan. Belum lagi excitement-nya
bahwa kita tidak tahu apa yang kita lihat kemudian selewat pertigaan, bila kita
berjalan kaki.
Masihkah saya senang jalan2 juga di dalam negeri? Iya juga
lah. Yaelah... senang jalan di luar negeri bukan berarti jalan2 di dalam negeri
ga demen. CUMAN aja seringnya biayanya malah mahalan jalan2 di dalam negeri.
Buktinya apa? Coba aja itung ke Lombok... kemaren baru ngebookingin temen,
tiket pesawat 700 ribuan paling murah. Dengan biaya yang sama, tiket AirAsia
600 ribuan dah sampe ke Bangkok atau Saigon. Saya akan pilih ke luar negeri
karena tingkat kejutan dan kebaruannya jauh lebih tinggi.
Makan di Tobelo (Halmahera) tukang pecel lelenya dari Jawa,
supermi nya rasanya juga sama walau desain alam dan budanyanya agak beda. Di Bangkok, saya bisa liat demo jaket merah (pendukung
Thaksin waktu itu), ikutan festival air Songkran yang sama sekali gak ada di
Indonesia.
Ada lagi point yang lainnya yang sangat berharga buat saya.
Banyak perjalanan2 di luar negeri yang saya lakukan bukan hanya dalam rangka
backpackeran, melainkan untuk bekerja, dan pekerjaan saya erat hubungannya
dengan isu2 seputar hutan, tanah, masyarakat, hak asasi, dan lain-lain. Begitu
banyaknya infomasi tentang masyarakat yang hidup di sana lewat pertemuan2
singkat ini dan melengkapi kekayaan pandangan saya akan manusia.
Saya bisa belajar mengenai konflik Suku Karen di Burma, saya
berkunjung ke sebuah desa di Mindanao dan belajar mengenai mengorganisir long
march petani. Saya belajar mengenai smog yang membuat penduduk Shanghai sakit.
Yang semuanya berbeda dengan yang ada di Indonesia.
Demikianlah, perjalanan saya ke luar negeri membuat saya tidak sempit dalam berpikir, punya alternatif jawaban dalam memandang pemecahan suatu persoalan lokal.