Pernah nga, merasa di persimpangan jalan... tanpa tahu apakah harus mengambil jalan berikutnya ke kiri atau ke kanan karena so little clue?
Ini yang terjadi dengan hidup saya beberapa hari ini. Would I stay atau would I leave? Dan dua-duanya sama-sama tough question.
Apakah saya harus meninggalkan tempat dimana saya merasakan suka dan duka bersama-sama setelah lebih dari 5 tahun, atau pergi berlayar ke tempat asing untuk menemukan harapan-harapan di tanah baru?
Senin, 13 Agustus 2012
Rabu, 08 Agustus 2012
In the Morning
In The Morning
Songwriters: GIBB, STEVE
In the morning when the moon is at it's rest,
You will find me at the time I love the best
Watching rainbows play on sunlight;
Pools of water iced from cold night, in the morning.
Tis the morning of my life.
In the daytime I will meet you as before.
You will find me waiting by the ocean floor,
Building castles in the shifting sands
In a world that no one understands,
In the morning.
Tis the morning of my life,
In the morning of my life the
Minutes take so long to drift away
Please be patient with your life
It's only morning and you're still to live your day
In the evning I will fly you to the moon
To the top right hand corner of
The ceiling in my room
Where wll stay until the sun shines
Another day to swing on clothes lines
May I be yawning
It is the morning of my life
It is the morning of my life
In the morning
In the morning
In the morning
Well, begitu indahnya lagu ini buat saya. Didengarkan oleh saya dari dulu lewat speaker besar Om Oweh, dengan tape jaman dulu yang tebal dan penuh kenop-kenop yang tidak saya mengerti fungsinya, lagu ini selalu terngiang-ngiang di kepala saya.
Katanya... In the morning of my life the minutes take so long to drift away. Please be patient with your life. It's only morning and you're still to live your day.
I need that.
Songwriters: GIBB, STEVE
In the morning when the moon is at it's rest,
You will find me at the time I love the best
Watching rainbows play on sunlight;
Pools of water iced from cold night, in the morning.
Tis the morning of my life.
In the daytime I will meet you as before.
You will find me waiting by the ocean floor,
Building castles in the shifting sands
In a world that no one understands,
In the morning.
Tis the morning of my life,
In the morning of my life the
Minutes take so long to drift away
Please be patient with your life
It's only morning and you're still to live your day
In the evning I will fly you to the moon
To the top right hand corner of
The ceiling in my room
Where wll stay until the sun shines
Another day to swing on clothes lines
May I be yawning
It is the morning of my life
It is the morning of my life
In the morning
In the morning
In the morning
Well, begitu indahnya lagu ini buat saya. Didengarkan oleh saya dari dulu lewat speaker besar Om Oweh, dengan tape jaman dulu yang tebal dan penuh kenop-kenop yang tidak saya mengerti fungsinya, lagu ini selalu terngiang-ngiang di kepala saya.
Katanya... In the morning of my life the minutes take so long to drift away. Please be patient with your life. It's only morning and you're still to live your day.
I need that.
Rabu, 01 Agustus 2012
Kemping Pertama (Minimalis Mode: On)
Yah – yah –
yah... setelah saya mengudek-udek isi laci saya yang banyak isi fotonya, untuk
mencari foto-foto di Shamadi Shalom Cipanas yang saya dapati malah beberapa
buah foto dalam 1 album kecil, yang berisi tamasya kami ke Perkebunan Ciliwung
bulan Februari tahun 1996.
Boleh saya
katakan ini kemping perdana kami, waktu itu saya masih kelas 1 SMA di Regina
Pacis Bogor. Dan sehubung ini kemping perdana kami boleh dong kalo kami
melaksanakannya dengan sederhana dan sedikit ga berkualitas?
Yah, ini bisa
disebut kemping pemberontakan (saya merasanya begitu) untuk keluar dari pakem
kalau yang bisa kemping waktu itu adalah kalau hanya di bawah naungan kelompok
pecinta alam saja (waktu itu saya hanya junior saja, jadi berstatus tunggu
ajakan senior-senior yang incapable untuk melakukan kemping; dan jadinya ga
pernah kemana-mana). Dengan modal survei yang sama sekali engga memadai kami
saya dan Crisa memutuskan kalau tempat ini bisa dipakai untuk kemping.
Resa, Henry, Citra dan Crisa |
Jadi kemudian
bersiap-siaplah kami, dengan ransel berangkat menuju Perkebunan Ciliwung di Puncak yang
letaknya di sebelah kiri jalan dari perkebunan teh Gunung Mas. Waktu sudah sore
waktu kami tiba di tempat itu. Ijin kami dapatkan dari penjaga kebun, dan
setelah jalan-jalan sedikit kami menemukan bahwa tempat yang kami tuju tidak
tepat untuk diinapi. Kami lalu meneruskan perjalanan kami, agak menanjak di
perkebunan teh, melewati sungai kecil dan
hutan kecil yang tidak terlalu rapat sambil foto-foto sekedarnya
mengabadikan penjelajahan kami sambil membayangkan film Indiana Jones.
Tengah
asyik-asyiknya mencoba menerobos rimba, tiba-tiba mentoklah kami berhadapan
dengan pagar kawat ayam bolong.
“Terobos ga neh?"
Tanya saya kepada Crisa, Resa dan Henry – semuanya teman saya di SMA.
Resa dan Citra
yang saya ingat tidak suka pikir panjang tentu saja mengiyakan. Kalau Crisa dan
Henry saya lupa jawabannya, tapi sepertinya tidak jauh dari persetujuan yang
menggebu-gebu juga.
Dan lewatlah kami,
menerobos masuk pagar kawat ayam itu. Tak sampai beberapa detik kemudian
terperangalah kami, sebab yang kami lewati tiba-tiba berubah jadi sebuah
resort, vila yang indah permai di dalam hutan tersebut. Jalan diaspal,
rumah-rumah kayu putih, beberapa mobil serta water heater di atas atap. Walah
salah jalan ini mah saya pikir... cuma karena sudah kepalang kami lanjutkan
saja lenggang kangkung di perumahan mewah tersebut.
Sialnya,
perjalanan kami tidak bisa diteruskan. Tergopoh-gopoh seorang satpam berbaju
biru berjalan dan langsung menemui kami. Singkat kata, kami harus balik arah
sebab katanya resort itu milik jendral. Halah emang ini jaman orde baru so kalo
ingat-ingat masa itu kalau sebuah lokasi di claim milik jendral enyahlah
cepat-cepat atau benjutlah kami digaplokin tanpa bisa lapor polisi. Ini jaman representatif Bung.
Dah mirip ma yg di cover kaset belom ya? |
Dengan murung
kami turun kembali ke bawah, kembali melewati sungai kecil sementara hari sudah
semakin sore.
Sebagai kepala
rombongan dan inisiator penjelajahan ini, saya mengarahkan agar kali ini perjalanan
diarahkan tetap pada wilayah Perkebunan Ciliwung, namun ke arah yang lain. Saya
tidak memilih Perkebunan Gunung Mas - tinggal nyebrang jalan raya saja
sebenarnya - karena saya tahu persis di dalamnya adalah sudah menjadi kawasan
wisata yang perlu membayar tiket masuk, termasuk lokasi kemahnya yang walaupun
jelek tetap saja berbayar. Ga worthedlah waktu itu fasilitasnya, lagian dimana
seni menjelajahnya saya pikir?
Langit mulai
kuning memerah saat kami mulai menanjak di kebun teh. Matahari mulai tenggelam
perlahan-lahan dan rona merah yang menjadi penanda saat sang surya tenggelam
menghibur kami, anak-anak SMA yang berjiwa luhur.
Sehubung waktu
itu malamnya adalah malam takbiran, dan puasa sudah selesai – cepat-cepatlah
kami sebelum hari benar-benar gelap memilih lokasi untuk menginap. Setelah
pusing mencari sana-sani tempat terlindung sesuai buku pedoman Survival Navy
Seal berbahasa Inggris, kami memutuskan kalau tempat terbaik hanyalah sebidang
tanah kosong, mungkin bekas tempat menimbun teh bagi para pemetik teh. Tidak
apropriate namun diputuskan bahwa tempat itu adalah yang paling OK sehubung
hari sudah mulai gelap dan rasanya di kebun teh agak susah mencari pepohonan
besar sebagai naungan terkecuali kami berjalan sampai batas hutan di luar
perkebunan.
Tidak ada yang
kami persiapkan selain menggelar ponco, itupun hanya 2 ponco saja: saya dan
Crisa. Citra yang pengendara motor tidak bawa (rasanya sih sengaja karena malas
– dicirikan dengan bawaannya di ransel yang minim seminim-minimnya). Kalo Resa
dan Henry memang tidak punya, walau Resa anggota pencinta alam juga.
Yah lalu bisa
dibilang kami menghabiskan bekal, mondar-mandir di sekitar lokasi dan agak
malam saya menyalakan senter rechargeable saya (keren banget waktu itu saya
pikir karena jarang-jarang yang punya senter rechargeable ukuran kecil yang
bisa jadi lampu penerangan juga :) .
A Time To Kill (1996) |
Kami main kartu,
bolak-balik tiduran, makan snack, bikin indomie, ngobrol ngalur-ngidul
ngejelek-jelekin guru, berpikir bebas seperti seakan-akan tidak akan pernah
bekerja dan hidup susah di kemudian hari.
Beberapa
gelombang orang yang merayakan takbiran melewati kami sambil diiringi tetabuhan. Saya menebak, jangan-jangan ada perkampungan di atau Masjid di depan kami, setelah hamparan
kebun teh ini.
Ga lama jam 9 an
dah pada mau bobo, en memandang bintang di kejauhan. Ngobrol ngalor ngidulnya
tetap jalan en sehubung gak ada HP waktu itu maka masing-masing ga sibuk
sendiri melainkan cukup merubah topik. Kalo topik mengenai gigi si Resa udah ga
seru maka bisa ngobrolin penindasan yang dilakukan oleh Citra sebagai senior kepada
anggota-anggota beladiri THS bawahannya.
Wah ada yang
salah rasanya mengenai memandang bintang di kejauhan dan mulai tersadari saat
jam menunjukkan kira-kira tengah malam. Badan mulai menggigil karena hembusan
angin dingin, dan walaupun badan diposisikan dalam bentuk melengkung seperti
kucing, hawa dingin tetap menusuk menembus jaket. Kebetulan tidak ada sleeping
bag yang kami bawa karena jaman itu jaman susah – jadi cukup lapis-lapis saja.
Saat jam 3 dingin
tidak tertahankan lagi dan semua dari kami terbangun karena kedinginan. Bisa
dibuktikan bahwa dalam perbedaan genetik dan budaya, kami tetap terbangun oleh
hawa dingin yang sama. Citra dan Crisa penguasa ilmu bela diri, Resa si kuda,
Henry yang jago gambar dan saya bertekuk lutut di bawah kekuatan alam: badan
menggigil, gigi gemeretak, ujung-ujung jari dan telinga serasa membeku. Kami
mengeluarkan segala perlengkapan namun semua hanya sedikit menolong.
Sampai matahari
mulai muncul tidak ada yang bisa tidur, dan penderitaan kami sulit dijelaskan
selain mengingat bahwa di lain kesempatan tidak mungkin kami akan mengulangi cara-cara
bodoh ini lagi, tidur terbuka di pegunungan tanpa bekal apa-apa.
Pagi-pagi, dengan
kebas-kebas di kaki dan sakit di punggung kami beres-beres. Sehubung tidak ada
yang punya pengalaman jalan-jalan dan juga tidak ada yang kaya dan mampu
mentraktir sesamanya (misalnya nerusin jalan-jalan ke Cibodas, makan-makan di resto Riung Gunung) maka kami memutuskan untuk mencuci muka kami di parit
kecil yang dialiri air jernih di Perkebunan Teh Gunung Mas saja. Ya, setelah masak
indomie, kami main-main sebentar ke perkebunan teh tetanggaan itu, lewat jalan
pemetik teh guna menghindari pungutan tiket masuk si penjaga.
Ya, itulah
pengalaman (tidak) menakjubkan kami yang menjadi pembuka petualangan-petualangan
fantastik kami selanjutnya :) . Perkebunan Ciliwung cuma stepping stone kan?
And then go west guyz to a peaceful land !!! - kata geng hombreng "Village People." Ya, mungkin setelahnya kami berpencar, pergi ke tujuan kami masing-masing, tapi pernah ada suatu waktu dimana kami berkumpul di sini, di sebuah tempat bernama Perkebunan Ciliwung.
And then go west guyz to a peaceful land !!! - kata geng hombreng "Village People." Ya, mungkin setelahnya kami berpencar, pergi ke tujuan kami masing-masing, tapi pernah ada suatu waktu dimana kami berkumpul di sini, di sebuah tempat bernama Perkebunan Ciliwung.
Langganan:
Postingan (Atom)